Rabu, 16 September 2009

Mudik



Lebaran sekarang ku hanya titip salam, karena ku tak mampu pulang, ke kampung halaman
*)

Sayup terdengar kembali lagu itu menggelayuti pikiranku yang memang sedang meradang. Meradang ingin pulang katanya. Entah kenapa, menjelang lebaran seperti ini semua perhatian manusia Indonesia sedang tertuju pada suatu kebiasaan yang terlanjur dianggap jadi ritual tahunan. Mudik. Pulang kampung. Aku tidak tahu pastinya darimana kata "mudik" itu berasal. Yang aku tahu, kalau lebaran tahun ini tidak diundur, diralat, atau dibatalkan sama sekali besok akan jadi pengalaman mudik yang pertama.

Aku telah rasakan sendiri bagaimana kini kota yang tidak pernah sepi ini tiba-tiba jadi sepi gara-gara ditinggal penggemarnya. Deru kota yang selalu berseru kini hilang bingarnya. Perlahan seakan pasti kota ini semakin sepi. Jutaan pemudik meretas mimpi untuk kembali. Aku lihat juga wajah-wajah penuh semangat dan kerinduan pada kampung halaman. Lihat pula senyuman mereka yang tidak ada beban sama sekali tersirat sekalipun beban hidup ini barangkali sudah terlalu berat.

Aku telah lihat pula kegembiraan dan suka cita dalam menyambut hari raya. Semuanya adalah hal yang biasa. Namun, kebiasaan itu juga adalah sesuatu yang luar biasa setiap tahunnya sehingga selalu menimbulkan kewajiban untuk melakukannya. Pekerja yang punya THR, bagi-bagi jatah. Yang ini untuk mudik, yang ini untuk belanja, yang ini buat ngasih, selesai. Tidak sampai disitu saja.

Aku masih belum akan berangkat mudik. Aku masih akan menyelesaikan beberapa hal yang belum selesai. Urusan pekerjaan tentunya. Kau tahu sendiri rasanya menahan rasa ingin pulang. Kurang lebih begitulah yang kurasakan. Aku juga masih belum tahu mudik naik apa. Semuanya masih memungkinkan. Entah dengan bis, kereta, pesawat terbang, atau sepeda motor.

*****

Hei, kau! Apa yang sudah kau siapkan untuk mudikmu yang sekarang? Ingin sekali aku berteriak seperti itu supaya setiap orang sadar. Sadar bahwa mereka sedang ada dalam balutan penuh kerinduan dan bisa jadi semu. Kalau mudikmu cuma buat pamer tentang hidupmu di kota tolong buang saja niat mudikmu itu. Entah siapa yang berteriak dalam kepalaku yang masih meradang ini.

Sampai disini aku tidak tahu apa yang harus kutulis lagi. Pahala Kencana jurusan Jakarta-Madura melintasi didepanku. Ia bagaikan kereta kencana yang akan mengantarkan mereka yang telah membenamkan mimpinya. Sementara, Sinar Jaya masih jadi primadona untuk pemudik tujuan Jawa Tengah. Sebutan Antar Kota Antar Kecamatan membuatnya tidak pernah kehilangan penggemar setia.

Sedang apa kau disitu, Aninda? Sedangkah engkau menantikan kedatanganku sambil berharap aku membawa uang yang banyak untuk modal kita nikah nanti? Atau malah sibuk membantu ibumu membuat kue untuk lebaran nanti? Ah, kau memang tahu saja kalau aku akan pulang dan tentu kau akan sajikan kue-kue itu untukku kan? Bilang Ibumu, aku suka kue coklat seperti yang lebaran kemarin.

*****

Sementara, untuk mereka yang masih sibuk dengan ibadahnya hari-hari seperti ini adalah hari-hari kerinduan. Kerinduan untuk kembali berjumpa dengan Ramadhan tahun depannya. Tidak ada yang pernah tahu kapan ajal memisah jiwa sehingga selalu ada bintik-bintik penyesalan setiap menjelang Ramadhan usai. Memudikkan hati untuk kembali pada jiwa yang fitri.


Kelapa Gading, 16 September 2009


*) P Project, "Mudik" , Album "O Lea... O Leo...."

Jumat, 11 September 2009

Tentang Ia yang Ternyata Itu Aku

Dia sudah sampai disitu setiap jam setengah tujuh pagi. Ia lalu berjalan menuju gedung berlantai lima. Kemudian ia mengisi buku tamu yang untuk sebulan mendatang bakal jadi kartu absennya. Setibanya di ruangan, ia akan menyalakan komputernya. Lalu mengklik ikon kecil di sebelah tombol start. menunggu sebentar, dan kemudian muncullah aplikasi yang selalu ia jumpai setiap harinya. Ia ambil majalah satu persatu, ia buka dan kemudian ia mulai mengetik apa yang dibacanya dari majalah tadi.

Entah berapa hari telah ia lalui, ia sendiri tak tahu pasti karena selama itu pula ia tidak pernah mengisi lagi buku hariannya. Yang ia tahu hanya bangun pagi, membukakan pintu garasi, nebeng mobil karyawan di gedung sate, turun di kantor gubernur, kemudian berjalan menuju kantor perusahaan telekomunikasi tempat ia melakukan Praktek Kerja Lapangan.

...how many hours and how many days....(MLTR-How Many Hours)

Alunan lagu itu terngiang di kepalanya. ia ingat betul karena tepat saat ini ia sedang menulis kisah yang dialaminya setiap hari setidaknya sampai akhir bulan ini. Banyak yang ia lewatkan setiap harinya, mulai dari highlights sepakbola, berita pagi hingga breaking news bahkan gosip-gosip yang selalu sama setiap harinya. Tak terkecuali waktu kumpul bersama keluarga, dan jadwal rutin bermain futsal bersama teman sepermainannya. Ia tidak pedulikan itu semua, karena untuknya, hari ini adalah apa yang akan terjadi semua ini sudah terkehendak atas namanya sehingga ia anggap semua ini adalah kemestian.

Yang ia jalani sekarang adalah sebuah kemestian. Hari-hari yang telah dilalui dan disebut sebagai masa PKL tidaklah lebih dari sebuah perjalanan yang harus ditempuh. Maka tidaklah terlalu penting dimana dia sekarang. Orang lain menganggapnya hebat karena ia diterima di sebuah perusahaan telekomunikasi nasional.

Kadangkala ia jadi teringat pada sebuah buku yang didapatnya dari sebuah kuis di radio. Buku itu berjudul "Kerja Santai, Hasil Oke" sebuah buku terjemahan yang aslinya berbahasa Perancis dan menjadi best seller di beberapa negara di Eropa sana. Kalau teringat pada buku itu, tentu ia akan sangat terganggu pikirannya. Baginya, kesimpulan dari seluruh buku itu adalah benar dimana seorang pegawai cuma jadi kacung dari sebuah permainan besar/global. Dan atas hasil kerjanya ia mendapat upah yang 'layak' padahal mengingat luasnya samudera bisnis upahnya itu sangat tidak layak.

At the otherside, ia tidak menampik kemungkinan bahwa ia akan menjadi aktor dalam lakon buku itu. Ia masih ingin menerima uang bonus setiap bulannya, menyetir sendiri mobil dinas yang diberikan kantornya, dan juga menikmati beberapa fasilitas perusahaan lainnya. Itu semua cuma mimpi. Mimpi yang diharapkan akan terlaksana tidak hanya olehnya tetapi oleh setiap 'calon pengangguran' tentunya.

Dalam buku lainnya ia pernah menganggap benar pernyataan seorang penulis yang sangat benci bangun pagi, bukan karena apa-apa tetapi karena kesibukan orang-orang di pagi hari. Mereka bangun pagi kemudian mencari sarapan, bila tak sempat, sarapan di mobil pun jadi, lalu jalanan pagi yang macet menjadi rutinitas yang sudah pasti. Ia tahu bahwa ia memang pernah menjalani rutinitas bangun pagi semasa sekolah di SMP dan SMA dulu, dan kini saat kuliah, kadang-kadang ia menjalaninya walau tak setiap hari.

Banyak sekali pengaruh penulis itu terhadap dirinya. Awal tahun kemarin, sekembalinya dari Surabaya, ia mau menjalani hidup dengan tidak peduli seperti robot. Persis seperti pada buku yang ia biasa baca. Buku berjudul "Atas Nama Malam" yang ia beli di sebuah toko buku besar di Bandung. Selama kurang lebih 3 bulan ia menjalani hidup yang seperti itu akhirnya ia bosan juga, karena pada dasarnya ia tidak mendambakan hidup yang seperti itu.

Maka kembalilah ia pada kehidupan yang biasa, dimana ia biasa mengisi buku hariannya pada jam 10 malam usai membereskan urusan transaksi dagang pulsa. Didalam buku hariannya ia leluasa bercerita tentang apa yang telah ia alami hari ini.

*****

Hari beranjak sore ditempat ia menulis kisah ini. Ruangan yang tadinya sempat sepi sudah mulai ramai lagi dengan suara speaker komputer, maupun tuts-tuts keyboard. Ia masih duduk disitu memikirkan apa lagi yang harus ia ceritakan. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ia tulis. Tentang kisah-kisahnya yang lalu, tentang kelulusan SPMB yang membuatnya menangis sepanjang 6 km, tentang bagaimana mewujudkan keinginan agar bisa terwujud, tentang nasibnya yang pernah seperti pemain sepakbola pinjaman, tentang kekecewaan yang pernah ia alami hingga membuatnya kebal dan tak tahu rasanya kecewa, setidaknya hingga saat ini

Banyak lagi yang ingin ia ceritakan padamu, entah hari ini, nanti, esok, ia tak tahu. Yang ia tahu sekarang, ia harus segera turun ke masjid, solat ashar, lalu bersiap pulang.


Jl. W.R. Supratman, 21 Agustus 2007

Originally writtenin Bandung, 21 Agustus 2007, 3.58 pm diedit kembali di Kelapa Gading, 11 September 2009.

Selasa, 08 September 2009

Puasa di Jakarta (dan sedikit cerita lainnya)

Bulan Ramadhan semakin beranjak melewati setengah rembulan. Masih rembulan yang sama. Rembulan yang kadang berwarna kemerahan kala menggantung di langit Cikampek bagaikan bola lampu raksasa di tengah jamuan makan malam. Puasa di Jakarta adalah kerinduan. Kerinduan pada suasana Ramadhan di kampung halaman. Rindu pada mushaf yang selalu dibaca menjelang maghrib. Rindu pada suara muadzin-muadzin yang selalu diagungkan menjelang waktu berbuka puasa. Rindu pada ceramah seusai Subuh yang menambah kantuk semakin menjadi.

Seperti biasanya, tidak banyak yang terjadi padaku selama Ramadhan kali ini. Aku masih sama seperti muslim lainnya yang sahur menjelang waktu imsak dan berbuka puasa kala maghrib menjelang. Masalah kesehatan terutama berat badan bukan lagi masalah serius yang harus diperhatikan. Sudah tentu Ramadhan kali ini aku tidak makan tiga kali sehari. Paling banyak dua kali sehari. Sahur dan buka. Sudah itu saja. Jadi, kemungkinan berat badan akan turun bukan khayalan semata.

Ramadhan kali ini rasanya berlalu begitu saja. Sama seperti yang telah kulalui pada tahun-tahun sebelumnya. Tiba-tiba sudah tengah bulan. Harus kuakui kualitas ibadahku masih sama-sama saja. Aku masih menjalankan shalat lima waktu, kadang-kadang ditambah shalat sunat rawatib. Tilawah qur’an kadang-kadang sehabis maghrib. Itu pun melanjutkan bacaan yang tidak selesai sejak Ramadhan-Ramadhan kemarin, bukan dimulai dari potongan ayat pertama Al Fatihah. Disaat kawan yang lain berlomba mengkhattamkan Qur’an, aku malah asyik menamatkan Plan of Attack dari Dale Brown yang tebalnya 510 halaman itu.

Rupanya, aku terbawa alur cerita buku itu yang bercerita tentang proliferasi nuklir Rusia yang berimplikasi pada serangan udara pesawat bomber Rusia ke target-target anti serangan di wilayah Amerika Utara, USA dan Canada. Membaca buku itu ibarat menonton film perang buatan Hollywood. Kurang lebih sama dengan ketika kau menonton Tom Cruise di film “Top Gun”. Mungkin itu sebabnya, ada buku yang diangkat kisahnya untuk dijadikan film atau film yang dibuat berdasarkan pelebaran jalan cerita pada suatu buku tertentu. Kisah seorang pilot ternyata bisa lebih menarik dari tenggelamnya Fir’aun ditelan Laut Merah.

Aku lihat status facebook dan ternyata telah banyak terjadi perubahan. Status kawan-kawan kini lebih banyak dihiasi dengan ucapan syukur atau minimal ucapan-ucapan lainnya yang menyertakan nama Tuhan disana. Ada yang bahagia dan mengucap syukur. Ada yang kecewa sambil tetap optimis bahwa Tuhan tidak akan pernah salah dalam member ujian. Ada yang tidak tahu harus berbuat apalagi sehingga “memaksa” Tuhan untuk memberikan petunjuknya. Ada juga yang cukup menulis juz yang sedang dibacanya sehingga semua Jamaah Al Fasbukiyah mengetahui dan menulis komentar bernada semangat untuk mengkhattamkan Qur’an. Aku rasa hal seperti itulah yang tidak perlu. Soal ibadah biar diri sendiri dan Tuhan saja yang tahu. Khawatir menjadi riya’. Bila sudah begitu percuma saja pahala yang sudah terkumpul lenyap begitu saja bagai api memakan kayu bakar. Begitulah yang kupahami dari Guru Agama waktu sekolah di SMA.

Cerita selanjutnya masih sama saja. Konsumerisme dan konsumtivisme masih menjadi isu yang menarik untuk diangkat menjadi tema bulanan. Lihat saja, banyak pusat perbelanjaan yang mengadakan special offer hingga sale gila-gilaan. Bahkan, ada yang sampai mengklaim bahwa ditempatnya itulah konsumen akan benar-benar menikmati shopping experience yang berbeda untuk pertama kalinya di Indonesia. Sebagai implikasi menjelang lebaran hal ini terlihat sangat lumrah. Selumrah kita meninggalkan kekhusyukan sepuluh hari terakhir untuk saling berlomba memadati pasar-pasar dan tempat perbelanjaan.

Untuk yang masih muda, nongkrong dan belanja di distro masih akan jadi budaya setidaknya 10 tahun lagi. Untuk yang beranjak dewasa, belanja barang branded dengan harga sale bisa jadi pilihan utama ketika THR telah dibayarkan. Untuk kaum dewasa menjelang tua dimana belanja bukan lagi kebutuhan utama mereka hanya cukup menerima pemberian saja dari anak-anak atau keluarga terdekat. Toh, dengan begitu lebaran masih akan tetap semarak.

Kalau ada yang sampai membuatku sibuk menjelang lebaran ini adalah persiapan mudik. Aku akan bersama jutaan warga kota ini akan terlibat bersama dalam sebuah ritual tahunan. Tujuanku tidak jauh, hanya sampai ke Bandung saja. Namun, esensinya masih akan tetap sama. Mudik ya pulang ke kampung halaman. Kira-kira begitu tafsirnya walau tentu berbeda dengan ketika pulang pas bukan waktunya mudik. Kalau lebaran tahun ini tidak diundur dan di suspend, Insya Allah ini akan jadi mudik pertama. Jadi aku belum akan terlalu banyak cerita karena aku belum mengalaminya.

***

Mestinya kau tak perlu buka buku harianku
Hanya akan membuat dirimu tersiksa dalam rasa curiga *)

Pelan lagu mengalun dari speaker. Sebuah lagu lama dari Krisdayanti zaman dulu dia belum terkenal dan seheboh sekarang. Dulu lagu itu memang hits. Aku masih ingat cuplikan video klipnya. Ternyata, dari zaman dulu selingkuh itu memang sudah ada dan tercipta. Maka, aku tidak heran apabila sekarang cerita dalam lagu itu menimpa si penyanyinya. Aku memang tidak mengikuti berita perceraian Krisdayanti. Aku hanya baru tahu kejelasan ceritanya dari tulisan di kolom kecil The Jakarta Post hari ini. Anang mengaku kehilangan separuh jiwanya. What a sad story. But that’s reality. Once you get betrayed, you’ll get another betrayal. Kadang cinta dan pengkhianatan menjadi sebuah ikatan yang utuh tanpa harus saling melepaskan. Dan inilah waktu yang tepat untuk berkata "I'm sorry goodbye***)"

Lagu lainnya yang keluar dari speaker yang bermerek sama dengan nama atasanku terdengar sedikit aneh.

Waktu aing datang ka imah sia
Ku indung sia dipareuman lampuna
kagok edan ku aing sagala dipacok
sihorengteh indung sia kabagean **)

Aku jadi teringat kisah seorang anak kecil. Ia selalu tidur bersama ibunya setiap malam. Pada suatu purnama yang sempurna, ia terbangun dari tidurnya dan tidak mendapati sang ibu disampingnya. Mungkin karena sudah menyimpan rasa curiga ia pergi mengambil sebilah pisau di dapur. Kemudian, ia berjalan keluar rumah diterangi purnama yang bagaikan bola lampu neon besar.Entah bagaimana, dalam kegelapan kamar, ia kini mendapati ibunya sedang hanyut dalam pelukan seorang lelaki yang tidak ia kenal. Keduanya tidak bangun dan tidak tahu bahwa ada seorang anak kecil dengan sebilah pisau tengah menanti mereka untuk memberi izin pada Izrail untuk mencabut nyawa keduanya. Singkat cerita, si anak kembali pulang ke rumah dengan pisau berlumuran darah. Ia tidak tahu apa-apa. Tidak ada pula teriakan kesakitan ketika akhirnya Izrail melaksanakan tugasnya.

Mengerikan memang. Tapi, apapun masih bisa terjadi dalam hidup ini. Semuanya kadang bisa jadi kejutan tanpa harus menunggu keajaiban.

***

Senja telah turun di Jakarta. Matahari kini bagaikan bola merah membara. Sinarnya kini menembus jendela ruanganku. Gemuruh terdengar tandanya pekerja pulang ke rumah. Semua saling berlomba. Mengejhar adzan maghrib katanya. Aku tahu maghrib pun akan segera menghampiriku tepat dalam macetnya Jakarta. Debu, cinta, dan rindu berkejaran menghiasi kota yang tidak pernah diam sepi.


Kelapa Gading, 8 September 2009


*) Krisdayanti, “Terserah (buku harian)”. Ngetop pada zamannya.
**) The Panas Dalam, “Maklum Poek”. Penampilan liriknya dalam bahasa sunda tergolong cukup ekstrim tapi menghibur.
***) Krisdayanti, "I'm Sorry Goodbye".

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...