Kamis, 29 Oktober 2015

Tingkah Laku Juha

Orang yang menjual asap makanan, ia akan mendengarkan bunyi uang receh

Barangkali, pembaca sudah mafhum dengan Nasruddin. Dalam beberapa riwayat dinamai juga dengan Nashiruddin Juha atau Nasyruddin Hoya. Kisah-kisah tentangnya telah mengalami pembauran antara Juha yang berkebangsaan Arab dan Juha yang berkebangsaan Romawi sehingga ada sebagian kitab yang berpendapat bahwa Juha ini adalah kisah-kisah fiktif.


Nashiruddin Juha adalah seorang tokoh yang entah bagaimana dalam beberapa kisahnya selalu digelari sebagai seorang sufi. Syekh Nashiruddin sangat piawai dalam memerankan gurauan dan canda yang berguna. Didalamnya, seringkali terselip falsafah hidup yang kalau dapat kita renungkan, kita akan mampu berproses menjadi manusia yang baik dan sempurna.

Buku ini merupakan terjemahan dari "Nawaridu Juha Al-Kubra" karya Dr. Darwisy Juwaidy dan diterbitkan oleh Ad-Daarun Namudzajiyah Lit-Thiba'ah Wan-Nasyr pada 1432H/2011. Ada 388 kisah jenakan yang menyentil keseharian hidup kita. Humor yang disampaikan Syekh Nashiruddin adalah humor yang menyindir, menyadarkan, sekaligus mengibur. Ia seakan membuktikan bahwa nilai-nilai mulia dalam kehidupan dapat dibuat dengan sedemikian rupa sebagai sarana dakwah. Tanpa harus mengajari.

Catatan Singkat
 
Personally, saya sangat menyenangi tokoh yang di buku yang saya punya dinamai Nasyruddin ini. Saya sudah terbiasa dengan lawakan dan guyonan beliau dalam buku kecil itu-saya lupa judulnya. Kisah-kisah singkatnya selalu penuh makna dan falsafah hidup yang dalam. Bahwa dalam kesederhanaannya, Nasyruddin memiliki tingkat kesufian yang sudah sangat tinggi.

Saya menyadari betul bahwa buku ini merupakan buku terjemahan. Sehingga, saya tidak kesulitan menemukan alasan mengapa saya kesulitan memahami kisah-kisah jenaka Syekh Nashiruddin Juha. Apakah ada kaitannya dengan Nasyruddin yang ada di field of experience saya sebelumnya? Barangkali, benar adanya.

Anyway, "Tingkah Laku Juha" dapat menjadi alternatif bacaan hikmah. Sesekali pembaca mungkin saja dibuat maklum atau nyengir dengan kelakuan Syekh Nashiruddin. Agar lebih mengena, sediakan waktu sejenak usai membaca tiap kisah pendek beliau. Hal ini diperlukan agar pembaca dapat meresapi lebih mendalam pesan yang ingin disampaikannya. Sejalan dengan firman Tuhan: terdapat pelajaran (hikmah) untuk mereka yang berpikir.

Judul           : Tingkah Laku Juha
Penulis        : Dr. Darwisy Juwaidy
Penerbit      : Penerbit Salsabila
Tahun         : 2012
Tebal          : 376 hal.
Genre         : Agama Islam-Hikmah

Dharmawangsa, 29 Oktober 2015.
Pulang dari rumah Pak RT

Senin, 26 Oktober 2015

Kisah-kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan, Sejarah Kecil Indonesia Jilid 7

orang bicara memuji jasa
"dengan darah dituliskan kemerdekaan bangsa"
kawan seperjuangan heningkan cipta
(Di Kubur Pahlawan - Rosihan Anwar)


Rosihan Anwar kembali lagi dengan jilid terbaru dari Sejarah Kecil 'Petite Histoire'. Buku jilid ke-7 ini merupakan kumpulan dari tiga buku lama yang terbit pada tahun 1970-an. 'Kisah-kisah Zaman Revolusi', "Kisah-Kisah Jakarta setelah Proklamasi', dan 'Kisah-Kisah Jakarta Menjelang Clash ke-1'. Ketiganya diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya.



Penerbitan kembali buku ini tidak lepas dari amanat beliau, yang menginginkan ketiga buku itu diterbitkan kembali secara lebih baik setelah tahun 2000. Sayang sekali, hasrat mendiang Rosihan Anwar untuk menerbitkan kembali ketiga buku itu tidak sampai. Namun, gagasan untuk penerbitan kembali itu pun kemudian dijadikan serial terbaru untuk melengkapi rangkaian  'Petite Histoire'. Bertepatan dengan peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-70, tahun 2015 ini, buku ini hadir ke tengah pembaca.

Isi dari ketiga buku itu amat monumental. Rosihan Anwar menceritakan secara gamblang, aktual, dan historis semua peristiwa yang terjadi, dilihat, dan dialami sendiri oleh beliau pada periode Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1949. Pada setiap pertemuan ilmiah kesejarahan, kisah-kisah ini seringkali diceritakan. Sebagai usaha untuk memproyeksikan kembali sejarah nasional secar akurat, terukur, serta filosofis.
 
Buku serial terakhir 'Petite Histoire' ini dibagi ke dalam tiga judul besar. Bagian pertama diawali oleh Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi. Rosihan Anwar menuliskan kesaksiannya terhadap keadaan Jakarta pasca diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 dan beberapa kejadian yang mengelilinginya. Diantaranya adalah Rapat Besar di Lapangan Ikada (Lapangan Banteng), 19 September 1945; dan juga peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Adapun, pada bagian kedua, Kisah-kisah Zaman Revolusi, Rosihan Anwar menceritakan beberapa peristiwa bersejarah dalam lingkup yang lebih luas. Almarhum dengan lugas bercerita tentang kejatuhan Semarang; Front Jakarta-Bekasi; Sandiwara Malino, yang adalah usaha Belanda untuk memecah belah Republik Indonesia melalui pembentukan Negara Indonesia Timur; Pembantaian Raymond Westerling; hingga misi pemjemputan Jenderal Besar Soedirman dari gerilya. Pada bagian ini, peran Inggris sebagai penerima mandat sekutu untuk masa peralihan dari Jepang dituturkan lebih gamblang. Hal yang tidak begitu nampak pada keenam serial 'Petite Histoire' sebelumnya.

Bagian terakhir diberi judul Kisah-kisah Jakarta Menjelang Clash Ke-1. Keadaan Jakarta diceritakan amat jelas menjelang aksi polisionil Belanda yang selalu dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I, 21 Juli 1947. Pada bagian ini, Rosihan Anwar tidak hanya bercerita mengenai pengalaman pribadinya saja, termasuk ketika menjadi asisten Sir Archibald Clark Kerr. Rosihan Anwar juga menulis tentang sepak terjang Tan Malaka (secara terbatas) dan membalas Surat Terbuka dari seorang wartawan Belanda, yang mencibir usaha-usaha Rosihan Anwar sebagai wartawan pejuang Republik.

Melalui bagian terakhir, terlihat secara jelas bagaimana usaha Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia sangat besar. Belanda masih ingin menjadikan Republik Indonesia sebagai suatu negara merdeka dibawah Kerajaan Belanda. Untuk itu, Belanda memanfaatkan mandat yang diberikan kepada Inggris hingga akhirnya Inggris percaya bahwa Belanda mampu menjaga keadaan Republik tetap kondusif.

Kisah-kisah dalam trilogi diatas merangkum semua peristiwa dalam satu lintas masa sejarah Republik, terutama menjelang Agresi Militer Belanda yang pertama. Rosihan Anwar, tidak hanya menampilkan kemampuan kewartawanannya belaka. Beliau juga adalah seorang seniman panggung teater. Maka jangan heran, bila pembaca menemukan sisipan puisi dan sajak milik beliau. Pembeda inilah yang membuat buku ini menjadi terkesan lebih personal. Sejarah versi Rosihan Anwar adalah sejarah yang objektif, personal, dan tentu saja: reflektif.
 
Judul           : Sejarah Kecil 'Petite Histiore' Indonesia: Kisah-kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan
Penulis        : Rosihan Anwar
Penerbit      : Penerbit Buku Kompas
Tahun         : 2015
Tebal          : 354 hal.
Genre         : Sejarah Indonesia


Dharmawangsa, 26 Oktober 2015.

Rabu, 21 Oktober 2015

Atheis

"Tuhan tidak ada. Tuhan kabur, samar-samar, tidak jelas, gaib. (Hal. 123)
 
'Atheis' pertama kali terbit pada tahun 1949, hanya berselang jarak empat tahun dari proklamasi kemerdekaan Republik. 'Atheis' memotret suatu kondisi zaman dimana penganut paham filsafat eksistensialisme dan marxisme beradu usai perang dunia ke-2. Achdiat K. Mihardja dengan cermat memperhatikan tanda-tanda zaman dan menuliskannya ke dalam roman ini. Pemuda-pemudi Indonesia yang sempat mengecap pendidikan di Barat membawa paham-paham tersebut masuk ke dalam negeri, apalagi situasi perang kemerdekaan saat itu membuat kondisi Republik masih terlunta-lunta dalam melaksanakan ideologinya.
 
 
'Atheis' sendiri adalah satu-satunya karya Achdiat K. Mihardja yang terbit di Indonesia. Karya novel beliau, 'Debu Cinta Bertebaran' terbit untuk pertama kalinya di Singapura. 'Atheis' menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia klasik yang memperkaya khazanah kesusasteraan Indonesia. 'Atheis' telah mengalami cetak ulang sebanyak 26 kali hingga tahun 2014. 'Atheis', dengan sendirinya, menahbiskan dirinya sebagai monumen sastra Indonesia.
 
'Atheis' mewakili gejolak yang muncul di kaum muda Indonesia pasca kemerdekaan. Dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia maka menarik banyak pelajar Indonesia yang selesai bersekolah di negeri Barat untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kebebasan pemikiran ala barat di kalangan 'vrijdenker' (free thinker) pada awal abad XX mulai memasuki babak baru dalam sejarah Republik yang begitu muda.
 
Pertentangan yang disuguhkan dalam 'Atheis' sesungguhnya adalah tipikal klasik. Kaum Atheis, yang menyanjung paham materialisme harus menghadapi kaum tradisional yang masih memegang teguh kaidah agama mereka. Munculnya paham Marxisme dan komunisme pada dekade-dekade selanjutnya membuat 'konflik' yang tak kunjung reda.
 
Empat belas bab dalam 'Atheis' menjelaskan bagaimana seorang Hasan harus berkonflik dengan batinnya sendiri. Hasan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beribadah. Hasan pun menjadi seorang hama Tuhan yang sangat taat beribadah. Pertemuannya dengan sahabat lamanya, Rusli, adalah awal dimana iman Hasan mulai tergerus. Rusli adalah seorang yang rasional dan menganut paham materialisme ala Nietzsche. Rusli selalu mampu membantah argumen-argumen Hasan tentang ketuhanan.
 
Jalan hidup Hasan semakin berliku tatkala ia mulai jatuh hati pada Kartini yang dikenalkan padanya oleh Rusli. Kartini punya kesamaan yang sama dengan Rusli. Ia menganut paham ala barat itu. Kedekatan Hasan dengan Rusli semakin memuluskan cintanya pada Kartini.Percintaan mereka berujung hingga pernikahan walau tanpa restu orang tua Hasan.
 
Kehidupan pernikahan yang selalu dibayangkan Hasan pudar perlahan ketika ia mengetahui Kartini sering keluar dengan Anwar. Hasan pun bercerai dengan Kartini. Usai melewati puncak kemarahan dirinya. Hasan pun menyesal terhadap jalan hidup yang telah ia pilih. Ia telah menjadi Atheis dan telah mencabut nyawa Anwar.
 
Dalam novel ini, atheis yang disebutkan dalam judul tidak mengacu kepada tokoh tertentu yang dipertentangkan terhadap tokoh utama Hasan. Tetapi, lebih ditujukan kepada persoalan kehidupan yang dialami dan dijalani oleh tokoh Hasan. Hasan sendiri tidak pernah benar-benar menjadi seorang Atheis. Roman 'Atheis' menggambarkan jiwa Hasan sebagai kapal yang terombang-ambing antara theisme dan atheisme. Maka, ketika akhir hayatnya, Hasan masih mengucapkan 'Allahu Akbar!!!' sebagai tanda keimanannya.
 
Keberhasilan 'Atheis' terletak hampir pada semua unsurnya. Penggunaan teknik cerita berbingkai memungkinkan setiap peristiwa yang terjadi di dalam 'Atheis' seolah-olah terjadi diluar diri pengarangnya. 'Atheis' mampu melepaskan tokoh aku dari tokoh utama cerita. Unsur-unsur lainnya seperti perwatakan, latar cerita yang lekat dengan keseharian keagamaannya masing-masing secara padu mendukung tema yang menyuguhkan ketegangan antara keyakinan theisme dan atheisme.

Atas pencapaian yang demikian itu, 'Atheis' dianugerahi Hadiah Tahunan Pemerintah pada tahun 1969. 'Atheis' diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R. J. Maguire. 'Atheis' juga sempat diangkat ke layar lebar oleh Syuman Djaya pada tahun 1974. 'Atheis' kini menjadi satu dari sekian karya sastra monumentgal yang masih terus dibaca dan dibicarakan.
 
Catatan Singkat
 
Perkenalan dengan 'Atheis' dimulai dengan sebuah pertanyaan soal di LKS (Lembar Kerja Siswa) pelajaran Bahasa Indonesia SMA. Saya tidak tahu harus memilih pilihan jawaban yang mana ketika disodorkan hal tentang 'Atheis'. Hal itu membuat saya mendatangi Perpustakaan Sekolah dan meminjam 'Atheis'. Waktu itu, rupanya 'Atheis' terlalu berat untuk saya. Jadi, saya hanya membaca-baca sekilas mengenai pertentangan yang dialami tokoh Hasan.
 
Selanjutnya, pembacaan 'Atheis' hanya berlangsung parsial di Majalah Horison yang membahas karya monumental milik Achdiat K. Mihardja ini. Baru di Indonesian Book Fair tahun ini saya sengaja mengunjungi stand Balai Pustaka dan membawa 'Atheis' pulang untuk kedua kalinya. Alasannya cukup jelas, selain untuk menambah koleksi buku karya "Aki" Achdiat K. Mihardja, saya juga ingin memiliki satu karya sastra yang bisa dikatakan 'maju' pada zamannya.
 
Saya tidak berlebihan memberikan predikat 'maju pada zamannya' untuk 'Atheis'. Pada tahun terbitnya, tidak banyak karya sastra Indonesia yang mempertentangkan soal pemikiran Barat dan keyakinan tradisional masyarakat di tengah situasi Republik yang saat itu masih prematur. Kemudian, tidak banyak punya karya sastra yang seumuran dengan 'Atheis', yang mampu bertahan lama, mengalami cetak ulang berpuluh-puluh kali dan selalu menjadi referensi bagi generasi terkini.
 
Akhirul kalam, 'Atheis' mampu memberikan aspek-aspek yang menantang mengenai tema yang diangkatnya. 'Atheis' mampu memainkan tema yang cukup peka dan sensitif hampir sepanjang sejarah kesadaran manusia. Untuk itu, 'Atheis' telah melampaui zamannya dan terus hidup di setiap zaman yang akan datang.

Judul           : Atheis
Penulis        : Achdiat K. Mihardja
Penerbit      : Balai Pustaka
Tahun         : 2014
Tebal          : 252 hal.
Genre         : Sastra Indonesia-Roman
 
 
Dharmawangsa, 20 Oktober 2015.

Selasa, 20 Oktober 2015

Magenta Run Bandung 2015

Set aside a time solely for running. Running is more fun if you don't have to rush through it
- Jim Fixx


Pertengahan Oktober tahun ini saya akhirnya memutuskan untuk kembali turun berlomba. Lomba lari pertama setelah Nike Run Bajak Jakarta 2014. Sekaligus lomba lari pertama tahun ini. Saya sengaja membatasi diri dari gemerlap godaan berbagai lomba tahun ini. Saya cukup menyadari bahwa saya mengalami degradasi. Pace lari saya turun pasca demam bulan Mei lalu. Akibatnya, saya kini dilanda kelebihan berat badan, yang jadi problem utama dalam berlari. Selain itu, saya sendiri sudah tidak mendapatkan lagi gairah dalam mengukuti lomba lari. Yang jelas, saya masih tetap berlari.

Atas ajakan kawan-kawan di Bandung, saya akhirnya turun aspal juga. Magenta Run Bandung 2015 resmi menjadi lomba pertama saya tahun ini. Namun, jadi yang pertama bagi Edy, Adit, dan Retno. Magenta Run ini merupakan event launching Magenta Brasserie, kepunyaan Aston Primera Hotel and Conference Bandung. Lomba ini juga menggaet komunitas Indorunners Bandung, yang menjadi marshall sepanjang rute lari.

Saya melewati garis start dengan memakai perlengkapan debutan seperti sepatu Adidas Climacool Aerate III yang dibeli di Korea tahun lalu dan belum pernah ikut lomba. Dipadu dengan kaos Indorunners Bandung yang baru dikirim sehari sebelumnya. Peserta lari yang tidak terlalu banyak (mungkin dibawah 200 orang) membuat event lari ini serasa lari bareng Indorunners Bandung.

Pada saat balapan, saya tidak bisa berlari dengan performa terbaik. Badan saya rasanya terlalu berat. Padahal udara di sekitaran Jalan Pasteur cukup sejuk dan cerah. Memasuki Jalan Cipaganti, benar-benar menguji ketahanan dan mental. Jalanan yang teduh dan menanjak menguras tenaga. Saya pun tetap berlari dengan pace santai, mungkin sekitar 6/7 menit/km. Memasuki Jalan Sukagalih, saya sudah kelelahan. Keadaan ini sedikit 'merusak' program latihan saya bulan ini untuk mempertahankan pace di kisaran 6 menit 30 detik - 6 menit 40 detik per kilometer. Alhasil, saya finish menembus 5K di kisaran 35 menit.
 

Hasil lomba Magenta Run memang jauh dari target finish di 33 menit. Tetapi, sudah cukup untuk melatih kembali mental lomba saya. Minimnya pengetahuan tentang rute lomba serta training plan yang masih fokus di track landai sedikit banyak ikut mempengaruhi performance lari hari ini. Anyway, diluar itu semua, Bandung is always a great place to run. Happy running.

Pharmindo, 18 Oktober 2015.

Senin, 19 Oktober 2015

Koes Plus, Sebuah Kisah Dari Hati

Betapa tinggi elang akan terbang...
Lebih jauh lagi tinggi lamunan...

(Koes Plus - Perasaan)

Memang sulit rasanya bila harus membaca kisah tentang Koes Plus tanpa menggumamkan sedikit banyak lirik lagu mereka. Terlalu banyak cerita yang terangkum dalam jalinan melodi yang kadang terlalu singkat. Pun, sulit pula ketika harus membuat ulasan buku ini yang saya tamatkan pembacaannya hanya dalam tempo setengah hari saja. 

Kisah dari Hati, begitulah buku ini menamai dirinya. Ditulis oleh Ais Suhana-nama beken dari Muhammad Fiscana, yang sedari muda sudah mengenal Koes Plus. Ais sendiri adalah seorang promotor yang memiliki sebuah event organizer. Keakrabannya itu lantas mengantar Koes Plus pada kebangkitannya, pasca wafatnya Tonny Koeswoyo. 

Untuk penggemar Koes Plus, tentu sudah mafhum dengan perjalanan Koes Plus. Sejak masih bernama Koes Bersaudara, hingga Kasmuri a.k.a Murry bergabung dan mereka sepakat menjadi Koes Plus. Tentu, didalamnya terselip kisah bagaimana sedih dan marahnya Tonny Koeswoyo ketika mereka dijebloskan ke Penjara Glodok. Walaupun, ada satu 'misi' dibalik penahanan itu. Ada banyak dialog-dialog personal yang terlibat dalam buku ini. Penekanan pada usaha untuk membangkitkan kembali masa kejayaan Koes Plus pada tahun 1993 adalah catatan tersendiri. Kisah-kisah ini semuanya belum pernah dipublikasikan.

Saya yakin pembaca tidak akan dibuat kecewa dengan buku yang belum masuk dalam daftar Goodreads ini. Tidak kurang sejumlah tokoh ikut menyumbangkan testimonial mereka untuk Koes Plus, termasuk budayawan Emha Ainun Nadjib. Yang terpenting, lampiran diskografi dari karya-karya Koes Plus turut juga dihadirkan.

Buku ini terasa lebih sebagai catatan harian Ais Suhana. Ais tahu betul linimasa yang dilaluinya saat bersama Koes Plus, maupun saat Koes Plus sudah tidak lagi bersamanya. Ais juga menambahkan banyak foto yang menggugah memori dan kenangan atas masa-masa kejayaan Koes Plus. Ada banyak sentuhan personal dalam kisah Koes Plus ini. Satu diantara yang paling berkesan untuk saya adalah catatan tangan Murry yang menyetujui ide untuk bersatunya kembali Koes Plus (halaman 57).

Bagaimanapun, Koes Plus telah mempelopori banyak hal dalam industri musik Indonesia. Sejak era pasca pembebasan Irian Barat hingga dewasa ini. Sebutan sebagai 'Tonggak Industri Musik Indonesia' agaknya memang layak disematkan pada jagoan musik Tanah Air ini. Buku ini adalah usaha untuk mengabadikan Koes Plus.

Judul           : Kisah dari Hati: Koes Plus, Tonggak Industri Musik Indonesia
Penulis        : Ais Suhana
Penerbit      : Penerbit Buku Kompas
Tahun         : 2014
Tebal          : 230 hal.
Genre         : Musik Indonesia 

Dharmawangsa, 19 Oktober 2015

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...