Sabtu, 23 Maret 2013

Menjombang: Sebuah Napak Tilas (3-tamat)

Postingan sebelumnya:

Day 2: Destination Jombang

Senin – 11 Februari 2013

Makam Eyang Ti, Tulungrejo, Pare.

Pagi tiba begitu lambat. Saya tahu itu dari derap langkah anak-anak sekolah yang berderap pelan. Sepintas, pemandangan pelajar bersepeda menghiasi pagi di Tulungrejo. Alangkah indahnya hidup pagi ini. Belum genap pukul tujuh pagi. Masih ada waktu untuk segelas kopi sebatang rokok.




Lambat pagi mengalun, pun mentari yang nampak masih enggan muncul di ufuk timur. Jelang siang nanti, kami, saya dan Pak De, akan mengawali rangkaian ziarah makam leluhur ini. pagi diisi dengan sarapan nasi pecel khas kota Pare. Mirip nasi pecel Madiun. Penampakannya masih sama dengan ingatan terakhir saya ketika Eyang Ti masih ada dan selalu menyuguhkan nasi pecel untuk sarapan kami. Ada suatu nostalgia merambat dalam rasa.

Pukul 10.00, langit mulai cerah dan berawan. Saat yang tepat untuk memulai perjalanan. Setelah packing untuk bersiap melawat ke makam dan kembali ke Surabaya, kami berangkat menuju perhentian pertama hari ini: Makam Eyang Ti. Letaknya tidak jauh dari rumah Pak De, hanya 10 menit berjalan kaki ke arah timur, melewati gang kecil yang hanya muat selebar satu mobil saja. Ini hari senin dan kehidupan berjalan sangat lambat disini. Itulah kesan yang saya dapat sepanjang perjalanan menuju Makam Eyang Ti.


Kami pun tiba di makam. Saya mendapat kesan bahwa pekuburan disini tidak menimbulkan kesan horor atau menakutkan. Entah karena pemakaman ini berada di tengah-tengah pemukiman penduduk atau memang penduduk yang sudah biasa dengan kenyataan demikian. Pemakaman itu hanya sebuah tanah bidang persegi empat dengan sebuah gapura di bagian pintu masuk. Saya tercengang. Banyak makam disini menyatu begitu saja dengan tanah. Hanya ditandai dengan sebuah atau dua buah nisan penanda yang terbuat dari kayu. Banyak diantaranya sudah luntur. Saya pun khawatir itu terjadi pada makam Eyang Ti.

Untung saja, Pak De hafal lokasi makam Eyang. Usai melewati gapura, Pak De berhenti sebentar, mengelilingkan pandangannya, lalu menuntun saya menuju makam Eyang.




Makam itu hanyalah sebuah tanah biasa yang menyatu dengan sebidang tanah lainnya. Seperti sudah saya ceritakan sebelumnya, Makam Eyang tidak terlihat seperti kuburan pada umumnya. Bentuknya bukan gunungan atau gundukan, melainkan datar saja. Dengan nisan terbuat dari tembok yang mulai lusuh dan luntur. Hanya sebuah papan nama terbuat dari seng yang menjadi penanda. Sebuah papan kecil bertulis: Hj. Muslichah.

Saya menghentikan diri sejenak. Mencoba melepaskan semuanya. Saya telah mencapai tujuan pertama saya. Makam Eyang Ti yang pertama kalinya saya kunjungi sejak beliau wafat tahun 2000 lalu. Saya tertegun dan hampir saja menangis. Perasaan melankolis yang entah darimana datangnya telah mengguncang segenap jiwa dan perasaan. Lama saya jongkok memperhatikan makam yang mulai kusam ini, sementara Pak De mulai bersiap untuk bertakziah.

Hari belum begitu siang tapi masih berawan. Cicit burung masih terdengar santai. Dibawah langit Pare kami membaca doa. Pak De memimpin doa. Berbagai doa dan pujian kami baca. Tak lupa, surat Yasin pun ikut dibacakan. Kami tentu berdoa semoga doa kami didengar dan diterima Allah SWT, semoga beliau diberikan ketenangan di alam kuburnya. Kelak, bila waktu telah tiba kami akan dipertemukan kembali. Sambil membaca Yasin, air mata saya mengucur lagi sedikit demi sedikit. Perasaan melankolis itu menguasai kembali. Saya jadi teringat saat-saat liburan di Pare, waktu Eyang masih ada.

Usai berdoa dan membaca surat Yasin, Pak De menunjukkan makam lainnya. Makam Mbah Abdul Manan, ayahanda dari Eyang Ti, yang juga dimakamkan disitu. Kami hanya mengunjunginya sebentar sambil membacakan Al Fatihah, lalu bersiap melanjutkan perjalanan. Sebelum itu, Pak De menyempatkan diri untuk mampir ke makam istrinya yang pertama dan kedua. Kedua istri Pak De itu dimakamkan bersebelahan. Bentuknya serupa dengan makam Eyang. Tidak ada komentar apa-apa dari Pak De, beliau hanya memberi isyarat untuk terus melanjutkan perjalanan. Barangkali Pak De tidak mau ada romantisme nan melankolik disitu.

Makam Eyang Kung, Peterongan, Jombang

Letak makam Eyang Ti tidak jauh dari jalan raya tempat kami menunggu angkutan antar kota yang menuju Jombang. Tak lama menunggu, mobil angkutan datang dan kami segera naik menyusuri jalan raya Pare-Jombang. Melewati Mojowarno dan Mojoagung.

Sepanjang perjalanan, saya menemui kehidupan masyarakat pedesaan yang tetap menggeliat walau terus didera berbagai ketidakpastian. Kehidupan terlihat berjalan normal. Sudah lama saya tidak mengamati hal yang demikian. Sebelum masuk kota Jombang, kami harus melewati daerah Tebuireng, dimana terdapat pesantren legendaris, Pondok Pesantren Tebuireng dan sebuah pabrik gula. Mungkin itu sebabnya daerah ini dinamakan Tebuireng.

Pondok Pesantre Tebuireng itu sendiri bukannya tanpa cerita. Seorang Gus Dur pernah belajar di tempat ini. Begitu pun Kakeknya, Hasyim Ashari, dan ayahnya, Wahid Hasyim, turut dimakamkan disini. Lihat saja penanda makam kedua tokoh perjuangan kemerdekaan itu yang dipasang di halaman Pondok Pesantren. Sayang, saya hanya sempat melintasi saja. Seakan sudah mengerti, supir pun ikut memperlambat laju kendaraan. Membiarkan saya menikmati Tebuireng.

Masuk ke Kota Jombang, kami melewati Stasiun Jombang. Stasiun ini juga bukan tanpa cerita. Stasiun ini selalu jadi perhentian kami sekeluarga bila mengunjungi Pare. Kereta Api Mutiara Selatan selalu tiba pagi hari disini sebelum melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Mobil yang kami tumpangi sempat berhenti sebentar di depan stasiun. Banyak penumpang yang turun disini dan juga ada yang naik menuju Terminal Jombang. Lama tak jumpa, sudah banyak yang berubah. Tak ada lagi yang benar-benar sama. Stasiun Jombang tetap punya cerita. Tempat ribuan butir air mata tidak lagi menemukan persembunyiannya.

Stasiun Jombang

Kami tiba di Jombang pukul 11.15, ketika itu hari mulai terik. Mobil yang berhenti di Terminal Jombang ini kami sewa untuk mengantarkan kami sampai ke Makam Eyang Kung di Peterongan. Sang supir pun setuju. Saya yang duduk di depan mengamati semua jalan yang dilalui. Saya ingin menangkap sebanyak-banyaknya memori tentang jalur menuju makam Eyang. Rasanya tidak jauh dari Terminal. Masuk sebuah jalan kecil dimana terdapat sebuah masjid. Kami pun segera turun usai membayar sewa.

Sebuah dusun yang sunyi. Itu kesan pertama saya. Walaupun terdapat sebuah sekolah SD namun kehidupan disini rasanya terlalu sunyi. Tidak banyak warga yang beraktivitas. Mungkin karena sebagian besar penduduk disini sudah berusia lanjut. Rumah-rumah dengan halaman yang besar menjadi pemandangan lazim sampai ke makam.


Kami tiba di sebuah masjid. Masjid Baitur Rohim namanya. Masjid yang selalu jadi penanda bagi siapapun yang akan berkunjung ke makam Eyang. Sewaktu Eyang Kung wafat terdapat beberapa pertentangan kecil. Antara keluarga yang menginginkan Eyang dimakamkan berdekatan dengan tempat tinggalnya di Pare, dan keinginan jamaah pengajian di Jombang yang ingin menguburkan Eyang di makam para pemimpin jamaah di Peterongan ini. Entah bagaimana sampai jadinya Eyang dimakamkan disini, saya rasa inilah hal selanjutnya yang perlu saya tahu. Namun, bukan untuk saat ini.

Tepat di sebelah Masjid, terdapat sebuah bangunan berwarna kuning cerah dengan jendela yang terbuat dari kawat. Seorang penduduk disana menyambut kami. Kami pun mengucapkan salam dan mengutarakan niat kedatangan kami. Setelah itu, kami masuk ke dalam bangunan makam.


Seingat saya, makam Eyang Kung dulu tidak seperti ini. Sudah dibuat bangunan semacam rumah seperti sekarang. Saya hanya ingat makam Eyang Kung ada dibawah sebuah bangunan yang lebih mirip saung namun sudah diberi genteng. Saya bersyukur bahwa makam Eyang sudah tidak seperti dulu lagi. Artinya, dengan perlakuan semacam ini, semoga menjadi jalan kebaikan bagi siapapun yang turut andil dalam membuatkan makam yang layak bagi Eyang Kung dan penghuni makam lainnya.




Saya mengamati daerah pemakaman ini sejenak. Hanya suara angin mendesir pelan dalam siang yang panas dan suara kambing yang mengembik di kandang yang letaknya tidak jauh dari makam. Saya perhatikan juga makam lainnya yang berada satu komplek dengan makam Eyang. Ada 10 makam lainnya disini. Tampak juga ada bunga-bunga tabur yang masih terlihat berwarna. Barangkali, ada peziarah lain yang berdoa disini sebelum saya datang.


Sejenak saya melamun. Saya telah sampai pada tujuan akhir pencarian saya. Pada sebuah ujung pencarian. Saya tidak kuasa menahan air mata ini lagi. Saya terus meyakinkan diri saya bahwa saya telah berada di makam Eyang Kung. Berada di sebuah tempat menuntun saya kembali kesini. Saya bersiap untuk berdoa. Pak De kembali membuka buku doanya dan memimpin doa. Kami pun membaca surat Yasin lagi. Tidak kurang, tiga kali kami membaca surat Yasin. Saya tidak pernah merasakan pengalaman seperti ini sebelumnya. Rasanya, doa yang dibacakan Pak De pun lebih panjang disini. Mata saya kembali dibasahi butiran air mata seraya terus membaca surat Yasin. Usai Pak De mengisyaratkan selesai, saya berkeliling lagi. Pak De meninggalkan saya sendirian di dalam bangunan ini. saya mencoba untuk lebih merasakan makam ini.

Saya tidak bisa berhenti memandangi makam Eyang Kung. Pengalaman mimpi di bulan Maret 2012 itu terus berlarian. Mimpi yang membawa saya untuk duduk bersimpuh disini. Saya masih merasakan hangatnya air mata di pipi ini. Saya harus menguasai diri saya kembali. Saya akan kembali lagi kesini, menjenguk Eyang, membacakan doa untuknya, sebagai bakti seorang cucu. Suatu hari nanti.

Adzan dzuhur berkumandang. Saya segera mengambil wudhu. Siang ini saya harus kembali ke Surabaya. Saya masih harus kembali ke Surabaya untuk menemui Pak De dan Bu De yang sudah menunggu disana. Kalaupun sempat, saya akan mampir juga ke rumah Eyang di Tanjung Perak.
Pak De Wid, tidak banyak bicara usai ziarah ini. Pak De mengucapkan banyak terima kasih kepada saya yang masih mau “kembali” menjenguk dan menengok orang tua disini. Saya pun berterima kasih karena Pak De mau meluangkan waktu untuk mengantar saya ke makam Eyang Kung. Ibarat lirik lagu Padi, “pencarianku pun usai sudah...”

Naar Surabaya

Hari masih panas ketika saya meninggalkan makam Eyang. Kami menyusuri Jalan Raya Jombang-Mojokerto sampai dekat pasar untuk mencari tempat makan. Kebetulan, di seberang pasar ada warung makan. Menu favorit disitu pecel lele. Menu khas Jawa Timuran. Pecel lele yang disajikan cukup unik. Ada empat lele berukuran kecil sebesar jari telunjuk saya. Ditambah dengan sambal terasi yang melimpah. Karena memang sudah lapar, kami makan sangat lahap. Walau saya masih menyimpan tanya mengapa ukuran ikan lele disini tidak mainstream.

Usai makam, saya tidak kuasa untuk menahan jalan takdir. Saya harus berpisah dengan Pak De. Saya akan terus ke Surabaya, sementara Pak De kembali ke Pare. Bis antar kota yang menuju Surabaya alu lalang di jalan raya ini. jadi, saya tidak perlu khawatir tidak kebagian angkutan.

Saya memeluk Pak De dan mencium tangannya. Sebuah perpisahan mesti terjadi untuk sebuah pertemuan kembali. Saya menyeberangi jalan lalu menyetop bis. Pak De terlihat semakin menjauh.
Perjalanan ke Surabaya ditempuh sekitar satu setengah jam dengan bis. Saya menaiki bis antar kota jurusan Yogyakarta-Surabaya yang sudah terkenal di jalur ini, Sumber Kencono. Akhirnya, satu cita-cita berhasil saya raih lagi. Saya berhasil naik bis Sumber Kencono. Tapi, berhubung tahun kemarin Sumber Kencono sering mengalami kecelakaan maka label nama bis diganti dengan ‘Sumber Selamat’. Livery bis sudah menggunakan label baru ini. Namun, pada lembaran tiket masih ditemukan nama Sumber Kencono. Ongkos dari Jombang ke Surabaya hanya Rp. 8.000,-.

Menjelang waktu Ashar, bis masuk Terminal Bungurasih. Saya masih harus naik bis kota untuk masuk ke kota Surabaya. Saya naik bis kota nomor 9 tujuan Jembatan Merah. Sebenarnya, tujuan saya adalah Terminal Joyoboyo karena harus naik angkot dari situ menuju rumah Bu De di Jalan Manyar Sambongan. Saya kembali merasakan kota Surabaya setelah pengalaman 20 hari di awal tahun 2007 lalu. Naik bis DAMRI di Surabaya, rasanya sama dengan naik bis DAMRI di Bandung. Bedanya, Surabaya tetap berkembang sebagai tiga besar metropolitan bersama Jakarta dan Medan.

Setelah tiba di Terminal Joyoboyo saya segera mencari ‘len’ (diambil dari bahasa Inggris, line) bahasa Surabaya untuk angkot. Sedangkan, tujuan dilambangkan dengan angka. Misal, Len 01 tujuan Jembatan Merah dan Len 07 tujuan Kertajaya. Saya tidak kunjung menemukan Len 07. Alih-alih menemukan taksi burung biru yang kosong. Segera saya stop dan minta diantar ke Jalan Manyar Sambongan. Ah, saya jumpai pemandangan yang seperti ini lagi. Surabaya selalu berarti buat saya.

Tiba di Manyar, saya segera beristirahat. Ngaso sebentar berteman secangkir teh hangat dan sebatang rokok. Saya pun lantas packing untuk kepulangan besok. Titipan Bu De sudah menanti untuk segera dibawa ke Bandung. Saya belum ada rencana apa-apa untuk malam ini. Masih ada waktu luang setidaknya malam ini saja. Kalau sempat, saya ingin menemui kakak sepupu, Mas Hilmy, putra Pak De Wid. Sampai SMS dari Bapak tiba, menanyakan apakah saya akan mengunjungi Eyang di Tanjung Perak.

Saya pikir saya tidak akan mampir ke Tanjung Perak karena saya masih harus menunggu putri Bu De yang sengaja ke Manyar untuk bertemu saya. Kangen, katanya. Sementara itu, saya merasa bersalah sekali apabila dalam waktu yang singkat ini saya tidak mampir ke Tanjung Perak. Saya pun memutuskan pergi ke Perak nanti setelah bertemu kakak sepupu, Mbak Ela.

Usai menuntaskan rindu dan saling bertukar cerita dengan si Mbak, saya segera berangkat ke Tanjung Perak. It feels like way back home. Dalam kunjungan tahun 2007 lalu, saya menghabiskan 20 hari itu di rumah Tante, adik dari Ibu, yang kebetulan tinggal di jalan yang sama dengan rumah Eyang. Saya hafal betul jalan dari Manyar menuju Tanjung Perak. Melewati Museum Kapal Selam, Jalan Gubernur Suryo, dan Tugu Pahlawan. Sayang  sekali, saya tidak bisa bernostalgia karena tidak menemukan tempat jajan nasi bebek di seberang Tugu Pahlawan.

Perasaan melankolis kembali menyeruak. Satu yang selalu saya ingat, Di komplek perumahan TNI AL itu, untuk pertama kalinya milis (mailing list) kelas K1D-A 2004 dibuat. Jadi, ini adalah tempat yang bersejarah. Sayangnya, warnet tempat saya membua milis sudah tidak ada disitu lagi. Sudah tutup, berganti dengan gerai waralaba swalayan.

Eyang yang tinggal di Perak ini adalah Kakak Ipar dari Eyang Kung. Jadi, sama saja rasanya dengan mengunjungi Eyang. Saya tidak pernah berkunjung kesini lagi sejak tahun 2007. Kini, giliran melepas rindu dengan keadaan yang sudah jauh berbeda. Eyang cukup kaget karen tidak ada kabar kedatangan saya dari Bapak. Untuk kesekian kalinya dan entah untuk keberapa kalinya, saya menceritakan hal ihwal kedatangan saya. Eyang sangat senang sekali dengan kedatangan saya. Walau cukup kaget, tapi Eyang sangat menghargai niat baik saya. Saya pun demikian. Eyang tidak banyak berubah sejak pertemuan terakhir dengannya. Tak lama, saya pun pamit usai berfoto sebagai barang bukti nanti.

Dalam perjalanan pulang, saya sempat dibuat penasaran dengan Masjid Muhammad Cheng-ho. Apakah memang ada kaitannya dengan Laksamana Cheng-ho? Bukankah Vihara Sam Poo Ko di Semarang merupakan peninggalan Laksamana Cheng-ho juga? Kalau memang Cheng-ho sudah memeluk Islam dalam ekspedisinya di Nusantara, apakah Masjid Muhammad Cheng-ho adalah satu buktinya? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang ada dibenak saya.

Sedianya, saya diantar kesana. Namun, pilihan akhirnya jatuh ke Makam Sunan Ampel. Sebagai catatan, dalam kunjungan 2007 lalu, saya tidak sempat mampir ke Ampel. Jadi, daripada dilanda penasaran, saya lebih baik datang ke Ampel saja daripada ke Masjid Muhammad Cheng-ho. Konon, Ampel lebih ramai.

Gerbang Masuk Makam Sunan Ampel

Benar saja, saya menjumpai rombongan jamaah peziarah yang tak henti-hentinya mengalir berdatangan dari segala penjuru tanah air. Ketika saya masuk ke dalam kompleks makam Sunan Ampel, saya menemui sekelompok rombongan pengajian yang sedang membaca doa. Persis dengan apa yang saya baca sebelumnya ketika berziarah ke makam Eyang Ti dan Eyang Kung.


Suasana peziarah yang berdoa di makam Sunan Ampel

Usai membaca setengah surat Yasin, saya berkeliling  sekitar pemakaman ini. ada Masjid Ampel, yang sengaja ditutup. Kemudian, di sisi lain makam Sunan Ampel terdapat makam Pahlawan Nasional, K.H Mas Mansyur. Disekitar makam ini malah dijadikan tempat istirahat beberapa peziarah yang berkoloni. Banyak diantara mereka menginap dengan tidur di daerah sekitar makam.

Makam K.H Mas Mansyur, Ampeldenta, Surabaya

Nilai religiusitas masyarakat Jawa Timur pada umumnya masih dipengaruhi nilai-nilai ini. Bahwa, menziarahi Sunan yang jumlahnya sembilan itu menjadi semacam ‘kewajiban’ sebagai pelengkap ibadah. Tidak ada yang salah selama tetap bertawasul kepada Allah SWT dan tidak menjadikan makam para wali itu sebagai entitas yang menggirin pada nilai-nilai syirik. Inilah keragaman budaya yang hidup pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagai bukti, walau sudah lewat tengah malam, peziarah masih terus berdatangan dalam jumlah yang besar. Pemandangan ini menjadi pengalaman tersendiri bagi saya yang selama ini hanya mampu merencanakan ziarah wali ke Kudus tanpa pernah serius mengeksekusi rencana itu. Mungkin nanti.

Masjid Agung Ampel, Ampeldenta, Surabaya

Saya tiba kembali di Manyar tepat pukul satu dini hari. Saya tidak punya banyak waktu istirahat karena usai Shubuh, saya harus segera ke Bandara Juanda untuk mengejar first flight in the morning.

“Bandung, we have a problem”

QZ 7631 SUB-BDO - Selasa, 12 Februari 2013 


Good Morning from Juanda
Usai shalat shubuh, saya berangkat ke Bandara Juanda dengan menumpang mobil Pak De dan Bu De. Mereka turut mengantarkan saya kembali. Dari Manyar ke Juanda ditempuh selama setengah jam, dengan kecepatan normal dan lalu lintas yang masih sepi. Di sisi kota, pasar-pasar mulai menggeliat, pedagang mulai menggelar dagangannya. Matahari sebentar lagi naik.

Saya tiba di Juanda tepat waktu dan langsung menuju boarding room. Pukul 06.15, semua penumpang dipersilahkan naik ke pesawat terbang. Rupanya, saya akan terbang dengan pesawat yang sama dengan yang saya terbangi hari Minggu lalu. Airbus A320 PK-AXC QZ 7631 SUB-BDO.

06.30, sesuai jadwal pesawat akan diterbangkan menuju Bandung. Namun, saya merasa ada yang aneh, pesawat tidak kunjung pushback. Mungkin karena sedang traffic, jadi saya melanjutkan tidur dan terbangun kembali pukul 07.00 dengan posisi pesawat yang masih standing. Tak lama kemudian, PIC (Pilot In Command) mengumumkan bahwa bandara tujuan yaitu Bandara Husein Sastranegara Bandung ditutup karena alasan cuaca yang mengakibatkan terbatasnya jarak pandang. Keadaan seperti itu tentu sangat membahayakan keselamatan penerbangan. Penumpang kembali diturunkan dan dikembalikan ke boarding room. Bandung, we have a problem. Menirukan pesan kru Apollo 11 ketika menghadapi trouble dalam misi penerbangan antariksa ke bulan.

Karakteristik Bandara Husein Sastranegara sebagai special airport mengharuskan clearance jarak pandang 2000 meter. Bila tidak terpenuhi, sangat berbahaya bagi pesawat sekelas Airbus A320 dan Boeing 737 yang banyak beroperasi ke Bandung. Ditutupnya Bandara mengundang pertanyaan di benak saya. Apakah Bandung sedang dilanda heavy fog/cloud/kabut sisa hujan semalam? Mungkin saja. Yang jelas, setelah satu jam menunggu, kami dipersilakan kembali naik.

Pesawat segera lepas landas usai mendapat clearance dan warning bahwa Bandara Husein Sastranegara sudah dibuka kembali. Still a log way back home through the blue sky. Termasuk ketika pesawat kena holding, berputar-putar tiga kali sebelum clear to landing.

Konklusi


Apakah perjalanan ini selesai? Secara definitif, jawabannya tentu saja YA. Perjalanan menapaki jejak leluhur sudah selesai dengan selamat. Saya mengenang kembali jejak yang telah saya lalui sedari kemarin.

Bagaimanapun, perjalanan ini adalah bukan perjalanan biasa—dan sedikit absurd. Perjalanan dalam menemukan hakikat di balik makna. Perjalanan yang diawali sebuah mimpi untuk sebuah jawaban.

Saya kembali diuji untuk mencapai tujuan perjalanan itu sendiri. Baik secara definitif maupun konotatif. Saya berhasil mencapai tujuan saya menuju makam Eyang sekaligus bersilaturahmi dengan segenap keluarga besar yang ada disana.

Perjalanan kali ini sangat bermakna karena berhasil mengungkap hal-hal yang selama ini selalu jadi pertanyaan. Kadang menganggu namun kadang menghilang begitu saja, mengendap dalam keraguan. Terselip juga pesan, bahwa mengingat kematian itu perlu, karena saya tidak pernah tahu apa nasib waktu. Apapun itu, perjalanan ini merupakan awal dari sebuah perjalanan lain. Perjalanan panjang menuju diri sendiri.


Pare-Surabaya-Pharmindo-Paninggilan, Februari 2013


Minggu, 17 Maret 2013

Menjombang: Sebuah Napak Tilas (2)

Posting sebelumnya: Menjombang: Sebuah Napak Tilas (1)

Keberangkatan – Minggu, 10 Februari 2013

QZ 7632 BDO - SUB

 Saya mengawali pagi keberangkatan ini dengan sebuah petikan lirik lagu dari Ebiet G. Ade, “...barangkali disana ada jawabnya..” Saya terus menggumamkan lirik itu dalam hati. Mudah-mudahan disana saya akan menemukan sebuah jawaban. Entah untuk pertanyaan yang mana. Saya terlanjur punya banyak pertanyaan yang saya pun sungguh tidak tahu dimana dan apa jawabannya.



Matahari mulai naik layaknya seorang petani yang membajak sawah. Pertanda hari akan cerah. Saya akan mengawali perjalanan ini dengan penerbangan QZ7632 BDO-SUB. Pukul 08.00 pesawat PK-AXC sudah mendarat dan parkir di apron. 08.15 semua penumpang sudah dibolehkan naik ke pesawat. Tepat pukul 08.30, pesawat lepas landas meninggalkan Bandara Husein Sastranegara. Sewaktu take-off saya mengalihkan pandangan ke arah hanggar pesawat milik ACS PT.DI (Aircraft Services) dimana terparkir dua prototipe pesawat terbang kebanggaan negeri; N250 Gatotkoco dan N250-100 Krincing Wesi. Sebagaimana yang telah kita saksikan bersama dalam film ‘Habibie dan Ainun’.

N250 Gatotkoco & N250-100 Krincingwesi

Dari ketinggian, saya dapat melihat lingkaran pegunungan yang mengelilingi kota Bandung. tak heran bila banyak pilot berkomentar soal susahnya melakukan pendaratan (landing) di Bandara Husein. Cekungan Bandung membuat pilot harus mampu mengendalikan pesawat secara presisi untuk melakukan pendaratan. Kendala cuaca seperti kabut dan awan tebal adalah tantangan tersendiri dalam menghadapi kompleksitas Bandara Husein yang berkarakter special airport.
 
Bandung, a view from the sky
 
Persis seperti dugaan saya sebelumnya, pesawat akan menuju Surabaya dengan melintasi pesisir pantai utara Jawa. Pemandangan cukup cerah. Tidak banyak kumpulan awan tebal. Sehingga, saya bisa memejamkan mata sejenak tanpa harus menamai mereka satu persatu. Konon, banyak pilot menamai awan-awan yang mereka jumpai untuk mengusir kebosanan mereka.

Pengumuman persiapan pendaratan di Bandara Juanda, Surabaya, sudah terdengar. Dari jendela, awan tebal mulai nampak, menyambut kedatangan kami di Surabaya. Tak lama kemudian, kami mendarat dengan selamat di Bandara Juanda, Surabaya. Tepat pukul, 09.30. Sebentar lagi, perjalanan panjang baru akan dimulai. And i’m ready for that!

Happy Landing in Juanda Airport, SUB

Way Back Home: Pare

Feels like home to  me, feels like home to me, feels like i’m on way back where i came from.. 
(Feels Like Home – Chantal Kreviazuk)

Setelah mendarat, saya harus menunggu sekitar 30 menit sebelum Pak De datang menjemput. Rupanya, Pak De dan Bu De akan menjemput saya di Juanda sekalian menuju Blitar untuk menengok cucu mereka disana. Saya akan ikut mereka sampai Pare.

Perjalanan menuju Pare dalam siang yang panas di hari raya Imlek itu berlangsung sekitar 3 jam. Saya kembali meretas jarak pada memori tahun 2007. Sebuah perjalanan serupa saya lakukan. Bedanya, kali ini tidak melewati kota Malang. Dari Surabaya, lewat Jombang, lalu ke Pare.

Saya melewati jalan yang disebut Bapak sebagai pintas menuju Pare, melewati Mojokerto, Mojoagung, dan Mojowarno. Jalan pintas itu juga yang menghubungkan jalan utama Jombang-Mojokerto dengan Pare. Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan beberapa bis pariwisata yang membawa peziarah ke makam Gus Dur.

Melihat hal yang demikian, saya melamun sambil membayangkan bahwa saya akan bernasib sama seperti mereka esok hari. Saya akan membuka tabir dan selubung dari ketidaktahuan saya selama ini. Saya akan menziarahi dua makam Eyang.

Tepat pukul 13.00, kami tiba di Pare. Pare adalah sebuah kota kecil di selatan Kediri, dulunya adalah bagian dari Karesidenan Kediri. Rumah Eyang terletak di jalan besar utama yang langsung menghadap Pasar Pare. Dulu, Eyang Ti berjualan di pasar. Saya pernah diajaknya kesana


Rumah di Jalan Muria itu masih berdiri tegak. Namun, sudah jauh berbeda dengan ingatan terakhir saya, Januari 2007. Tidak ada lagi teras dan beranda di depan rumah. Kini sudah diganti mirip rumah toko, dengan railing door di muka halaman depan. Hilang sudah cerita yang selalu saya lihat setiap mengenang kembali foto-foto bersama sepupu yang lain. Bangunan utama masih tetap pada bentuknya. Di rumah itulah Eyang membesarkan ketiga putranya. Semua memori, kenangan, dan apalagi itu namanya menghujam segenap jiwa dan perasaan.

Rumah itu memang sudah dijual setelah tercapai kesepakatan antara ketiga putra Eyang. Saya tidak bisa lagi masuk ke rumah itu. Kenangan yang ditinggalkannya masih dapat saya rasakan, biar Cuma dalam hati saja.

Saya singgah sebentar di rumah Bu De Nana, tak jauh di belakang bekas Rumah Eyang. Saya menghirup kembali aroma kenangan yang menyeruak layaknya kopi tubruk yang baru dijerang. Ditambah dengan sepiring nasi rawon yang semakin membuat saya kangen pada rawon buatan Eyang. Saya bersyukur karena disana sudah berkumpul Pak De-Pak De dan Bu De-Bu De yang lain. Entah siapa yang mengaturnya, yang jelas mereka semua sudah mengetahui bahwa saya akan datang kesana.

Puas berbasa-basi, mereka mulai menanyakan maksud kedatangan saya. Sambil bercanda, satu persatu dari mereka mulai bertanya apakah saya akan segera menikah. Mereka pikir, dengan datangnya saya untuk berziarah ini karena ada maksud yang saya hendaki. Dan itu adalah sebuah pernikahan. Saya hanya bisa tersenyum sambil menjelaskan mimpi-mimpi itu. Nampaknya, merka percaya pada cerita saya. Saya tambahkan pula bahwa saya ingin bersilaturahmi mewakili Bapak.

Entah sudah tradisi atau memang kebiasaan disana, bahwa setiap seseorang menziarahi leluhurnya dapat dipastikan bahwa ia akan segera menikah. Saya tidak menampik kenyataan itu. Yang jelas, sambil guyon, saya jelaskan bahwa kalaupun saya nanti akan menikah, tentu calon istri saya itu akan saya bawa berkeliling Surabaya-Kediri-Pare untuk mengenalkannya kepada lingkungan keluarga besar.

Usai bercengkerama, saya menuju daerah Tulungrejo, rumah Pak De Wid, Kakaknya Bapak. Barangkali pembaca sudah mafhum bahwa Tulungrejo adalah daerah penghasil kemampuan bahasa Inggris yang konon sudah terkenal di negeri ini. Banyak pelajar dari luar kota singgah di Tulungrejo untuk mengasah kemampuan bahasa Inggris mereka. Biasanya, paling cepat, dibutuhkan waktu dua minggu untuk menyelesaikan kursus bahasa, itupun kalau kita memang punya kemampuan dan bakat yang bagus. Maka, sore itu pemandangan di sekitar Tulungrejo diwarnai pelajar bersepeda yang menikmati waktu istirahat mereka.

Agak sedikit canggung ketika memasuki rumah Pak De. Saya belum beranjak menuju pintu masuk hingga Pak De menjumpai saya dan seketika langsung memeluk saya. Saya melihat ada air mata di sela matanya. Tak heran, waktu Pak De menangis waktu ditelepon Bapak. Sebuah nostalgia, sebuah kerinduan, mewarnai sore di Tulungrejo.

Pertemuan kembali dengan Pak De yang pertama sejak April 2009 ini menyiratkan sebuah makna. Bahwa nilai eksistensialitas manusia diuji ketika berhadapan dengan masa lalunya. Saya diuji dalam memaknai makna keberadaan saya dalam konteks hubungan kekeluargaan.

Lama kami bercengkerama di ruang depan. Banyak yang ingin Pak De tahu tentang saya. Soal pekerjaan, soal hidup, dan soal-soal lainnya yang kadang tidak bisa saya jawab langsung. Misal saja pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, apakah saya akan segera menikah. Rasanya ingin bikin hashtag #IndonesiaTanpaKapanKawin lagi, tapi ini bukan Lebaran, anyway.

Saya jelaskan semuanya pada Pak De. Mulai dari mimpi yang pertama saya alami dengan Eyang Ti hingga mimpi terakhir dengan Eyang Kung. Jawaban Pak De ternyata sama dengan jawaban Bapak. Saya tidak perlu jauh-jauh mendatangi makam Eyang hanya untuk mengetahui apa maksud semua itu. Pak De menganjurkan supaya saya jangan lupa baca doa dan mengirim Al Fatihah.

Saya tidak puas dengan penjelasan itu. I want something more. Rupanya, Pak De tidak terlalu antusias menanggapi cerita saya tentang mimpi-mimpi itu. Pak De hanya bilang, beliau hanya kan menunggu pertanda dari Sang Jenderal. Sang Jenderal yang dimaksud itu adalah Eyang Ti. Saya heran, bagaimana Pak De bisa mendapat jawaban dari Eyang Ti. 

Saya lantas memaksa bahwa jawabannya adalah YA. Pak De akan mengantar saya ke makam Eyang Kung dan Eyang Ti. Saya bilang, saya sudah terlanjur datang kesini dan Eyang Ti pun tahu dan beliau pasti mengizinkan saya untuk menziarahinya. Pak De lalu tertawa mendengar keyakinan saya semacam itu.

Saya benar-benar serius soal maksud saya ini. kedatangan saya kesini bukan main-main. Ibarat judul sebuah acara traveling: Bukan Jalan Jalan Biasa!

Pak De kemudian terdiam sebentar lalu menjelaskan bahwa niat saya sudah bagus. Entah tadi itu Pak De memang menguji keyakinan saya atau tidak, yang jelas beliau seperti terlihat sedikit ragu. Saya tanya, apakah yang membuat Pak De ragu. Pak De bilang, makam Eyang Ti ada di dekat sini jadi tidak masalah, bisa jalan kaki. Tapi, makam Eyang Kung di Jombang kini tidak lagi banyak dilalui angkutan umum mengingat kemacetan yang sering terjadi di suatu area yang sedang dibangun jembatan. Jadi, Pak De ragu ada angkutan umum yang mendekati lokasi makam di daerah Mancar, Peterongan, Jombang.

Kalau itu masalahnya, kita cari saja orang yang bisa disewa motornya. Kalau perlu, kita sewa angkot saja, supaya tidak ribet, sambung saya. Pak De mengangguk dan setuju. Saya juga berharap semoga diberi kelancaran dan kemudahan untuk esok hari. Perdebatan kami pun berakhir dan segera mencair dengan secangkir kopi. Sebuah akhir yang indah untuk sore yang merambat lambat di Tulungrejo.

Sore itu juga yang mengantarkan saya pada sebuah fakta yang baru saya sadari. Saya menghadapi kenyataan bahwa saya adalah cucu tertua dari nasab keluarga Bapak. Saya adalah cucu pertama Eyang. Selama ini, saya selalu menganggap bahwa Mas Hilmi, anak Pak De Wid, adalah cucu pertama Eyang. Aya kaget mengetahui kenyataan ini. Saya merasa seperti memikul beban tanggung jawab. Untuk apa itu, saya tidak tahu. Saya hanya merasa bahwa saya harus mampu memimpin dan mempersatukan kembali cucu-cucu Eyang. Saya bersyukur, bahwa saya melakukan perjalanan ini. semoga bisa dicontoh sepupu lainnya.

Naar Kediri

Suasana Malam di Jalan Dhoho Kediri

Usai shalat Maghrib, saya meneruskan perjalanan ke kota Kediri, bersama dengan keluarga Pak De Ayik, kakak sepupu Bapak. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 45 menit. Maklum, mobil yang kami tumpangi adalah mobil Mitsubishi tua tahun 1970-an kebanggaan Pak De Ayik. Mobil yang dibanggakannya kepada saya, dengan foto-foto berlatar kota yang pernah disinggahi  mobil ini, antara lain RSPAD Gatot Subroto Jakarta, dan Cilegon.

Kediri. Tidak banyak yang saya ingat tentang Kediri. Seingat saya, terakhir kali mengunjungi Kediri itu tahun 1995, waktu Eyang Kung meninggal. Selebihnya, kebanggaan soal Kediri hanya bisa dirasakan lewat Persik Kediri, yang langsung menjuarai Liga Indonesia usai promosi ke kasta tertinggi jagad persepakbolaan negeri ini.

Menikmati Kediri di malam hari Imlek seperti ini rasanya kurang begitu semarak. Banyak toko dan tempat makan yang tutup. Tapi, kemajuan dan denyut kota ini masih terasa. Stadion Brawijaya Kediri masih berdiri dengan megah. Di bagian luar, terdapat monumen peringatan atas peristiwa yang menimpa suporter Persik pada saat menerobos pagar stadion. 

Arch de Triomphe a la Kediri

Perlu dicatat, sebelum masuk ke kota Kediri dari arah Pare (selatan), ada suatu remarkable place. Entah bagaimana, Kediri berhasil membangun sebuah landmark taman kota dengan bangunan yang mirip Arch de Triomphe di Perancis sana. Sebuah bangunan di sudut Champ Elysee yang dibangun Napoleon pada tahun 1806 sebagai simbol kemenangan. Dari sudut pandang awam, saya menilai kota ini sedang berkembang pesat. Terbukti dengan Arch de Triomphe a la Kediri. Barangkali, ada seorang putra daerah yang pulang belajar di negeri Napoleon sana lalu berinisiatif mengajukan proposal untuk mendirikan bangunan tersebut.

Saya langsung menuju Jalan Singonegaran, menengok Bu De yang terbaring sakit. Kami membacakan doa untuk kesembuhan beliau. Pak De begitu senang melihat kedatangan saya. Kehadiran Bapak sudah tergantikan oleh saya. Kami menikmati malam dengan late dinner di rumah makan gudeg. Berhubung tempat makan Kediri-an langganan Pak De sudah tutup.

Usai bercengkerama sebentar, membahas kelakuan kader-kader partai islam (yang ternyata nasionalis juga *sigh) dalam kasus impor sapi, saya pamit pulang. Saya akan kembali ke Pare. Tentu setelah menjelaskan maksud kedatangan saya kepada Pak De. Saya tidak menghitung sudah berapa kali mengulang-ulang cerita perihal kedatangan saya ke tanah leluhur ini.

Malam semakin meninggi. Kota mulai sepi. Jalanan menuju Pare begitu lengang. Hanya satu dua mobil berpapasan. Selebihnya gelap. Saya tiba kembali di Pare menjelang tengah malam. Jalanan mulai senyap tetapi saya belum bisa menutup mata. Saya tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Pikiran saya berlarian antara memori-memori yang saling berkejaran. Esok masih akan tiba. Saya akan mengunjungi mereka. Malam terasa begitu panjang.

Pare-Surabaya-Pharmindo-Paninggilan, Februari 2013

Sabtu, 16 Maret 2013

Smart Eating #menujuLangsing2013


Hari Senin (11/3), hari dimana sejarah telah menetapkan (Alm) Soeharto sebagai penerima mandat sebagaimana kini dikenal sebagai Supersemar, Surat Perintah Sebelas Maret, menjadi sangat berarti bagi saya. Bukan karena saya mendapatkan perintah serupa. Dulu, 11 Maret ini selalu dianggap tanggal ‘keramat’ oleh beberapa sahabat di kampus, misal @lucktygs yang selalu menandai 11 Maret sebagai ‘gerbang’ menuju skripsi yang akan mengantarnya ke prosesi ritual bertoga.

11 Maret 2013, usai menjalani pemeriksaan neurologi melalui tes EEG (electro encephalography) di Lakespra Saryanto, Cawang, saya kembali ke Balai Kesehatan Penerbangan di Kemayoran untuk mengambil hasil dari test kesehatan yang saya jalani sejak hari Jum’at (8/3). Alangkah terkejutnya, bahwa ketika hasil tes sudah dirilis , saya dinyatakan tidak memenuhi standar kelaikan medis bagi penerbang. Dalam detail pemeriksaan, disebutkan kadar asam urat saya sangat tinggi, yaitu 8,4 jauh melebihi standar 7,0. Dengan demikian, saya menerima ‘supersemar’ versi dokter penguji: (1) turunkan kadar asam urat, (2) diet rendah purin, (3) diet rendah lemak. Saya resmi menjalani ‘terapi’ untuk mengurangi kadar asam urat yang dinilai membahayakan.

Bagi saya, hal ini adalah sebuah pukulan telak. Dalam pengertian sederhana yang saya tahu, penderita asam urat tidak diperbolehkan mengkonsumsi sayuran hijau. Tak pelak, kenyataan itu sangat membuat saya kecewa. Artinya, di usia saya yang ke 27 tahun, saya tidak boleh lagi menikmati tumis sosin (sawi hijau) paling enak sedunia buatan Ibu, setidaknya selama masa pemulihan. Hari-hari selanjutnya, saya hanya bisa menyesali diri sendiri. Saya tidak boleh makan sayuran hijau yang jelas-jelas adalah makanan favorit. Saya merasa kecewa terhadap diri saya sendiri karena tidak berhasil menjaga kesehatan badan. Terbukti dengan 3 catatan ‘supersemar’ dokter penguji plus satu bonus catatan lagi: Turunkan BMI (body mass index) ke level < 30 (sekarang saya 32). Ini menandakan saya harus mengurangi berat badan at least 10 kg.

Setelah vonis dokter tersebut dibacakan, saya harus belajar menerima kenyataan. Saya harus mulai memperhatikan asupan makanan. Mengubah pola makan, pola pikir, dan kebiasaan makan harus segera saya lakukan demi kesehatan jangka panjang. Untuk itu, saya sempat kembali pada program Diet Golongan Darah, sesuai petunjuk dari buku “Diet Golongan Darah O” tulisan Dr. Peter J. D’Adamo. Saya mereview kembali kategori makanan yang dianjurkan dan beberapa pantangan. Saya semakin dibuat tersiksa dengan petunjuk buku yang mengisyaratkan bahwa saya akan kehilangan lagi beberapa makanan favorit.

Untuk Golongan Darah O, buku itu menyarankan agar saya mengurangi konsumsi sayuran, apapun bentuknya. Saya semakin berusaha menghindari kenyataan, namun saya tidak punya pegangan lain dalam usaha saya menjalankan ‘supersemar’ dokter penguji.

Saya diminta untuk melakukan tes ulangan hari Rabu (14/3). Pada hasil tes ulangan, ada hasil menggembirakan. Kadar asam urat sudah turun, sehingga saya dinyatakan laik medis sebagai penerbang. Dibuktikan dengan Certificate of Medical yang dirilis Balai Kesehatan Penerbangan.

Hasil konsultasi dengan dokter, seorang sahabat SMP

Smart Eating #menujuLangsing2013

Bulan Februari kemarin, presenter kondang Erwin Parengkuan @erwinparengkuan, bersama Jana Parengkuan, istrinya, dan Dr. Samuel Oetoro, MS, SpGK., merilis sebuah buku berjudul “Smart Eating: 1.000 Jurus Makan Pintar & Hidup Bugar”. Saya sempat tertarik untuk membacanya namun keinginan itu masih terpendam hingga Jum’at kemarin (15/3) saya menghadiri Diskusi Buku ini di Periplus Plaza Indonesia. Informasi yang saya peroleh dari twitter kemudian menuntun saya untuk segera melakukan reservasi.



Erwin Parengkuan bercerita tentang kebiasaan makan sehat yang sudah dijalaninya. Kemudian, Jana Parengkuan memberikan tips dan insight seputar memadukan menu makanan sehat dalam menu harian keluarga. Apalagi ketika harus berhadapan dengan anak-anak untuk memperkenalkan menu makanan sehat. Dr. Samuel Oetoro, banyak memberikan insight seputar kandungan gizi dalam makanan sehat yang dibuat oleh Erwin Parengkuan dan Jana Parengkuan. Wawasan yang diperoleh dari pertimbangan sisi medis ini turut memberikan encourage kepada partisipan bahwa makanan sehat itu tidak selalu mahal dan membuat repot dalam penyajiannya.

Dalam diskusi ini juga disisipkan demo membuat makanan sehat. Diantaranya Sanapi, yaitu jus paduan dari Sawi, Nanas, dan Pisang, dan juga Salad Apel Kismis Almond Seledri. Selain itu juga, partisipan bisa mencoba resep lainnya, yaitu Ayam Rendang Kemiri. Semua menu itu dibuat berdasarkan pengalaman Erwin Parengkuan dalam menjalani pola makan sehat.

@erwinparengkuan menyiapkan Sanapi

@janaparengkuan membuat Mixed Salad

Untuk dapat kesempatan berpartisipasi dalam diskusi ini cukup melegakan saya. Saya jadi tahu apa yang harus saya lakukan untuk menindaklanjuti rekomendasi ‘supersemar’ dari dokter penguji. Saya pun tahu batas-batas yang tidak boleh saya langgar dalam usaha menurunkan kadar asam urat. Melalui konsultasi langsung dengan Dr. Samuel, saya mendapatkan wawasan baru tentang tantangan yang harus saya hadapi ke depan. Ditambah, buku Smart Eating, yang dibagikan gratis kepada partisipan, saya anggap sebagai manual book dalam merubah kebiasaan makan.

Salah Persepsi Food Combining dan Diet Golongan Darah

Saya lebih dulu mengenal konsep food combining dibandingkan dengan diet golongan darah dan smart eating. Ketika saya tanyakan itu kepada Dr. Samuel Oetoro, MS, SpGK, beliau membuat membuat sebuah penjelasan singkat dengan analogi sederhana.

Food combining menuntut kita untuk memiliah makanan sesuai dengan konsep asam-basa. Makanan yang mengandung asam harus dipadukan dengan makanan yang mengandung basa. Dengan demikian, sistem pencernaan akan lebih mudah melakukan tugasnya, sehingga diperoleh suatu efisiensi atas proses penyerapan makanan.

Konsep ini berlainan dengan teori yang Dr. Samuel jelaskan. Bahwa, apapun makanan yang masuk ke dalam tubuh, baik itu asam atau basa tetap akan menjadi netral di dalam organ pencernaan. Dengan sendirinya, asam lambung beserta enzim-enzim yang ada dalam siklus pencernaan akan kembali membuat makanan yang masuk bersifat netral.

Kemudian, tentang diet golongan darah, Dr. Samuel memberikan analogi yang sangat jelas. Ketika kita sakit lalu datang ke dokter kemudian tidak kunjung sembuh, apakah kita akan datang ke dokter yang sama? Maksudnya adalah, perbandingan berapa banyak orang yang merasakan manfaat dari golongan darah dengan yang tidak memperoleh apapun dari diet tersebut yang datang kembali ke dokter yang sama tidak pernah disebutkan. Lagipula, diet golongan darah ini tidak berangkat dari pijakan hasil sebuah penelitian, Evidence-Based Medicine, kata Dr. Samuel.

Diet golongan darah berawal dari pengamatan terbatas terhadap pasien-pasien yang kemudian pendapat mereka dijadikan testimoni untuk melakukan sebuah terobosan dalam diet. Belum ada hasil penelitian sial diet golongan darah. Sehingga, anda tentu dapat menilai sendiri kadar reliabilitas dan validitas data (halah) dalam kesimpulan diet tersebut.

Konklusi

Berawal dari hashtag #menujuLangsing2013 dari Ligwina Hananto @mrshananto, saya berniat mempunyai program serupa ketika melihat lingkar perut melebihi angka 95. Usaha yang saya lakukan sejauh ini adalah rutin lari pagi setiap weekend dengan judul Paninggilan Morning Run. Usaha itu ternyata tidak cukup karena saya belum berhasil merubah pola makan dan mengurangi asupan kalori, saya  pun masih belum bisa menghentikan kebiasaan merokok.

Keadaan seperti ini terus berlangsung hingga saya melakukan tes kesehatan dengan standar kelaikan medis untuk penerbang. Mengapa saya melakukan  itu? Spesifikasi medis untuk penerbang dirancang sedemikian rupa dengan detail-detail tertentu sehingga diperoleh hasil yang strict, ketat, sehingga apabila salah satu komponennya dianggap melebihi batas maka peserta tes dianggap failed atau gagal. Saya mengalami kegagalan itu. Baru setelah meminum obat dari dokter penguji, menahan diri untuk tidak melanggar pantangan, lalu masuk lab kembali, saya memperoleh Certificate of Medical (Medex Certificate).

Kejadian ini membuat saya harus melakukan sesuatu. Rekomendasi tertanggal 11 Maret 2013 itu membuat saya harus membuat keputusan untuk melakukan turnover terhadap kebiasaan yang masih dijalani hingga hari ini. Percepatan mutlak diperlukan demi mencapai tujuan #menujuLangsing 2013.

Konsep Smart Eating yang diperkenalkan Erwin Parengkuan and Friends melalui buku ‘Smart Eating’ adalah panduan yang simpel dan praktis untuk merubah kebiasaan itu.Variasi menu dalam smart eating tidak lantas membuat rutinitas makan menjadi suatu kebiasaan yang harus dikurangi. Justru, konsep makan dalam smart eating kembali diperkuat dengan gagasan yang mudah dipraktekkan. Bila seorang penerbang butuh panduan dari Aircraft Flight Manual, saya menjadikan buku ‘Smart Eating’ ini sebagai manual/panduan saya dalam program kesehatan yang saya canangkan. Memang sulit untuk merubah kebiasaan, tapi seperti pepatah bilang: tidak ada kata terlambat untuk memulai.


You Ask, Doctor Answer

Dalam diskusi itu, saya juga mencatat beberapa pertanyaan lain yang diajukan ke narasumber. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam buku catatan kecil saya.

My Question:
Setelah mengenal food combining dan diet golongan darah terlebih dahulu, saya menemukan beberapa makanan pantangan, terutama dalam kaitannya dengan diet golongan darah yang sedang saya jalani, bagaimana korelasi hal tersebut dengan konsep smart eating, karena ada beberapa makanan pantangan yang masuk ke dalam menu smart eating? Misal, sayuran hijau untuk penderita asam urat.

Doctor’s Answer:
Untuk penderita asam urat dengan kadar > 8 (it’s me, anyway), memang sangat diwajibkan untuk tidak mengkonsumsi lagi sayuran hijau. Perlu dicatat juga untuk mengurangi asupan protein. Kalau kadar asam urat sudah < 7, sudah boleh lagi menkonsumsi sayuran hijau dalam batasan tertentu. Tetapi, harus tetap berhati-hati dengan asupan protein, karena protein jadi satu faktor pemicu tingginya asam urat

Anyway, pertanyaan yang lebih mirip curhat ini membuat saya punya harapan biar hanya sedikit. Bahwa, suatu hari nanti, saya akan bisa kembali makan sayuran hijau favorit saya :)) .

Q: Apakah boleh mengganti gula dengan madu dalam asupan makanan sehari-hari?

A: Madu termasuk asupan yang mengandung kadar glisemik tinggi, sehingga takarannya tetap harus diperhatikan

Q: Bagaimana cara mengkonsumsi teh hijau yang baik?

A: Sebagai anti-oksidan dan anti-karsinogenik, teh hijau akan bermanfaat dikonsumsi 3-5 cangkir per hari. Diseduh dengan suhu air 70 derajat celcius. Catatan, tidak diminum sehabis makan karena akan mengganggu metabolisme enzim pencernaan. Hal ini berlaku juga untuk teh hitam dan teh lainnya.

Q: Mengapa dalam demo digunakan batang sayuran, lalu bagaimana kadar vitamin C yang terlarut dalam variasi minuman jeruk, dan bagaimana mendapat manfaat dari konsumsi susu?

A: batang sayuran digunakan karena memiliki kadar air yang tinggi, sehingga ketika masuk dalam pencernaan akan memberikan sinyal kenyang ke otak, akibatnya kita tidak akan merasa lapar lagi. Vitamin C dalam jeruk tidak boleh disajikan dalam keadaan panas karena kadar vitamin akan segera menguap bila terkena air panas. Susu harus diminum dalam keadaan hangat, tidak dalam keadaan dingin atau panas.

Q: Saat ini, produk gula jagung sudah banyak beredar di pasaran, apakah efek jangka panjang dari mengkonsumsi produk gula jagung tersebut?

A: Perlu diperhatikan bahwa dalam komposisi produk gula jagung yang kini beredar di pasaran (lihat bagian belakang kemasan) tetap mengandung bahan pemanis buatan, aspartam. Aspartam dalam batasan tertentu diperbolehkan. Efek jangka panjang dari konsumsi produk gula jagung yang mengandung aspartam ini akan membahayakan kesehatan. Menurut penelitian terbaru, gula termasuk ke dalam toxic yang mengakibatkan penyakit degeneratif, dan mempercepat penuaan sel.

Sedikit catatan pribadi dari pertanyaan tentang gula jagung diatas. Usai divonis menderita diabetes, Bapak saya menggunakan gula jagung sebagai pengganti gula murni. Namun, saya juga kaget karena komposisi gula jagung ini tidak murni atau sebagian besar terdiri dari jagung, tetapi malah terbuat dari aspartam. Hal ini membuat saya dan Bapak tidak lagi mengkonsumsi produk tersebut lalu mengganti gula murni dengan madu.

Semoga tulisan ini membantu dalam menuju kehidupan yang lebih sehat sebagai bekal di hari depan.


Paninggilan, 16 Maret 2013.

Minggu, 10 Maret 2013

Menjombang: Sebuah Napak Tilas (1)

Awalnya

Semalam aku mimpi, mimpi buruk sekali...
(Mimpi Buruk – Elvi Sukaesih)

Pertengahan bulan Maret 2012, saya mengalami sebuah mimpi yang tidak biasa. Mimpi yang kemudian mengantarkan saya pada sebuah perjalanan napak tilas. Malam itu, malam minggu. Saya tidur dalam keadaan junub (penting gitu???). Saya berharap didatangi oleh Kayla Paige atau Lydia Lee. Tapi, saya justru didatangi oleh Eyang Kakung (Bapak dari Bapak).


Eyang datang dan menuntun saya ke sebuah rumah. Dari kejauhan, tampak sedang ada aktivitas di rumah itu. Eyang terus menuntun saya tanpa mengucap sepatah kata pun. Ketika tiba di muka rumah, saya kemudian berpisah dengan Eyang. Eyang meneruskan masuk melalui pintu samping. Sedang saya disuruh masuk lewat pintu depan.

Rupanya, sedang ada acara Yasinan. Para pengaji mengelilingi jenazah yang dibaringkan. Saya menyalami pengunjung satu per satu. Setelah selesai, saya pun disuruh untuk membuka dan melihat sendiri jenazah yang sedang disemayamkan itu. Alangkah kagetnya, karena jenazah itu adalah jenazah Eyang. Saya kemudian menangis kencang hingga tak sadar kemudian terbangun. Saat terbangun itu pula saya mendapati air mata telah membasahi pipi ini.

Antara sadar atau tidak, saya terhanyut dalam peristiwa di dalam mimpi itu hingga ke alam nyata. Sejenak saya merenung, sambil memikirkan apa maksud kedatangan Eyang dalam mimpi saya. Mungkin saya kurang berdoa dan sudah lama tidak mengirim Al-Fatihah kepada beliau. Saya lalu tidur lagi dan melewatkan waktu Subuh seperti biasa.

Kejadian itu terus membekas meninggalkan sebuah tanya. Apakah arti dibalik mimpi itu. Tersirat sebuah keinginan, bahwa saya akan mengunjungi makam Eyang. Sebuah ziarah. Tetapi sebelum itu, saya bertanya lebih dahulu kepada anak dari Eyang, Bapak saya sendiri. Bapak hanya bilang kalau saya hanya perlu mengirimi beliau Al-Fatihah sesering mungkin. Konon, Bapak pun sering “ditegur” Eyang bilamana tidak melakukan itu.

Saya masih belum yakin dengan jawaban Bapak. Kemudian, saya bertanya pada seorang rekan kantor yang juga seorang Ustadz. Tidak butuh waktu lama untuk curiga bahwa ia adalah Ustadz jadi-jadian. Lihat saja tapak sujud yang melegam hitam di jidatnya. Kemudian, ia juga sering memimpin Shalat Jum’at di kantor. So, i have no doubt about this one.

Saya utarakan maksud saya untuk ziarah ke makam Eyang. Beliau menanggapinya dengan senang hati. Bahwa ada seseorang yang masih ingat untuk menziarahi makam leluhur. Hal ini sejalan dengan budaya dan tradisi di sebagian masyarakat negeri ini bahwa mengunjungi makam leluhur adalah suatu peristiwa rohani-spiritual yang  sangat baik untuk dilakukan. Kalau tidak begitu, mana bisa makam Gus Dur bisa sepi dari peziarah.

Saya pun kemudian merancang rencana perjalanan. Seingat saya, Eyang Kakung dimakamkan di Kota Jombang. Saya tidak pernah tahu lokasi detilnya. Saya hanya ingat, waktu itu saya duduk di depan pusara yang dinaungi saung kecil. Saya tidak mengerti saya sedang berada dimana. Yang jelas, Eyang Kakung sedang dalam prosesi pemakaman. Sedangkan, makam Eyang Putri (Eyang Ti), saya tidak pernah tahu sekalipun lokasinya. Waktu beliau wafat tahun 2000, saya tidak diizinkan untuk ikut ke Pare, Kediri, kota kelahiran Bapak. Hanya Bapak, Ibu, dan Adik perempuan yang ikut serta kesana. Sementara, saya dititipkan di rumah Nenek di Bandung.

Sedikit mengenai Eyang Ti, saya pernah mengalami kejadian serupa. Beliau mendatangi saya tepat pada malam pertama beliau wafat (Eyang wafat siang hari). Kurang lebih mirip dengan kedatangan Eyang Kakung, saya disuruh membuka jenazah Eyang Ti dan seketika mata Eyang Ti menatap tajam mata saya. Eyang Ti kemudian bangkit sembari mengejar saya. “Anggi, mau kemana... mau kemana..” katanya, dengan nada seperti orang yang mengejar.

Saya sangat ketakutan sehingga ketika terbangun saya hanya bisa merinding dan sangat ketakutan. Saya merasa itu hanya godaan saja karena saya tidur di kamar depan sendirian. Untuk dicatat, kamar depan di rumah Nenek di Bandung itu sudah banyak mengalami kejadian aneh. Makanya, saya pikir itu bukan apa-apa, hanya efek sugesti dari kamar saja. Suatu hal yang kemudian saya pahami lain artinya. Bahwa, Eyang Ti menuntut saya untuk sering-sering mengirim doa kepada beliau.

Rencana yang terbengkalai

Sebagus dan serapi apapun rencana dibuat, tanpa aksi ia hanya tidak berarti apa-apa. Rencana tinggal rencana. Saya kemudian larut sibuk dalam arus pekerjaan. Saya terlena oleh nikmatnya perjalanan dinas dan tugas luar. Terbang ke kota-kota yang belum pernah saya singgahi. Mulai dari Bengkulu, Padang, hingga menjelajahi sisi kota Medan selama seminggu. Pun, ketika kembali lagi ke Balikpapan untuk presentasi, liburan di Lombok, dan sosialisasi program keselamatan penerbangan di Palangkaraya.

Akhir November 2012, sambil iseng browsing tiket murah maskapai Merah Putih dari Malaysia itu, saya teringat akan rencana yang sudah lewat itu. Delapan bulan telah berlalu sejak dicetuskannya ‘A Road to Jombang’ (sebab ‘A Walk To Remember’ sudah duluan jadi film). Baru pada medio Desember 2012, saya confirm tiket untuk pergi ke Jombang, melalui Surabaya, pada pertengahan Februari.

Saya merasa malu pada diri sendiri, bahwa saya melupakan sebuah hal yang hakiki akan keberadaan saya di muka bumi ini (apaan sih, situ eksistensialis?). saya melupakan sebuah hal yang mungkin akan membuka esensi nilai-nilai kehidupan. Siapa tahu, barangkali disana ada jawabnya, untuk setiap mimpi-mimpi dan harapan. Who knows?

Awal tahun 2013 ini saya awali dengan sebuah harapan bahwa saya akan benar-benar pergi ke Makam Eyang. Tiket sudah dibeli. There’s no way back. No return point. Saya akan pergi kesana. Saya akan tiba disana. Saya kemudian mengambil cuti 3 hari kerja terhitung 11-13 Februari. Selalu ada godaan dalam setiap rencana. Kebetulan tanggal 11 dan 13 Februari, saya harus menghadiri sebuah acara sosialisasi program yang sudah dirintis sejak tahun lalu. Saya tidak bisa mundur. Saya memutuskan untuk tidak hadir. Lagipula, masih ada anggota tim lain yang bisa menggantikan saya. I’m not that special, anyway.

Saya sempat mendiskusikan rencana perjalanan ini dengan Bapak. Bapak masih menganggap saya main-main dengan rencana itu. Sehingga, seringkali Bapak menganggap rencana saya itu sebagai guyonan belaka. Ah, saya jadi terkenang beberapa hari sesudah pengumuman kelulusan SPMB.

Menjelang hari keberangkatan, 10 Februari 2013, Bapak bertanya kenapa saya pulang ke Bandung hari itu, apakah ada undangan atau ada alasan lain. Saya utarakan kembali niat saya untuk perjalanan spiritual ini. Bapak kaget dan tidak percaya sampai saya tunjukkan tiket penerbangan besok pagi.

Walhasil, Bapa kemudian menghubungi Kakaknya (Pak De Wid) yang tinggal di Pare. Bapak bilang bahwa saya akan pergi ke Pare dan singgah semalam disana. Pak De langsung menanggapi pesan Bapak sambil menangis, begitu kata Bapak.

Route Plan Pare-Jombang

Route Plan Surabaya-Jombang-Surabaya

Target Operasi (tanda panah hijau) dusun Mancar, Peterongan, Jombang
 
Oleh Bapak, saya kemudian dibriefing mengenai lokasi dan rute kota-kota yang akan saya singgahi. Dari Bandara Juanda, saya akan mengarah ke kota Surabaya menemui Bu De (saudara sepesusuan Bapak) untuk sekedar ‘melapor’ kedatangan saya dan mungkin bercerita sedikit tentang maksud perjalanan ini. Lalu, siangnya selepas Dzuhur saya akan langsung menuju Pare dengan naik bis antar kota melalui terminal Bungurasih. Di Pare, saya akan menginap semalam. Bercengkerama sebentar dengan Pak De Wid. Lalu, besoknya saya akan menuju Jombang. Menuju tempat pencarian saya. Selepas dari Jombang, saya akan pergi kembali ke Surabaya karena pesawat Airbus itu akan mengangkut saya lusa pagi pada flight pertama ke Bandung. Waktu saya memang singkat. Saya membuat rencana sepadat mungkin dengan tetap mengutamakan prioritas utama ke Makam Eyang Kakung dan Eyang Ti, lalu kemudian bersilaturahmi dengan segenap keluarga besar di Pare, Kediri, dan Surabaya. (...bersambung...)

Sambungan - Menjombang: Sebuah Napak Tilas (2)
Sambungan - Menjombang: Sebuah Napak Tilas (3-tamat) 


Pare-Surabaya-Pharmindo-Paninggilan, Februari 2013.

Sabtu, 09 Maret 2013

Zero Dark Thirty: An American Revenge

“I'm going to smoke everyone involved in this op and then I'm going to kill bin Laden.” 
 – Maya (Jessica Chastain)

Osama bin Laden adalah sosok yang mengubah konstelasi peradaban dunia sejak peristiwa 9/11. Rentetan peristiwa yang tak urung mengubah kondisi geopolitik dunia, dimulai dengan invasi ke Afghanistan tahun 2001, dan penyerbuan terhadap Irak tahun 2003. Okupansi yang masih terus berlangsung hingga hari ini. Segenap pemboman dibelahan dunia lain seperti di London 2005 pun dikaitkan dengan tokoh utama Al Qaeda ini. Sehingga kepalanya dihargai sangat tinggi oleh para pemburunya.


Zero Dark Thirty menampilkan thriller khas Amerika. Konspiratif dan provokatif. Ketegangan dimulai sejak scene pertama. Interogasi atas tahanan yang dianggap sebagai penyiksaan ditampilkan sebagai sesuatu yang biasa terjadi. Sang interogator tidak segan-segan melakukan kekerasan fisik.

Cerita terus berlanjut. Kegagalan demi kegagalan mengikuti misi CIA dalam melindungi ‘homeland’. Serangan bom bunuh diri kian marak. Al Qaeda mengaku bertanggungjawab atas semua kejadian itu. Puncaknya, bom bunuh diri yang dilakukan seorang martir Al Qaeda di field base operation CIA. CIA semakin dibuat kebingungan dalam menentukan target besar yang mereka cari, Osama bin Laden.


Sudah jadi rahasia umum bahwa Osama bin Laden bersembunyi di suatu tempat yang rahasia. Suatu tempat terpencil yang tetap masih bisa membuatnya berhubungan dengan dunia luar. Persembunyian Osama di Abbottabad, Pakistan pun akhirnya berhasil ditemukan oleh CIA. Namun, butuh waktu sekitar 100 hari lebih sebelum akhirnya para pemimpin CIA mengambil tindakan atas informasi intelijen itu.

Atas prakarsa Maya (Jessica Chastain) informasi keberadaan Osama dapat ditindaklanjuti. Serangan ke Abbottabad akan dilakukan oleh pasukan khusus NAVY SEAL dengan menggunakan dua helikopter Apache yang telah dimodifikasi ‘stealth mode’. Menarik, karena dua helikopter ini disimpan di Area 51 Nevada AFB.



Penyerbuan pun dilakukan. Satu helikopter gagal mendarat dengan sempurna. Walau begitu, tanpa kehilangan personil, NAVY SEAL tetap menerobos markas persembunyian Osama. Tidak ada perlawanan berarti. Kecuali, beberapa tembakan dari pengawal Osama. Adegan kekerasan muncul sepanjang penyerbuan dan pembunuhan terhadap terrorists suspect. Hingga akhirnya NAVY SEAL berhasil memastikan Osama bin Laden telah berhasil dibunuh.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Pertama kali mengetahui peristiwa penyerbuan untuk memburu Osama bin Laden pada Mei 2011 ini akan difilmkan yaitu waktu saya menonton “Habibie dan Ainun” awal bulan Januari kemarin. Dalam trailer film, sudah nampak beberapa adegan yang jelas-jelas bakal menunjukkan rating film ini sebagai Restricted, Parental Guidance. Sejak itu, saya berspekulasi bahwa Zero Dark Thirty adalah sebuah film dokumenter. Ternyata, saya salah. Film ini adalah sebuah thriller.


Sayangnya, saya tidak menemukan banyak adegan tembak menembak seperti dalam serial film intelijen seperti The Bourne Quartology dan James Bond. Kebanyakan adegan dalam film ini menampilkan beberapa persoalan internal CIA, seperti kapan mereka akan mengambil tindakan, dan segenap kegagalan CIA dalam menemukan ancaman ‘imminent threat’.

Zero Dark Thirty adalah sebuah istilah “slang language” dalam konteks militer, untuk waktu yang disebut sebagai “early hours of the morning before dawn”. Relevansinya dengan film ini adalah bahwa peristiwa penyerbuan ke markas terakhir Osama dilakukan pada tengah malam hingga pukul 2 pagi pada tanggal 2 Mei 2011. Istilah ini juga melambangkan selubung kegelapan dan kerahasiaan yang merundungi satu dekade usaha penangkapan Osama bin Laden.

Zero Dark Thirty seakan menjadi legitimasi bagi tindakan Amerika Serikat dalam memberantas  terorisme global. Segala tindakan yang mengancam keamanan dalam negeri sekaligus hegemoni Amerika Serikat di panggung dunia akan mereka lumat habis, tak terkecuali. Sebuah balas dendam a la Amerika terhadap semua yang Al Qaeda pernah lakukan atas mereka. Bagaimanapun, sejarah tetap mencatat bahwa perburuan terhadap Osama bin Laden adalah sebuah perjalanan panjang dalam sejarah umat manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Judul           : Zero Dark Thirty
Sutradara    : Kathryn Bigelow
Cast            : Jessica Chastain, Jason Clarke, Reda Kateeb, Joel Edgerton, Jennifer Ehle
Tahun         : 2013
Produksi     : Columbia Pictures

Paninggilan, 9 Maret 2013.

Minggu, 03 Maret 2013

Doorstoot Naar Djokja

“Jatuhnya Ibu Kota karena serangan Belanda, tidak berarti akhir perjuangan kita. Tetapi dari situ, justru rakyat Indonesia akan memulai perjuangannya yang sengit dan ulet, dan sama sekali tidak mengenal ampun. Republik akan tetap terus berdiri, meski para pemimpin negara ditangkap musuh. Prinsip pokoknya, rakyat akan tetap melanjutkan perjuangan..” 
  Menteri Penerangan, Moh. Natsir – hal. 73

Prolog

Pembacaan atas buku ini diniatkan sejak membaca buku “Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir” terbitan Tim Buku TEMPO, Desember 2012. Buku kecil yang memuat riwayat singkat Panglima Besar Soedirman, karir kepemimpinan militer, hingga kontroversi yang melingkupinya. Sebagian isi buku bercerita soal Agresi Militer Belanda ke-2 yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Simon Spoor, Panglima KNIL, dengan sandi Operatie Kraai (Operasi Gagak) ke jantung republik di Yogyakarta.



Sebuah artikel menyebutkan bahwa satu referensi yang secara detil mengungkapkan soal Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, adalah buku ini, Doorstoot Naar Djokja yang ditulis oleh Julius Pour. Atas asalan itulah, pembacaan atas buku ini dilangsungkan sebagai ‘sambungan’ cerita sebelumnya dari buku Panglima Besar Soedirman.

Naar Djokja

Doorstoot Naar Djokja, bila diterjemahkan secara bebas (mengacu pada Google Translate) adalah Tusukan ke Jogja. Barangkali, itu sebabnya dinamakan Operatie Kraai atau Operasi Gagak. Serangan ke jantung Republik dilangsungkan sejak 19 Desember 1948 pukul 00.00. Ribuan prajurit KNIL (Koninklijke Netherlands Indische Lager-Tentara Hindia Belanda) didukung puluhan pesawat tempur mengudara dari Lapangan Udara Andir di Bandung menuju sasaran Lapangan Terbang Maguwo Yogyakarta.


Simon Hendrik Spoor, Panglima KNIL

Serangan ke Maguwo dilaksanakan oleh KST (Korps Speciale Troopen-Korps Pasukan Khusus) untuk segera menduduki lapangan terbang dan membuat jembatan udara dengan pasukan kiriman dari  Kalibanteng Semarang. Sebelum berangkat terbang, pasukan para KST melagamkan mars untuk menaikkan moral mereka “..naar Djokja.. naar Djokja..”.

Penyerbuan mendadak ke Yogyakarta ini tidak pernah diduga oleh Pemerintah Republik sebelumnya. Berhubung Komisi Tiga Negara (KTN) masih berada di Kaliurang, Yogyakarta. Pengalaman lebih dahulu membuktikan bahwa Belanda akan kembali mengulang hal serupa seperti yang dilakukannya pada Agresi Militer ke-1, 21 Juli 1947. 

Pesawat Bomber KNIL di Lapangan Terbang Andir, Bandung

Saat itu, Belanda mengumumkan bahwa pasukannya telah melintasi garis demarkasi Van Mook pada pukul 00.00. Berdasarkan kenyataan itu, Kolonel TB Simatupang mencoba meyakinkan Bung Hatta. Secara logis, Bung Hatta meyakinkan bahwa kemungkinan Belanda menyerang sangat tidak masuk akal. Sedangkan, para pemimpin militer sudah melihat kemungkinan akan datangnya serangan Belanda sehingga militer telah menyiapkan Perintah Siasat dari Panglima Besar Soedirman.

Melalui siaran radio hari Sabtu, 18 Desember 1948, Wakil Agung Mahkota Kerajaan Belanda, Dr. Louis Van Beel, mengeluarkan maklumat bahwa ia akan mengumumkan sesuatu pada esok pagi. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak para pemimpin Republik. Tidak biasanya pengumuman dari Belanda datang pada hari Minggu. Kecurigaan terhadap kemungkinan serangan pun semakin meningkat.

Pengambilan keputusan yang berjalan alot di KTN antara kedua negara bersengketa telah membuat Belanda memainkan intrik. Saluran komunikasi sengaja diputus. Kemudian, Van Beel juga ‘memainkan’ surat Merle Cochran, komisioner KTN. Sehingga, Perdana Menteri Dr. Drees di Den Haag pun tidak mempunyai pilihan lain selain memberi otorisasi kepada Simon Spoor untuk melaksanakan Aksi Polisionil (sebutan Belanda untuk tindakan agresi militer ke Republik Indonesia) setelah menimbang semua laporan ia terima.

Sabtu malam pukul 21.00, Jusuf Ronodipuro dipanggil menghadap ke Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka) dalam kapasitasnya sebagai perwakilan delegasi Republik. Dalam kesempatan itu, Jusuf menerima sebuah surat dari Wakil Agung Mahkota bahwa Pemerintah Kerajaan Belanda merasa telah tidak terikat dengan perjanjian Renville.

 “The said agreement should be terminated and is considered as no longer binding as from Sunday, 19 December, 1948, 00.00 hours Batavia time.” (hal.15)

Peran Delegasi Republik di Batavia dalam menyiarkan berita soal penyerangan ini sangat penting. Mereka kemudian menyusun laporan soal kejadian itu dan segera mengirimkan telegram kepada Duta Besar Republik Dr. Soedarsono dan Menteri Keuangan Alex Maramis yang sedang berada di New Delhi, India, melalui saluran telegram milik Konsulat Jenderal India di Jakarta. Sehingga, pada hari Minggu keesokan harinya All India Radio di New Delhi sudah dapat menayangkan berita bahwa tentara Belanda telah menyerang dan membom Yogyakarta.

Minggu, 19 Desember 1948. Pesawat pertama pengangkut KST berangkat dari Andir, Bandung. Menyusul pesawat lainnya yang terang setiap satu menit. Pukul 08.00 pagi Dr. Louis Beel membacakan pengumuman yang isinya serupa dengan suratnya kepada Delegasi Republik di Batavia. Sedangnya, 3,5 jam sebelum pidato Beel dibacakan, tepat pukul 05.15 Landasan Udara Magoewo sudah dihujani bom oleh tiga pesawat pengebom taktis B-25. Hal ini menandai serangan pengecut dari pihak Belanda sebelum dikeluarkannya pernyataan perang.

 
Pesawat Bomber KNIL menuju Yogyakarta

Pemboman terus berlanjut hingga KST berhasil menyelasaikan tugasnya dan pasukan tentara KNIL bersama Marinir dari KM (Koninklijke Marine- Angkatan Laut Kerajaan Belanda) dapat menyerbu ke Yogyakarta. Dengan kondisi demikian, Presiden Soekarno segera mengadakan rapat kabinet guna menentukan langkah apa yang akan diambil oleh Pemimpin Republik. Dalam sebuah catatan, rapat kabinet tersebut dihadiri oleh Panglima Besar Soedirman. Namun, Panglima Besar tidak ikut masuk di ruang rapat melainkan menunggu di ruang tamu Istana Presiden. Hal ini menjadi indikasi awal bagi anak judul buku ini, yaitu pertikaian pemimpin sipil-militer.

Briefing Koninklijke Marine, 18 Desember 1948*


Keputusan telah diambil. Bung Hatta mengirim telegram untuk memberikan mandat kepada Menteri Urusan Kemakmuran, Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membuka Pemerintahan Darurat Republik seandainya pemimpin Republik di Yogyakarta ditahan Belanda. Kemudian, pesan itu juga diteruskan bahwa Menteri Keuangan Alex Maramis yang sedang berada di India untuk membuka Exile Government.

Presiden beserta staf akan tinggal di Istana Presiden. Presiden Soekarno menyatakan tidak akan ikut bergerilya bersama Panglima Besar Soedirman, seperti sudah direncanakan sebelumnya bila Yogyakarta diserang musuh. Kenyataan tersebut melukai hati Panglima Besar Soedirman. Bahwa Soekarno ‘melanggar’ janjinya sendiri untuk ikut memimpin perjuangan gerilya. Dengan berbagai alasan, Panglima Besar Soedirman terpaksa menerima kenyataan bahwa Pemimpin Republik telah ‘menyerah’ kepada Belanda.

Pertempuran tidak hanya terjadi di Yogyakarta saja. Pertempuran guna menghalangi mobilisasi pasukan Belanda juga dilakukan di kota Solo, dipimpin oleh Komandan Wehrkreise (Kantong Militer) I, Letkol Ignatius Slamet Riyadi. Atas perintahnya, Solo kemudian dibumihanguskan dan pasukan Republik mengundurkan diri ke luar kota untuk melakukan perlawanan balasan secara mendadak.

Panglima Besar Soedirman dilantik sebagai Pemimpin Angkatan Perang


Serangan Belanda yang bertujuan meringkus Pemimpin Republik serta menghabisi tentara Republik ini berjalan begitu singkat sehingga pada Minggu siang, Soekarna beserta pemimpin lainnya yang masih berada di Istana ikut ditangkap Belanda. Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim diasingkan ke Parapat, Sumatera Utara. Sedangkan, Bung Hatta, Ali Sastroamidjoyo, Suryadarma, dan Moh. Roem, menyusul diasingkan ke pulau Bangka.

Dalam keadaan gerilya, Panglima Besar Soedirman menerima kabar bahwa Pemimpin Republik telah menyerah. Mereka ditangkap di Istana. Hal ini tentu sangat menyakitkan hati Panglima Besar. Bagaimanapun, mereka tidak melakukan perlawanan sedikit pun dan membiarkan diri mereka ditangkap musuh. Keadaan ini ikut memperburuk kondisi kesehatan Panglima Besar yang memang sudah ringkih.

Serangan Umum 1 Maret 1949

Perlawanan demi perlawanan pun terus dilakukan di berbagai kota. Belanda masih bernafsu untuk menghabisi Panglima Soedirman. Sedangkan, upaya diplomasi melalui PBB pun terus dilakukan. Dewan Keamanan diminta segera mengeluarkan resolusi terkait dengan agresi militer Belanda kepada suatu negara berdaulat. Sementara perjuangan diplomasi terus berlanjut, tentara Republik berusaha menyerbu kembali Yogyakarta. Serangan yang kemudian terkenal dengan sebutan “Serangan Oemoem 1 Maret 1949”, dipimpin oleh Komandan Wehrkreise III, Letnan Kolonel Soeharto, yang kelak menjadi Presiden selama 32 tahun.

Serangan itu dimulai usai bunyi sirine tanda jam malam berakhir. Letkol Soeharto mempimpin sendiri pasukannya untuk menyerbu Yogyakarta. Serangan tersebut berlangsung dengan sukses. Bukan saja mengejutkan tetapi juga terkoordinasi dengan cermat. Pertanyaan kemudian muncul, siapakah yang memberi otorisasi kepada Letkol Soeharto untuk melaksanakan serangan. Perintah Panglima Besar Soedirman kepada Sultan Hamengkubuwono IX, untuk tetap tinggal di kota dilaksanakan sepenuhnya oleh Sultan. Sehingga, Sultan dapat mudah berkoordinasi dengan Letkol Soeharto yang berhubungan dengan Sultan lewat kurir, bahkan bertemu sendiri dengan Sultan sehingga dicapai kesepakatan untuk melakukan serangan. Serangan ini juga berarti memberi pernyataan kepada dunia bahwa pasukan militer Republik masih ada. Dengan cerdik, ketika serangan dimulai, dari basis operasi radio di Wonosari, tersiar kabar bahwa pasukan Republik menyerang dan dapat menguasai Yogyakarta. Sebuah pukulan besar bagi Belanda yang kemudian menyerang Wonosari dengan sia-sia karena telah ditinggalkan pasukan Republik.

Letkol Soeharto melapor kepada Sultan Djokja
Melalui UNCI (United Nations Commision for Indonesia), perjuangan diplomasi Republik membuahkan hasil yaitu dengan dibebaskanny Pemimpin Republik. Pembebasan tersebut dilakukan setelah Belanda mendapatkan desakan bertubi-tubi dari komunitas internasional. Belanda sebagai negara penerima Marshall Plan yang digulirkan Amerika Serikat untuk membangun kembali perekonomian negara dicurigai menyalahgunakan dana tersebut untuk menyerang Indonesia, suatu tuduhan yang kemudian terbukti.

Kembalinya Panglima Besar dan Silang Pendapat

Persoalan kemudian mengemuka menjelang pelaksanaan gencatan senjata. Pada sidang kabinet 15 Juli, pemerintah secara terbuka menuduh pemimpin militer menyatakan gencatan senjata sulit dilakukan. Militer menganggap tidak ada jaminan bahwa Belanda akan datang ke KMB (Konferensi Meja Bundar).

10 Juli 1949, Panglima Besar Soedirman kembali ke Yogyakarta, meninggalkan persembunyian selama perjuangan gerilya berlangsung. Panglima Besar kembali ke Yogyakarta dengan dijemput oleh Letkol Soeharto. Ikut bersama rombongan adalah wartawan harian Pedoman, Rosihan Anwar. Petikan wawancara Rosihan Anwar dengan Panglima Besar segera dikirim ke Batavia.

Dalam catatannya, Rosihan Anwar menulis bahwa Jenderal Soedirman tidak menyetujui garis kebijaksanaan politik para pemimpin Republik yang berada di Bangka. Perjanjian Roem-Roijen yang diterima tanggal 7 Mei 1949, tracee-Bangka, seperti digariskan Soekarno, pada pokoknya akan menghentikan perang gerilya dan bersedia ikut dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, guna merundingkan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia Serikat, tidak dapat diterima sepenuhnya oleh Panglima Besar Soedirman. Akibatnya, guna menghindari kesan terjadinya perpecahan pendirian di pucuk pimpinan Republik, Panglima Besar Soedirman harus bisa diajak kembali ke Yogyakarta.

Panglima Besar Soedirman bersama Letnan Kolonel Soeharto

Panglima Besar Soedirman menampakkan dirinya kembali ke tengah khalayak yang menunggunya dengan pakaian sederhana yang selama itu digunakannya bergerilya, pakaian sederhana seorang petani Jawa dengan ditutupi mantel Tentara. Sebuah sikap yang jujur pada sejarah, mengutip penilaian TB Simatupang.

Panglima Besar Soedirman kemudian melapor ke Istana untuk bertemu Presiden dan Wakil Presiden. Setelah itu, Panglima Besar beranjak ke Alun-Alun Utara untuk menyambut parade pasukan. Sore itu, Panglima Besar Soedirman selalu berdampingan dengan Soehart, salah satu perwira militer kepercayaannya. Sosok yang memberikan jaminan pribadi sehingga Panglima Besar bersedia meninggal tempatnya memimpin perang gerilya.

Melalui berbagai pembicaraan, pada 1 Agustus 1949, gencatan senjata secara resmi diumumkan. Gencatan senjata itu adalah kebijakan politik yang konon sudah dirancang Presiden Soekarno dalam pengasingannya di Bangka.

Pada hari itu juga, Panglima Besar Soedirman menulis surat kepada Presiden Soekarno, yang pada intinya melukiskan akibat dari berubahnya kebijakan yang ditempuh para pemimpin politik. Sejumlah perwira militer telah mengalami geestelijke harakiri (bunuh diri jiwa). Meninggal akibat penderitaan batin. Panglima Besar menunjuk contoh Letjen Oerip Sumoharjo dan Kolonel Tjokronegoro. Kemudian, Panglima Besar juga meminta persetujuan atas pengunduran dirinya dari jabatan Panglima Besar Angkatan Perang dan Kepala Staf Angkatan Perang, disertai dengan opsi keluar sama sekali dari ketentaraan. Surat yang hendak dikirimkan oleh Kolonel AH Nasution itu kemudian dibaca dan Kolonel Nasution menemui Panglima Besar diruangannya. Kemudian, melalui pendapatnya yang menegaskan persatuan pemimpin republik, Panglima Besar batal mengirim surat itu.

Panglima Besar menitip pesan pada Kolonel Nasution, mengharapkan agar Presiden Soekarno sendiri yang memberikan pidato di radio untuk memerintahkan gencatan senjata, berikut kebijakan politik yang mendasarinya.

Sejak hati itu, meski tidak jadi mengundurkan diri, Panglima Besar Soedirman praktis menarik diri dari segala macam kegiatan kemasyarakatan. Presiden Soekarno sendiri sering merasa tidak nyaman, khusus pada sikapnya yang memaksa memberlakukan gencatan senjata yang tidak disetujui Panglima Besar Soedirman.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Membaca kembali sejarah peristiwa yang menentukan keberlangsungan sebuah Republik adalah ibarat menyusun puzzle. Kemudian, kepingan puzzle yang berserakan itu kembali menyatu menjadi sebuah gambar utuh. Begitulah, pembacaan atas sejarah Republik ini dilangsungkan. Pembacaan yang menggabungkan kembali berbagai pengalaman sejarah lainnya.



Doorstoot Naar Djokja, dewasa ini menjadi sebuah referensi sekaligus catatan sejarah perjalanan bangsa yang hadir ditengah modernisasi yang dialami bangsa ini. Buku ini juga penuh dengan catatan sejarah pelakunya. Entah itu pejuang Republik, tentara KNIL, maupun anggota komisioner KTN. Seperti disebutka terlebih dahulu oleh penulisnya, maka catatan tambal sulam ini menjadi lebih bermakna karena pembaca disuguhkan kepada  bukti otentik melalui catatan yang bersifat personal itu.

Personally, saya menggarisbawahi beberapa nama yang kemudian tercatat dalam sejarah Republik sebagai ‘pengkhianat’. Pembentukan dewan-dewan bersenjata di beberapa daerah yang kemudian mencoba melakukan kudeta pasca diberlakukannya rasionalisasi angkatan perang adalah bukti ketidakpuasan militer terhadap kebijakan pemimpin politik. Memang pada akhirnya TNI berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Namun, sangat disayangkan bahwa Republik telah kehilangan putra-putra terbaiknya. Meniru ucapan Syafruddin Prawiranegara menjelang ajalnya “rasanya lebih sakit dijajah bangsa sendiri...”.

Pengalaman long-range reading bersama Doorstoot Naar Djokja telah membuka wawasan pada sebuah tabir yang melingkupi sejarah Republik. Lengkap dengan kiprah dan sepak terjang tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Khusus mengenai silang pendapat pemimpin militer-sipil, semuanya terletak di tangan pembaca. Siapa yang paling benar? Sejarah telah mencatat.

Judul        : Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer
Penulis     : Julius Pour
Penerbit   : Penerbit Buku Kompas
Tahun      : 2009
Tebal       : 435 hal.
Genre      : Sejarah

 
Paninggilan, 3 Maret 2013.

* image courtesy Digitale Museale Collectie Nederland, http://www.netwerkoorlogsbronnen.nl

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...