Rabu, 09 Januari 2013

Melombok: The Travelogue (Eps. 1)

Ketika ditawari pilihan untuk tempat liburan akhir tahun oleh kawan-kawan di kantor, dengan semangat saya memilih opsi: Lombok. Pilihannya memang ada tiga. Pertama, Bali. Kedua, Belitong. Ketiga, undetermine. Artinya masih pilihan terbuka. Dengan demikian, usai memberi pilihan ke Lombok otomatis 12 dari 14 orang setuju untuk memilih Lombok sebagai destinasi wisata akhir tahun ini.

Ini juga mengingatkan saya pada seorang sahabat yang meminta pertimbangan tempat bulan madu empat tahun yang lalu. Tentu saja, dengan rasa penasaran yang sangat pada Gili Trawangan, saya memberinya jawaban supaya dia berbulan madu di Lombok saja. Benar saja, beberapa bulan kemudian dia sempat bercerita pengalamannya menyantap Ayam Taliwang khas Lombok di pinggir pantai Senggigi. What a feeling.

So, here’s my story. Feel free to read this-not-so-awesome note :)

Day 1 – Jum’at , 14 December 2012

Hari pertama perjalanan ini dimulai dengan penerbangan dari Jakarta (Soekarno-Hatta International Airport-CGK) menuju Bandar Udara Internasional Lombok Praya (LOP). Kami  mengambil flight Lion Air JT656 yang terbang pukul 09.05 WIB dan tiba di Lombok pada pukul 12.00 WITA. Ada banyak pilihan menuju Lombok. Bisa pilih Lion Air atau Garuda Indonesia yang punya jadwal sehari dua kali. Sedangkan, untuk Sriwijaya Air atau Batavia Air saya kurang tahu. Connecting flight tersedia dari Surabaya (Citilink Indonesia), Kupang (Merpati, Transnusa), Denpasar (Lion Air, Merpati, Transnusa, SKY Aviation). 


Setibanya di bandara tujuan, kebetulan Jum’atan baru saja dimulai. Kami para lelaki yang tidak ingin kehilangan kadar kegantengan gara-gara ketinggalan Jum’atan segera menuju Masjid yang terletak tidak jauh dari main gate airport kira-kira 200 meter.

Usai Jum’atan, gerimis masih saja turun. And this is most unexpected part. Seseorang menepuk bahu saya. Saya sadar orang ini tidak sedang mencoba menghipnotis. This is Lombok anyway. And guess who? Yes, it was an old buddy. Orang yang menepuk bahu saya tadi ternyata Kresna, teman sekelas waktu SMP.  Kabar terakhir yang saya terima, dia sudah jadi penerbang TNI-AU di base Halim. Sekarang, tiba-tiba saja saya bertemu lagi dengan dia disini. Katanya dia sempat ragu karena saya terlihat agak gemukan (memang dari dulu udah gemuk kaleee). 

Kami sempat bertukar cerita sebentar. Saya bertanya apakah dia termasuk aircrew/pilot yang menerbangkan Hercules C-130 AURI yang sedang parkir di apron bandara. Ternyata betul. Dia dan rekan satu skuadron sedang dalam misi penerbangan ke Lombok dan kebetulan singgah sebentar untuk Jum’atan. Maha besar Allah yang mempertemukan kami. It’s ridiculuos to see how things change but in your mind they stay the same.

Tak lama kemudian, Kresna pamit dan langsung menuju bis yang mengantarnya ke dalam bandara. Mesin pertama telah dinyalakan. Selanjutnya, mesin kedua, ketiga, dan keempat berurutan. Saya kira, tak lama lagi dia akan segera kembali ke base operation di Halim sana. Au revoir!

Somehow, pertemuan sekilas tadi membuat saya serasa tidak lagi berada di tempat jauh dan sepi memisahkan kita. Oh bukan, itu tadi lirik lagu Padi :)) . saya tentu merasa sangat senang bisa bertemu kembali dengan seorang sahabat lama di tempat yang jauh pula. Saya juga senang melihat pencapaiannya karena saya tahu memang tidak mudah untuk menjadi seorang penerbang tempur. Apalagi ketika Kresna bilang dia adalah pilot yang membawa Hercules C-130. Saya semakin yakin bahwa kita memang punya takdir masing-masing. That’s how life taught us.

Hercules C-130

Pantai Kuta

Next. Pada trip itinerary, setelah Jum’atan kami akan menuju Rumah Adat Suku Sasak di daerah Sade, Rambitan. Lalu, setelahnya baru akan ke Pantai Kuta/Tanjung Aan. Sekilas namanya sama dengan Pantai Kuta di Bali. Ya, memang sama. Entah kenapa orang Lombok menamai pantai di ujung selatan pulau ini sama seperti di Bali. Atas beberapa pertimbangan, maka kami memutuskan untuk pergi ke Pantai lebih dahulu. Kami memang penasaran soal pantai di Lombok ini. Sengaja Lalu (panggilan untuk kakak laki-laki di Lombok) Zul yang menjadi guide lokal kami mengajak ke pantai duluan. Cuaca mendung menyebabkan matahari enggan muncul sehingga keindahan pantai tidak nampak benar. Namun, deretan karang sepanjang pantai ditambah dengan hijaunya rerumputan sekitar pantai menambah kesan damai. Maklum, sudah lama saya tidak main ke pantai.

Di sekitar pantai, banyak pedagang yang menawarkan kelapa muda. Harganya murah. Kalau pandai menawar, bisa dapat sebutir kelapa muda dengan harga seribu rupiah saja. Tapi, pedagang disana sudah pandai membedakan wisman (wisatawan mancanegara) dan wisnu (wisawatawan nusantara). Sehingga, rasanya sulit untuk mendapatkan harga semurah itu. FYI, di sekitar Pantai Kuta ini juga banyak tersedia tempat penginapan. Kurang lebih, mengingatkan saya pada penginapan di sekitar pantai Pangandaran. Konon, pantai ini termasuk pantai favorit para bule untuk berselancar/surfing. Maka, jangan heran kalau bertemu dengan bule-bule yang kebanyakan menginap di sekitar pantai. Fasilitas transportasi dari pantai ini menuju kota banyak dilayani mobil charteran. Tarif bervariasi. Rata-rata setiap kios menawarkan harga yang relatif sama. Bahkan, mereka juga menyediakan fasilitas bagi wisatawan yang ingin menyeberang ke Bali lewat pelabuhan Bangsal. Selain itu, ada beberapa warnet disini plus banyak pula restoran yang menyediakan menu seafood. Standar lah.

Pemandangan Laut Selatan Pantai Kuta, Lombok.

Sisi barat Pantai Kuta, Lombok

Sisi Timur Pantai Kuta, Lombok


Rumah Adat Suku Sasak

Perjalanan menuju Rumah Adat Suku Sasak hanya sekitar 15 menit dari Pantai Kuta. 15 menit ini dengan asumsi jalanan lancar. Jangan dibandingkan dengan jalanan Jakarta atau Bandung .

Bagian depan komplek Rumah Adat Suku Sasak, Sade, Rambitan

Rumah Adat yang terletak di daerah Sade-Rambitan ini adalah salah satu dari beberapa perkampuangan adat yang tersisa di pulau Lombok. Ada beberapa lainnya. Rumah Adat Suku Sasak terbuat dari kayu yang ditutupi alas rumbia. Yang menjadikannya unik, rumah ini lantainya dipel dengan (maaf) kotoran kerbau setiap ada perayaan tertentu. Dalam tradisi masyarakat Lombok dikenal istilah ‘menculik’. Artinya, pemuda yang akan menikahi seorang gadis akan ‘menculik’ calonnya itu selama tiga hari untuk diperkenalkan kepada orang tuanya. Tentu dengan menjaga batas-batas kehormatan gadis itu tadi. Apabila direstui, maka datanglah rombongan keluarga si pemuda tadi untuk melamar gadis tersebut.

Tradisi itu masih berlaku di perkampungan adat ini. Maka tak heran, bila mayoritas penduduk dalam suatu area tertentu di perkampungan ini masih satu keluarga besar karena banyak diantara mereka yang kembali tinggal membangun rumah di sekitar area perkampungan. Dengan demikian, nilai-nilai dan kebiasaan tradisi masih terjaga.

Pemandu lokal di Rumah Adat Suku Sasak

Pengunjung juga bisa membeli berbagai kerajinan di komplek perumahan adat ini.
Disini, wisatawan akan dipandu oleh warga lokal. Sebelum masuk, ada sebuah meja pendaftaran yang dimaksudkan untuk mencatat asal usul identitas pengunjung. Bila berkenan, wisatawan dapat memberikan uang masuk sekadarnya pada kotak yang ada di meja itu tadi. Bila pengunjung sedang banyak dan juga sudah diatur oleh panitia lokal maka akan disuguhkan beberapa pertunjukan. Kebetulan, usai kami mengelilingi perkampungan, beberapa warga sedang menyuguhkan tradisi “Parase”. Sebuah pertunjukan dimana dua orang pemuda bertarung menggunakan tongkat dan tameng didampingi seorang yang berperan sebagai wasit dan juga diiringi gamelan tradisional Lombok.

Dahulu, tradisi ini dilangsungkan sebagai ajang pemilihan bagi pemuda yang hendak melamar seorang gadis. Bila datang dua orang pemuda yang menyukai seorang gadis yang sama maka pertarungan pun digelar. Bahkan, pertarungan ini bisa dilangsungkan hingga salah satu pemuda meninggal dalam pertarungan. Bagi kaum adat Sasak, mati dalam pertarungan itu lebih terhormat dari pada harus “menculik” dan kawin lari.

Parase, tarung a la Lombok

Banyak nilai-nilai kearifan lokal yang bisa diambil dari Suku Sasak. Utamanya, dalam membina dan mempertahankan keutuhan rumah tangga dan keluarga besar.


Kampung Tenun, Sukarara


Sukarara (dibaca: Sukarare) dikenal sebagai desa penghasil tenun ikat Lombok. Banyak pengrajin yang menghasilkan berbagai macam kain tenun ikat disini. Kali ini, kami singgah di Kampung Tenun. Tempat lokalisasi karya pengrajin lokal dipamerkan dan dijual. Kami dibuat terpesona. Pertama, oleh indahnya variasi tenun Lombok. Kedua, terpesona melihat harganya. Beginilah resiko jadi wisnu dengan modal pas-pasan. Hanya bisa menikmati keindahannya saja. Kadang, kita begitu bangga akan kekayaan dan keragaman budaya negeri kita. Namun, di sisi lain kita terkadang sulit untuk menghargai kekayaan dan keragaman budaya itu. Contohnya ya itu tadi, begitu tahu harga kain yang setengah gaji, nyali menciut secara otomatis.

Untuk wisatawan yang ingin mencoba menenun, disini ada dua mesin tenun tradisional yang bisa dicoba. Tadinya, saya ingin mencoba. Namun, segera dilarang oleh Lalu Zul dan penenun disana yang semuanya perempuan itu. Katanya, sebagai syarat, yang menenun haruslah seorang perempuan. Lalu, syarat yang kedua saya tidak menyimak dengan jelas, antara perempuan itu haruslah masih perawan atau sedang tidak berhalangan. Entahlah. CMIIW. Yang jelas, kawan-kawan perempuan kami mencoba menenun.



Kampung Gerabah, Banyumulek


Hari sudah sore menjelang maghrib ketika kami tiba di Banyumulek. Tidak jauh dari Sukarare, hanya 15 menit. Kami melewati suatu daerah bernama Kediri, lagi-lagi sama dengan nama kota kabupaten di Jawa Timur. Menurut Lalu Zul, di daerah Kediri (Lombok) banyak orang yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Mereka kebanyakan adalah santri-santri yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren di sekitar daerah ini. Maka tidak heran bila melintasi jalur ini di petang hari seakan berada di kota santri.

Saya yang keturunan Pare, sebuah kota kecamatan di selatan Kediri boleh ikut bangga karena tradisi nyantri di Kediri ternyata terbawa hingga ke Lombok. Ah, feels like home to me *nyanyi. Tiba-tiba lagu itu terngiang begitu saja. #curhat



Kami singgah di sentra penjualan gerabah. Disini banyak dijual bermacam-macam karya dari tanah liat. Mulai dari asbak hingga gentong air. Dari yang paling murah hingga yang paling mahal. Konon, gerabah produksi warga Banyumulek sudah kesohor hingga ke Jepang dan Australia. Bahkan, negara tetangga (baca: Bali) pun mengambil barang-barang sejenis dari Banyumulek. Maka, jangan heran bila bertemu banyak orang Lombok yang menjual gerabah disana.
 

Saya tidak begitu paham soal kualitas gerabah yang berbahan dasar tanah liat ini. Dengan melihat kisaran harga berbagai barang disini tentu sudah dapat dibayangkan kualitasnya. Apalagi, barang-barang kerajinan disini sudah terkenal hingga ke luar negeri. So, it’s worth your money.


Kebetulan, sentra kerajinan ini bersebalahan dengan sebuah GOR tempat warga bermain bulutangkis. Sehingga kami duduk sebentar di bale-bale dan memesan kopi. Tentu sajian kopi arabika khas Lombok yang spesial. Soal rasa, memang berbeda dari kopi Ulee Kareeng Aceh, kopi Kapal Api (ya iya laaahhh), kopi Padang, kopi Aroma Bandung, atau kopi Sidikalang yang duluan masuk ke mulut saya. Satu yang jadi perhatian saya adalah ampas kopi yang cepat turun mengendap usai disajikan. Apakah ini yang benar-benar menjadi pembeda kopi Lombok dengan kopi di daerah lainnya, wallahu’alam.


Hari pertama di Lombok ini berakhir di Banyumulek. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju hotel yang terletak di pinggir pantai Senggigi. Perjalanan menuju Senggigi dari Banyumulek ditempuh selama kurang lebih setengah jam. Melewati kota Mataram dan Ampenan. Hari sudah gelap ketika kami tiba di Senggigi sehingga kami belum bisa menikmati keindahan pantai.

Usai makan malam di restoran yang saya lupa namanya, kami pergi ke hotel dan beristirahat. Besok perjalanan masih berlanjut ke Gili Trawangan. Untuk mencari penginapan di sekitar pantai ini tidaklah sulit. Banyak hotel ataupun penginapan kecil. Pilihan harganya pun bervariasi. Tidak hanya itu, banyak juga pilihan tempat hiburan bagi yang senang clubbing hingga sekedar live music. Kelak, malam minggu nanti saya menemukan Mick Jagger disini.

Melombok - Episode 2 klik disini


Senggigi-Jakarta, Desember 2012-Januari 2013.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...