Minggu, 08 Maret 2015

Arus Bawah

Setiap kekuasaan itu cenderung menumpas dirinya sendiri. Rakyat itu sendiri tak bergantung kepada kekuasaan. Hanya kekuasaan yang sangat bergantung kepada rakyat. Seperti kesementaraan bergantung kepada keabadian. (Hal. 111)



Arus Bawah pertama kali terbit dalam wujud buku dengan judul “Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah” pada tahun 1994. Dengan mengalami sedikit perubahan (entah penyesuaian) judul, buku ini hadir kembali setelah dua dasawarsa. ‘Arus Bawah’ mengangkat persoalan kebangsaan yang masih erat kaitannya dengan Bangsa Indonesia. Penulis sepertinya sengaja menyisipkan para punakawan sebagai tokoh utama dalam cerita.

Pembaca barangkali sudah tidak asing lagi dengan punakawan yang diwakili Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Semar dikisahkan sebagai penjaga keseimbangan , Gareng adalah rakyat biasa yang terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, ia adalah filsuf desa. Petruk merepresentasikan dirinya sebagai pengamat, ia tidak terlalu serius dalam menanggapi ocehan Gareng, namun ia juga tak kalah kritis dibanding kakaknya itu. Bagong, sebagai representasi Semar yang lahir dari bayangan Semar menjadi kebalikan dari Sang Ismaya Badranaya.

Kehadiran punakawan dalam pementasan pewayangan seringkali diawali oleh ‘goro-goro’ yaitu keteika cerita dalam konflik telah mencapai klimaksnya. Novel karya Emha Ainun Nadjib ini mengisahkan tentang hilangnya Kiai Semar ditengah-tengah masyarakat Karang Kedempel. Karang Kedempel mengalami dekadensi dan kekacauan dalam segala bidang akibat penguasa yang terlalu lama berkuasa. Struktur masyarakat Karang Kedempel tidak lagi menjunjung demokrasi sebagai pengejawantahan lima azas Karang Kedempel.

Menghilangnya Kiai Semar ini mendatangkan sekian ribu teka-teki bagi warga desa Karang Kedempel. Banyak tafsir atas kejadian ini. Terutama dari Gareng, yang tak henti-hentinya meyakinkan Petruk, Bagong, dan warga desa untuk ikut mencari Kiai Semar. Padahal, sebenarnya Kiai Semar tidak benar-benar menghilang. Semar selalu jadi bagian warga desa.

Kiai Semar selalu hadir sebagai penyeimbang. Bahwa ke-punakawan-an adalah tugas menemani dan menggembalakan kaum penguasa menuju sesuatu yang benar. Ke-punakawan-an, dengan demikian, berarti semacam kontrol sosial, bukan loyalitas buta, bukan sikap membiarkan ketidakbenaran, apapun akibatnya. Kiai Semar agaknya memberi kesempatan warga desa Karang Kedempel untuk mengintrospeksi diri mereka sendiri atas segenap kejadian yang mereka alami. Lebih jauh, Kiai Semar mengajak warga desa untuk berkuasa atas nasib mereka sendiri.

Tidak banyak buku di tahun 90-an yang menampilkan dirinya sebagai kritik bagi pemerintah. Terlebih dengan segala batasan yang diterapkan Orde Baru pada waktu itu. Emha Ainun Nadjib menemukan cara yang apik untuk mengkritisi keadaan bangsa dan tata pemerintahannya. Dominasi pakem Mahabarata yang kental menjadi bahan bakar yang tepat bagi Emha untuk mengadaptasi realitas dalam bentuk kisah pewayangan. Hal ini menjadi pintu masuk yang tepat karena analogi budaya yang dilakukan Emha mampu menyentuh segala lapisan masyarakat.

Buku ini seakan menggambarkan keadaan Indonesia kontemporer. Bahwa keadaan dalam sebuah cerita fiksi menjadi sebuah representasi realitas yang benar-benar berlangsung. Relevansinya dengan kondisi Indonesia kekinian adalah alasan yang tepat untuk terbitnya kembali buku ini. Dengan demikian, kita disadarkan kembali untuk senantiasa berkaca dan berkontemplasi atas segenap kejadian yang menimpa bangsa ini. Demi menjadi manusia yang seutuhnya.

Judul        : Arus Bawah
Penulis     : Emha Ainun Nadjib
Penerbit   : Penerbit Bentang
Tebal        : 240 Hal.
Tahun       : 2014
Genre       : Novel


Dharmawangsa, 8 Maret 2015.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...