Selasa, 28 Juli 2009

Pada Suatu Pagi (2)

Tenggelam lagi dalam kepulan asap rokok dan pekatnya kopi. Begitulah yang kujalani akhir-akhir ini. Aku merasa tekanan ini begitu menghimpitku sehingga butuh pelarian seperti itu. Padahal, itu tidak terlalu penting. Aku tidak ingin merasa dibebani oleh pekerjaan kalau ternyata tekanan itu lebih disebabkan oleh perasaan, Cuma oleh sekedar perasaan.

Kenapa perasaan seperti ini menyerangku lagi, setelah semua berjalan apa adanya. Aku tidak tahu jelas apa yang menghinggapi pikiranku saat ini. Entah jenuh atau Cuma sekedar bosan. Aku masih memejamkan mata ini sambil berharap pikiran ini kembali seperti biasanya. Aku harap perasaan ini bukan karena rinduku padanya. Asap rokok masih mengepul dalam pikiran yang berkabut. Lagu dangdut dari radio butut masih mengalun pelan.

Selamat malam,...duhai kekasihku*)
Sebutlah namaku menjelang tidur

Mendengar lagu itu aku sedikit merasa lebih baik. Ingin sekali aku memeluknya dimalam ini. Hilangkan gelisah setiap malam. Aku tahu dia pasti merindukan kehadiranku. Dia selalu ada disana. Selalu menungguku untuk menceritakan segala kepalsuan di dunia ini. Bila sudah begitu, seakan jauh rasanya dari dosa yang selalu mengepungku.

Ini memang tidak adil padanya. Aku telah meninggalkannya tanpa kerelaan apa pun. Tapi, perempuan itu tidak banyak bertanya. Ia hanya pasrah saja menerima kenyataan ini. Dalam hatinya mungkin masih ada keyakinan bahwa aku akan kembali pada suatu masa. Aku rasa dia tidak terlalu salah karena malam ini setelah rokok terakhir kuhisap dan cangkir kopi terakhir kuteguk habis aku akan kembali menemuinya. Hanya tinggal masalah waktu saja. Aku ingin lihat apakah waktu masih memberikan kesempatan padaku. Aku hanya ingin tahu apakah waktu masih mempunyai masa lalu yang bisa terulang lagi. Aku hanya ingin tahu saja, tidak lebih.

Sementara, malam bertambah pekat dalam balutan sunyi sepi. Aku masih sendiri. Aku merasa menjadi orang yang paling berbahagia malam ini. Betapa bahagianya aku malam ini. Aku masih bisa merasakan tekanan perasaan yang bertubi-tubi dan takkan pernah hilang walau teracuni kafein dan nikotin. Aku masih bisa bahagia dalam bayangan senyumannya. Aku masih bisa berbahagia walau hanya dengan hidup yang begini-begini saja, tanpa variasi. Aku masih merasa bahagia walau hanya mengkhayal tentangnya.

Rindu ini memang terasa berat. Andai aku bisa menjadikannya sebagai puisi. Sudahlah, itu semua tidak mungkin. Tidak mungkin kalau aku akan kembali menemuinya setelah sekian lama menghilang tanpa pesan. Kalaupun bisa aku tidak akan pernah kembali padanya. Lagipula untuk apa kalau selama ini ternyata sudah ada satu hati yang melengkapi hatinya yang lain.

Aku kembali dilanda sepi. Malam diluar jendela masih menampakkan pekat dalam cahaya lampu jalanan yang menandakan kota ini belum tidur. Aku menatap kosong keluar. Tidak ada lagi beban yang hinggap. Hanya ada sepi dan diriku yang kerdil dihadapan pencakar langit itu. Diam-diam kunyalakan lagi sebatang rokok. Radio butut itu kini terdengar jauh lebih merdu.

Malam ini tak ingin aku sendiri...**)
Kucari damai bersama bayanganmu...

Sebuah lagu lama yang kembali terdengar merdu dan mesra. Siapakah yang ingin selalu ditemani kesendirian? Siapakah yang tak ingin ditemani dalam malam yang sepi ini? Aku rasa jawabannya bukanlah aku. Aku tidak pernah tahu jawaban itu. Terlalu subjektif. Aku dengarkan lagu itu sampai selesai. Radio kumatikan sambil melangkah pulang.

Aku sampai di rumah dengan perasaan yang datar. Tidak ada yang aneh. Aku memastikan semuanya baik-baik saja. Aku tidak ingin lagi terbangun dengan keadaan tidak menentu lalu menemukan seorang perempuan lagi. Aku hanya menemukan sebuah surat dibawah pintu. Entah dari siapa, tidak ada nama pengirimnya. Sebuah amplop warna merah muda dengan bekas tanda ciuman bibir. Aku bisa lihat dari sisa lipstik yang masih menempel pada amplop itu. Sepertinya surat ini belum lama sampai.

Aku sama sekali tidak merasa penasaran. Aku simpan surat itu. Aku baca besok pagi saja. Aku ingin segera tidur lalu lupakan semua yang terjadi. Namun, rupanya paduan nikotin dan kafein dalam tubuhku mulai bekerja. Aku tidak bisa tidur lelap, bahkan untuk memulainya saja pun tidak bisa. Aku merasakan detak jantungku mengencang, tidak seperti biasanya. Lalu, mata ini belum mau terpejam juga.

Aku duduk sambil melamun. Tiba-tiba, pikiranku terarah pada surat itu. Aku akan segera membacanya.

Sayang,

Maafkan atas kelancanganku kemarin. Aku masuk ke rumahmu tanpa izin. Aku tahu kamu pasti kaget melihatku ada di tempat tidurmu. Kamu tidak perlu tahu aku ini siapa. Aku hanyalah seorang perempuan biasa, sama seperti yang biasa kau temui di lingkungan kantormu. Aku sama seperti mereka.

Malam itu kebetulan aku lewat depan rumahmu sebelum aku melihat ada sesuatu yang aneh. Rumahmu memang aneh (aku harus akui itu). Pintu masuknya terbuka, pagar tidak dikunci, belum lagi jendela yang selalu terbuka karena angin. Ketika itu aku masuk. Dan tanpa sengaja aku langsung menuju satu-satunya kamar. Lalu, aku duduk di tempat tidurmu.

Aku merasa nyaman sekali disitu. Udaranya begitu sejuk, mungkin karena kamu pandai mengurusi tanaman di taman depan itu. Aku pun langsung merebahkan tubuhku. Perlahan tapi pasti aku tertidur. Dalam tidurku itu aku merasa ada seseorang lain di rumah ini. Aku bisa rasakan ia masuk kedalam kamar. Aku masih tetap tertidur. Lalu, aku merasa seperti ada yang membuka kancing kamejaku. Tak hanya itu, perlahan ia menciumi leherku. Perlahan juga aku merasa payudaraku diremas-remas. Aku rasa aku sedang dalam permainan cinta yang dahsyat. Aku merasakan sebuah kenikmatan namun masih dalam keadaan tertidur.Nafsuku terbakar. Dadaku berdegup kencang. Aku tidak sanggup membuka mata ini. Aku dikepung sejuta nafsu dalam kenikmatan. Aku malu untuk bilang padamu kalau aku telah mencapai orgasme. Tapi, apa boleh buat. Aku telah mengatakannya padamu.

Setelah itu, aku benar-benar kelelahan. Aku yakin kalau si pemilik rumah ini telah memberiku kenikmatan yang paling dahsyat dalam hidupku. Aku tahu permainan cinta macam apa yang paling disukai seorang wanita. Sudah berkali-kali aku melakukannya. Tetapi tidak ada seperti yang kamu berikan. Kamu adalah lelaki paling hebat. Hanya kamu saja yang pernah melakukannya. Tidak seperti yang lain.

Aku hanya berharap suatu saat dapat kembali berada di kasur itu dan melakukan hal yang sama denganmu. Ingat, hanya denganmu saja. Kita mainkan lagi permainan cinta yang paling dahsyat yang hanya kamu saja yang punya. Kamu tidak perlu menungguku. Aku akan datang kapanpun kamu mau.

Peluk hangat,

*****

GILA. Benar-benar gila.


Kelapa Gading, 28 Juli 2009


*) dari lagu Selamat Malam, dinyanyikan oleh Evie Tamala
**) dari lagu Tak Ingin Sendiri, dinyanyikan oleh Dian Pisesha

p.s Pada Suatu Pagi bagian pertama dapat dilihat di edisi April

Selasa, 14 Juli 2009

Olenka

Olenka,
Seminggu sudah kau bersamaku. Seminggu itu pula kau telah tidur bersamaku. Bersama kita menatap kelam langit Jakarta yang kadang ada bulan menggantung disana. Selama itu pula aku belum menyentuhmu. Bagiku, apa yang terdapat dibalik wajahmu yang baru masih sebuah misteri.

Olenka,
Seminggu sudah tanda tangan penciptamu menancap di kulit mukamu. Seminggu itu pula aku semakin merasa yakin bahwa kau memang aneh dan cukup memenuhi syarat untuk dianggap kontroversial. Pada zaman engkau lahir, tentu belum banyak yang mengerti akan maksudmu. Mereka masih terpaku pada pola pikir linier yaitu pola pikir yang masih menghendaki adanya benang merah dan hubungan sebab akibat pada setiap sosok yang menyerupaimu. Namun, engkau tidak begitu.

Olenka,
Aku pernah mengenalmu dalam balutan wajah lamamu. Aku pernah menjamahmu tapi aku tidak dapat merasakan sebuah sensasi. Aku hanya mencari-cari siapakah engkau yang sebenarnya. Adakah Olga Semyonovna adalah wujud pasti dirimu? Atau mungkin, Olga Semyonovna telah menghibahkan rahimnya untuk mengandungmu? Aku hanya mencari tahu siapa engkau sesungguhnya. Tidak lebih.

Olenka,
Engkau tentu masih ingat siang yang tidak terlalu panas itu. Suatu siang dimana engkau akhirnya berlabuh ke pelukanku. Aku memang sudah berniat memboyongmu ke kamarku sejak mereka memasang namamu disitu. Beruntunglah, Tuhan memberikanku kemampuan untuk sekedar mengajukan pertanyaan pada penciptamu. Rupanya, Tuhan masih berbaik hati hingga mengizinkanmu untuk benar-benar berada di genggamanku.

Olenka,
Aku masih menatapi wajahmu. Aku baru tersadar kalau Seno Gumira Ajidarma menulis sesuatu di wajahmu. Kau pun tahu dia penulis favoritku kan? Kiranya, setelah menulis catatan ini, ingin sekali aku menghabisimu. Menelan setiap kata dan kalimat dalam dirimu. Sampai akhirnya aku benar-benar paham siapa dirimu, Olenka.

Salam hangat dari Kelapa Gading,

Kelapa Gading, 14 Juli 2009

JK: Jaga Kehormatan(mu)

Jum’at pagi, hampir semua wajah media cetak dipenuhi headline yang serupa. JK ucapkan selamat pada SBY. Ucapan selamat tersebut sebagai reaksi atas jumlah perolehan suara pemilu presiden via quickcount yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga survey. Sedangkan KPU sendiri masih baru akan mengumumkan hasil resmi pemilu presiden pada 25 Juli 2009 nanti.

Perlu diakui bahwa kedewasaan dan kematangan dalam berpolitik terutama untuk mengakui kekalahan adalah hal yang sulit dan berat untuk dilakukan. Apalagi sambil mengingat ketatnya rivalitas demi menjaring suara pemilih. JK dengan legowo dan semangat ksatria telah menunjukkan sikap yang gentle untuk memberikan ucapan selamat terlebih dahulu tanpa harus menunggu rilis resmi KPU.

Ucapan selamat itu juga mengandung makna bahwa kedewasaan dalam berpolitik berarti juga menyambung silaturahmi yang sempat terputus gara-gara rivalitas tadi. Bayangkan saja, partnership yang terbentuk selama hampir 5 tahun harus diakhiri dengan rivalitas head-to-head. Rivalitas itu kini telah berakhir dan pemenangnya masih berupa indikasi tanpa rilis resmi. Dengan demikian, ucapan selamat itu adalah sebuah kemestian. SBY-JK belum akan expired dalam waktu dekat ini. Mereka berdua masih jadi Presiden dan Wakil Presiden hingga Oktober nanti, saat Presiden terpilih dilantik. Walau pelantikan itu bisa dipercepat, SBY-JK tentu masih akan bersatu dan akan mengumpulkan semua perangkat kabinet yang kemarin habis-habisan mengadu strategi, daya, dan upaya untuk memenangkan kandidat capres masing-masing.

Kiranya, JK mulai realistis untuk menilai kekalahannya. Apapun dan bagaimana pun caranya perolehan suara JK-WIN tidak akan bertambah secara signifikan untuk menyaingi jumlah suara kedua rivalnya. JK juga mungkin menyadari bahwa indikasi tanpa rilis resmi melalui quickcount dari berbagai lembaga survey seringkali gambaran nyata dari hasil akhir pemilu.Bahwa pada sebelum pemilu popularitas SBY mulai menurun dan elektabilitas JK meningkat bukan lagi hal yang perlu didebatkan dan dibahas lagi. Kini semuanya sudah terbukti. Tinggal menunggu hasil akhir. Kekalahan sudah didepan mata.

Tentu, mereka masih akan duduk bersama, satu meja dengan menteri-menterinya untuk membahas perihal RAPBN 2010 serta keadaan politik, hukum, ekonomi, dan keamanan pasca pemilu presiden. Kiranya, para menteri juga masih akan menunjukkan dedikasi dan integritas moralnya tanpa harus grasak-grusuk supaya nanti terpilih lagi untuk periode selanjutnya.

*****

Ucapan selamat di malam Jum’at dari Menteng ke Cikeas adalah sebuah penghormatan. Penghormatan yang timbul dari kejujuran. Kejujuran untuk mengakui kekalahan dan keadaan diri sendiri yang memang kurang berdaya melawan saingannya. Sikap seperti itu tidak akan pernah menimbulkan suatu tindakan perendahan diri. Tetapi, sikap yang demikian adalah sikap yang akan menjaga kehormatan. Welcome back, Yudhoyono!


Cakung, 11 Juli 2009

Kamis, 09 Juli 2009

JK: Jaga Kemaluan(mu)

Demikianlah Ya Allah. Telah engkau berikan suaramu pada pemilu kemarin. Telah engkau pilihkan presiden kami. Kemenangan memang sudah di depan mata. Tinggal menunggu waktu saja. Polling-polling terbaru tidak lagi jadi patokan. Semuanya berubah di hari pemilihan. Menang mutlak. Itulah pencapaian kemenangan yang sesungguhnya.

*****

Kemenangan yang demokratis, begitulah komentar para pakar yang entah dibayar hanya untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemenang pemilu adalah pilihan terbaik untuk bangsa ini. Seakan pemahaman masyarakat dipersempit bahwa sang pemenanglah yang akan menunjukkan jalan keluar dari segala permasalahan bangsa ini. Pun ketika media televisi yang saling unjuk kekuatan dengan quickcountnya masing-masing agar keabsahan yang menjadi bukti legitimasi bagi si pemenang tetap terjaga dan mudah-mudahan terjaga pula kredibilitasnya.

Media masih menari diatas arus pusaran berita suksesi incumbent yang berhasil mengalahkan lawan politiknya dengan kemenangan mutlak. Berita-berita seminggu kedepan akan masih dihiasi kilauan-kilauan kemenangan ini. Masalah kisruh DPT, dan gugatan kecurangan lainnya mungkin hanya akan jadi penggembira saja di headline-headline media cetak. Sementara, kandidat yang kalah mungkin sedang mempersiapkan dirinya masing-masing untuk melakukan apa yang terlanjur diucapkannya ketika tidak terpilih nanti dalam suatu debat. Ada yang tetap berjuang dan ada yang akan pulang kampung. Untuk yang masih berjuang, semoga Tuhan bersama anda yang terus membela kepentingan rakyat kecil. Untuk yang akan pulang kampung, semoga kepulangannya membawa manfaat dan berkah bagi kampung halaman.

Tidak usah bicara tentang bagaimana selebrasi dari tim sukses yang benar-benar sukses mengantarkan kliennya meraih kursi presiden. Mereka tentu sudah bosan karena dari tiap menit tidak ada perubahan yang signifikan pada hasil quickcount. Paling tidak mereka baru akan melirik pada setiap statement yang dilontarkan lawan politik mereka. Mereka dengarkan dan kalau perlu tidak sekedar diamati, dicatat dan dianalisis. Kalau bisa, sumpah serapah dan segala tudingan itu mereka buat jadi bom Molotov yang sewaktu-waktu mereka lemparkan. Mungkin mereka hanya akan tertawa sambil bertepuk tangan untuk menyenangkan hati mereka sendiri setelah melakukan pembalasan yang selalu lebih indah.

Lagi kau bertanya tentang pembagian jatah kekuasaan alias bagi-bagi posisi. Siapa yang duduk disini, siapa yang duduk disitu. Siapa menjabat apa, siapa kebagian proyek apa. Kau masih berharap kebagian jatah? Lupakan saja, Bung! Kecuali kalau memang anda kemarin memang menunggangi kendaraan yang sama dengan para pecundang yang maunya main aman supaya kebagian jatah menteri boleh saja. Memang tidak salah berjudi dengan menawarkan diri untuk menunggangi mesin politik yang masih bertenaga. Belum lagi, tanpa ada hambatan dan lawan yang berarti. Serasa ngebut di jalan tol Jagorawi di tengah malam tentunya dengan Maseratti atau Cabriolet pujaan.

Kalau kau sadari, pihak mana yang sebenarnya diuntungkan dari pemilu kemarin? Anda makin bingung? Atau malah mau menjawab bahwa sebenarnya pihak-pihak yang paling dirugikan dari pemilu kemarin adalah mereka yang menginginkan pemilu ini berjalan dua putaran. Mungkin ada benarnya. Pemilu dua putaran seperti 2004. Tapi ingat juga Bung, waktu itu calonnya ada 5 pasangan, jadi dua putaran adalah hal yang wajar. Saya pun begitu. Saya sangat ingin pemilu ini berjalan dua putaran. Tak perlu lah kita bahas penghematan anggaran negara sebesar Rp. 25 Trilyun untuk kelancaran proses demokrasi.

Apakah demokrasi negeri ini hanya seharga 25T saja? Namun, kenyataan memang selalu berbeda. Rakyat seakan terbungkam oleh iklan-iklan dan propaganda bahwa pemilu ini cukup satu putaran saja. Rakyat tentu tidak akan berpikir panjang tentang proses demokrasi yang akan melegitimasi kekuasaan. Mereka hanya tahu bahwa semakin cepat selesai mereka akan bisa focus kembali pada apa yang telah mereka kerjakan. Mereka mungkin juga sudah tahu bahwa apapun hasilnya, siapapun pemenangnya belum tentu ada perubahan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Yang penting besok masih bisa makan nasi.

Indikasi tanpa rilis resmi sudah menyebar dimana-mana. Ucapan selamat mengalir deras ke Cikeas. Sementara saya masih terperangkap dalam pekerjaan saya. Kalau nanti malam anda mampir ke Cikeas, sampaikan salam saya untuk Putra Pacitan yang kembali menjabat menjadi presiden kita. Bukan karena tak rindu, tolong bilang saja saya sibuk-seperti biasa. Atau kalau anda cukup nekat, bilang saja saya sedang belajar demokrasi la roiba fih*) bersama Emha Ainun Nadjib di Kadipiro, Yogyakarta sana.

Dua putaran, kisruh DPT bermasalah, selebrasi kemenangan Pemilu, nilai tukar rupiah menguat, MK bersiap menerima pengaduan, isu Munaslub Partai Golkar yang lebih cepat lebih baik. Dunia masih belum berhenti berputar. Terlalu cepat untuk berhenti sekarang. Lanjutkan saja langkah kita.

*****

Menyimak hasil pemilu kemarin membuat hati hamba menjadi kecut padamu, Ya Allah. Hamba merasa sangat malu. Sungguh hamba ini malu Ya Allah, berteriak-teriak kesana kemari hanya untuk meyakinkan hati hamba bahwa pemilu kemarin akan berjalan dua putaran. Hamba juga yang mengajak kawan-kawan di facebook untuk bersama-sama menjadikan pemilu kemarin supaya berjalan dua ronde. Hamba juga lah yang selalu bercerita pada setiap kawan yang hamba temui bahwa pemilu dua putaran adalah pemilu yang ideal untuk iklim demokrasi saat ini. Hamba sungguh tidak bisa menjaga kemaluan. Sungguh tidak bisa. Sungguh hamba malu sekali Ya Allah. Hamba malu. Malu. Malu sekali.



Kelapa Gading, 9 Juli 2009


*) Demokrasi La Roiba Fih, Emha Ainun Nadjib, Penerbit Kompas, 2009

Senin, 06 Juli 2009

Nobody's Note

Cerita di Hari Jum’at: Ibroh dari Sebuah Suplemen

Adalah kebiasaan saya untuk membeli Koran Harian Republika setiap hari Jum’at. Bila sedang tidak pulang ke Bandung tentu hal itu adalah menu wajib di Jum’at petang. Alasan yang utama adalah segala intisari berita sepekan terakhir terkadang direview dalam sebuah kesimpulan menjelang akhir pekan. Selain itu juga, di edisi Jum’at, Republika menyertakan bonus suplemen Dialog Jum’at. Lumayan, hitung-hitung untuk belajar agama dan meneguhkan iman yang makin menipis ini seminggu sekali.

Pun, Jum’at kemarin (3/7) saya membeli Koran seperti biasa di kios langganan. Pertama menyentuh rasanya seperti tidak biasa. Terasa lebih tebal. Perasaan , suplemen Dialog Jum’at belum akan ditambah jatah halamannya. Mungkin, ada rubrik lain. Itulah yang ada di benak saya kemudian. Saya tidak sempat menengok seluruh halaman karena mengejar waktu shalat maghrib yang selalu singkat. Saya hanya membaca headline yang berjudul “Satu Putaran Panaskan Debat”.

Anda semua tentu menyimak debat terakhir di malam Jum’at itu kan? Satu debat yang entah diposisikan sebagai debat yang berkonotasi saling serang pendapat dari kontestan atau diskusi untuk mencari penyelesaian dan jalan keluar. Sedikit mengulas kembali, tidak banyak yang berubah dalam debat tersebut. Megawati masih dengan pendapat-pendapatnya yang terkesan sangat normative. SBY yang masih tampil jaim, dan JK yang terlihat santai namun lebih serius dalam pembahasan masalah.

Setelah shalat maghrib dan makan sebungkus nasi padang. Saya mulai membuka halaman satu per satu. Beritanya masih dihiasi kabar dari kematian tragis Michael Jackson yang membuat DEA (Drugs Enforcement Agency) turun tangan, Franck Ribery yang keukeuh (ngotot-pen) ingin pindah ke Real Madrid, Semifinal Wimbledon, dan yang paling menyita perhatian saya adalah Operasi Khanjar (Operasi Tebasan Pedang) yang dilakukan oleh Marini AS di Afghanistan , operasi militer terbesar dibawah kepemimpinan Barack Obama.

Alangkah terkejutnya ketika mengetahui sebab Koran hari ini berasa lebih tebal. Terselip satu lagi suplemen yang berfungsi sebagai alat kampanye SBY-Boediono dengan judul “Amanah untuk Rakyat”. Suplemen yang berjumlah 16 halaman ini bercerita tentang profil SBY dan Boediono dari mereka lahir hingga mereka meniti karir masing-masing. Diceritakan bagaimana SBY lahir dan tumbuh dalam lingkungan masyarakat pesantren, bersekolah negeri di Pacitan, sekolah militer di AKABRI, hingga karir militer dan sipilnya sampai saat ini. Begitu pun dengan pasangannya, Boediono. Cerita dimulai dengan masa kecil Boediono yang santun dan sederhana sebagai anak pedagang batik di Blitar. Lalu, diceritakan pula bagaimana perjalanan pendidikan dan karir Boediono sampai saat ini pula.

Bagi saya apa yang terjadi hari ini adalah sebuah keanehan. Aneh karena menurut saya media telah kehilangan independensinya. Media, terlebih di zaman pemilu yang kesekian ini telah menjadi senjata yang ampuh bagi setiap insane politik yang ingin menegaskan eksistensinya. Aneh. Sama anehnya ketika Metro TV menjadi corong dan wahana pencitraan dari satu kandidat capres lainnya. Begitu juga ketika menjelang pemilu legislative, masih di harian yang sama, terpampang iklan full page dari PDIP yang menyangkal seluruh pencapaian di masa pemerintahan SBY-JK demi menegaskan citra partai yang peduli wong cilik yang juga tentu sudah terlanjur melekat pada partai berlambang banteng ireng (banteng hitam) tersebut.

Entah teori komunikasi massa mana yang digunakan. Permainan dengan media ini tentu bukan tanpa tujuan dan hasil yang ingin dicapai. Saya tidak sempat membandingkan dengan media cetak lainnya. Apakah mereka juga melakukan hal yang sama dengan kandidat yang lain, saya belum tahu. Saya memandang hal ini sebagai konsekuensi yang wajar dari demokrasi yang selalu kita banggakan dan nilai bisnis yang menggiurkan. Dari sudut pandang demokrasi, kebebasan berpendapat melalui media lebih terjamin tanpa adanya diskriminasi dan intimidasi pihak lain. Sedang dari sisi bisnis, Koran butuh iklan sebagai pemasukan terbesarnya dan si pengiklan butuh media untuk menyampaikan sesuatu yang mereka bawa (namanya juga kampanye). Maka sangat wajar bila mereka menerima order untuk membuat suplemen yang seperti itu agar profil si pengiklan mendapatkan exposure kepada publik dan Koran mendapat pemasukan yang sudah tentu besar dari si pengiklan.

Bila suatu hari nanti anda ada yang membacanya dan kagum dengan isi suplemen tersebut tolong beri tahu saya. Itu artinya anda masih waras. Sama seperti saya. Saya mengagumi kisah-kisah didalam suplemen tersebut. Tetapi, dalam situasi politik saat ini bahasa penyampaian yang digunakan pun memang bahasa dengan kesan positif yang pada akhirnya menggiring kesadaran pembaca untuk kemudian bersimpati lalu memilih pasangan tersebut pada pemilu 8 Juli nanti. Semuanya telah direncanakan dengan sedemikian matang. Bukan tanpa alasan tim sukses SBY-Boediono menempatkan public profiling tersebut pada harian Republika yang punya credo “Pegangan Kebenaran”.

Saya masih terkesima dengan kisah-kisah tersebut. Cukup ambil ibrohnya (pelajaran) saja. Cukup ambil nilai-nilai yang terkandung didalamnya:kerja keras, pantang menyerah, santun, sederhana, rendah hati, dll. Masalah pilihan, saya kira anda semua sudah lebih pintar untuk menentukan siapa yang akan dipilih pada pemilu mendatang. Biar hati nurani anda dan sepasang mata yang setajam garuda dipadu dengan kecepatan berpikir menuntun anda semua untuk memilih kandidat yang pantas untuk memimpin Indonesia.

Salam hangat dari Cakung.

Jakarta, 4 Juli 2009

Jumat, 03 Juli 2009

Tentang Debat Semalam

This was a whole lot more than a simple affair. This was a love story.*)


Hanya itu saja yang bisa dia bilang tadi malam. Hanya beberapa kata "Aku benci kamu!." Aku pun masih tidak mengerti sebabnya. Tidak ada pertengkaran semalam. Hanya sebuah perdebatan saja. SBY dan JK sedang bicara bagaimana caranya supaya RUU Tipikor dapat segera disahkan jadi UU, lalu bagaimana mereka menghandle isu-isu tentang Hak Asasi Manusia, hingga hutang luar negeri yang selalu jadi perdebatan sejak bangsa ini mengenal hingga akhirnya bisa melunasi hutang dari IMF.


Sedangkan, aku dan dia berdebat panjang tentang urusan lebaran nanti. Maunya, segala sesuatu sudah mulai dipersiapkan dari sekarang. Kue-kue kaleng untuk tamu. Minyak Goreng yang harganya selalu melambung tinggi menjelang lebaran. Baju baru, kerudung baru, dan segala tetek bengek lainnya yang tidak pernah aku mau dengar. Aku hanya diam saja. Tak ada komentar mengalir dari mulutku.

*****

Ternyata, dia malah tahu penyebab diamku.


"Kamu kok diem? Kamu nggak suka?


Aku tetap diam


"OK. Kamu boleh nggak suka dengan caraku, that will not stopping me!"


Aku masih diam. Mengikuti kemana saja langkahnya. Aku sengaja biarkan dia yang memilih saja semua kebutuhan itu. Aku tidak peduli walau pada akhirnya tagihan kartu kredit akan membengkak. Aku biarkan saja. Aku menunggunya didalam mobil. Aku mencoba mencari kesibukan sendiri sambil menunggu dia datang.


*****


Pikiranku mengarah pada perempuan itu. Perempuan yang kutemui dalam sebuah jamuan makan malam di pesta ulang tahun sahabatku. Hanya dari perkenalan semata, tapi aku serasa masih menginginkannya. Aku tahu ia sudah bersuami, sama sepertiku yang sudah beristri. Kita saling memahami satu sama lain. Seperti ketika suatu siang ia mengajakku lunch bersama. Obrolan yang kita bahas bukan masalah kejenuhan berumah tangga atau pun hal-hal lainnya yang masih berkaitan dengan keluarga dan rumah tangga.


Bukan saat yang tepat untuk berkeluh-kesah tentang keluarga dan rumah tangga serta tetek bengeknya dengan seseorang yang baru kita kenal. Kita bisa bicara panjang lebar tentang debat capres dan cawapres yang kehilangan esensinya sebagai debat publik. Belum lagi tentang serangkaian manuver politik kontestan pemilu capres. Ia terlihat paham sekali isu-isu yang berkembang saat ini. Mulai dari bagaimana neo-lib menancapkan tiangnya di negeri ini hingga konsep ekonomi kerakyatan yang tidak pernah menyentuh masalah rakyat yang paling utama. Ia juga tidak suka dengan konsep pemilu yang satu putaran saja. Tidak demokratis katanya.


Bukannya bermaksud membandingkan, tetapi itulah yang kusuka darinya. Tidak seperti istriku yang tahunya hanya begitu-begitu saja. Semakin cepat pemilu ini selesai, semakin cepat pula keadaan ekonomi akan membaik. Artinya, ekonomi rumah tangga tidak akan terlalu banyak menemui hambatan terutama masalah pembiayaan hidup ini yang tidak pernah henti-hentinya hanya untuk meyakinkan bahwa kita berdua besok masih bisa makan nasi. Tidak ada gunanya membahas visi dan misi capres, karena segala sesuatunya seperti sudah ditetapkan sebelumnya. Makanya, aku tidak pernah lagi mau membahas hal yang begituan dengannya.


Sudah dua bulan ini aku mengenalnya dan aku merasa dekat dengannya. Setiap membayangkannya, aku ingin segera menemuinya. Aku ingin selalu bersamanya kalau bukan karena bayangan istriku yang selalu menghujam jantungku. Harus kuakui, masih lebih baik mengangkat batu ke puncak gunung daripada bertengkar dengan istriku. Sangat tidak menyenangkan sekali rasanya ketika harus menghadapi marah seorang istri. Mungkin itu sebabnya, banyak suami yang kelihatan tangguh namun ternyata malah lebih takut sama istrinya sendiri. Dan aku termasuk salah satunya.


Sampai saat ini, aku masih berhubungan dengannya. Aku tidak berhubungan dengannya lewat facebook, e-mail, atau malah push-mail dari Blackberry. Aku pun tidak pernah mengirimkan SMS padanya. Bukannya aku menghindari hal-hal yang seperti itu. Aku hanya tidak ingin berlebihan dalam menggunakannya. Hanya sesekali saja lewat telepon, hanya untuk mengajak bertemu. Dalam suatu pertemuan denganku, ia bercerita bahwa ia sangat menikmati hubungan ini. Aku pun demikian. Aku menikmati saat-saat seperti ini. Aku rasa wajar saja bila aku melakukannya. Hanya pertemanan biasa saja, tidak lebih. Dan itu tentu saja tidak akan membahayakan pernikahanku-juga pernikahannya, walau tendensi menuju arah perselingkuhan selalu ada.


Semakin lama, semakin lucu. Tidak pernah ada rasa curiga dari istriku. Aku masih bisa menyembunyikannya. Aku tidak sedang menuai badai karena aku tidak (atau belum) melibatkan perasaanku dengan perasaannya. Tidak ada cinta dalam hubunganku dengannya. Kemungkinan itu masih selalu ada, dan aku tidak ingin memulainya duluan. Sudah beberapa hari ini aku semakin dekat dengannya. Kita jadi lebih sering bertemu. Entah bagaimana pun caranya ada saja kesempatan. Terlebih lagi istriku ternyata lebih senang menghabiskan waktunya di rumah saja.


Kesempatan itu memang sudah begitu adanya atau memang diciptakan. Waktu selalu membawaku bersamanya. Menghabiskan waktu menonton Transformers 2 di blitz megaplex. Duduk bersebelahan sambil menenggak Coca-cola Zero dan Pepsi Blue. Berlanjut hingga sekedar minum kopi di Kopi Tiam Oey. Semua itu berlalu begitu saja. Tidak ada suara dering handphone yang mengganggu. Pun ketika akhirnya bibirnya menempel pada bibirku hingga aku bisa rasakan detak jantungnya. Semua itu terjadi dan berlalu begitu saja.


*****


Aku sedang menulis SMS hingga sebuah pukulan keras menghantam kaca jendela mobilku. Rupanya istriku sudah datang dan menyuruhku untuk membantunya mengangkat semua barang belanjaan. Aku masih belum beranjak sampai SMS darinya tiba:


"weekend ke Bandung??? Hmmm… boleh juga tuh. You'll pick me right? Miss u!"



Kelapa Gading, 3 Juli 2009



*) Time Magazine, 13 July 2009, p.11



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...