Rabu, 19 November 2008

Serpihan Perpisahan

Pada hari yang hujannya enggan reda. Dimana matahari pun entah berada. Pada langit yang gelap. Diatas bumi yang basah. Lelaki itu masih berjalan dengan sandal gunungnya. Lelaki itu tidak sedang mendaki gunung. Tetapi ia sedang mendaki hidupnya sendiri yang kelak akan dijalaninya jauh dari pelukan Ibunda tercinta. Hujan yang tak henti-hentinya tidak menyurutkan langkahnya. Ciuman dan peluk hangat Ibunda dan Ayah sudah didapatnya mungkin untuk yang terakhir kalinya. Ia masih terus berjalan. Kilat menyambar.

Tiket kereta sore telah dipesannya. Ia masih terus berjalan. Tidak sekalipun menoleh ke belakang. Itu bukan sifatnya. Ia tidak pernah menatap ke belakang dalam setiap situasi perpisahan. Ia juga tahu hatinya masih tertinggal disana, tetapi ia juga sadar bahwa ada mimpi yang harus diburu. Memburu mimpi, menangkap mimpi yang masih berserakan. Masih hujan tak mau reda. Perpisahan kali ini tidak diiringi tatapan kerinduan dan penyesalan. Ia relakan semuanya. Ia harus kuat untuk tidak menangis. Setidaknya, kalaupun perlu, menangis saja sekencang-kencangnya dalam hati. Tak perlu ada air mata. Tak perlu lagi ada cinta.

Batin menangis, hati pasrah...*)

Ia kuatkan hatinya untuk menaiki gerbong kereta. Disusurinya satu persatu hingga akhirnya ia temukan tempat duduknya di sebelah jendela. Jendelan yang mengingatkannya kala Ibunda dan Ayah melepasnya 600 Km lebih ke arah timur. Perlahan kereta mulai meninggalkan stasiun. Teriakan klakson kereta menjadi pertanda bahwa ia telah pergi dari kota ini. Entah sampai kapan. Ia juga masih belum tahu. Perlukah untuk kembali atau tidak sama sekali. Tidakkah rindu ia akan tumis capcay buatan Ibunda? Atau teriakan Ayah yang membangunkan untuk shalat Subuh? Tidakkah rindu ia akan suara penyiar pujaan di senin malam yang diiringi alunan musik Jazz?

Biarlah ia pendam semua itu hingga akhirnya ia kembali. Terlalu banyak hal yang berarti. Namun, terlalu banyak juga yang akhirnya tidak perlu kita pahami dan coba mengerti sama sekali. Tidak, sama sekali tidak.


*) dari lirik lagu "Burung Dalam Sangkar"


Pegangsaan Dua, 19 November 2008, 17.47

Senin, 10 November 2008

Catatan Hari Pahlawan

Selamat Sore Aninda. Apa kabarmu disana? Masihkah langit mendung nan basah memayungi kotamu? Disini mendung sekali, Aninda. Anginnya pun kencang sekali. Oh ya, aku hampir lupa memberi kabar padamu bahwa seperti surat yang kemarin aku sekarang benar-benar pergi meninggalkan kotamu.

Sengaja aku tidak kirim SMS atau sekedar telepon cuma untuk mengharapkan engkau akan melepas kepergianku di Stasiun Kereta. Bukan itu maksudku Aninda. Kau pun tahu, aku sudah tidak sanggup lagi untuk menangis kala datangnya perpisahan. Sehingga percuma saja air matamu itu yang mengiringi kepergianku menuju Tanah Harapan.

Aku buat catatan ini pada suatu hari yang disebut dengan Hari Pahlawan. Hari dimana Surabaya menjadi ladang pertempuran dalam mempertahankan serangan dari Wong Londo si Penjajah Keparat itu. Namun, untuk saat ini rasanya kita telah kehilangan semangat juang itu, Aninda.

Coba saja lihat, berapa banyak dari kita yang mengikuti anjuran Presiden SBY untuk mengheningkan cipta tepat pada pukul 08.15 pagi tadi? Berapa banyak? Kalaupun ada, mungkin hanya sekumpulan anak SD-SMP-SMA yang merasa terpaksa mengikuti upacara pagi. Atau mungkin para Abdi Negara yang sama terpaksanya dengan mereka untuk sekedar memberi hormat pada Merah Putih.

Begitupun aku. Aku tidak bersama mereka. Entah sedang apa aku tadi. Yang pasti aku masih teringat kalau hari ini hari Pahlawan. Kau sendiri, sedang apa tadi, Aninda? Apakah masih sibuk dengan urusan Morning Meeting yang selalu penuh dengan omong kosong dan basa-basi sialan? Atau, cuma sekedar memperbaiki rambutmu yang tersibak angin lantaran kemarin sudah masuk salon?

Angin berhembus kencang sekali disini. Nampaknya aku harus segera pulang. Aku tidak ingin tersapu dan terseret angin yang lebih kencang.


Peluk Rindu,


Pegangsaan Dua, 10 November 2008, 16.32

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...