Rabu, 18 Februari 2009

Tentang Tuhan di Facebook

Pada suatu sore yang mendung di Kelapa Gading, ada satu SMS yang berkata:"Temui aku di dekat pintu masuk La Piazza, tepat 17.00". Siapa pengirimnya, aku tak tahu. Barangkali, seseorang yang memang kenal denganku dan kebetulan juga ia sedang kehabisan pulsa. Lagipula, aku tidak keberatan. Mungkin saja ada kejutan disana. Siapa tahu.

Aku berjalan kaki saja sepanjang jalan Boulevard Barat. Sore ini, tidak seperti biasanya. Dealer mobil banyak yang tutup. Jalanan lengang. Memang tidak seperti biasanya. Sore itu nampak mendung masih menutupi kawasan sekitar Kelapa Gading. Aku terus berjalan dalam sore yang semakin mendung.

Dari kejauhan aku melihat seseorang yang sedang bermain gitar tidak jauh dari La Piazza. Sepertinya seseorang yang sudah aku kenal. Semakin dekat, semakin jelas bahwa ia bukanlah orang biasa. Tuhan sedang turun ke bumi dan menjelma menjadi seseorang. Untuk apa ia datang lagi? Pasti ada sesuatu yang membuatnya gundah diatas sana sehingga ia mesti turun sampai ke bumi. Pasti ada sesuatu yang penting sekali sehingga ia tidak butuh malaikat untuk menyampaikannya.

Ia hanya duduk saja di halaman depan toko yang sudah tutup. Ia tahu aku datang. Ia langsung menyodorkan secarik kertas. Semacam tulisan. Aku baca catatan di kertas itu:

Emha Ainun Nadjib tentang Tuhan
Dikutip dari buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki”, Penerbit Buku Kompas, 2007

Hal 57:
Negara punya kekuasaan hampir mutlak atas anda, sementara Tuhan tak punya negara. Tuhan tidak diperkenankan oleh hamba-hambaNya untuk secara formal mengatur kehidupan manusia. Tuhan dilarang menerapkan nilai dan hukumNya pada system nilai negara. Tuhan dicekal Memanifestasikan aspirasiNya ke dalam pasal-pasal hukum formal negara.
Kalau peraturan negara dilanggar, pelanggarnya dihukum. Kalu peraturan Tuhan dilanggar, secara resmi manusia dilarang menghukum pelanggarnya.

Hal 59:
Kita boleh pakai peci, meskipun sehari-hari kita nyopet. Kita boleh pakai surban, meskipun kita penjahat. Kita boleh menyelempangkan sajadah di badan, meski kita koruptor besar.

Belum aku selesai membaca, sayup-sayup aku mendengar Tuhan bernyanyi. "....dan anehnya, banyak penggemarnya...*)".

Setelah selesai membaca, aku duduk disampingnya dan bersandar. Apakah karena tulisan dari penulis yang bermukim di Kadipiro, Yogyakarta itu Tuhan jadi tersinggung?. Aku tidak tahu pasti. Tuhan hanya berkata pelan," Silakan liat sendiri di Facebookmu, lihat mereka yang mengaku-ngaku menjadi Fans padaku, dan bandingkan dengan tulisan itu".

Apa karena Tuhan benar-benar tidak punya kuasa untuk manusia ciptaanNya? Manusia yang Tuhan ciptakan untuk membangun negara ini. Negara yang pada masa pemindahan kekuasaan dari birokrasi Pemerintah Hindia Belanda ke tangan birokrasi baru Negara Indonesia yang mayoritas lulusan SMA?**)

Kasihan Tuhan. Sudah tidak punya negara tapi malah banyak juga manusia yang mengaku-ngaku menjadi penggemarnya. Mirip dengan manusia Fansnya Mick Jagger. Kita mengaku seperti itu cuma supaya jadi identitas kalau kita ini orang Islam. Kita mengaku hanya karena ingin supaya dilihat "baik" dan "alim" oleh orang lain disekitar kita. Kita mengaku hanya karena kepalsuan belaka. Dan hebatnya, ada manusia yang menjadikannya objek. Tidak hanya Tuhan saja, tetapi juga Muhammad SAW, Ka'bah, bahkan Al-Qur'an sekalipun.

Kita boleh mengaku jadi Fans Allah SWT, walaupun ternyata kita sendiri tidak pernah tahu seberapa dekat Allah SWT dengan hambaNya. Kita boleh mengaku menjadi Fans Nabi Muhammad SAW, padahal kita tidak pernah bershalawat dan melaksanakan segala sunahnya. Kita boleh mengaku menjadi Fans Al-Qur'an padahal tidak ada satupun dari ayatnya yang kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tuhan masih saja bersenandung ketika aku menoleh padanya. Aku pandangi kertas itu sekali lagi. Dan ketika aku menoleh lagi padanya, Tuhan telah tiada. Tuhan sudah pergi, entah kemana. Barangkali, sudah selesai urusannya.


Pegangsaan Dua, 18 Februari 2009, 10.49


*) dari potongan lirik lagu Penyanyi Tua oleh Koes Plus
**) bisa ditemukan dalam pengantar Bab I, dalam buku "Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air" oleh Iwan Simatupang, Penerbit Buku Kompas, 2004.

Kamis, 05 Februari 2009

Bayangan Sepanjang Perjalanan

Kemanapun aku pergi
Bayang bayangmu mengejar
Bersembunyi dimanapun
S'lalu engkau temukan
Aku merasa letih dan ingin sendiri *)

Aku ingat pada senyuman itu. Dengan wajah berseri dan selalu bersuara "Selamat pagi...". Ia duduk disitu dekat jendela. Ia ditemani dua murid kecilnya yang sudah menunggu. Aku ingat semuanya. Aku perlahan tersenyum sendirian. Sialan. Memori itu masih ada dibenakku.

Aku kini sedang berada dalam bis malam yang akan membawaku ke Surabaya. Malam mulai meninggi. Jalanan sudah sepi. Hanya keremangan malam yang menemaniku. Aku lihat tidak banyak penumpang yang masih terjaga. Kecuali aku dan seseorang di dekat toilet. Kondektur dan sopir pun seakan khusyuk sekali memandang jalanan di depan.

Sepanjang perjalanan aku hanya bisa tertegun bila mengingatnya. Entah darimana datangnya. Bayangan tentangnya masih saja menemuiku. Raungan mesin diesel Hino masih memecah kebisuan di sepanjang jalanan yang masih juga sepi. Aku masih melamun. Aku hanya memandangi jendela saja.

***

Kepergianku ke Surabaya bukan untuk sekedar perjalanan dinas atau kunjungan biasa. Aku telah memutuskan untuk pindah ke Surabaya. Aku terima tawaran dari sebuah sekolah disana. Sekolah yang levelnya diatas sekolahku yang lama.

Beginilah keadaannya. Aku tidak pernah merasa berat hati untuk meninggalkan apapun yang telah kulalui. Bahkan dirinya sekalipun. Aku tidak pernah merasa menyesal atas apapun. Sejenak masih melamun. Bayangannya datang lagi ketika aku mengingat kembali senyumannya. Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan? Aku memanggilnya kembali. Begitu lekatnya hingga tak ingin pergi.

Dia bukan apa-apa. Maksudku, dia hanya seorang guru, dan hanya itu saja. Kita dipertemukan oleh takdir yang sudah seharusnya terjadi. Aku mengenalnya karena sering bertemu saja. Lainnya, tidak ada. Tapi mengapa saat ini seakan aku merasa dekat sekali dengannya. Aku bisa rasakan hembusan nafasnya dibelakang tengkuk leher ini. Hmm, aku jadi merinding.

Aku merasa ia sedang duduk di sebelahku. Sama-sama memandang sayu pada jendela yang bertuliskan Jakarta-Surabaya via Kediri. Aku merasa ia disana dan sedang memegangi tanganku dengan dingin yang mengalir dari sela jari-jarinya.

Aku segera tersadar bahwa aku hanya tertidur sesaat. Itu pun kalau bukan karena klakson bis malam yang berpapasan. Aku menghela nafas panjang. Aku lihat disekelilingku hanya aku saja yang masih terjaga. Aku ingin terus terjaga.

***

Lewat dini hari aku tidak tahu sudah sampai mana. Yang pasti bis akan memasuki kota Madiun. Semuanya masih gelap. Hanya keremangan lampu jalanan saja yang menemani. Aku masih menatap jendela. Aku merasa sangat lelah. Tekanan darahku yang diatas normal agaknya mempengaruhi keadaan fisik sekarang ini. Aku tidak tahu perkara pastinya. Apa karena Soto Ambengan kemarin malam, atau karena Gulai Sapi kemarin siangnya. Ah, aku tidak ingin memikirkannya.

Aku hanya ingin meninggalkan semuanya. Aku tidak pernah merasa memiliki cinta pada apa pun sehingga aku bebas melakukan apa saja. Aku tahu ada seseorang yang memperhatikanku dan akhirnya memilih untuk mencintaiku. Aku tahu dia tidak akan pernah rela atas kepergianku ini. Tapi, apa kuasa dia untuk hidupku yang sudah memang seperti ini? Tidak ada.

Dia telah menjelma menjadi sebuah buku yang bisa dibaca kapanpun aku menginginkannya. Dia adalah buku itu yang hanya dibaca saat weekend. Tentunya, dia menghasilkan sebuah perasaan yang menyenangkan dan menenangkan. Tetapi rupanya dia ingin lebih dari itu. Dia inginkan sesuatu yang bernama komitmen. Komitmen. Sekali lagi komitmen.

Tahu apa dia tentang komitmen? Memikirkan untuk memiliki "komitmen" buatku tak lebih dari memilih buku di rak pajangan toko buku. Dilihat, dibaca sebentar, lalu ambil kalau berkenan dan letakkan kembali di rak bila memang tak ingin. Aku tidak ingin berkata, "Ya, aku akan berkomitmen denganmu mulai saat ini...bla bla bla dan seterusnya." Aku tidak mengerti kenapa ia selalu menginginkan yang lebih. Tapi bukankah manusia memang seperti itu?

Perlahan bayangan tentangnya muncul kembali. Bagai hujan di musim badai seperti ini yang tak pernah berucap kapan waktunya tiba. Dia dan dia. Bagus. Apa lagi ini? Sementara perjalanan masih lumayan jauh, aku hanya berkutat dengan dia dan bayangan dia. Siapakah dia dan dia yang tidak pernah mau pergi ini. Untuk apa mereka ada saat ini? Aku sedang tidak melarikan diri dari mereka tapi kenapa seakan dia dan dia tidak rela untuk ditinggalkan.

***

Aku bersandar pada jok. Mengambil nafas panjang dan keluarkan perlahan sambil memejamkan mata. Aku merasa lebih tenang sekarang. Aku merasa sendirian. Sendirian saja di dalam bis malam yang penumpangnya penuh. Aku hanya melihat titik-titik berwarna putih. Perlahan semakin banyak dan menutupiku.


Pegangsaan Dua, 5 Februari 2009, 11.47


*) dari lirik lagu Aku Ingin Pulang, Ebiet G. Ade

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...