Kisah-Kisah Tentang Sepatu
Kisah tentang berartinya makna sepasang sepatu bagi saya pribadi adalah setelah menonton film “Children of Heaven”. Film yang dirilis tahun 1997 di Iran itu sempat beberapa kali diputar ulang oleh beberapa stasiun televisi swasta nasional. Film tersebut berkisah tentang dua orang kakak beradik yang berasal dari keluarga miskin, Ali dan Zahra, yang hanya memiliki sepasang sepatu untuk bersekolah.
Setiap hari, Ali dan Zahra saling bergantian memakai sepasang sepatu yang hanya ada satu-satunya itu. Karena Zahra masuk sekolah pagi maka Ali harus menanti hingga Zahra pulang sekolah untuk masuk kelas. Seringkali, Ali terlambat masuk kelas karena Zahra tidak segera muncul untuk menukar sepatu. Singkat cerita, tidak tahan dengan keadaan itu maka datanglah satu kesempatan. Ali mengikuti lomba yang salah satu hadiahnya adalah sepatu.
Ali sangat bersemangat mengikuti lomba lari itu. Ali tidak ingin lagi adiknya, Zahra, selalu tergesa-gesa setiap pulang sekolah hanya untuk menukar sepatu. Bayangan itu selalu muncul mengingatkan Ali untuk terus berlari dan menyelesaikan lomba. Ada gejolak dalam dirinya bahwa keadaan seperti itu harus berubah. Dan kesempatan itu adalah saat ini. Saat Ali mengikuti lomba lari yang salah satu hadiahnya adalah sepasang sepatu baru itu. Walaupun Ali menjadi juara tetapi itu tidak membuatnya puas. Ali menginginkan hadiah sepatu itu, bukan titel juara lomba.
Film
“Children of Heaven” mengajarkan saya untuk lebih menghargai apa yang
kita miliki. Kita sudah bisa berbahagia dengan apa yang kita miliki.
Hidup pun akan terasa lebih menyenangkan seandainya kita sadar bahwa
kebahagiaan itu cukup dengan apa yang kita miliki. Bukan dengan apa yang
ada diluar jangkauan kemampuan kita.
Saya tidak bisa membayangkan seandainya masih ada anak-anak Indonesia yang mengalami hal seperti dalam film “Children of Heaven”. Ditengah kemajuan zaman yang serba cepat sangat miris sekali untuk menjumpai keadaan yang dialami oleh Ali dan Zahra. Saya tidak menutup mata atas beberapa fakta yang ada. Masih banyak anak-anak Indonesia yang bersekolah tanpa mengenakan alas kaki. Alasan utama, tentu ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk membeli sepatu sekolah. Keterbatasan ekonomi menjadi faktor penyebab yang utama.
Terbatasnya akses menuju sekolah seperti jarak tempuh perjalanan dan medan yang berliku adalah hal lainnya yang banyak ditemui. Hal ini pun dialami Bapak saya yang harus berjalan kaki sejauh 10 km setiap hari dengan melepas sepatu dan bertelanjang kaki melewati pematang sawah. Hanya untuk berangkat sekolah. Sangat sulit menerima kenyataan bahwa hal yang demikian itu masih terjadi hingga saat ini.
Kisah lain tentang sepatu yang juga menggugah hati saya adalah kisah proklamator kita sekaligus Bapak Koperasi Indonesia, Muhammad Hatta. Saya salut pada ketegaran hati beliau untuk memendam hasrat keinginan memiliki sepatu merk “Bally” yang saat itu menjadi tren di kalangan pembesar negeri ini. Mengingat jabatan beliau yang waktu itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden rasanya tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkan sepasang sepatu mahal tersebut.
Namun, beliau menunjukkan integritasnya dengan tidak menggunakan fasilitas apapun dari negara untuk memilikinya. Bung Hatta lebih senang menabung uangnya sendiri demi memiliki sepatu tersebut. Sepatu yang tidak akan pernah dimilikinya hingga akhir hidupnya. Keadaan ekonomi yang tidak sepenuhnya berpihak dan juga prioritas lainnya dalam keluarga membuat Bung Hatta merelakan keinginannya. Sebuah sikap yang patut ditiru siapapun yang mencintai Republik ini.
Sepatu pun memiliki kisahnya sendiri. Sepatu telah menjadi simbol ketidakpuasan publik atas kebijakan seorang pemimpin. Belum lepas dari benak kita sebuah kejadian yang cukup untuk menempatkan sepatu dalam lini masa sejarah dunia. Sepatu telah mengukir kisahnya sendiri lewat Insiden Sepatu yang menimpa mantan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush. Pelemparan sepatu yang memalukan itu terjadi pada suatu konferensi pers di Baghdad. Pelakunya adalah Muntazar Al-Zaidi, seorang wartawan stasiun televisi swasta Al-Baghdadia yang berbasis di Kairo, Mesir.
Kedua
sepatu Al-Zaidi tadi telah menjadi semacam metafora publik untuk
menumpahkan segala aspirasi tentang kepuasan akibat resesi ekonomi
Amerika Serikat yang berdampak global. Kebangkrutan ekonomi Amerika
Serikat menjadi warisan Bush untuk diselesaikan penerusnya. Selain itu,
demokrasi yang dijanjikan Bush di Negeri Seribu Satu Malam itu tidak
menemui tujuannya. Janji Bush untuk membangkitkan rakyat Irak dari
keterpurukan dan membangun pemerintahan yang demokratis tidak terwujud.
Dengan rapor kinerjanya yang buruk menyebabkan munculnya animo
ketidakpuasan dari masyarakat. Sepatu, telah menunaikan tugasnya dengan
baik sebagai wakil dari animo ketidakpuasan tersebut.
Lain padang, lain ilalang. Lain waktu, lain juga ceritanya. Bila dulu Bung Hatta tidak sempat memiliki sepatu impiannya berbeda dengan Dahlan Iskan. Menteri Negara BUMN ini tidak segan untuk mengenakan sepatu kets untuk beraktivitas sehari-hari. Sejak masih menjadi Direktur Utama Jawa Pos, Dahlan Iskan tidak pernah melepas kebiasaannya itu. Hal itu sudah merupakan trademark bagi seorang Dahlan Iskan. Bahkan, pada pelantikannya sebagai Menteri di Istana Negara, Dahlan Iskan masih menggunakan sepatu ketsnya itu.
Dahlan Iskan menandai munculnya tren baru dalam bersepatu. Maksudnya, Dahlan Iskan telah menjadi figur yang meletakkan cara pandang baru dalam melakukan sesuatu. Perlu dicatat bahwa Mantan Direktur Utama PLN ini juga tidak sengaja melakukan hal itu untuk mencari sensasi semata. Dahlan Iskan menyadari betul apa yang dia lakukan. Alasan kenyamanan dalam melakukan mobilitas pekerjaan tentu jadi hal yang utama. Betapa banyak dari kita yang masih berandai-andai bisa menjadi seperti Dahlan Iskan yang tidak harus terikat norma-norma dan nilai yang berlaku di lingkungan pekerjaan yang formal dan kaku.
Untuk alasan yang sama dengan Dahlan Iskan, pada hari-hari tertentu saya menggunakan sepatu kets untuk bekerja. Ada waktu-waktu tertentu dimana pekerjaan menuntut kita untuk memiliki mobilitas yang tinggi. Walaupun menimbulkan ketidaknyamanan terutama dari pandangan orang lain, saya tetap merasa nyaman karena saya melakukannya benar-benar karena alasan mobilitas pekerjaan.
Cerita Saya
Waktu masih sekolah di SD, saya hanya membeli sepatu setiap ganti tahun ajaran. Artinya, saya hanya mengganti sepatu setiap setahun sekali. Itu pun lebih karena tuntutan gengsi karena tentunya teman-teman saya pun mendapatkan sepatu baru setiap masuk tahun ajaran baru. Sepatu baru itu seakan mewakili prestis masing-masing dari kami. Saat itu, peran media massa sebagai medium iklan cukup efektif dalam menarik minat masyarakat. Setiap menjelang akhir tahun ajaran selalu saja ada produk yang baru yang membuat semua orang tua mulai mengambil ancang-ancang demi mengantisipasi keinginan anak-anaknya.
Kebiasaan ganti sepatu setahun sekali itu berakhir ketika saya menginjak masa SMP. Dengan segala aturan disiplin yang ketat mengharuskan kami mengenakan sepatu yang seragam, kalaupun tidak sepatunya harus bermodel sama: menutupi mata kaki. Sejak saat itu, saya mengganti sepatu setahun dua kali. Jarak dari rumah menuju terminal angkutan umum yang sekitar 1,5 kilometer mengharuskan saya untuk berjalan kaki. Pulang dan pergi. Sehingga, dengan pemakaian yang demikian saya harus meminta orang tua menyediakan dana lebih untuk membeli sepatu.
Hal seperti itu berlangsung hingga SMA. Bedanya, di SMA kami dibebaskan untuk memilih sepatu sekolah. Selama itu masih berwarna hitam tentu diperbolehkan. Pada masa itu, slogan “you are what your shoes” benar-benar menjadi istilah yang merepresentasikan jati diri seseorang. Merk sepatu tertentu mencerminkan kelas sosial pemakainya. Segregasi sosial yang terjadi sebagai akibat dari hal ini memang tidak cukup kuat. Namun, untuk beberapa kalangan di angkatan saya, hal ini cukup kentara dan bisa dijadikan bahan obrolan di waktu nongkrong.
Nilai prestis seakan menjadi harga mati bagi siapa saja yang ingin lebih “dilihat” dan “dianggap”. Pertaruhan seperti ini menjadi semacam penilaian baku bagi siapa saja di sekolah. Seorang kakak kelas senior di klub basket sekolah tentu akan lebih mudah mengenali juniornya dari merk sepatu yang ia pakai saat latihan. Dari situ, dia sudah bisa menilai karakter permainan si juniornya ini.
*
Suatu ketika, saat sedang bermain futsal sepatu yang biasa saya pakai mendadak jebol. Sengaja saya tulis begitu supaya terkesan lebih dramatis (padahal memang sudah umurnya). Timer menunjukkan waktu permainan masih tersisa setengah jam lagi. Masih banyak waktu tersisa. Saya tidak ingin kehilangan waktu gara-gara sepatu yang rusak ini. Segera, saya mengajukan diri untuk menggantikan sahabat saya, Bery, kiper andalan tim kami. Dengan begitu, saya tidak perlu berlari-lari keliling lapangan lagi yang tentu saja akan menambah kerusakan sepatu ini.
Sepatu itu telah memasuki masa purnabakti tugasnya sejak mengabdi pada Mei 2003. Saya tidak mau jadi melankolis untuk terus menyimpan berbagai kenangan yang tercipta bersama sepatu itu. Artinya, saya harus segera mencari sepatu lagi, yang benar-benar khusus dipakai untuk bermain futsal. Bukan perkara sulit. Saya sudah bekerja dan sudah punya penghasilan sendiri untuk membeli penggantinya.
Keesokan harinya, saya memutuskan untuk membuang sepatu itu. kebetulan, Bapak sedang mengumpulkan barang-barang bekas yang sudah tidak dipergunakan lagi. Saya bilang bahwa sepatu itu akan dibuang. Memang kerusakannya masih bisa diperbaiki, tetapi saya pikir alangkah baiknya bila sepatu itu dibuang saja. Lagipula, saya sudah memutuskan untuk membeli sepatu baru.
Beberapa hari kemudian, saya mendapat pesan pendek dari Bapak.
Sepatu gak jadi dibuang. Udah disol.
Saya kaget. Bukankah seharusnya sepatu saya itu ikut dibuang bersama perkakas-perkakas bekas yang kemarin Bapak kumpulkan untuk dibuang. Kaget saya belum sepenuhnya hilang ketika mencoba menerka hal apa yang ada dalam pikiran Bapak sehingga tidak jadi membuang sepatu itu.
Setelah saya pikir-pikir kembali, Bapak tentu punya alasan-alasan lain untuk tidak mau membuang sepatu itu. Barangkali juga, Bapak tidak mau berdebat dengan saya hanya karen masalah yang sepele. Saya jadi ingat. Untuk membeli sepatu itu saya tidak minta uang pada orangtua. Saya tidak memberitahu Bapak bahwa sepatu saya harus segera diganti. Saya waktu itu tidak tega walaupun sepatu saya semakin menganga karena menjadi teman yang setia menemani langkah saya. Seperti Bung Hatta, saya mengumpulkan sisa-sisa uang jajan dan sedikit dari pemberian ''kadeudeuh'' yang biasa saya terima dari saudara-saudara yang berkunjung ke rumah.
Ketika jumlah tabungan dirasa cukup, barulah saya pergi ke toko sepatu. Toko sepatu yang terletak di perempatan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Otto Iskandardinata Bandung itu sudah menjadi langganan sejak zaman saya masih bersekolah di SD. Bapak selalu mengantarkan saya kesana dengan motor bebek warna merah kesayangannya. Saya merasa jadi anak paling beruntung setiap habis dibelikan sepatu.
Barangkali juga, alasan-alasan lain Bapak adalah karena beliau pikir saya masih ''sayang'' sama sepatu itu karena kalaupun memang mau sepatu itu sudah saya buang semenjak masuk tahun pertama kuliah, medio 2004. Alasan terakhir, mungkin juga beliau tahu isi dompet saya yang tidak pernah mengizinkan saya untuk punya sepatu bagus lagi. Ketiga alasan tersebut memang logis. Tetapi, makna yang saya sadari justru lebih dalam lagi.
Entah bagaimana saya harus menuliskan seperti apa bahwa perhatian dan rasa sayang orang tua memanglah besar dan sepanjang masa adanya. Entah ketika saya masih tinggal serumah atau nomaden seperti sekarang. Beliau selalu menaruh perhatian terhadap keluhan-keluhan saya, padahal itu semua harusnya menjadi tanggungjawab pribadi saya saja. Saya pun kembali teringat pada masa-masa itu. Bapak selalu mendengarkan apapun yang disampaikan anak-anaknya. Walaupun tidak semuanya harus dituruti dan diwujudkan tetapi saya yakin beliau telah mengusahakan yang terbaik. Termasuk, hal sepatu itu tadi.
Saya tidak menyangka Bapak akan punya inisiatif untuk memperbaiki sepatu saya itu. Kembali ke zaman SD, setiap ada tugas sekolah yang saya belum bisa kerjakan, Bapak selalu memeriksanya sambil menandai pembahasan hal tersebut di dalam buku. Pun ketika beliau sedang marah pada saya, beliau masih membuatkan saya maket gedung sekolah untuk tugas minggu depan. Semuanya dilakukan dengan cara beliau sendiri. Saat saya sedang enak-enaknya tidur, di saat itulah beliau melakukan semua hal-hal yang saya perlukan. Paginya, saya hanya bisa senyum hahah-heheh karena semuanya sudah selesai.
Sekarang, setiap akan membeli sepatu baru saya selalu ingat pesan Bapak.
Sepatu itu gak akan dipake kepala, semahal apapun itu
Pesan tersebut ada benarnya juga. Semahal apapun sepatu tentu sudah fitrahnya untuk hanya jadi pelengkap alas kaki. Sepatu adalah pelengkap yang membungkus penampilan kita sehari-hari. Pun ketika ia menjelma menjadi sebuah ikon fashion atau mode. Pesan Bapak tadi tentu bukan menjadi suatu larangan bagi saya untuk tidak memiliki sepasang sepatu bagus. Beliau mewanti-wanti agar saya benar-benar membeli sepatu bukan karena keinginan tetapi karena kebutuhan. Saya kembalikan fungsi sepatu dalam tataran fungsional dan estetika. Maka atas dasar pemikiran tersebut, sepatu tidak akan kehilangan esensinya.
Saya pernah baca sebuah tulisan.
Saya tidak pernah bersyukur dengan apa yang saya miliki hingga saya melihat orang yang tidak punya kaki.
Seperti pesan yang disampaikan dalam cerita film “Children of Heaven”. Tidak banyak orang yang beruntung untuk memiliki sepatu. Beberapa harus rela untuk tidak memilikinya dan bahkan harus menjalani hari-hari dengan segala keterbatasan tersebut. Berbagai kenyataan hidup yang kadang tidak menyenangkan menuntut kita untuk berlebihan dalam segala hal. The world is not enough.
Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk selalu mensyukuri apa yang telah kita miliki. Kita akan menemukan kebahagiaan sejati dengan mensyukuri apa yang telah kita miliki. Kita tidak akan pernah merasa kekurangan dengan apa yang tidak kita miliki. Sepatu telah mengajarkan saya untuk lebih menghargai apa yang telah saya miliki hingga saat ini.
Paninggilan, 5 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar