Sabtu, 31 Desember 2011

Catatan Tak Terselesaikan: Test Pack


 
Judul: Test Pack
Penulis: Ninit Yunita
Penerbit: Gagasmedia
Tahun: 2005
Tebal: 230 hal.
Genre: Novel
Delivery date: Desember 2010

Sama seperti Empat Musim Cinta, buku ini juga ditandatangani oleh penulisnya langsung. Betapa bangganya saya saat menerima kiriman paket dua buku ini. Karena selain membantu meningkatkan penghasilan dan penjualan dari pasangan Suami Gila dan Istri Bawel ini saya juga punya sesuatu untuk dibanggakan: tanda tangan penulis. Sama rasanya ketika Prof. Budi Darma dan DR. Seno Gumira Ajidarma sudi menandatangani buku mereka yang saya punyai.
 
Test pack, sebuah novel metropolitan, ringan dan menghibur. Namun, makna yang dikandung novel ini sangatlah besar. Tidak sesederhana memaknai komitmen antar dua manusia demi janji setia yang telah terucap. Pembaca harus mampu sesensitif mungkin untuk merasakan perjuangan demi mempertahankan komitmen diluar semua pretensi, praduga, dan prasangka yang senantiasa lekat menghampiri. Cerita yang dikemas rapi ini adalah wujud representasi kehidupan manusia modern dengan segala kompleksitasnya sehingga fiksi ini dianggap mewakili suatu realitas kenyataan yang benar-benar dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
 
Sepanjang tahun ini, saya belum mampu juga untuk membuat resensi buku ini karena yang ada di pikiran saya saat itu adalah kebingungan yang sangat.* Saya tidak ingin lantas menjadi orang yang sok tahu dengan hanya menafsir sebuah novel yang membahas kehidupan rumah tangga. Padahal, saya hanya perlu membaca makna dan pertanda akan arti sebuah kesetiaan dalam komitmen berumah tangga. Beberapa pertanyaan yang sepertinya sengaja diselipkan dalam cerita rasanya sayang bila dilewatkan begitu saja. Barangkali, pembaca harus lebih dari siap untuk jujur pada diri sendiri untuk menjawab pertanyaan tersebut.

 

Pharmindo, 31 Desember 2011.

*cerita ini selesai ditulis hanya beberapa jam menjelang pergantian tahun 2011.

Catatan Tak Terselesaikan: Empat Musim Cinta

Judul: Empat Musim Cinta: tentang aku, kamu, dan rasa
Penulis: Adhitya Mulya and friends
Penerbit: GagasMedia
Tahun: 2010
Tebal: vi + 174 hal.
Genre: Kumpulan Cerpen
Delivery date: December 2010


Ada yang selalu dinanti dari setiap karya penulis. Apalagi kalau penulis itu sudah pernah berhasil membangun reputasi dengan meraih predikat “Best Seller”. Entah itu kekhasan rasa dalam setiap tulisan yang dihasilkan atau hanya sekedar perasaan kangen untuk membaca karya selanjutnya. Semenjak saya mulai follow Adhitya Mulya di twitter (@adhityamulya) saya mendapat banyak informasi yang lebih bersifat personal. Sehingga, saya bisa tahu juga bahwa penulis ini menjual sendiri karyanya. Bedanya dengan di toko buku, setiap pembeli akan mendapat tanda tangan asli dari penulisnya. Sebuah kebanggan yang tak terhingga bagi seorang penggemar. Mungkin 100 tahun lagi buku bertandatangan asli ini akan jadi barang langka, antik, unik dan mahal harganya.

Saya tertarik membaca buku ini karena judulnya. Empat musim cinta. Selama ini kita hanya mengenal empat musim cuaca. Bukan cinta. Namun, saya kira cuaca pun masih ada hubungan dengan cinta. Cuaca layaknya cinta adalah sesuatu yang bisa diprediksi sebelumnya tetapi membutuhkan pengalaman tersendiri untuk merasakan keadaan yang sebenarnya. Itu menurut tafsir saya karena selama ini saya pun belum tahu alasan dibalik pemilihan judul buku ini.
 
Sayangnya, saya belum mampu menuliskan sepatah dua patah kata untuk sekedar menerjemahkan isi buku ini menurut tafsir saya. Saya dilanda ketakutan luar biasa apabila ternyata salah dalam mendefinisikan makna Empat Musim Cinta. Ketakutan yang semakin saya sadari semakin tidak beralasan.
 
Ya tabe kahayu. Aishiteru. Ti amo. Wo ai ni. Mi aime jou. Volim te. Ik hou van jou. Ek hef jou lief. Mi amas vin je. Ich liebe dich. Te dua ai.  Begitulah cinta menyebut namanya dalam berbagai bahasa.
 
Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan buku ini, apalagi buku ini termasuk makanan ringan bagi penikmat sastra cerpen. Cerpen dengan rasa dan bumbu cinta didalamnya. Fenomena cinta yang disajikan para penulis ditafsirkan dalam makna yang lebih general. Tidak sebatas percintaan dan kasih sayang dua manusia semata. Cinta bisa dimaknai secara luas karena pada hakikatnya cinta ada dalam setiap jejak langkah manusia.
 
Aura cinta sudah terasa sebelum membaca dan merasakan cerita cinta dari setiap cerpenis. Cinta menemukan jalannya sendiri. Cinta memiliki bahasanya sendiri.  Bagai empat musim yang selalu berganti begitu pula cinta. Cinta memiliki musimnya sendiri. Ia bisa hadir setiap hari dalam setiap jiwa yang merindukannya. Pengalaman cinta yang berbeda dari masing-masing penulis membuat kumpulan tulisan ini terasa lebih hidup dan semarak. Perasaan kehilangan dan bahagia menyublim dalam rasa.



Pharmindo, 31 Desember 2011.

Kamis, 22 Desember 2011

Surat Cinta untuk Aninda: Episode Hari Ibu


Aninda sayang, akhirnya aku bisa menyisihkan waktu sejenak untuk menarik nafas dan mengirim surat padamu. Ah, satu alasan klise yang sudah terlalu sering jadi alasan untuk segenap kebodohanku. Entah untuk keberapakalinya, maafkan aku, Aninda.


Aninda tercinta, Desember sudah mendekati akhir. Begitu juga setiap cerita, selalu memiliki akhir. Aku selalu ingat bulan Desember. Satu waktu dimana cinta kita mulai bersemi.

Aninda, tentu kau masih ingat saat itu. Kau pun pasti belum lupa lembutnya tiramisu di kedai coklat itu. Ah, rasanya itu seperti baru kemarin kita alami. Kau pun tahu selanjutnya ketika aku tutupi kedua daun kupingku usai kunyatakan cintaku padamu. Ada rona bahagia di wajahmu, Aninda. Wajahmu memerah. Aku tersipu. Biar bintang tak datang menerangi malam aku tahu kau terima cintaku.

Sambil menunjuk satu bintang di langit kelam kau bisikkan padaku cita dan harapmu. Berdua kita kan terbang menuju kesana walau hanya berkain cinta dan kita juga kan menyanyikan lagu itu. Lagu yang Kimberly selalu nyanyikan pada setiap Choir Grand Prix. A whole new world... A new horizon to pursue... Layaknya Aladdin dan Putri Jasmin.

Dalam diam aku pun membayangkan kita akan beranak pinak kelak. Aku akan selalu berada disisimu saat anak-anak kita lahir nanti. Mengumandangkan adzan ditelinga mereka seraya mengucap doa-doa yang terbaik. Aku juga bayangkan saat-saat mereka mulai sekolah. Kau akan menyiapkan bekal dan aku akan setia mengantar pergi ke sekolah. Tak lupa, dengan ciuman di kening  sebelum mereka masuk kelas. Ah, kebahagiaan itu sederhana rupanya.

Kau juga bisikkan padaku, apakah aku akan selalu mencintaimu. Tiba-tiba aku harus menatap dalam pada dua matamu. Bukan aku meragukanmu tapi sungguh ku tak ingin engkau jauh dariku. Aku pun memelukmu sambil bisikkan janji untuk selalu menjaga bunga-bunga yang ada di ladang cinta kita.

Kau pun tersenyum waktu itu. Senyum yang selalu kurindukan dan selalu membuatku ingin pulang. Pulang kemana cinta kita kan beradu. Pada hati yang terpilih. Hatimu.

Selamat Hari Ibu. Aku yakin engkau lebih dari mampu untuk jadi seorang Ibu yang seutuhnya mengasihi.
 
Peluk hangat dan cium,

Kekasihmu di ujung dunia

 

Paninggilan, 21 Desember 2011.

Rabu, 14 Desember 2011

Senja di Jakarta

"Senja di Jakarta tetap dalam kesuraman, dan mereka yang jujur tetap tersisih." *

Terkisahkan dalam cerita bagaimana nasib anak-anak manusia membawa takdir berlari menuju suratan masing-masing. Saimun dan Itam sebagai potret rakyat kecil dengan dinamika kehidupan yang sebegitu rupa selalu bergulat dengan perut yang lapar. Raden Kaslan, seorang pengusaha yang kemudian menjadi mesin uang bagi Partai. Husin Limbara, tokoh sentral partai penguasa yang terlalu hebat kuasanya dalam mengatur segala urusan demi kemajuan partai yang dipimpinnya. Suryono, anak Raden Kaslan yang memutuskan untuk berhenti jadi pegawai negeri lalu ikut jadi pengusaha seperti ayahnya-dan membantu partai.


Ada lagi, Sugeng. Pegawai negeri yang jujur namun karena satu bisikan kemudian berhenti jadi pegawai dan membuka usahanya sendiri. Tokoh-tokoh pemuda yang saat itu ikut berperan dalam permainan wacana kanan-kiri pun tak lupa disebutkan. Macam Akhmad dan Yasrin yang berhaluan kiri. Sedangkan, Pranoto dan Murhalim adalah pengikut setia paham demos-cratein (baca: demokrasi). Ditambah Iesye, seorang religius-nasionalis yang percaya dinamika Islam akan mampu memecahkan jalan buntu yang dihadapi bangsanya.

Semua kisah itu pada awalnya muncul sebagai fragmen-fragmen dengan alurnya sendiri. Seiring cerita berjalan, entah kebetulan atau tidak, benang merah kusut itu semakin menemukan jalinannya. Kaitan antara fragmen yang satu dengan fragmen yang lain terasa lebih hidup dan meninggalkan perasaan sesal pada pembaca bila melewatkannya.

Seandainya dibaca dengan seksama, Senja di Jakarta melukiskan juga berbagai kekuatan yang mempengaruhi, membentuk, dan kehidupan mereka yang kaya, miskin, kaum politik dan kriminal, kaum intelektual, dan juga mereka yang berpindah dari desa ke kota besar. Fenomena yang sudah sering terjadi dalam negeri-negeri yang belum lama merdeka.

Catatan Seorang Nasionalis Dadakan

Bila dikaji, kita akan menemukan realitas fiktif dimana telah terkutuknya dunia bisnis, politik, dan kekuasaan bila itu digabungkan dalam suatu kesatuan. Tak jelas lagi mana kepentingan rakyat dan mana kepentingan saku pribadi. Tetapi, kemudian pembaca barangkali akan menyadari bahwa realitas fiktif yang sengaja dibangun oleh Mochtar Lubis ada benarnya. Betapa penguasa telah mengkhianati mandat dengan memperkosa hak-hak yang seharusnya rakyat terima.

Contoh sederhana untuk saat ini, coba perhatikan isi berita media-media kaum oposan. Bandingkan dengan tendensi media corong penguasa. Perang opini publik adalah perang yang abadi. Sungguh satu hal yang selalu berulang. Sejak zaman pasca kemerdekaan hingga kini. Seperti menandakan peran absurd media yang membela kepentingan-kepentingan tertentu demi satu tujuan: oplah. Semakin tinggi oplah, semakin banyak uang didapat. Tidak peduli lagi rakyat dibuat cerdas atau sengsara oleh pemberitaannya.

Senja di Jakarta adalah bukan tentang keindahan senja di langit Jakarta. Bukan asosiasi pemaknaan senja tentang romantisme cinta yang melankolis. Senja di Jakarta adalah tentang arus kemiskinan, korupsi dan kejahatan (kriminal dan intelektual) yang mengalir deras di bawah permukaan kehidupan kolong lagit Jakarta.

Membaca novel yang terbit pertama kali pada tahun 1970 ini sama saja dengan menyimak keadaan kehidupan berbangsa saat ini. Betapa demokrasi yang selama ini diagung-agungkan telah membawa rakyat bangsa ini kedalam berbagai situasi. Entah yang paling menyenangkan atau paling tidak menyenangkan sekalipun. Pertentangan ideologi yang begitu terasa menjelang pemilu terlihat begitu mencolok. Sistem demokrasi parlementer saat itu tidak mampu menahan berbagai gejolak.

Rakyat kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Partai-partai penguasa sibuk berbagi jatah. Kaum Oposan bersiap diri bila suatu saat kabinet jatuh. Pergerakan kaum kiri semakin aktif di tengah-tengah rakyat yang dianggapnya proletar itu. Penyimpangan dimana-mana. Birokrat sudah tidak malu lagi menenggak uang rakyat. Padahal, cari beras pun susahnya minta ampun.

Senja di Jakarta memberi gambaran bagaimana kekuatan unsur bisnis, politik, dan media turut berperan dalam membangun kehidupan berbangsa. Kolusi, Korupsi, Nepotisme, Kongkalikong, Katebelece sudah jadi makanan sehari-hari yang semakin menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa. Praktek yang demikian itu sudah sebegitu lumrahnya bagi kalangan oportunis yang berkicau didalamnya. Sehingga, bangsa ini terancam karam.

Saya yakin bahwa kenyataan seperti itu akan kembali berulang. Apalagi nanti menjelang pemilu 2014. Partai penguasa tentu akan butuh dana besar untuk memenangkan figur jagoannya. Itu pun kalau tidak terlanjur kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Ditambah bila skandal-skandal besar yang melibatkan partai penguasa ini dapat dituntaskan. Jujur, saya ngero untuk membayangkannya.

Nilai aktualitas novel ini semakin menekankan relevansinya dengan wajah Indonesia saat ini. Korupsi merajalela tanpa jelas siapa dalangnya, hukum dianggap main-main belaka, koruptor teriak maling sambil makan siang nikmat di sebuah mall-padahal statusnya masih tersangka dan dipenjara, partai penguasa tersangkut berbagai skandal besar hingga pergolakan opini di media massa antara kaum oposan dan kaum pro-pemerintah. Gambaran realitas masa lalu yang seakan dihadirkan kembali pada masa sekarang ini.

Semua keadaan itu menghadirkan sebuah konektivitas sejarah dalam percaturan politik. Hanya saja, waktu yang membedakan. Zaman dipimpin oleh pemerintahan parlementer tahuh 1950-an dan kini demokrasi modern yang berlandas pada semangat reformasi. Entah masihkah ada pentingnya demokrasi Pancasila dimasa suram seperti ini.

Lebih dari itu, Mochtar Lubis sangat sangat berhasil mengantar pembacanya pada permainan fiksi dan fakta. Dimana fiksi mengambil fakta sebagai latar cerita yang tentu memiliki keterikatan langsung dengan realitas pembaca. Ditambah lagi dengan aktualitas dan relevansi realitas fiksi yang seakan hidup dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Senja di Jakarta seakan mengingatkan kita bahwa suatu masa akan tetap berulang. Dan hidup tidak akan pernah lagi sama. Demi menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
 
Judul: Senja di Jakarta
Penulis: Mochtar Lubis
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Tahun: 2009
Tebal: 405 hal.
Genre: Novel
 

 Medan Merdeka Barat-Tomang-Paninggilan, 10 Desember 2011.

* petikan halaman 192 dari buku "Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern" ditulis oleh Maman S. Mahayana, Oyon Sofyan dan Achmad Dian. Grasindo, 2007

Selasa, 06 Desember 2011

Oleh-oleh Marguerite dari Timur



"Bersabarlah wahai ketidaksempurnaan, berkat engkaulah kesempurnaan menyadari dirinya." (hal. 119)

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


Pertama kali muncul keinginan untuk membaca buku ini usai membaca Rashomon karya Ryonosuke Akutagawa (KPG, 2007). Entah dibagian akhir buku atau dimana saya melihat deskripsi buku Cerita-cerita Timur ini dan tiba-tiba merasa harus membacanya.

Selang waktu berjalan saya pun lupa tentang hal ini. Baru teringatkan kembali ketika mendapat katalog dari penerbit Yayasan Obor Indonesia di Pesta Buku Jakarta medio 2011. Kemudian, seperti biasa terlupakan kembali. Baru ketika Pesta Buku Bandung kemarin saya menemukan buku ini. Rasanya seperti menemukan permata yang hilang (sok dramatis). Hebatnya, saya dapatkan buku edisi cetakan pertama yang semakin membuat buku ini terasa lebih berkesan karena kejadulannya.

Walaupun cerita-cerita dalam buku ini adalah cerita yang diceritakan kembali dari bentuk cerita asalnya tetap tidak mengurangi esensi, hakikat dan pemaknaan kembali semua kisahnya. Terlebih, Marguerite Yourcenar cukup cerdas untuk memainkan rona bahasa. Sehingga tercermin dalam pilihan kata yang mampu menghidupkan isi cerita secara detil.

Buku dengan judul asli Nouvelles Orientales yang terbit tahun 1938 ini ditulis saat Marguerite Yourcenar berumur 35 tahun. Marguerite adalah seorang pengembara. Sehingga, karyanya merefleksikan kekayaan pengalaman dari pengembaraan selama hidupnya. Terutama di Yunani, Turki, India, dan Jepang. Dimana tempat-tempat tersebut memberi kesan latar yang cukup kuat pada cerita.

Istilah "Timur" dalam judul kumpulan isi sangat relatif, yaitu sebelah timur Perancis, membentang dari daerah Balkan dan Yunani sampai ke Cina dan Jepang. Dari segi lain, tidak adanya cerita yang berlatar Asia Tengah, India, atau Asia Tenggara menunjukkan bahwa Marguerite tidak bertujuan memberi gambaran menyeluruh tentang Tradisi "Timur" itu secara sistematis.

Kisah-kisah dalam kumpulan ini diangkat dari dongeng timur tradisional dan diceritakan kembali oleh Marguerite Yourcenar dengan gaya bahasa yang sangat puitis, sarat kiasan dan metafor, sekaligus mengandung unsur perasaan dan emosi yang intens dan kental.

Simak cerita tentang seorang Ibu yang menjadi tumbal atas pekerjaan suaminya dan tetap berusaha menyusui anaknya hingga air matanya kering. Lalu, kisah tentang rasanya jadi orang yang terlupakan pada cerita berjudul Cinta Terakhir Pangeran Genji.

Kemudian, rasakan juga pengalaman seorang laki-laki yang mencintai peri. Khusus untuk ini, mengingatkan saya pada suatu judul yang entah karya siapa, entah novel, roman, atau cerpen yang bernada sama: Laki-Laki yang Bercinta Dengan Peri.

Kisah-kisah tersebut sejatinya bercerita tentang hidup, cinta, gairah, seni, dan kematian ini tidak terikat pada suatu masa dan suatu negeri saja tetapi menyangkut nilai-nilai universalitas kemanusiaan yang berlaku sepanjang masa.

Judul: Cerita-cerita Timur
Penulis: Marguerite Yourcenar
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Tahun: 1999
Tebal: 133 hal.
Genre: Kumpulan Cerpen
 

Medan Merdeka Barat-Pharmindo, 6 Desember 2011.

Senin, 05 Desember 2011

Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia



Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Perjumpaan saya dengan karya Agus Noor dimulai dengan kumpulan cerpen Potongan Cerita di Kartu Pos. Secara tak sengaja, saya dibuat penasaran dengan judulnya Pengalaman pertama saya itu dilatarbelakangi oleh suatu rasa penasaran. Kenapa seorang Agus Noor menjadi begitu penting hingga Alina merasa harus menulis surat untuknya dalam kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku milik Seno Gumira Ajidarma (SGA).

Dalam karyanya yang kesekian ini, Agus Noor mengeksplorasi cerita hingga membuat setiap kisah yang ditulisnya menjadi penuh pukau. Cinta, sensualitas, sampai memori kekejaman politik dan religiositas, terasa subtil dalam bahasanya yang puitis dan sering kali mengejutkan.

Bila diperhatikan sepintas, gaya menulis yang dimiliki Agus Noor sedikit banyak dipengaruhi oleh SGA. Pun ketika saya menemukan bahwa ada beberapa potongan cerita dari karya SGA yang disisipkan ke dalam cerita gubahan Agus Noor. Sebagai orang awam, saya melihat bahwa hal itu sah-sah saja dan bukan merupakan suatu plagiatisme. Karena Agus Noor justru mampu menciptakan suatu imaji karya yang baru dengan menyisipkan "bumbu" milik penulis lain.

Barangkali, kalau ada yang tidak berkenan dengan hal seperti ini adalah pembaca yang baru mengenal karya-karya Agus Noor dan bukan pembaca karya SGA. Sehingga memungkinkan adanya missing link dalam pemaknaan konteks cerita yang diadaptasi Agus Noor dari SGA.

Sebagai pembaca SGA, saya tentu hanya bisa "nyengir" melihat hal seperti ini. Agus Noor telah membantu saya untuk recurrent cerita-cerita SGA yang telah saya baca. Saya menganggap bahwa Agus Noor telah mampu membawa suatu pemaknaan baru terhadap karyanya sendiri walau dengan menyertakan potongan cerita-cerita dari SGA. Utamanya dengan bumbu cerita khas metropolitan: cinta dan perselingkuhan, yang lebih kuat.

Tentu ini sangat baik sebagai tanda hidupnya imajinasi dari seorang penulis yang berujung pada munculnya karya baru yang lebih segar dengan pencitraan imaji yang semakin kreatif dan imajinatif.

Judul: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
Penulis: Agus Noor
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun: 2010
Tebal: 166 hal.
Genre: Kumpulan Cerpen

 
Pharmindo-Medan Merdeka Barat, 5 Desember 2011

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...