Kamis, 30 April 2015

Being a Husband

Being a husband means...left your office when your lovely wife get some business with hospital. 

Now, i really know why they have asked me. It come on me, anyway. 

Just like the USA taught me: Faith, Flag, Family. 
 

Dharmawangsa, 30 April 2015

Selasa, 28 April 2015

Quotable Book Quotes

Manusia berkuasa atas alarm pada jam, tapi tak berkuasa atas mimpinya sendiri
Pagi. Selalu ada pertandingan lain. Misalnya, dengan diri sendiri. 
(Pagi dan Hal-hal yang Dipungut Kembali, Gunawan Muhammad)

Dan dengan mental "orang-orang proyek" yang merajalela di mana-mana, bisakah orang berharap akan terbangun tatanan hidup yang punya masa depan? 
(Orang-Orang Proyek, Ahmad Tohari)

Cinta itu adalah jiwa. Antara cinta yang sejati dengan jiwa tak dapat dipisahkan. 
(Di Bawah Lindungan Kabah, HAMKA)

Satu kita di dunia ini, satu pula kita sampai di akhirat. 
(Dian Yang Tak Kunjung Padam, Sutan Takdir Alisjahbana)

Berselingkuh itu tidak mudah. Kalau sampai ada orang yang berpikir bahwa yang dibutuhkan dalam selingkuh hanyalah pasangan selingkuh dan keberanian, dia salah besar. 
(Orang Ketiga, Yuditha Hardini)

I'm a machine. I'm fast and efficient. I can work constantly without rest. Everything i do is controlled and planned. I pay a little tolerance to mistake. I don't give a damn about non-sense. 
(After Orchard, Margareta Astaman)

*

Pada suatu long weekend, tiga tahun yang lalu ada 5 buku yang tadinya mau saya habiskan. Entah, hanya satu saja yang selesai, After Orchard.

Terlalu sayang bila kata-kata emas didalamnya menganggur begitu saja.


Medan Merdeka Barat, 28 April 2015.

Senin, 27 April 2015

Rumah adalah di Mana Pun

Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita mengerti,
Tanpa kita bisa menawar
Terimalah dan hadapilah
 
(Soe Hok Gie, 1966)

Setiap selesai membaca buku kadang saya menulis juga review mengenai buku yang sudah dibaca itu. Terlepas dari kaidah-kaidah penulisan resensi yang dulu didapat dari mata kuliah Penulisan Artikel dan Resensi Buku. Ada kalanya saya benar-benar memberikan tinjauan atas satu buku. Nyatanya, seringkali saya hanya menulis apa yang terlintas di benak saya.

Tadinya, saya ingin menulis satu tinjauan lengkap atas buku ini. Namun, lagi-lagi, akibat satu-dua komentar di Goodreads, membuat saya batal menulis yang demikian itu. Saya ingin membandingkan pengalaman pembacaan saya dengan kritik-kritik yang buku ini terima di Goodreads.



Editing. Memang betul buku ini punya masalah serius dengan hal ini. Dari sisi penulisan dan penyajian teks, saya mengalami ketidaknyamanan sejak pembacaan halaman pertama. Barangkali, saya sudah terbisaa dengan tulisan teks yang rata kiri-kanan. Saya yakin buku ini telah lulus tahap-tahap editorial. Tidak mungkin buku ini mengcompile sedemikian banyak tulisan lalu diterbitkan ke publik begitu saja. Tetap disayangkan bahwa hal semacam ini masih luput dari perhatian Sang Editor. Justru, saya menaruh apresiasi pada desain tata letak sampul buku.

Sejak buku ini adalah kumpulan tulisan yang didokumentasikan dalam blog pribadi penulisnya maka maklum bila pembacanya menjumpai “selera” penulisan yang berbeda. Ada beberapa hal personal yang harus berhadapan dengan selera komersial. Artinya, ada bagian tulisan yang harus diubah. Itu kata komentator.

Menurut saya, tidak ada yang harus dirubah dari semua tulisan yang dimuat. Karena memang terbit pertama kali di blog penulisnya maka ketika buku ini mengusung tema kolektif semacam ini haruslah ditampilkan sebagaimana tulisan ini terbit pertama kalinya.

Otentisitas adalah harga mati untuk sebuah karya yang didokumentasikan secara personal dan kemudian diangkat menjadi sebuah karya kompilasi. Nilai-nilai yang bersifat dan personal itulah yang membuat tulisan ini hidup.

Pembaca boleh saja mempunyai seleranya sendiri, namun pembaca juga haru memahami apa yang jadi bacaannya. Pembaca harus paham latar belakang kontekstual yang melahirkan tulisan memoir perjalanan seperti yang ada dalam buku ini.

Saya tidak harus mengulangi lagi pernyataan saya sebelumnya bahwa semua tulisan dalam buku ini bersifat personal dan individual. Agak mengherankan ketika semua tulisan dalam buku ini harus berhadapan dengan makhluk yang bernama “pesan moral”. Tidak semua tulisan perlu disertai dengan pesan moral. Kecuali dalam beberapa tulisan yang memang mengharuskan isinya memiliki nilai yang bisa jadi pelajaran bagi pembaca.

Saya maklum saja karena mungkin saja komentar semacam ini muncul dari pembaca yang terlalu ‘serius’ dengan working paper atau jurnal. Tulisan mengenai perjalanan (travelogue) tidak hanya bercerita tentang bagaimana si penulis melakukan perjalanan. Pembaca dibebaskan sebebas-bebasnya untuk mengambil sendiri nilai moral dari yang sudah mereka baca. Saya kira ini hanya soal persepsi belaka karena sangat tidak mungkin untuk menyamakan persepsi, gaya tulis, dan tema dengan selera pembaca.

*

Judul buku ini sendiri sudah cukup menggugah dan membuat penasaran. Kita sudah lebih dari sering mendengar istilah: “Home is where your heart is.” Bagi para pengelana atau backpacker kelas jadi-jadian, hatinya bisa berada dimana saja. Hatinya mengembara sepanjang perjalanan. Hatinya bisa saja tertinggal di tempat tujuannya, tapi itu akan membawanya selalu kembali pada kesejatian cintanya.

Kabar baik dari buku ini adalah kita dihadirkan pengalaman masing-masing penulis dengan ceritanya masing-masing dalam membelah kekayaan dan keindahan bumi pertiwi. Ajaibnya, semua penulis kisah-kisah perjalanan ini adalah perempuan! Pembaca bisa tahu sekaligus merasakan patah hati di Mandalawangi, Bromo, dan Baluran. Kemudian, menyemai cinta dalam perjalanan menuju Kawah Ijen, Mahameru, dan Bali. Kenangan tentang sosok Ibu akan menyeruak kala perjalanan agak bergeser ke Lombok. Sabang dan Minangkabau menyuguhkan pengalaman pendewasaan diri. Kecintaan pada negeri ini akan semakin menebal kala Tana Toraja, Larantuka, dan Raja Ampat menghadirkan keunikannya.

Ada beberapa tulisan yang jadi favorit saya. Tulisan berjudul “Kabut Cinta Mandalawangi” dari Agita Violy dan “melarung Ingatan Tentangmu di Bromo”. Buku ini justru menjadi semakin unik dengan tema-tema individualnya. Ada cerita soal patah hati, menemukan cinta dalam perjalanan, hingga kenangan tentang Ibu. Maka, alangkah saya bersyukur bahwa Sang Editor tidak menempatkan tema-tema seragam menjadi bab yang sekuensial.

Judul        : Rumah adalah di Mana Pun
Penulis     : Adinto F. Susanto (ed.)
Penerbit   : Grasindo
Tebal        : 258 hal.
Tahun       : 2014
Genre       : Travelogue-Memoar


Pharmindo-Medan Merdeka Barat, 27 April 2015.

Jumat, 24 April 2015

Anggukan Ritmis Pak Kiai


Dulu di sebuah pesantren, ada dua orang kiai yang berdebat tentang hukum kesenian. Salah seorang dari mereka bersikeras bahwa kesenian itu syirik, bahkan haram. Kami para santri menyaksikan perdebatan itu dengan hati berdebar. Dari kejauhan, terdengar suara musik dari loudspeaker. Kiai yang saya kisahkan itu mulai meledak-ledak dan menyebut seni itu haram, tetapi kedua kakinya bergerak-gerak mengikuti irama musik dari kejauhan.

Kami, para santri, melihat bahwa kaki beliau itu bukan bergerak menggeleng-geleng, melainkan mengangguk-angguk. Maka, kami tiru anggukan ritmis kaki Pak Kiai itu, sebab gerak kaki beliau itu lebih merupakan ungkapan batinnya dibanding lisannya.



*****

 
Dari kutipan tulisan dalam esai yang berjudul sama dengan bukunya ini, Emha "menggugat" perkara kemusliman kita. Emha secara gamblang menjelaskan kepada kita bahwa apa yang kita lakukan dan yakini dalam batin kita masih jauh dari kenyataan lisan yang terucap. Satu sisi, kita bisa bilang bahwa musik Z haram, namun dalam kenyataannya kita ikut menikmati alunan musik Z itu pula.


Emha melalui tulisannya mencoba menguliti perkara-perkara kemusliman kita yang birokratif, ketaatan yang dibumbui rasa takut pada atasan-bukan pada kecintaan dan pengabdian terhadap Tuhan. Pada akhirnya kita akan terkunci pada pergunjingan siapa masuk surga siapa masuk neraka, perdebatan mengenai halal dan haram, hingga persekongkolan antara pahala dan dosa.

Emha, saya rasa sengaja menitikberatkan tulisannya pada detail-detail ritual keislaman kita yang malah memicu keresahan dengan perbedaan pendapat antar umat yang gampang mengkafirkan orang lain. Perbedaan tata kelola ibadah adalah satu hal yang kalau bisa diseragamkan, jangan sampai ada yang berubah. Kalau anda mau ikut silakan, namun kalau anda tidak mau mengikuti, tidak masalah. Anda bisa disangka melakukan bid'ah atau malah lebih parah. Anda bahkan bisa dikafirkan justru oleh sesama saudara muslim.

Gugatan Emha yang lain adalah seperti apa yang tertuang dalam bab "Kiai Sudrun Gugat". Dalam tataran praktis keislaman kita memang memiliki banyak perbedaan dalam mengekspresikan kecintaan terhadap Nabiyullah, Rasulullah, maupun kepada Allah SWT sendiri. Cara-cara bermanja seperti itu seringkali berhadapan dengan gerakan pemurnian aqidah itu sendiri. Kita dengan gampangnya menghakimi sesama muslimin-muslimat dengan cap bid'ah. Padahal, apa yang diekspresikannya itu merupakan satu usaha dalam melibatkan diri dengan Allah SWT atau taqarrub ilallah. 

Saya senang sekali menjumpai satu-dua tulisan yang pernah saya baca sebelumnya. Ada satu esai yang juga dimuat dalam buku "Tuhan Pun Berpuasa". Lalu, ada tulisan tentang pencurian sepeda milik Emha yang disalin ulang ke dalam website www.caknun.com dalam kolom Hikmah.

Terus terang, saya menikmati alur pemikiran Emha dalam buku ini. Emha secara konsisten memperbincangkan kreativitas budaya dan eksplorasi intelektual sebagai wahana dakwah serta penyampaian pesan penawar penyakit-penyakit jiwa. Emha barangkali ingin berpesan bahwa sebelum kita menghakimi orang lain apalagi itu saudaramu seagama, berpikirlah dahulu tentang kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkannya berlaku seperti itu. Bahwasanya, Tuhan pun tergantung prasangka hambaNya.


Judul        : Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai
Penulis     : Emha Ainun Nadjib
Penerbit   : Penerbit Bentang Pustaka
Tebal        : 428 hal.
Tahun       : 2015
Genre       : Agama Islam-Esai


 Dharmawangsa - Medan Merdeka Barat, 24 April 2015.

Senin, 20 April 2015

Senja dan Cinta yang Berdarah

Apa salahnya punya harapan. Hidup begitu singkat, apa jadinya kalau harapan saja tidak punya.
(Ibu Yang Anaknya Diculik Itu, hal. 743)

Kumpulan ini memuat semua publikasi cerita pendek SGA secara historis. Kesemuanya merupakan cerpen yang terbit di media cetak (harian/koran). Bagi para pembaca SGA tentu sudah tidak asing menjumpai kembali cerpen-cerpen yang sudah lebih dulu dibukukan. Walau begitu, buku ini tidak sekedar menjadi buku "reborn" dari cerpen-cerpen SGA.



Ada beberapa cerpen yang sudah naik cetak dan beredar namun belum dibukukan. Menariknya lagi, cerpen-cerpen itu tidak hanya muncul dari karya SGA yang kekinian. Hal semacam inilah yang menjadikan buku ini semacam satu karya kumpulan cerpen lagi. Khusus, untuk cerpen-cerpen yang belum dibukukan. Untuk alasan itulah, publikasi terbaru dari SGA ini hadir ke ruang baca pemirsa.

Total ada 85 cerpen dengan tiga pembagian periodisasi. Periode 1978-1981, 1982-1990, dan 1991 hingga 2013. Sejarah kepenulisan SGA sebagai cerpenis terlihat jelas dalam periodisasi yang sedemikian rupa disusun oleh editor. Muatan nilai dan pesan yang ingin disampaikan SGA juga mencerminkan satu keadaan atau satu masa dalam sejarah bangsa yang panjang. Contoh saja, SGA menulis tentang cerita seorang penembak jitu yang pada saat itu erat sekali kaitannya dengan Petrus (Penembak Misterius) pada masa Orde Baru.

Kehadiran kembali cerpen-cerpen SGA ini mengingatkan saya pada tulisan SGA yang dimuat dalam buku “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Seno menulis (kalau saya tidak lupa) “Tak ada yang abadi, kecuali dokumentasi”. Rupanya, SGA serius dengan apa yang pernah dikatakannya. Maka, saya juga tidak ragu tatkala beliau menolak penghargaan Ahmad Bakrie pada tahun 2012 lalu.

Dengan demikian, Sang Nagabumi kian paripurna dalam mencapai keabadiannya. Buku ini membuktikan bahwa kelak dokumentasi akan punya ruangnya sendiri dalam jalan sejarah. Saya tentu masih punya harapan besar bahwa SGA akan mengeluarkan karya terbarunya, walau hanya remake. Saya berharap SGA juga tidak lupa dengan kalimat penutup pada pidato sambutannya kala menerima SEA Writing Award tahun 1997 di Thailand : “Saya akan terus menulis.”

Judul        : Senja dan Cinta yang Berdarah
Penulis     : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit   : Penerbit Buku Kompas
Tebal        : 822 hal.
Tahun       : 2014
Genre       : Sastra - Cerita Pendek



Dharmawangsa-Medan Merdeka Barat, 20 April 2015.

Kamis, 16 April 2015

Angels: Live in Berlin

When I'm feeling weak
And my pain walks down a one way street
I look above
And I know I'll always be blessed with love



Satu yang tidak bisa lepas dari Robbie Williams adalah penampilan panggungnya. Sejak penampilannya di MTV Live 2002 dimana ia membawakan hits “Feel”, saya selalu menikmati konser mantan personil boyband Take That ini. Live in Berlin membuktikan bahwa Robbie Williams is a true performer! Robbie tidak hanya menyanyi, ia juga mampu menguasai panggung dengan tariannya. Pun, pesonanya mampu membius penonton untuk ikut larut bernyanyi bersama.

Satu hal yang membuat saya yakin bahwa Live in Berlin jadi satu dari sekian konser terbaik Robbie Williams adalah nyanyian reff “Angels” dari penonton pada menu pembuka DVD. Tidak terdengar suara Robbie Williams. Hanya ada suara koor dari penonton yang memadati Velodrome, Berlin.

“Angels” ditulis oleh Robbie Williams dan Guy Chambers hanya dalam 30 menit saja. Lagu ini dirilis Desember 1997. Lagu ini juga sempat direcycle oleh beberapa penyanyi, diantaranya adalah Jessica Simpson, Beverley Knight, Moon Dust, dan David Archuleta. Di Italia, “Angels” menjelma sebagai “Un Angelo” dinyanyikan oleh Patrizio Buanne. Popularitas “Angels” terbukti dengan dua kali Platinum dan rekor penjualan sebanyak dua juta kopi di seluruh dunia.



Pada Oktober 2006, sebuah tayangan documenter RTE ‘This Note’s For You’ yang dipandu oleh Tom Dunne, mengatakan bahwa lagu “Angels” aslinya merupakan karya Robbie Williams dan penyanyi Irlandia, Ray Heffernan. Setelah lagu ini mengalami beberapa perubahan dari Guy Chambers, Ray Heffernan menerima tawaran untuk pembelian hak cipta sebesar 7.500 GBP.

“Angels” adalah single keempat dari debut album Robbie Williams, ‘Life Thru a Lens’. Lagu ini adalah penyelamat karir solo Robbie Williams dan selalu dibawakan dalam setiap konsernya.

Pada Brit Awards 2005, “Angels” dipilih publik Britania Raya sebagai ‘The Best Song in the Past Twenty-fve Years of British Music’, walaupun lagu ini hanya berada di nomor 4 chart. Disitu juga, Robbie Williams berduet dengan Joss Stone. Dalam satu survei dari stasiun televisi digital, Music Choice, lagu ini jadi lagu favorit pemirsa untuk lagu pemakaman mereka.

“Angels” dirilis tahun 1999 di Amerika Serikat, setelah debut single “Millennium”. “Angels” benar-benar membuat Robbie Williams melambung tinggi. “Angels” masuk kembali ke chart ARIA Top 100 di posisi ke 91 pada 5 Mei 2008. Juga, berdasarkan polling yang digelar Performing Right Society, “Angels” dipilih sebagai lagu karaoke paling popular.


Medan Merdeka Barat, 15 April 2015

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...