Rabu, 30 November 2011

Catatan Mahasiswa Gila: Bacaan Wajib Menuju Indonesia Cerdas 2020

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Membaca catatan mahasiswa seganteng Adhitya Mulya rasanya Seperti membaca kembali buku Kejar Jakarta (2005) dan Travelers Tale (2007). Nuansa komedi dramatis mulai terasa dari cover buku yang cukup konyol. Sepertinya mudah saja untuk menebak isi buku ini. Namun, jangan salah. Don't judge a book by its cover sangat berlaku untuk Catatan bapaknya Aldebaran dan Arzachel ini.


Diambil dari catatan blog dalam rentang waktu 2002-2005 yang sebagian masih bisa dibaca kembali di situs aslinya, www.suamigila.com. Walaupun terkesan ringan tetapi buku yang habis dibaca sekali duduk ini menyimpan banyak hikmah. Belum lagi, semua tulisan didalamnya dibuat berseri dengan judul Seri Penelitian Ilmiah dari seorang Profesor yang nampak tidak bersahabat dengan nasib.

Yang mengesankan adalah fakta bahwa mahasiswa ganteng (baca: gila) ini mampu menghadirkan suasana santai penuh kelucuan sambil memberi kita banyak pelajaran. Misalnya, pada saat akan membuat tiang pancang untuk domba kurban. Sungguh suatu pelajaran hidup yang sepele namun kadang terlupakan.

Simak cerita tentang pertemuan si ganteng dengan kawan lamanya, Hendar. Apakah pembaca setuju bila si ganteng ini berhasil membantu Hendar maka akan menambah kegantengannya? Belum lagi kisah dengan Wiwin, Titin, Mimin, Dimsen, cerita PKL di Batam dan masih banyak kejanggalan semasa kuliah yang berkorelasi dengan menurunnya IP (indeks prestasi).

Favorit saya adalah catatan yang berjudul "Life Happens". Saya sempat membacanya di suamigila.com. Bahkan sampai mengulang beberapa kali. Kalau boleh, dari sekian catatan, saya nobatkan tulisan ini sebagai tulisan paling bermakna untuk saya.

Momen favorit lainnya adalah ketika pemeran Jusuf di Travelers Tale ini bertualang seharian hanya untuk mencari Majalah Pria terbitan Maret 1999 dengan Nyla Bernadette sebagai covernya. Untung saja, Adithya* masih waras untuk tidak meniru gaya Nyla dalam bukunya ini. Salut untuk Dimsen yang rela meninggalkan kelas kuliah demi menemani sahabat gilanya ini.

Masa kuliah adalah masa pengukuhan jati diri. Masa dimana hidup akan ditentukan. Saya rasa, tidak ada salahnya untuk tidak terlalu serius dalam menggarap kuliah. Toh, mahasiswa semacam Aditya* dan Dimsen mampu melakukan reverse engineering untuk meyakinkan dosen pembimbing mereka bahwa mereka layak mendapatkan nilai A tanpa presentasi. Ada momen-momen tertentu yang mengharuskan kita untuk fokus. Namun, ada kalanya hidup tidak melulu serius. Toh, mereka juga akhirnya bisa lulus.

Memasuki akhir buku ini, penulis mengajarkan kita bahwa kuliah itu tidak hanya untuk sekedar kuliah. Ada sesuatu yang harus kita pelajari ditempat lain dengan cara yang lain pula. Ada pergeseran dari nuansa komedi ke nuansa yang lebih kontemplatif. Life is so fantastic. Fortunes available anywhere and it's inevitable.

Judul: Catatan Mahasiswa Gila
Penulis: Adhitya Mulya
Penerbit: Mahaka Publishing
Tahun: 2011
Tebal: x + 181 hal.
Genre: Memoar

 
 Paninggilan, 29 November 2011.

* Sengaja disalah-salahin, pengen tau kenapa? Baca aja bukunya. Tapi harus beli lho ya supaya bisa jadi Best Seller lagi.

Selasa, 29 November 2011

Surat Cinta buat Ninda

Saat bersamamu...
Sederhana dan indah tak dapat ku ungkapkan dengan kata-kata...
Perasaan yang ada...
Hilang lebur bersama...
Saat engkau menjelang bahagia... Dengannya...*)


Selamat pagi, siang, sore dan malam. Kapanpun engkau terima suratku ini, Ninda. Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan padamu. Sebelum waktu itu benar-benar datang dan kita akan segera berpisah jarak dan waktu. Mungkin nanti kau tidak akan mengenaliku lagi atau malah pura-pura tidak kenal. Seperti yang engkau tunjukkan saat ini. Setiap tatapan kita saling berpandangan. Aku tahu hari bahagiamu akan segera menjelang. Waktu kan segera menuai usia kita. Dan pula dalam hitungan hari engkau akan segera tidak berada disini lagi. Berkantor di ruangan pojok itu. Sebuah "ruang sakral" sebelum aku tahu engkau ada pemiliknya.

Engkau mungkin masih merasa terkejut kala tahu suratku ini benar-benar tertuju padamu. Suratku ini bukan lukisan luka di hati. Tak perlu kau hempas meski tak ingin kau sentuh. Entah, tiba-tiba saja aku ingin menulis surat untukmu. Kuterimakan kekalahanku untuk memenangi hatimu. Sebelum aku tahu engkau benar-benar tidak disini, aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu. Bukan untuk meyakinkanmu seolah aku ini makhluk paling benar di kolong langit. Bukan juga karena aku meragukan keputusanmu. Hanya untuk mengingatkan saja.

Ninda, apakah calon suamimu itu mampu mengimami sholatmu? Apakah calon suamimu itu mampu mengeja ayat-ayat cinta dalam surat Al Fatihah? Apakah engkau akan menerima begitu saja ketika ia minta engkau membimbingnya membaca Al Fatihah sambil terbata? Apakah calon suamimu itu tahu makna Shirottal Mustaqqim didalamnya? Apakah engkau sudah siap dan sanggup untuk bersabar kala membangunkannya di subuh hari? Belum lagi ketika anak pertama kalian lahir kelak. Apakah calon suamimu itu sudah lebih dari mampu untuk mengumandangkan adzan ditelinganya?

Memang tidak ada larangan dalam Al Qur'an untuk menikahi seorang ekspatriat asal negerinya Hiroko. Selama calon suami yang kekasihmu itu mampu mengucap dua kalimat syahadat dan benar-benar bisa mengamalkannya. Aku hanya sekedar mengingatkan saja bahwa kadang kebahagiaan itu bisa datang dari mana saja. Bahkan dari hal-hal kecil sekalipun. Misalnya, saat suamimu itu mengimamimu dan kau mencium tangannya usai Attahiyat akhir dan engkau berdua mengucap doa penuh harap agar tidak menggantung di kaki langit sana. Betapa sederhananya hidup ini bila kita memang menginginkannya.


Aku tahu setiap pertemuan kita adalah luka. Luka yang hanya waktu saja yang mampu sembuhkan. Cepat atau lambat. Ingatlah oh Ninda, bahwa aku katakan ini bukan karena kebencianku setiap kau tak membalas senyumku. Bukan. Aku hanya ingin jadi temanmu saja, yang selalu mengingatkanmu pada hal-hal yang mungkin saja sempat tak terpikirkan olehmu.

Anggap aku ini termasuk dalam golongan kaum yang cemburu. Tapi aku tidak akan pernah rela bila harus melihatmu berjuang untuk sesuatu yang demikian. Walau aku tahu kau akan sanggup menghadapi seribu satu konsekuensi karenanya.

Ninda, aku pun tahu engkau mungkin tidak akan pernah menghiraukan suratku ini. Aku tahu engkau sudah muak dengan salam-salam yang sering kutitipkan. Aku tahu engkau selalu mengharapkan kenyataan bukan salam semata. Ninda, maafkanlah aku. Aku yang tak pernah bisa adil pada cinta kau dan dia. Padahal, ada kau dan dia itu pun bukan aku yang mau. Biar Tuhan saja yang menolongku. Membantuku untuk sedikit melupakanmu. Itu pun kalau Dia tidak keberatan.

Salam rindu penuh cinta,


diatas bis jemputan, 29 November 2011.


*) dari lirik lagu "Jatuh" dinyanyikan oleh She Band (formasi tahun 2000).

Selasa, 22 November 2011

Lagu untuk Cinta: The Power of Love

Selamat pagi Cinta,

Kalau ada inovasi yang paling menyenangkan dari dunia penerbangan nasional adalah in-flight entertainment. Satu hal yang menarik dari hal ini adalah mereka menyediakan musik untuk dimainkan via Jukebox. Sayangnya, semua album dalam sistem itu pre-loaded dan hanya menampilkan karya-karya terbaik atau yang sedang in saat ini.

Untungnya, selera maskapai penerbangan plat merah ini cukup lumayan. Ada beberapa kumpulan album terbaik dari Ella Fitzgerald hingga Rhoma Irama termasuk Celine Dion. Menghadirkan sejuta romansa apalagi di ketinggian 31.000 kaki tentu sangat berbeda dengan mendengarkan via radio di tengah malam buta. Betapa kesunyian dan kesepian begitu terasa kala menatap hamparan langit luas tak berbatas.

Saya sendiri cenderung lebih memilih versi The Power of Love dari Air Supply. Kenapa? Untuk alasan gender semata. Cause you're my lady, and i am your man. Tetapi, yang patut diperhatikan adalah karakter vokal dari Celine Dion. Walaupun dimainkan dalam tempo lambat lagu ini tetap mampu mengeksplorasi kekuatan vokal Celine Dion.

Putus cinta memang selalu tidak menyenangkan. Mengubur seribu harap sangatlah menyakitkan. The feeling that i can't go on, is let you someway. Entah kenapa Tuhan simpan lagu ini dalam playlist penyiar malam itu, Maret 2001. Hanya menambah kegalauan dan kerisauan pada jiwa meresah.

Peluk hangat dan cium mesra,
 

Biak Numfor, 19 November 2011

Minggu, 20 November 2011

Surat Cinta dari Biak

Aninda tercinta, kutulis surat ini dari Biak. Dari sebuah tempat dimana senja terlihat sangat mengagumkan di ufuk sebelah barat. Sebuah tempat yang sangat menakjubkan untuk merindukanmu. Pada gelak tawa dan senyum manis yang selalu melekat di pelangi rupamu. Serupa hamparan batu karang di pantai sebelah belakang kamar hotel yang kutempati. Bersyukurlah pada Tuhan yang telah mencipta semua keindahan ini.



Aninda, kehidupan disini sama saja seperti di Sungai Pinang. Aroma tanah semerbak sisa hujan semalam masih bisa kurasakan menembus lubang pintu. Anak-anak sekolah berduyun berjalan bersama. Semua berjalan biasa saja menjadi satu paduan harmonis kehidupan. Bagai debur ombak yang berkejaran menuju pantai.

Tidak ada petani yang berlari terburu-buru hanya untuk segera menggarap kebun mirip orang kantoran di Kuningan atau Sudirman itu. Yang selalu merasa "harus" terikat dengan rutinitas pekerjaan. Tidak. Disini tidak seperti di kotamu, Aninda. Betapa hidup bisa lebih menyenangkan jika kita memang menghendakinya.

Sejak kau yakinkan aku untuk pergi, aku masih tak yakin dengan apa yang akan kulakukan nanti. Aku tidak pernah tahu bahwa engkau pun sesungguhnya berat untuk melepasku. Aku hanya pergi untuk sementara saja. Tak pernah ku berpaling hanya untuk meninggalkanmu selamanya. Esok aku akan kembali. Meretas harapan saat lambaian tangan mulai terasa pilu di dada.

Aninda tersayang, sungguh pun demikian. Aku sangat berterimakasih untuk setiap butir air mata yang mengalir di pipimu. Entah kenapa aku tiba-tiba merinding. Aku sangat tak layak untuk kau tangisi. Ada yang lebih pantas untuk kau tangisi dan itu bukan kepergianku. Yakinlah, aku akan kembali padamu dan semua akan baik-baik saja. Bila indah yang ada, kan kubiarkan semua hanya untukmu.


Peluk hangat dan cium,


Biak, 19 November 2011

Selasa, 15 November 2011

Potret Bangsa dari Empat Musim Presiden

Agak telat rasanya bila harus membandingkan kumpulan kartun yang terbit di empat zaman presiden dan mewarnai harian Kontan ini dengan kartun lain sebut saja Benny & Mice misalkan. Namun, disadari atau tidak, kehadiran kartun semacam itu telah menjadi suatu penanda zaman atas berbagai macam peristiwa dan fenomena yang mewarnai kehidupan masyarakat (utamanya kelas bawah).

Karya lain dari Benny Rachmadi ini agaknya lebih banyak bercerita dalam konteks ekonomi kebangsaan. Maksudnya, keadaan ekonomi yang berimbas pada seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa. Berbagai fenomena yang diangkat adalah tema yang dekat dengan keseharian rakyat kecil.

Walaupun secara "ideologis", harian Kontan ditujukan untuk segmen menengah atas yang bisa saja tidak tersentuh oleh beberapa fenomena tersebut. Tema-tema seputar langkanya BBM, gas 3kg, melemahnya rupiah, aksi spekulan hingga isu impor bahan pokok pangan adalah isu-isu yang sangat dekat dengan keseharian kita. Isu-isu ekonomi yang diangkat merupakan cerminan keadaan sosial masyarakat di negeri ini selama kurun waktu 2000-2009.

Kartun yang habis dibaca sekali duduk ini tidak menampilkan visualisasi grafis melalui panel-panel mirip komik. Hanya cukup dengan satu panel per halaman kartun itu seakan sudah bercerita sendiri tentang masalah kehidupan yang diangkatnya. Sometimes, a whisper louder than The Offspring*.

Konon, bisa menertawakan diri sendiri adalah hal yang luar biasa. Benny Rachmadi mengajak kita untuk melakukannya sekaligus berkaca dan mentafakkuri bahwa permasalahan yang demikian itu tidaklah seharusnya terjadi di negeri yang (katanya) gemah ripah loh jinawi.

Judul: Dari Presiden ke Presiden: Karut Marut Ekonomi (Buku 2)
Penulis: Benny Rachmadi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: 2009
Tebal: x + 267 hal.
Genre: Kartun

Paninggilan, 15 November 2011.

* dari lirik lagu "Life is Free" dinyanyikan oleh Arkarna

Rabu, 09 November 2011

Suatu Malam di Sudut Kota

suatu malam aku jatuh cinta
pada gadis serupa Cherika
di pojok busway
menatap hampa pada ruang kota

suatu malam aku jatuh cinta
pada gadis serupa Cherika
di pojok Gramedia Melawai
membingkai makna senyum semata

di antara nada-nada galau
malam mengalun lembut





Sudirman-Melawai, 19 Oktober 2011.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...