Liburan
ke pantai di akhir tahun ini mengingatkan saya pada Desember 2008. Ketika itu
saya menghadiri pernikahan seorang sahabat di Pangandaran. Sekalian liburan.
Kebetulan, akhir tahun selalu memasuki musim penghujan sehingga sangatlah sulit
untuk menemukan sunset. Plus, kondisi air laut yang tidak sebersih musim panas.
Ditambah lagi angin yang berhembus kencang dari arah samudra. Pokoknya serba
tidak ideal.
Malimbu High - Pelabuhan Bangsal
Kekhawatiran
itulah yang membuat kami sedikit waswas. Bila cuaca tidak bersahabat, angin
kencang, dan mendung, kami terancam tidak bisa menikmati keindahan pesona alam
Gili Trawangan. Perjalanan pun dimulai dengan menyusuri jalur pinggiran pantai
barat Lombok, dari Senggigi menuju Malimbu sebelum sampai di Pelabuhan
Penyeberangan Bangsal.
|
Pemandangan di sekitar Malimbu High |
Malimbu
adalah sebuah kelokan di jalan raya Senggigi menuju Bangsal. Entah mengapa dan
apa sebabnya kelokan Malimbu ini bisa menjadi daya tarik bagi setiap wisatawan
yang berkunjung kesana. Pemandangan sekitar lepas pantai Malimbu dan perbukitan
di sekitarnya memang terasa menenteramkan. Apalagi ketika cuaca tidak begitu
panas. Kami tidak lama berhenti disitu. Setelah memuaskan diri dengan usaha
eksistensial, kami melanjutkan perjalanan.
Setibanya
di Bangsal, kami dibuat sedikit heran. Mobil harus berhenti di tempat parkir
yang disediakan kira-kira 500 m sebelum Pelabuhan. Ada tanda dilarang masuk. Kami
harus sampai ke Pelabuhan dengan menaiki delman atau andong yang disini
dinamakan ‘cimodo’. Tiga andong sudah disiapkan untuk rombongan kami.
|
Cimodo, delman khas Lombok |
Ongkos
naik delman dari tempat parkir ke Pelabuhan sebesar Rp. 15.000,- untuk 4 orang
penumpang. Khusus penumpang wide-body (ukuran ekstra) saya sarankan untuk
membayar lebih karena dimensi kendaraan delman disini tidak sama dengan yang biasa
dijumpai di kota-kota besar seperti Bandung dan Yogyakarta. Ukuran dek
penumpang cenderung lebih kecil sehingga ruang kaki menjadi lebih sempit dari
biasanya. Selebihnya, tetap sama saja tidak ada perbedaan lain yang signifikan.
|
Rombongan Turis Bule |
Ketika
menunggu kapal di Pelabuhan, kami sempat berjumpa kembali dengan sepasang turis
bule yang duduk di row sebelah saya waktu di penerbangan kemarin. Rupanya,
mereka turis backpacker yang bersenjatakan panduan dari Lonely Planet dan
beberapa catatan yang (mungkin) telah mereka buat sebelum berangkat ke Lombok. Kami
tidak berangkat ke Gili Trawangan satu perahu dengan mereka karena kami sengaja
menyewa satu perahu khusus untuk mengangkut rombongan kami. Harga sewa perahu
adalah Rp. 10,000,- per penumpang dengan maksimal sekali pemberangkatan 25
orang. Aturannya, driver akan berlayar setiap penumpang sudah penuh terisi. Jadi,
kalau belum penuh 25 orang, kita diharuskan menunggu. Perubahan cuaca yang
kadang mendadak pun bisa menjadi halangan untuk menyeberang. Hal ini dengan
sigap diinformasikan oleh Petugas Adpel. Demi pencegahan kecelakaan dan
keselamatan pelayaran. Safety first!
|
Signage di Pelabuhan Bangsal |
Pelabuhan Bangsal - Gili Trawangan
Pengaturan
pemberangkatan kapal di Pelabuhan Bangsal dibuat sedemikian rupa mirip di
bandar udara. Artinya, perahu motor baru boleh diberangkatkan dan melepas
jangkar bila Administrator Pelabuhan telah mengeluarkan rilis yang bisa
didengarkan melalui speakerphone. Kami masih harus menunggu sekitar 20 menit
sebelum naik kapal. Kabar yang diterima dari Adpel, gelombang laut masih tinggi
disertai angin kencang sehingga membahayakan pelayaran (aduh bahasanya, berasa
naik Titanic). Pelabuhan Bangsal tidak hanya menyediakan transportasi dari Bangsal ke Gili saja tetapi juga ke Pelabuhan lainnya di Bali. Dari kejauhan, gugusan Tiga Gili: Trawangan, Menuk, Air; sudah
terlihat menggoda. Perlahan cuaca berangsur cerah. Matahari mulai nampak. Angin
berhembus pelan. Satu persatu perahu motor dirilis untuk meninggalkan
Pelabuhan.
|
Perahu motor di Pelabuhan Bangsal |
|
Dermaga Pelabuhan Bangsal, Lombok |
Tiba
giliran perahu motor kami yang full on board menuju Gili Trawangan. Kata Lalu
Zul, guide kami, pelayaran akan memakan waktu selama setengah jam. Saya menyangkal
estimasi dari Lalu Zul, “masa pulau di depan keliatan gitu nyampenya setengah
jam?” Perkiraan saya didasari perhitungan jalur darat. Lalu Zul hanya berpesan
supaya saya jangan dulu berkomentar dan rasakan dulu pengalamannya.
15
menit berlalu sementara perahu kami memimpin diantara 3 perahu motor lainnya
yang menuju Gili Trawangan. Kebosanan mulai melanda karena ekspektasi kami yang
salah, berharap segera merapat ke Gili Trawangan. Untungnya, beberapa kawan
mengambil inisiatif untuk berlagak seperti kapten pilot.
“Gili
Tower this is flight DSKU01 heading east bound to Gili Trawangan request
clearance to landing.”
“DSKU01
you are 1 mile away of Gili Trawangan runway, prepare to landing, landing gear
down, roger.”
“Tower,
landing gear down. Flaps up. Ready to
landing, approximate 5 minutes. Flight Attendants, landing position.”
Tak
pelak guyonan semacam itu cukup mengocok perut kami untuk sejenak melupakan
mabuk laut bagi yang sudah mulai ‘goyang’. Saya menghabiskan waktu dengan
mengambil gambar seputar pemandangan yang kelak jadi bukti bahwa saya pernah
kesana dan menyalakan dua batang rokok. Mesin perahu dimatikan, jangkar
dibuang. Perahu menepi. Kami pun turun menuju kafetaria yang akan menjadi ‘base
operation’ kami selama seharian berada di Gili Trawangan.
Gili Menuk - Gili Trawangan
|
Ready to dive! |
Usai
mengganti baju dan membawa perlengkapan seperlunya, kami naik perahu kembali. Perahu
motor kami dilengkapi dengan glass bottom surface. Artinya, bagian tengah
paling dalam dari perahu dibuat dari kaca fiber tebal yang berfungsi sebagai
sarana untuk menikmati keindahan biota alam bawah laut perairan sekitar
Bangsal-Gili. Terus terang, itu cukup menghibur buat kami-kami ini yang sudah
jarang berlibur ke pantai. Lalu Zul mengajak kami untuk snorkeling di sekitar
perairan Gili Menuk. Saya tanya driver perahu, mengapa harus disana. Jawabannya,
perairan sekitar Gili Menuk cukup dalam (sekitar 6 meter lebih) dengan
pemandangan yang InsyaAllah bikin puas. Hmm..rasanya cukup menantang. Walaupun saya
percaya diri dengan kemampuan renang yang seadanya, tantangan untuk snorkeling
di kedalaman yang lebih dari 5 meter tetap saja membuat deg-degan. Rasanya,
tidak lebih dari deg-degan menunggu jawaban ditolak atau diterima. #abaikan
|
The Man Who Can't Be Moved |
|
Putar haluan, kapten! |
|
Tidak
lama, kami sudah mengenakan peralatan standar snorkeling. Life vest, corong
udara, kacamata selam, dan tak lupa sepatu katak. Kesan pertama saya sebelum
take-off terjun ke laut lepas adalah air laut itu asin, dan itu cukup
mengganggu. Maklum, kebanyakan renang di Gelanggang Olahraga Sabuga Bandung
hehehe... Satu yang saya ingat seperti ketika untuk pertama kalinya terjun
bebas dari ketinggian 5 meter di Kolam Renang Sabuga adalah lebih baik nyebur di
kolam yang dalam daripada kolam yang lebih dangkal. Alasannya, hukum Archimides
berlaku. Gaya benda yang menekan permukaan air akan mendapatkan tekanan dengan
nilai gaya serupa. Kurang lebih begitu, CMIIW.
Benar
saja, rasanya memang lebih baik begitu. Saya bisa segera menyesuaikan diri,
mengatur gerak dan nafas. Bahkan sempat membantu seorang kawan yang ‘kaget’
ketika take-off ke laut. Kecuali, air asin yang kerap masuk ke jalur
kerongkongan sehingga terminum, selebihnya adalah suatu kenikmatan. Betapa saya
bersyukur dapat diberi kesempatan untuk menikmati jargon “The Beauty of
Indonesia’. Sungguh tiada terkira bahwa negeri kita ini memiliki ‘surga’kecil
disini.
Kami
tidak lama disitu. Selain karena arus mulai deras, di sekitar daerah laut itu
tidak ada pembatas area snorkeling dengan laut lepas. Sehingga cukup membahayakan
kami yang masih amatiran ini. Kami beringsut menuju Gili Trawangan kembali. Tak
jauh dari tepi pantai, terdapat perairan karang yang cukup dalam dan dengan
pemandangan yang tak kalah indahnya. Kami pun diperbolehkan untuk memberi makan
ikan disana. Dengan modal roti tawar yang banyak dijual di warung sekitar sana
kami bisa menarik perhatian ikan-ikan tropis berwarna-warni. Sungguh suatu
keindahan lainnya yang tiada tara. Ikan berwarna yang selama ini hanya saya
saksikan di National Geographic (kalau kebetulan sedang menginap di hotel :D )
kini berada di hadapan mata.
Setelah
menikmati semua keindahan biota karang itu, sempat terpikir beberapa hal. Kelak,
ikan-ikan yang mendiami wilayah itu akan merasakan ‘kejenuhan’ dan ‘kebosanan’
karena selalu diberi makan roti tawar oleh pengunjung. Gue aja bosen, apalagi
ikan..hahaha.. suatu saat, gen mereka akan bermutasi dan mengalami evolusi. Nantinya,
penerus keturunan spesies mereka selanjutnya bukan lagi ikan laut murni yang
hanya makan plankton dan hewan-hewan mikroskopis lainnya, tetapi berubah
menjadi ikan laut yang sebagian pemakan plankton/mikroskopis dan roti tawar. Entah
bagaimana menjelaskannya, tapi kalau anda pernah nonton Godzilla, mungkin anda
akan paham (atau tambah bingung :D ). Itu hanya pemikiran sempit belaka yang
datang dari sebuah pikiran yang berusaha untuk ingin melestarikan lingkungan
biota laut di sekitar perairan Gili Trawangan.
|
Tiga Duyung Mendarat |
Rupanya,
beberapa kelompok usaha atau pun kelompok pecinta lingkungan sudah melakukan
berbagai usaha untuk usaha pelestarian itu. Misal, ada sebuah perusahaan yang
ikut membantu usaha budidaya terumbu karang. Usaha mereka cukup bagus dari segi
branding dan positioning, serta relevansinya dengan program Community Social
Responsibility (CSR) mereka. Mereka cukup membuat kerangka besi tempat terumbu
karang akan menempel dan selanjutnya berkembangbiak tentu dengan tambahan label
perusahaan mereka. Suatu usaha sederhana yang sarat makna. Lainnya, di pinggir
pantai terdapat penangkaran penyu yang disponsori oleh satu perusahaan
penerbangan nasional/national flag carrier (untuk tidak menyebutnya maskapai
berkode GA :D).
|
Kolam Penangkaran Penyu, Gili Trawangan, Lombok. |
Hari
sudah siang. Saya mulai kepanasan. Tiga dari kami pun segera menepi. Segera
menuju kamar mandi tempat membilas. Waktu makan siang sudah tiba. Usai mandi,
kami berjalan menuju kafetaria ‘base operation’ semula. Rupanya, cukup jauh
dari tempat kami snorkeling, sekitar 1 km. Namun, karena itu pula saya dapat
merasakan denyut kehidupan di Gili Trawangan ini. Sepanjang jalan di tepian
pantai ini banyak kafe atau sekedar tempat makan. Saya tidak bisa
membandingkannya dengan Bali. Yang jelas, beragam menu disajikan. Beberapa
bahkan melengkapinya dengan ornamen-ornamen berbahasa internasional. Banyak
pula tempat yang menawarkan peralatan diving dan snorkeling. Jangan khawatir
kehabisan uang tunai, ada beberapa ATM yang saya jumpai disini, diantaranya
adalah Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Menurut Lalu Zul, setiap hari Senin, Rabu,
Jum’at, dan Malam Minggu beberapa kafe mengadakan party. Biasanya, kalau lagi
banyak wisatawan asing yang berkunjung kesana. Mau coba?
|
Coral Reef Restoration Center |
|
Beach Club, tempat jajan |
|
International Taste |
|
Come in, speak little-little Anglais! |
Sebagai
informasi, harga sewa satu set alat snorkeling berkisar Rp. 70,000,- dengan
denda mencapai Rp. 200.000,- bila salah satunya ada yang hilang tenggelam.
Sekedar saran, segera beritahukan guide/pemandu bila mengalami kejadian itu. Harga
sewa glass bottom boat dari Gili Trawangan ke lokasi snorkeling sekitar Rp. 50.000,-/penumpang,
maka usahakan sewa perahu beramai-ramai bila menghendaki tarif yang lebih
murah, harap dicatat juga bila anda seorang low cost traveler. Bila peserta
lebih dari 10 orang, perahu bisa disewa dengan harga grup/borongan Rp.
500.000,-.
Hutan Pusuk
Selesai
makan siang, kami melanjutkan agenda selanjutnya. Tercatat di itinerary adalah
Hutan Pusuk. Sebuah kelokan (lagi-lagi) di sepanjang Jalan Raya yang
menghubungan Bangsal dengan Ampenan dan Mataram, dimana terdapat spesies monyet
liar. Pengunjung bisa berhenti sejenak dan memberi mereka makan. Monkeyfeeding.
Suasana itu mengingatkan saya pada sebuah daerah di Sumatera Utara, di
sepanjang jalan raya menuju Danau Toba di Prapat. Hanya saja, waktu itu saya
tidak berhenti.
|
Kitorang so bersodara! |
|
Monkeyfeeding di Hutan Pusuk |
Pikiran
aneh itu datang lagi. Monyet liar yang dulunya hanya makan dari hasil hutan
yang ada di sekitar habitat mereka kini
sudah pandai menandai kendaraan yang berhenti dan mereka lantas bersiap
menunggu pengunjung yang akan melempar kacang ke arah mereka. Kecederungan seperti
ini bila terus dibiarkan akan mengganggu ekosistem dan ‘kodrat’ monyet di
sekitar Hutan Pusuk. Saya khawatir mereka akan selalu menunggu kedatangan
wisatawan yang sekedar ingin mencari sensasi dengan monkeyfeeding sehingga
mereka lupa akan kodrat mereka. Lagi-lagi, saya tidak bisa menghindari
datangnya pemikiran semacam tadi di Gili. Saya takut mereka menjadi makhluk
yang malas lalu menjarah ke pemukiman penduduk karena sudah terbiasa dengan
makanan manusia. Semoga saya salah.
Buah Tangan dari Lombok
Hari
merambat senja ketika kami tiba di sentra oleh-oleh. Kami membeli beberapa
penganan khas Lombok seperti dodol rumput laut, telur asin (dari telur bebek
liar), dan tak ketinggalan susu kuda liar. Perjalanan dilanjutkan menuju sentra
penjualan mutiara. Perlu dicatat, bahwa Lombok sudah terkenal sebagai pemasok
mutiara berkualitas baik. Pasar ekspornya sudah mencapai Jepang dan Eropa. Konon,
tambak mutiara disini dimiliki dan dikelola oleh seorang Jepang.
Dalam
setiap perjalanan menuju obyek wisata jangan heran bila pembaca menemukan
banyak penjual mutiara. Hati-hati dan jangan tergiur dengan harga murah yang
ditawarkan.
|
Dipilih, dipilih, dipilih, mutiaranya Kakak! |
Harga
mutiara air laut adalah yang paling mahal. Harga per gram yang berwarna putih
mulai sekitar Rp 250.000 dan yang berwarna coklat paling mahal sekitar Rp
350.000. Jadi satu butir mutiara warna coklat yang beratnya lima gram saja bisa seharga Rp 1.750.000. Mutiara laut dijual dengan harga per gram
hanya di toko-toko mutiara yang besar saja di seputaran kota Mataram. Harga
mutiara air laut per gram tergantung ukuran berat. Mulai Rp 250.000 sampai Rp 500.000 per gram
tergantung ukuran besar kecilnya.
Mutiara
yang bagus berwarna putih dan coklat adalah yang terlihat bening, mulus dan
cenderung berbentuk bulat. Ada juga yang bentuknya bulat dan terdapat
tonjolan-tonjolan kecil karena bentuk mutiara air laut alami tidak bisa
dibentuk di dalam kerang. Bila anda menghendaki mutiara dengan harga yang lebih
terjangkau, mutiara air tawar bisa jadi alternatif. Bentuknya sebagian besar
lonjong seperti telur burung merpati. Warna mutiara air tawar ada yang berwarna
pink dan putih.
Mutiara
air tawar yang sudah diikat di cincin, anting, dan kalung yang memakai lapisan perak hanya seharga Rp
10.000-Rp 20.000 per buah. Tetapi penjual mutiara yang mangkal di daerah wisata
di sana membuka harga dengan harga tiga kali lipat dari harga sebenarnya. Anda
harus berani menawar harga sepertiganya.
Kebetulan
kami mampir di sebuah toko yang khusus menjual mutiara. Dari luar, tidak nampak
bahwa rumah yang besar itu adalah sebuah toko. Namun, begitu masuk ke
pekarangannya segera nampak pemandangan layaknya sebuah toko perhiasan. Kata
Lalu Zul,hal inilah yang membedakan penjual mutiara. Lalu Zul berani menjamin
kualitas mutiara yang dijual di toko “Lipco” ini. Saya membeli sebuah gelang bermata
dan dua cincin mutiara dengan harga yang wajar. Saya sedikit tidak ambil pusing
dengan harga jual disitu karena kualitasnya memang terjaga. Kwalitet no.1,
menirukan iklan cetak sebuah produk racun tikus medio 1950-an. Yang terpenting,
mereka menerima pembayaran melalui kartu debit dan kartu kredit. So, bukan
pilihan yang terlalu salah to spend your money and makes it worth.
Satu
tujuan terakhir sebelum makan malam, yaitu sentra penjualan kaos oblong. Bila Yogyakarta
sudah lebih dulu eksis dengan Dagadu, lalu Bali dengan Joger-nya, maka Lombok
menawarkan Lombok Exotic. Memang betul harganya sangat ‘eksotis’. Mulai kisaran
Rp. 25.000,- hingga Rp. 80.000,- tergantung ukuran, bahan, dan model sablon. Saya
dibuat keheranan lagi, karena Exotic dengan bahan kaos yang sama namun hargaharga
jualnya jauh dibawah Dagadu dan Joger. Entah ini suatu trik bisnis atau
bagaimana, saya tidak mengerti.
Usai membeli beberapa potong kaos, saya sempat
merokok sebentar sambil duduk-duduk menunggu kawan-kawan selesai belanja.
Kebetulan, sang pemilik toko duduk di dekat saya. Dia bercerita bahwa harga
jual kaosnya memang tidak masuk akal. Memang tidak masuk akal. Lihat saja warna
sablon dan separasi yang mencapai 8 warna itu. Saya tidak percaya bahwa harga
kaos itu bisa begitu murah, ujar saya pada sang pemilik toko. Dia lalu
menjelaskan, bahwa itu memang strategi dari bisnisnya. Dia tidak mengambil
keuntungan yang banyak lazimnya pengusaha konveksi lainnya. Baginya, yang
terpenting adalah kontinuitas order yang disebabkan oleh kepuasan pelanggan. Saya
senang dengan gaya penjelasannya yang santai namun tetap berkali-kali
meyakinkan saya bahwa dia sangat menjamin kualitas kaos hasil produksinya. Sebuah
model bisnis yang patut ditiru.
Ayam Taliwang Lombok
|
RM Lesehan Taliwang Irama |
|
The Legendary Ayam Taliwan from Lombok |
Dari
Lombok Exotic, kami beranjak ke Rumah Makan Lesehan Taliwang Irama, yang
terletak di Jl. Ade Irma Suryani No. 10 Cakranegara Lombok. Sudah barang tentu
menu utama makan malam kami adalah Ayam Taliwang. Sengaja, Lalu Zul membawa
kami kesini. Konon, disinilah restoran Ayam Taliwang yang sudah turun temurun. Mengenai
rasa, saya tidak bisa berkomentar selain: istimewa, hauce ping ping ping!!! (a
la Benu Buloe).
Rasa
lelah akibat perjalanan seharian ini semakin menjadi dalam perjalanan kembali
ke hotel di Senggigi. Untung saja, kami para lelaki sempat beristirahat
sebentar dalam perjalanan menuju hotel sehingga masih punya cukup tenaga untuk
menikmati malam minggu di Senggigi.
Stones in
the Midnight
Tentu
saja, saya dan kawan-kawan tidak ingin melewatkan kesempatan bermalam minggu di
Senggigi. Bar dan kafe sepanjang jalan mulai menggeliat menjelang tengah malam. Terdengar alunan
musik pop dari kafe di seberang. Rupanya, anak-anak muda senang betul main kesitu. Jalan sedikit,
dentuman house music menghentak. Inilah surga bagi mereka para penikmat malam. Sayang,
kami datang seminggu lebih cepat dari jadwal manggung DJ Rahma Azhari di pub
sebelah hotel kami menginap.
|
Pusat Kerajinan Tangan di Senggigi |
Setelah
melihat-lihat sentra handicraft berjudul “Bayan Lombok”, saya berpisah dari
rombongan kawan-kawan. Mereka mau dipijat katanya. Sedang saya, ingin kembali
ke hotel, mau tidur. Capek betul rasanya. Ini kaki pegal sekali. Namun, seorang
kawan yang tadi saya ‘selamatkan’ waktu snorkeling tidak jadi dipijat. Mau ikut
saya, katanya. Baiklah, saya ingin menikmati live music malam ini. Bukan lagu
pop melayu yang lagi ngetrend. Kalau ada dangdut, bolehlah. Tapi, tak kunjung
kami temukan. Untung saja ada sebuah kafe tenda yang kalau didengar-dengar
sedang menggelar “Blues’s Night”. Saya coba mampir kesana bersama seorang kawan
ini. Dia juga penggemar musik dan Juventus. Sedangkan saya, senang musik dan AC
Milan.
Dugaan
saya tidak salah. Begitu saya datang, band yang sedang tampil itu langsung
menghentak dengan lagu Rolling Stones, “(I Can’t Get No) Satisfaction”.
Yeaah...this is LIFE!!! Sembari menyantap fried calamari roll, kepala kami pun
turun naik ikut irama lagu. I can’t get no.....
|
She Got the Moves Like Jagger! |
Saya
memang tidak salah pilih. Pengunjung lainnya, baik yang sudah datang sebelum
kami maupun datang sesudah kami ternyata bule semua. Mereka rupanya juga sama
menikmati sajian kafe ini. Tidak ketinggalan seorang pengunjung, umurnya
mungkin sudah 50 tahun lebih, tepat dipanggil nenek tampaknya, meminta band
membawakan lagu ‘Paint It Black’. Dengan penuh antusias meminta si nenek ikut
manggung bersama mereka.
|
Granny singing Paint It Black |
Granny rupanya penggemar Mick Jagger, sebentar mereka
bercengkerama di panggung. Yeah, Granny mulai menyanyi. Tampak sekali Granny
menikmati malam ini. Tidak ketinggalan juga saya, si kawan R ini, dan juga
pengunjung bule lainnya. Sengaja band membuat lagu ini lebih panjang dari
biasanya. Granny nampak puas dengan penampilannya. Kami semua memberi applaus
untuk band dan si Granny.
Sayang,
itu adalah pertunjukan terakhir malam ini. Kafe tidak lalu tutup, masih terus
buka. Tetapi, tentu saja akan berbeda bila tidak ada hiburan live music disitu.
Sedang, di tempat lain, irama melayu terdengar akrab mengalun, kata Franky
Sahilatua.
Kami
pun bergegas meninggalkan kafe dan kembali ke hotel sembari menunggu
kawan-kawan lain yang selesa dipijat. Mereka bilang enak cuma sayang terapisnya
kurang tahu cara memijit yang benar. Sementara mereka lanjut begadang sampai
pagi, saya segera pergi tidur. Biar dicap sebagai orang yang tidak menikmati
liburan, tidak masalah. Buat saya, esok masih ada tujuan. Saya tidak mau
kelelahan. Malam pun terasa panjang. And, life is very long.