Selasa, 30 April 2013

Sebuah Prosa, Sebuah Cerita

Spasi

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi, jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.

Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.

Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.



Sebuah prosa dari Dewi Lestari yang ditulis tahun 1998, dikutip dari Filosofi Kopi (2012)
 
                                                                     *

Ada semacam perasaan magis saat membaca prosa diatas. Spasi, adalah kata sederhana untuk menyiratkan makna jarak, seberapa pun panjangnya terentang. Spasi, adalah jeda untuk membuka ruang. Karena dalam ruang itu kehidupan berada. Dinamika dan segala persoalan hidup ada karenanya.

Tak terkecuali saat membaca kembali prosa ini. Dalam keadaan dan situasi yang berbeda, things will never be the same again. Jarak mengulur waktu. Memisahkan dua hati yang meminta untuk jalan saling beriring. Rindu, hanyalah akibat dari jarak.

Saya jadi tahu artinya sebuah spasi, dalam sebuah penantian. Saya belajar menerima bahwa spasi atau pun jeda hanyalah sebuah penguji bagi ruang yang entah kapan atau sedang ditinggali. Pun, ketika menyadari bahwa dalam jeda, saya tahu bahwa saya semakin merindukannya.

Ik hou van jou.
 

Pharmindo, 30 April 2013.

Edge of Desire #StoryofaSong #4

Steady my breathing, silently screaming, i have to have you now

Sudah setahun lebih saya mengenal lagu John Mayer ini. Tepatnya, dalam pembacaan buku 'Antologi Rasa' tulisan @ikanatassa. Memang si penulisnya ini juga fans sejati John Mayer. Jadi, lagu ini menjiwai hampir seluruh cerita.

Sangat menarik bahwa satu judul lagu bisa mempengaruhi keseluruhan cerita secara utuh. Lantas ikut menggenapinya dalam kepingan-kepingan kecil alur cerita.



Kalau bukan karena pengalaman akibat perasaan terhadap seseorang, saya mungkin hanya tahu bahwa lagu ini hanya sebuah lagu saja. Sebuah pengungkapan atas makna pengharapan. Sebuah ujung akhir bagi sebuah keinginan.

Kalau saya tidak pernah mengungkapkan perasaan itu kepadanya barangkali saya tidak pernah tahu rasanya jadi Keara yang mengharap cinta Rully, atau Harris Risjad yang selalu mendamba Keara. Lengkap dengan semua pengharapan dan ketakutan yang membingkai dalam angan pengharapan tanpa batas.

Dalam senja selintas kemarin sore, saya merasa mengalami perasaan itu: i have to have you now.

I want you so bad i'll go back on the things i believe... There i just said it, I'm scared you'll forget about me....

 

Pharmindo, 30 April 2013.

* Dengan ingatan kepada Senin Siang di Kopitiam Oey, 29 April 2013


"Edge Of Desire"
Young and full of running
tell me where is that taking me?
just a great figure eight
or a tiny infinity?

love is really nothing
but a dream that keeps waking me
for all of my trying
we still end up dying
how can it be?

don't say a word
just come over and lie here with me
'cause I'm just about to set fire to everything I see

I want you so bad I'll go back on the things I believe
there I just said it
I'm scared you'll forget about me

so young and full of running
all the way to the edge of desire
steady my breathing
silently screaming
I have to have you now

wired and I'm tired
think I'll sleep in my clothes on the floor
Or maybe this mattress will spin on its axis
and find me on yours

don't say a word
just come over and lie here with me
cause I'm just about to set fire to everything I see

I want you so bad I'll go back on the things I believe
there I just said it
I'm scared you'll forget about me

Sabtu, 20 April 2013

#StoryofaSong #3: Keinginan

Back to 90's, mengenang lagu ini sama juga dengan mengembalikan ingatan saya pada waktu masih SD. Betapa lagu ini menjadi satu lagu favorit yang selalu saya nantikan video klipnya. Maklum, dulu belum ada MP3 Player dan youtube, jadi saya hanya bisa menikmati lagu ini lewat video klip yang sering tayang untuk mengisi jeda waktu peralihan acara TV. Saya juga belum jadi pendengar setia radio sehingga tidak pernah tahu apakah lagu ini sempat booming juga di radio. Yang pasti, Sophia Latjuba dengan rambut pendeknya tampil mengagumkan waktu itu.

Lagu ini masih tetap jadi favorit sampai youtube dan free MP3 sites muncul saat ini. Saya menemukan file MP3 lagu ini di komputer seorang teman kuliah. Ketika mendengarnya kembali muncul suatu perasaan yang ajaib galaunya. Mungkin kali ini saya memang lebih mengerti liriknya dibandingkan waktu SD dulu. Dulu, saya hanya menyukai kompoisisi musiknya saja dan tidak begitu mengerti liriknya.


Setelah menikmati kembali, saya coba untuk menangkap kegalauan dan keresahan dalam lagu ini. Saya pun sempat terhenti menjelang bagian akhir lagu ini.

Terbang tinggi
Kuingin selalu terbang tinggi
Jauh tinggi
Akan ku bawa terbang tinggi

Ada perasaan ajaib yang muncul. Suatu perasaan akan kebebasan yang masih terkekang oleh jenuh situasi dan keadaan. Ada kalanya, kebebasan yang kita inginkan dan selalu didambakan berawal dari perasaan terkekang, yang tentu saja menghalangi ruang gerak individu yang pada dasarnya adalah dinamis. Saya rasa, keinginan untuk selalu terbang tinggi bukan hanya untuk bebas dari kejenuhan semata, tetapi juga adalah besarnya hasrat individu untuk meraih apa yang diinginkan.

Semakin ajaib galaunya, karena saya teringat lagi pada lirik dari Koes Plus dalam lagu Perasaan:

betapa tinggi elang akan terbang,
lebih jauh lagi tinggi lamunan,

Pun ketika Sherina menyanyi merdu:

flying high to the mountain high*



diedit kembali
Paninggilan, 20 April 2013.

*Sherina dalam lagu Better Than Love, album Sendiri (2007)


Keinginan

Tak kuasa kumenahan jenuh ini
Kian lama kian menyesak
Menyiksa dalam hampa
Seharusnya kau biarkan ku memilih
Agar tiada kendala antara kita
Yang menjadi penyesalan

Kuingin memahami segala
Yang menjadi beban di benakmu
Hilangkanlah prasangka
Seolah ku mengekang keinginan
Yang kau pendam

Mungkin sulit untuk dapat dimengerti
Ku seperti ingin selalu terbang tinggi
Jauh tinggi..
Cinta ini tak akan mungkin memudar
Kata hati tak akan mungkin berubah
Jadinya.. karenanya..

Kuingin mengikuti segala
Yang menjadi hasrat di hatimu
Hilangkanlah prasangka
Seolah ku mengekang keinginan yang kau pendam

Terbang tinggi
Kuingin selalu terbang tinggi
Jauh tinggi
Akan ku bawa terbang tinggi

(Vocal by Sophia Latjuba & Indra Lesmana, Lyric by Mira Lesmana, Video courtesy: youtube.com)

Minggu, 14 April 2013

Leonie #storyofasong #2

Mungkin sudah dari sananya kalau saya ini senang jadi pendengar radio. Konon, waktu saya masih di dalam kandungan, Ibu selalu tidak bisa lepas dari radio. Ibu tidak pernah ketinggalan satu pun episode dari berbagai serial drama radio yang diikutinya. Makanya, saya tidak heran kalau sekarang saya jadi seorang radio-addict, terutama radio dengan siaran lagu-lagu jadul. Dulu, waktu masih kuliah, setiap malam mulai jam 21.00 saya selalu stay tune di gelombang 107.1 K-Lite FM. Entah mengapa, komposisi lagu-lagu jadul mulai dari tahun 1970-an hingga 1990-an akhir terasa begitu akrab dengan telinga saya. Thanks to that, anyway.

Suatu malam di pertengahan tahun 2006, saya mendengar lagu ini, Leonie, yang dinyanyikan oleh penyanyi asal Delft, Belanda; Arjan Brass. Penyanyi yang tumbuh besar di Utrecht ini bukan hanya seorang penyanyi saja, ia juga dikenal sebagai pianis dan saksofonis.


Pertama kali mendengar lagu ini, saya merasakan aroma nostalgia. Mungkin saja penyanyinya memang punya kisah romantis dengan seseorang yang bernama Leonie. Maka, untuk mengenang romansa diantara mereka sang  penyanyi membuatkan lagu untuk Leonie. Wikipedia mencatat, ‘Leonie’ adalah lagu self-composed dari Arjan Brass yang bercerita tentang sebuah cinta yang hilang, a lost love.

‘Leonie’ sendiri dirilis pada tanggal 4 Desember 1976. Jauh, 10 tahun sebelum saya lahir, lagu ini sudah menempati posisi ke-20 di tangga lagu Dutch Top 20 dan ke-8 di National Hit Parade. ‘Leonie’ saat itu mampu bertahan di tangga lagu selama 7 minggu berturut-turut.

Saya memang tidak langsung begitu akrab dengan ‘Leonie’ ini. Malam-malam selanjutnya kadang lagu ini diputarkan. Saya belum punya keinginan untuk mencari (baca: mengunduh) lagu ini. Pun, membaca liriknya sekalipun. Sampai suatu ketika (masih di tahun 2006), saat menonton film ‘Fun With Dick & Jane’ saya teringat kembali lagu ini. Bukan karena ‘Leonie’ menjadi bagian dari soundtrack film, tetapi karena nama aktris pemeran utama wanita dalam film, Jane yang diperankan oleh Tea Leoni. Seketika, ingatan pada ‘Leonie’ menyeruak.  Momen lain yang membuat saya teringat pada ‘Leonie’ yaitu ketika menonton acara kuis dimana Leoni si mantan penyanyi cilik ini menjadi tamu dengan Dea Ananda yang notabene koleganya di Trio Kwek-Kwek (this one is a legend from #90s).

Pernah saya mencoba mencari video klip ‘Leonie’ di Youtube. Namun, saya tidak berhasil menemukannya. Hanya ada file audioshow yang berlatar cover single ‘Leonie’ saja. Entah karena saat single ‘Leonie’ dirilis Arjan Brass tidak berpikir untuk membuat video klip lagu ini. Entah pula karena toh ‘Leonie’ hanyalah sebuah single. Padahal, menarik untuk tahu bagaimana rupa seorang ‘Leonie’ yang diimajikan oleh Arjan Brass.

Begitulah, kenangan yang berlarian membawa penjelajahan pada satu penanda tentang suatu masa, dimana nama adalah sebuah pengingat. Tentang hidup, tentang cinta, misalnya.

Leonie (Arjan Brass, 1976)

Leonie, Leonie 
I dream of only you 
 And it seems you're somewhere around 
With anything I do, with everything I do
 
Leonie, Leonie 
I dream my life away 
Make believe you're still around 
In dreams of yesterday

Leonie 
All those years I searched for you 
But you never came to end the dream 
Leonie, you are flowing on my mind 
Like a never, like a never ending stream

Leonie, Leonie 
I dream of only you 
And it seems you're somewhere around 
With anything I do, with everything I do
 
Leonie, Leonie 
I dream my life away 
Make believe you're still around 
In dreams of yesterday
 
Leonie 
I recall the days I spent with you 
The little words and things we used to say and do 
Leonie 
I can't get you off my mind 
And I wonder, wonder why I love still
 
Leonie, Leonie I dream of only you 
And it seems you're somewhere around With anything I do, with everything I do
 
Leonie, Leonie I dream my life away


Paninggilan, 14 April 2013.

Sabtu, 06 April 2013

Sang Penari dari Dukuh Paruk

Saya memang agak telat untuk menonton ‘Sang Penari’ setelah resmi dirilis 10 November 2011. Itu pun lewat hasil unduhan dari sebuah forum. Pun, membaca buku ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ sebelum edisi kompilasi trilogi bersama ‘Jantera Bianglala’ dan ‘Lintang Kemukus Dini Hari’, pemberian seorang sahabat. Pengalaman membaca buku kini tidak akan lagi sama. Maraknya visualisasi dan adaptasi cerita dari sebuah judul buku akhir-akhir ini menghadirkan suatu pengalaman lain dalam konteks pemaknaan sebuah karya, terutama sastra.


Tak terkecuali pada ‘Sang Penari’. Film yang digarap oleh Ifa Isfansyah dan skenario yang digarap bersama oleh Salman Aristo dan Shanty Harmayn ini menghadirkan sebuah pencitraan, pemaknaan, dan visualisasi gagasan atas apa yang penah dituliskan Ahmad Tohari dalam bukunya. Perlu dicatat, bahwa menampilkan kembali isi dari buku yang pernah mengalami pelarangan edar oleh Orde Baru ini bukanlah sesuatu yang mudah, as it is or as given.Terutama, menyesuaikan alur cerita agar tampil lebih singkat dari jalan cerita pada buku aslinya. Re-interpretasi terhadap karya Ahmad Tohari mutlak diperlukan.


‘Sang Penari’ bertutur tentang cerita cinta yang terjadi di sebuah desa miskin Indonesia pada pertengahan 1960-an. Dukuh Paruk namanya. Pedukuhan yang masih menganut nilai-nilai lokal-tradisional dalam tata kehidupannya ini menganggap ‘ronggeng’ bukan sekedar seni dan tradisi belaka. Ronggeng dalam tata hidup masyarakat Dukuh Paruk adalah sebuah bentuk pengabdian terhadap leluhur mereka, Eyang Sacamenggala. Maka begitu Srintil kehilangan ibunya yang ronggeng itu karena insiden ‘tempe bongkrek’, Dukuh Paruk mengalami stagnansi dalam kehidupannya. Gairah penduduk seakan hilang, tidak ada lagi berkah Eyang Sacamenggala.

Srintil (Prisia Nasution) hanyalah seorang anak kecil biasa yang senang bermain bersama dengan teman-temannya, Rasus (Oka Antara) dan kawan-kawan. Kadang, Srintil menari kala sedang bersama Rasus. Sejak itu, Srintil semakin lekat bersama Rasus. Diam-diam, Nyai Kartaredja (Dewi Irawan) pun menaruh hati bahwa suatu saat kelak cucunya itu menjadi ronggeng. Rasus tidak bisa menahan Srintil.


Rasus tahu bahwa Srintil akan menjadi ronggeng. Rasus mencoba menerima kenyataan dengan memberikan keris peninggalan Ibu Srintil kepada Srintil. Keris itu dipercaya sebagai pertanda bahwa Srintil dipercaya leluhurnya untuk menjadi ronggeng. Kehidupan Dukuh Paruk kembali bergairah setelah Srintil didaulat menjadi ronggeng dan harus menjalani ritual ‘bukak klambu’.

Rasus semakin tidak bisa menerima kenyataan itu. Beruntung, Srintil pun tidak rela keperawanannya diserahkan pada orang lain. Maka, mereka pun bercinta sebelum ‘bukak lambu’ digelar. Rasus sekali lagi menyatakan keberatannya pada Srintil. Namun, keputusan Srintil untuk menjadi ronggeng sudah bulat. Tidak ada kata mundur. Zaman pun kemudian bergerak, di mana Rasus harus memilih; loyalitas kepada negara atau cintanya kepada Srintil.


Dalam situasi yang semarak kembali itu, menyusuplah seorang antek partai komunis, Bakar (Lukman Sardi). Bakar mencoba melakukan propaganda di Dukuh Paruk. Warga yang pengetahuannya terbatas itu sedikit-sedikit dan perlahan mulai melakukan apa yang dikehendaki Bakar. Rasus merasa ada yang aneh saat kembali mengunjungi Dukuh Paruk. Pengaruh komunis bawaan Bakar telah begitu kuat di Dukuh Paruk. 


Bakar dengan cerdik memanfaatkan ronggeng untuk propaganda partainya. Kartaredja sempat dibuat ragu dengan pementasan ronggeng yang didukung oleh partai komunis walau akhirnya berhasil meyakinkan kakek Srintil agar mau tampil di kota. Apalagi setelah makam Eyang Sacamenggala dirusak sekelompok orang tidak dikenal. Padahal, itu merupakan fitnah yang dilakukan oleh Bakar dan partainya.

Sampai adegan ini, saya sangat terkesan dengan visualiasi teks pada bab yang sama. Perusakan makam itu dianggap sebagai pertanda bahwa Srintil harus kembali meronggeng. Sebuah keputusan yang kelak membawa Dukuh Paruk pada pergolakan sejarah.


Roda waktu pun berputar. Dukuh Paruk dinyatakan ‘merah’. Dengan demikian, operasi penumpasan pun digelar. Warga Dukuh Paruk yang tidak tahu apa-apa itu apalagi soal pergolakan di ibukota negara menjadi korban. Mereka dipaksa meninggalkan Dukuh Paruk dan resmi menjadi tahanan politik. Seluruhnya menjadi tersangka kecuali Sakum, si penabuh kendang.

Rasus, yang masih memendam rindu pada Srintil mencoba untuk kembali ke Dukuh Paruk. Usai menghadapi ‘gempuran’ dan komandannya (Tio Pakusadewo), Rasus tidak menemukan apa-apa lagi di Dukuh Paruk, kecuali Sakum. Lewat beberapa petunjuk, Rasus pergi ke tempat para tahanan dari Dukuh Paruk ditahan. Setibanya disana, Rasus berhasil menemukan Srintil. Malang, Rasus hanya dapat melihat Srintil pergi. Srintil digiring untuk dibawa ke tempat lain.

Sebagai penutupan, dikisahkan bertahun-tahun kemudian Rasus telah mendapat kenaikan pangkat. Namun, kenangan tentang Srintil tidak pernah padam. Rasus tahu dimana harus mencari Srintil. Saat itu, pemerintahan telah beralih ke tangan Orde Baru. Dukuh Paruk pun tinggal cerita, tak terkecuali ronggeng yang hanya sebuah tontonan yang dijajakan belaka. Dalam sebuah kesempatan di Pasar Dawuan, Rasus bertemu kembali dengan Srintil yang sedang ‘ditanggap’ oleh beberapa orang saja. Srintil merasa ketakutan dan segera pergi dengan Sakum. Namun, Rasus sempat menggenggam tangan Srintil, menyelipkan kembali keris pusaka yang dulu pernah ia berikan pada Srintil.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


Kisah cinta Srintil dan Rasus awalnya adalah sebuah cerita cinta sederhana. Namun, akhirnya terpisah oleh jalinan takdir itu sendiri. Rasus yang merasa kecewa karena Srintil memutuskan untuk menjadi ronggeng menemukan pelariannya dalam wujud ketentaraan. Rasus dan Srintil pernah mencoba untuk mengkompromikan takdir mereka. Srintil tidak mampu menghindar dari ‘indang’ ronggeng yang diyakini telah memilihnya. Rasus sendiri tidak dapat berbuat banyak karena ia telah menjadi seorang tentara.

Saya bisa memberi nilai sempurna untuk interpreasi teks ke dalam citra visual untuk film ini. Latar belakang pengambilan gambar dan adegan yang menghadirkan nuansa alami khas Banyumasan tidak bisa dipisahkan dengan konteks ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ dan melekat kepadanya sebagai sebuah kesatuan identitas. Terlebih, ada beberapa detail dalam buku yang diangkat ke dalam cerita. Hebatnya, visualisasi dalam film persis dengan yang saya bayangkan dalam imajinasi personal. Sebagai contoh, potongan dialog dengan kata-kata seperti “asu buntung” kerap muncul sebagai sumpah serapah. Tak ketinggalan, adegan ketika Srintil mengencingi jampi-jampi yang ditanam di dekat kamarnya.  Overall, film ini tidak kehilangan detail dalam teks ‘Ronggeng Dukuh Paruk’.

Saya juga melihat totalitas akting yang diberikan oleh pemeran-pemeran film ini yang very exceptional. Prisia Nasution mampu mendalami karakter seorang Srintil yang tumbuh dewasa dan menjadi ronggeng. Sementara, Oka Antara konon ‘mempersiapkan’ dirinya dengan diet ketat dalam jangka waktu yang lama untuk memerankan Rasus, agar dapat memaknai karakter Rasus sebagai bocah yang sering kelaparan, tidak bisa membaca, dan memiliki tatapan nanar. Termasuk menyesuaikan logat bicara Banyumasan. Pun, sama halnya dengan Slamet Rahardjo, Lukman Sardi, dan Tio Pakusadewo.

Tidak heran, bila kemudian ‘Sang Penari’ mendulang berbagai pujian dari kritikus. Tak lupa, Ahmad Tohari menyebut ‘Sang Penari’ sebagai adaptasi yang layak untuk karyanya. Pada Festival Film Indonesia 2011, film ini meraih 10 nominasi dan berhasil memenangkan 4 piala citra. Semuanya untuk penghargaan utama. Penghargaan Film Terbaik, Sutradara Terbaik untuk Ifa Isfansyah, Aktris Terbaik untuk Prisia Nasution, dan Aktris Pendukung Terbaik untuk Dewi Irawan. Hebatnya lagi, ‘Sang Penari’ pun muncul di situs database film imdb.com. Walau sinopsisnya tidak selengkap di Wikipedia, namun bagi saya itu sudah cukup. Informasi yang dimuat IMDB sudah cukup lengkap untuk sebuah film terbaik dari Indonesia.

Walaupun ‘Sang Penari’ berangkat dari suatu sejarah masa yang sudah lama terlupakan (untuk tidak menyebutnya sengaja diabaikan) namun relevansinya dengan keadaan saat ini tetap terjaga. Kisah percintaan, dari mana pun asal dan sumbernya, tetap membawa suatu nuansa tersendiri. Pergolakan yang mewarnai perjalanan bangsa pun sama dengan gejolak dalam hati. Kadang, cinta tidak hanya sebatas perasaan. Terlalu banyak dimensi yang menaunginya. Seperti kisah cinta Rasus dan Srintil.



Judul        : Sang Penari
Sutradara  : Ifa Isfansyah
Cast    : Prisia Nasution, Oka Antara, Dewi Irawan, Slamet Rahardjo, Lukman Sardi, Tio Pakusadewo, Happy Salma
Tahun        : 2011
Produksi    : Salto Films

Paninggilan, 6 April 2013.

Senin, 01 April 2013

Puisi (Cahaya Bulan) - #storyofasong #1

1 April 1969 - 1 April 2013

Hari ini, saya merasa diingatkan kembali untuk melanjutkan pembacaan atas buku 'Soe Hok-Gie Sekali Lagi'. Alasannya sederhana. Belakangan saya juga jadi pendengar setia lagu 'Donna Donna' yang merupakan satu dari sekian soundtrack film 'Gie'.

Lagu itu dinyanyikan dengan apik oleh Sita RSD @sitanursanti. Setelah sebelumnya banyak diremake pula oleh penyanyi folksong mancanegara, satu diantaranya adalah Joan Baez. Sita, yang ikut bermain dalam film 'Gie' ikut membawakan lagu Donna Donna dalam sebuah adegan pementasan di kampus FS UI.

Kembali pada figur Soe Hok-Gie. Pembacaan kembali tadi membawa saya pada halaman dimana terdapat satu puisi yang bertanggal sama dengan tanggal hari ini. Sebuah puisi yang liriknya saya hafal setengah-setengah. Sebuah puisi yang tidak secara utuh ikut disisipkan dalam kompilasi soundtrack film 'Gie'.

Puisi berjudul 'Sebuah Tanya' ini kemudian diadaptasi jadi satu lagu di album soundtrack film 'Gie'. Saya lupa judul pastinya, apakah masih sama berjudul 'Cahaya Bulan' dengan tanda kurung puisi. Puisi yang dibacakan dengan apik oleh sang pemeran utama 'Gie'. Berpadu indah dengan lengkingan vokal powerful dari Okta Tobing.

Pembawaan Nicholas Saputra @nicsap sebagai pengisi suara pembaca puisi dalam lagu ini mengingatkan saya pada puisi yang dibacakan Dian Sastro @therealdisastr dalam satu soundtrack film 'Ada Apa Dengan Cinta'.  Potongan lirik terkenal disitu adalah 'pecahkan saja gelasnya, biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh'. Entah, karena memang produser dan sutradara kedua film ini adalah orang yang sama sehingga ada nuansa serupa yang muncul dalam penggarapan soundtrack dan scoring musiknya.

'Sebuah Tanya' yang kemudian disentuh dengan musikalisasi memberi nuansa tersendiri bagi sisi lain kehidupan Soe Hok-Gie. Tidak banyak yang tahu sisi romantika dalam kehidupan Soe Hok-Gie. Setidaknya, sampai buku 'Catatan Seorang Demonstran' terbit. Lebih jelas bisa disimak 'pengakuan kekasih-kekasih' Soe Hok-Gie dalam buku yang saya lanjutkan pembacaannya ini. 


Setiap mendengarkan lagu ini, saya selalu teringat adegan dimana Nicholas Saputra yang memerankan Soe Hok-Gie beradu akting dengan Wulan Guritno. Lalu, lagu ini juga menjadi simbol pengingat pada suatu masa dimana figur seorang Soe Hok-Gie menancap erat pada setiap aktivis kampus. Usai booming film 'Gie' yang memang ditujukan untuk membangkitkan kembali semangat kaum muda Indonesia. Didukung dengan penerbitan kembali beberapa literatur tentang Soe Hok-Gie.

Waktu di kampus dulu, Soe Hok-Gie selalu digambarkan sebagai sosok mahasiswa yang paripurna. Sosok mahasiswa dengan karakter pendobrak yang berani melawan arus. Sosok mahasiswa aktivis yang berhasil memadukan unsur intelektualitas kedalam tutur kata dan perilakunya. Singkatnya, figur mahasiswa idaman.

Saat itu, saat film 'Gie' beredar, semua mahasiswa pergerakan (maksudnya yang bergerak sekitar sekre organisasi kemahasiswaan) seakan berusaha berlomba-lomba mencitrakan dirinya sebagai jelmaan Soe Hok-Gie di era modern. Mereka mencoba mengikuti gaya bahasa, tutur kata, pola pikir, dan perilaku sang mahasiswa pujaan. Tak ketinggalan juga meniru kecintaan Soe Hok-Gie pada alam membuat mereka mendadak jadi pendaki gunung. Fenomena yang mirip seperti saat film '5 cm' booming akhir-akhir ini. Sayangnya, mereka hanya berbekal apa yang dilihat dalam film saja. Saya pun tidak yakin kalau mereka membaca sampai tuntas buku 'Catatan Seorang Demonstran'. 


Sebagai edisi pembuka postingan bertagar #storyofasong ini, secara khusus saya dedikasikan kepada sosok sang mahasiswa paripurna yang wafat di Puncak Mahameru, 16 Desember 1969. Bagaimanapun, Soe Hok-Gie adalah satu figur yang turut mewarnai sejarah Indonesia. Utamanya, sebagai pemeran utama dalam riwayat pergerakan mahasiswa. Mahasiswa bersatu tak bisa dikalahkan. Hidup mahasiswa!

Paninggilan, 1 April 2013
-mengenang 44 tahun puisi 'Sebuah Tanya' karya Soe Hok-Gie
 
Sebuah Tanya - Soe Hok-Gie

akhirnya semua akan tiba 
pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.

(kabut tipis pun turun pelan-pelan
di lembah kasih, lembah Mandalawangi
kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau
dekaplah lebih mesra, lebih dekat.
 
(lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara 
tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta

(haripun menjadi malam 
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
Seperti kabut pagi itu)

manisku, aku akan jalan terus 
membawa kenangan-kenangan
dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru.

Selasa, 1 April 1969
- Soe Hok-Gie 
dikutip seperti dalam buku "Soe Hok-Gie Sekali Lagi: Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya" cetakan ke-2, Januari 2010; diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...