Minggu, 30 Mei 2010

Examination 1977 (Haiyang Jiang, 2009)

maka benarlah ketika Muhammad SAW berseru “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”


Ujian Masuk Perguruan Tinggi di China (Semacam SPMB atau UMPTN) dikenal sebagai Gaokao adalah suatu tes yang paling kompetitif bagi seluruh pelajar. Gaokao dinilai sebagai suatu hal yang telah merubah nasib para pelajar yang ingin meneruskan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini terjadi lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1977, dimana China memutuskan untuk membuka kembali sistem ujian masuk Gaokao setelah 10 tahun lamanya mengalami Cultural Revolution (Revolusi Budaya). Berdasarkan catatan, lebih dari 5,7 juta rakyat China berusia 15 sampai 36 tahun mengikuti Gaokao pada tahun itu. Kelak, Gaokao 1977 akan mengubah kehidupan mereka (peserta ujian) dengan pencapaian yang mengagumkan di banyak bidang.

Poster Film

Cerita dimulai dengan datangnya berita tentang akan dibukanya kembali Ujian Negara (Gaokao) dimana telah menimbulkan dan memicu ketegangan diantara kelompok pelajar (yang terbuang) yang berasal dari beberapa daerah seperti Beijing dan Shanghai. Mereka ditugaskan untuk bekerja pada ladang perkebunan di Provinsi Heilongjiang, China bagian utara, selama 8 tahun. Beberapa diantara mereka ada yang telah menikah dengan penduduk lokal, dan ada juga yang kehilangan hidupnya karena menghabiskan waktu mudanya di tanah yang begitu asing sementara beberapa orang lainnya begitu ambisius dan berusaha keras untuk kembali pulang ke rumah mereka masing-masing.

Provinsi Heilongjiang, RRC

Persahabatan yang kuat, cinta dan kebencian antara anak dan orang tua dengan latar belakang politik kontra revolusi, benturan ideologi antara pekerja dan otoritas perkebunan, pilihan yang sulit antara cinta dan kesetiaan, adalah elemen-elemen lain yang disajikan dalam film ini. Pesan lain yang ingin disampaikan film ini adalah bahwa bukan hanya usaha pribadi semata untuk mengubah kehidupannya melalui pendidikan tetapi juga peran Pemerintah ikut mencerminkan penghargaan bangsa terhadap pendidikan dan keinginan kuat untuk memperoleh pengetahuan setelah periode yang chaotic selama satu dekade terakhir. Walaupun menampilkan periode sejarah yang traumatis, film ini cenderung memberikan inspirasi, dorongan serta membangkitkan semangat seiring dengan berakhirnya konflik dan elemen-elemen kemanusiaan yang muncul dari karakter pemain film ini cukup bisa dinikmati.

Potongan Scene dalam Film

China memiliki banyak acara TV atau juga film yang bercerita tentang kelompok pelajar yang terbuang (atau sengaja dibuang, untuk kerja paksa ataupun proyek padat karya) oleh pemerintah pada kurun waktu 1960-1970an. Tetapi, tidak satu pun yang membawa masyarakat China lebih dekat pada kenyataan yang mereka alami. Hal ini tentu saja menimbulkan suatu keresahan terutama pada anggota masyarakat yang turut mengikuti ujian tahun 1977 itu karena barangkali ada fakta-fakta yang kini baru terkuak dan mungkin saja dulu sempat ditutupi oleh Pemerintah China sendiri. Teknik penceritaan yang menggunakan sudut pandang/perspektif realistis dan sangat individual memberikan kontribusi yang besar dalam kesuksesan film mainstream seperti ini.

Cover Film versi DVD

Dengan menyandang nama sebagai film epik rakyat, Examination 1977 merupakan film drama yang sentimental dan telah menghasilkan pendapatan kurang lebih lima juta yuan dalam empat hari pertama penayangannya sejak 3 April 2009 di seluruh China. Film ini diproduksi oleh Shanghai Film Group Corp dan dibintangi aktor veteran seperti Wang Xuebing, Sun Haiying, Zhou Xianxin, dan Zhao Youliang. Film ini adalah film pertama yang jadi pembuka diantara seri-seri film lainnya sebagai bentuk penghargaan terhadap Perayaan Ulang Tahun Negara China yang ke-60 pada bulan Oktober 2009 kemarin.


Selayang Pandang Sejarah China


The Cultural Revolution

The Great Proletarian Cultural Revolution adalah sebuah pergerakan radikal dimana banyak sekolah ditutup, produksi pabrik diperlambat, dan secara kasat mata telah memisahkan China dengan dunia luar. Disebut proletarian karena merupakan revolusi perlawanan kelas pekerja terhadap pemimpin partai komunis yang berkuasa saat itu. Sedangkan, dinamakan cultural, karena dimaksudkan untuk mengangkat nilai-nilai kemasyarakatan komunis. Pergerakan ini merupakan sesuatu yang luar biasa dan dalam skala yang besar-besaran. Setidaknya, hal ini berlangsung selama dua tahun secara terus menerus dan tidak dinyatakan selesai sampai 1977.

The Cultural Revolution berakar dari perjuangan kekuasaan diantara Mao (Mao Zedong) dan pendukungnya, termasuk istrinya, Jiang Qing, Lin Biao-yang percaya bahwa revolusi telah kehilangan intensitasnya-, orang-orang yang konservatif dan berbagai elemen birokrasi dalam Pemerintahan. Satu isu dalam hal ini adalah Sistem Pendidikan Nasional dan terlebih lagi fakta bahwa anak-anak yang berada di daerah yang maju berkembang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari daerah pinggiran yang jauh dari pusat keramaian. Mao khawatir masyarakat China akan menjadi rigid society maka untuk mencegah hal itu Mao percaya untuk memberikan dukungan penuh terhadap bidang militer dan bidang kepemudaan.

The Four Modernizations

Four Modernizations (4 Butir Modernisasi China) pertama kali disampaikan oleh Zhou Enlai pada Kongres Partai Komunis yang ke 10 tahun 1973, ketika China mulai mengalami pertumbuhan yang lamban dari Cultural Revolution. Kepemimpinan baru dibawah Deng Xiaoping mendapat tekanan besar dengan misi untuk membawa China sejajar dengan Negara-negara maju lainnya. Pemerintahan yang baru terbentuk bertujuan untuk membangun ekonomi China dengan berpegang pada butir-butir dari Four Modernizations, yang tertuang dalam empat bidang utama: pertanian (agrikultur), industri, pertahanan dan ketahanan nasional, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.


Sebuah Perbandingan

Bila dalam film “An Education” (Lone Scherfig, 2009) memotret realitas yang berkembang dalam kehidupan pendidikan ala Barat, pendidikan dianggap sebagai hal yang utama sekaligus juga umum karena beberapa Negara maju di Eropa telah mengalami perkembangan sistem pendidikan yang mapan. Benturan-benturan yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gaya hidup, dimana Perancis sebagai sentral antusiasme di Eropa saat itu menawarkan impian-impian semu bagi kehidupan remaja Inggris di masa itu pasca perang dunia II (1960-an).

Poster Film An Education (2009)

China sendiri, setelah mengalami gejolak politik yang akhirnya berpengaruh dengan adanya Revolusi Budaya dan Four Modernizations, dengan tegas menyatakan kesungguhannya untuk membangun bangsanya melalui pemantapan diempat bidang fundamental. Bidang pendidikan hanyalah salah satu terjemahan dari 4 poin yang termasuk kedalam dalam prioritas Four Modernizations tersebut, yaitu bidang Pertanian, Industri, dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sistem pendidikan yang baru diperkenalkan dan mengikis kesenjangan pendidikan antara penduduk kota dengan penduduk desa.

Semangat itu tercermin dalam film epik sejarah ini dimana setelah Pemerintah komunis China mengumumkan kembali dibukanya ujian masuk bersama perguruan tinggi, banyak pemudi-pemuda yang tadinya hanya pekerja tanpa masa depan di perkebunan-perkebunan yang dikelola Pemerintah Komunis China, akhirnya berhasil untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Realitas ini tidak jauh berbeda dengan situasi pendidikan di Indonesia. Pasca kemerdekaan, sekolah-sekolah negeri menjadi pilihan utama sebagian masyarakat karena biayanya yang tidak terlalu mahal. Namun, setelah diberlakukannya otonomi pendidikan terutama pada Perguruan Tinggi, malah menjadikan ironi bagi negeri ini. Pendidikan bukan lagi barang murah walaupun menyedot anggaran Negara paling besar dalam sejarah APBN. 20% alokasi APBN memang ditujukan untuk bidang pendidikan, namun masalah tidak hanya selesai sampai disitu.

Ujian Nasional tingkat SD, SMP, dan SMA kembali menjadi sorotan terutama karena penilaiannya yang cenderung kuantitatif tanpa memperhitungkan proses belajar. Pun sama halnya dengan Ujian Masuk Perguruan Tinggi, yang cenderung menampilkan keangkuhan dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan dengan berlomba menjaring mahasiswa baru melalui Ujian Masuk yang dirancang sendiri. Sungguh ironis, karena Pemerintah hanya bisa membiarkan semua ini terjadi tanpa satu pun intervensi dan kontrol agar kualitas tujuan pendidikan nasional mencapai sasarannya: Membangun manusia Indonesia yang seutuhnya. Tanpa peran aktif dari Pemerintah, pendidikan nasional hanya akan menjadi carut marut yang tak terselesaikan.


Konklusi

Pendidikan adalah satu cara untuk menaikkan taraf hidup masyarakat. Setidaknya, itulah yang menjad dasar bagi pemerintah China saat itu untuk mempercepat kemajuan pembangunan Negara. Peranan pemerintah yang aktif dalam memberikan kesempatan bagi warganya untuk memperoleh pendidikan dasar telah menjadi kekuatan utama dalam pesatnya pembangunan dan kemajuan ekonomi China. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan telah dengan sangat berhasil menerjemahkan semangat Four Modernizations yang dikumandangkan oleh Zhou Enlai.

Agaknya, bila Indonesia mau berkaca pada pengalaman tetangganya dan mau melaksanakan Hadis Nabi yang konon mayoritas pengikutnya tersebar di seantero Nusantara ini, bukanlah suatu keajaiban bila suatu saat pendidikan benar-benar memainkan perannya sebagai elemen dasar dalam kehidupan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan fitrahnya.



Paninggilan, 30 Mei 2010. 15.50


* Peta Provinsi Heilongjiang (c) Microsoft Encarta 2009


Jumat, 21 Mei 2010

Sepenggal Obrolan Sejarah dan Catenaccio

Final Liga Champions 2010 mempertemukan dua jawara dari dua liga bergengsi di Eropa. Bayern Muenchen mewakili Bundesliga dan Serie-A menempatkan Inter Milan sebagai sisa-sisa kejayaan Italia dalam kancah persepakbolaan Eropa. Dilihat dari sejarahnya, kedua tim ini mewakili Negara Fasis. Jerman dengan okupansi Hitler atas Eropa yang membuat Jerman ikut menanggung beban Bailout Yunani dan Italia dengan Mussolini yang Macchiavelis itu. Hitler dan Mussolini akan duduk bersama dan menyaksikan laga para juara ini dari atas kayangan. Mereka tentu akan duduk bersebelahan sambil menikmati wine Prancis dan caviar khas Spanyol.

Barangkali obrolan mereka hanyalah obrolan biasa sebagai kawan lama. Lagipula, mereka sudah melupakan dendam lama mereka kepada Churchill dan Eisenhower karena Hitler sudah lebih dulu membuat malu Churchill dengan menyerah di Battle of Old Trafford. Pasukan Hitler yang menjelma dalam diri der soldats von Oranje; Louis van Gaal, Mark Bommel, dan Arjen Robben, sukses menjatuhkan bom untuk meledakkan Old Trafford yang dengan segera membuat Churchill, Sir Matt Busby dan fans MU menangis histeris. Panser-panser Jerman membuktikan kekuatan strategi dan ketahanan fisik yang prima. Pun ketika mereka kembali menggilas Oliympique Lyonnais yang datang bertanding dengan gelar sebagai titisan Kaisar Napoleon.

Hitler yang rupanya agak telat belajar dari Napoleon dalam usahanya menguasai Rusia rupanya berhasil membuat Napoleon untuk sekali lagi mengakui keunggulan Hitler dengan Spetsnasznya. Mungkin saat itu Hitler berharap untuk bisa meladeni pasukan Jenderal Franco dibawah komando Pep Guardiola. Tetapi, kadangkala nasib memainkan perannya sehingga membuat Mussolini bangga karena Inter Milan berhasil mengandaskan impian Barcelona. Hitler kembali akan bertemu dengan Mussolini setelah keduanya juga bertemu ketika Juventus meladeni Bayern Muenchen di babak penyisihan.

*

Bagi Van Gaal dan Mourinho, final kali ini bukan sekedar pertaruhan gengsi karena keduanya pun pernah merasakan gelar Juara Champions. Van Gaal mengalami masa yang mengagumkan dengan Ajax Amsterdam sepanjang tahun 1992-1995. Termasuk ketika mengalahkan AC Milan di Final tahun 1995. Frank Rijkaard yang baru ditarik kembali dari Milan berhasil memberikan sodoran bola kepada Kluivert empat menit sebelum laga usai. Berbagai raihan gelar Ajax saat itu sempat menjadi mitos yang akhirnya terpatahkan ketika Juventus membabat Ajax di Liga Champions 1996 dan 1997. Setelah itu, mitos Ajax hanya tinggal sejarah dan Van Gaal memutuskan melanjutkan kultur dan struktur ciptaannya di Barcelona, tentunya dengan membawa serta mantan anak asuhannya di Ajax.


Agaknya, catatan Mourinho belum semengkilap milik Van Gaal. Memang Mourinho pernah membawa FC Porto menjadi juara di Final 2004 dengan mengandaskan AS Monaco. Tetapi harap diingat bahwa Liga Champions 2004 dipenuhi berbagai kejutan dengan tumbangnya tim-tim unggulan sejak dari babak penyisihan sehingga memuluskan langkah FC Porto yang waktu itu kualitasnya masih diatas AS Monaco untuk meraih gelar juara tahun 2004. Kesempatan kedua sempat datang menghampiri Mourinho di All England Final di Luzhniki, Moskow, kalau bukan karena tendangan penalti John Terry yang melenceng sehingga membuat Ferguson tersenyum lebar dengan Piala Champions kedua kalinya.

Final di Santiago Bernabeu nanti sejatinya adalah pertarungan taktik dan strategi. Van Gaal adalah orang yang sangat percaya pada struktur dan kultur suatu tim. Sejauh struktur itu kukuh dan kulturnya hidup maka kesebalasan akan tetap berjaya seperti yang pernah dialaminya ketika menukangi Ajax Amsterdam. Van Gaal juga merupakan tipikal orang Belanda yang kukuh berpegang pada idealisme. Kemenangan dan kekalahan adalah dua hal yang tidak dapat dibandingkan. Begitulah Van Gaal mengutip Boris Pasternak.

Sedangkan, Mourinho adalah pelatih tipikal sepakbola modern yang mampu menciptakan sistem penyerangan yang efektif walau cenderung bercirikan permainan defensif. Hal itu pula yang mendatangkan kesuksesan baginya kala menukangi Chelsea. Permainan yang mengandalkan serangan balik yang efektif sudah cukup untuk membawa Chelsea menjadi penguasa Liga Premier Inggris selama tiga musim berturut-turut. Kalaupun ada yang perlu jadi catatan atas taktik dan permainan ala Mourinho tentu adalah sistem permainan yang lebih mirip dengan catenaccio. Suatu sistem lama yang masih bertahan sampai dengan saat ini. Sistem lama yang terbukti pernah dan masih efektif dibandingkan dengan macam-macam teori ofensif yang belum terbukti efektif.


Catenaccio dengan sempurna dikembangkan oleh Hellenio Herrera di Inter Milan. Terbukti dengan taktik sistem grendel destruktif berhasil mengubur permainan sepakbola indah. Ditangan Herrera, Inter Milan berhasil meraih Scudetto 1963, 1965, dan 1966. Herrera semakin mencatatkan namanya dalam prasasti sejarah sepakbola dengan gelar dua kali juara Champions pada tahun 1964 dan 1965. Ketika itu, dengan sistem Catenaccio yang dianutnya Herrera menjelma menjadi birokrat sistem super catenaccio, diktator dunia bola, sekaligus pendosa dunia bola.

Sistem defensif catenaccio tidak memiliki aroma khas Pizza Italia. Ia juga tidak mewakili keindahan Venesia dengan gondolanya. Catenaccio mengandalkan permainan yang berpusat di daerah pertahanan sendiri dengan meminimalkan penguasaan bola di daerah lawan. Aturan yang berlaku adalah larangan untuk membuat dan menentukan permainan dengan inisiatif dan memprovokasi lawan untuk mengembangkan pola permainannya. Sementara, para Catenaccionista diwajibkan untuk menanti dan mengharapkan lawan melakukan kesalahan dengan melakukan counter attack pada lubang di pertahanan lawan. Itulah yang menjadi dasar pelajaran utama dalam diktat sistem defensif. Sekedar catatan tambahan, diperlukan juga pemain-pemain dengan karakter pekerja yang solid dan kemampuan teknik tinggi.

Catenaccio terbukti diakui oleh dunia ketika Italia menjadi juara Piala Dunia 1982 di Spanyol. Santiago Bernabeu juga lah yang menjadi saksi atas kemenangan Enzo Bearzot, Sang Ekstremis Serangan Balik dengan Paolo Rossi sebagai pahlawannya. Enzo Bearzot berhasil menerjemahkan kembali apa yang telah dituliskan Hellenio Herrera dalam Kitab Abadi Catenaccio. Bearzot mungkin tidak mengharapkan munculnya Hantu Hellenio Herrera untuk membantunya meraih gelar juara dunia tetapi mungkin ia juga tidak akan menolak bila memang catenaccio yang dikembangkan Herrera berperan besar dalam kemenangan di Bernabeu 1982.

Pada Liga Champions tahun ini, catenaccio berhasil mematikan skema ofensif milik Barcelona. Di Giuseppe Meazza, total football milik Barcelona tidak berkutik melawan skema catenaccio yang lagi-lagi berhasil diterjemahkan dengan baik oleh Mourinho. Serangan balik yang cepat dan tertata rapi membuat Inter unggul atas Barca. Tak jauh berbeda ketika keduanya bertemu kembali di Nou Camp. Sistem pertahanan grendel yang rapat terbukti ampuh meredam permainan Barca lewat Cambiasso dan Sneijder sebagai jangkarnya.

**

Walaupun begitu, pertahanan defensif catenaccio tentu masih bisa diimbangi dengan kreativitas tanpa batas. Dunia defensif bisa didobrak sebagai bukti bahwa sepakbola bukanlah sistem pengetahuan yang kaku tetapi kebebasan yang menuntut kreativitas, bahwa taktik hanyalah alat bukan landasan yang tidak boleh diganggu gugat. Untuk melawan Inter Milan di Final nanti, skuad Muenchen harus bisa menampilkan kreativitas dan kegembiraan dalam bermain sepakbola seperti yang pernah ditunjukkan pendahulu mereka, Sang Kaisar, Franz Beckenbauer.

Madrid akan menjadi saksi akankah Hantu Hellenio Herrera kembali menampakkan dirinya dengan Inter Milan sebagai medianya, atau malah struktur dan kultur yang Van Gaal pelihara di Muenchen akan berdampak positif bagi FC Hollywood untuk kembali menjadi Raja di Eropa. Hellenio Herrera tentu akan sangat senang apabila catenaccio peninggalannya mampu membawa Inter menjadi Raja Eropa di tempat dimana Dino Zoff pernah mengangkat tropi kejayaan sepakbola sejagat. Tetapi, kekuatan der Panzer khas Bavaria sudah terlanjur melekat dalam diri setiap pemain Muenchen. Agresivitas yang dipadu dengan kekuatan pertahanan yang seimbang dengan penyerangan akan menjadi senjata model baru dalam menghadapi tipikal taktik dan strategi tim asal Italia. Bukan tidak mungkin hal yang sama seperti yang telah mereka lakukan pada anak didik Ferguson akan mereka ulangi kembali untuk meruntuhkan tembok catenaccio. Über Alles, Müenchen!




Pharmindo, 20 Mei 2010. 18.01

Fragmen Lirik

Hujan turun pada hati yang mengembun
Dingin, basah
Kelak lamunan terus mengalir
Diantara ringkih tawa Nurfitri
dan senyum getir Han Deo Mi
kadang terlintas tatapan nanar Bong Dal Hee

Ingin selalu terbang tinggi
Jauh tinggi
Selalu begitu katamu, selalu
Setelah mendengar Sophia Latjuba*

Lain lagi ketika kudendangkan Koes Plus**
Mulanya, kau ingin menyelamiku lebih dalam
Lebih dalam dari laut, lebih dalam dari perasaan

Seketika kepalamu tengadah
Menantang langit yang berarak kelam

Masih pada lagu Koes Plus
Aku tak ingin terbang seperti elang,
Aku ingin terbang tinggi sejauh lamunan

Flying high to the mountain high***
Selalu begitu katamu, sebelum meninggalkanku
Sejenak kau mampir, bukan karena kiriman angin malam dari Broery
Hanya sekedar berseru
I wasn’t the one who said goodbye****
I wasn’t the one who dissappear in the night


*


Lama setelah aku buat tulisan ini, yang entah puisi atau prosa, hujan masih turun. Semakin deras dan semakin menghadirkan perasaan rawan. Kalau sudah begini, aku jadi ingat ketika kami masih duduk di bangku SD. Berjalan kaki pulang dan pergi. Kadang kalau hujan begitu, daun pisang dari kebun Pak Haji di belakang sekolah selalu jadi peneduh.

Kelak, ia menjadi perempuan yang mencintai hujan. Ia mencintai hujan seperti mencintai dirinya sendiri. Hujan adalah kehidupan baginya. Kehidupan yang hanya ada dalam basah dan mendung yang pekat. Kehidupan dalam setiap butiran kecil yang tak berarti tetapi selalu menjadi pertanda. Kadang ia bertanya, kenapa Tuhan menciptakan hujan dalam bentuk yang seperti itu, rasanya seperti Tuhan sedang meneteskan air lewat tanganNya. Lain waktu, ia juga pernah bertanya, kenapa hujan tidak membawa kerusakan di muka bumi, padahal dengan hitungan laju percepatan dan gravitasi kecepatan butiran hujan seharusnya bisa menyebabkan malapetaka bagi manusia. Itu dulu waktu kami baru masuk SMP dan entah siapa yang mengajarkannya. Yang pasti, itu benar-benar terjadi ketika ia baru belajar Fisika. Aku yang tetap bodoh sampai sekarang tidak pernah sekalipun bisa menjawab pertanyaannya.

Sekali waktu, pernah ia datang ke rumahku sendirian selepas hujan angin yang bercampur es batu. Aku yang masih kedinginan karena membetulkan genting yang bocor terpaksa harus menemuinya. Ia tidak mengajukan pertanyaan seperti biasanya. Dengan matanya yang lentik dan wajah sayu, ia bertanya tentang sebuah lagu. Lagu yang tentunya selalu membuatku terkenang kembali pada masa SD. Aku sedikit heran namun langsung kujawab. Tentu saja, Keinginan yang dinyanyikan oleh duet Indra Lesmana dan Sophia Latjuba.


“Mengapa lagu itu?”

“Karena aku selalu ingat masa-masa dulu dengan lagu itu?”

“Apakah ada yang mengekangmu?”

“Maksudmu?”

“Janganlah berpura-pura padaku.”

“Tidak. Aku hanya ingin terbang tinggi.”




Sepertinya ia sendiri sudah tahu lagu itu. Makanya, setelah percakapan tadi, ia berlalu meninggalkanku dan pamit pada Ibu. Dari jauh aku bisa lihat perempuan yang rambutnya yang tergerai basah itu berjalan menghindari becek dengan kedua tangannya di kepala, mencoba menghalangi hujan. Ingin aku membasuh tangannya lalu menyisir rambutnya dan kubuat ikatan buntut kuda seperti Deo Mi.

**

Sabtu malam aku sendiri, dan memang selalu begitu. Aku mainkan gitar tua yang kudapat dari hasil merengek pada Ibu. Aku merasa harus bisa memainkan gitar seperti anak-anak SMP lainnya. Aku malu pada teman-teman di kelas karena hanya aku saja yang tidak bisa bermain gitar. Makanya, aku merengek sampai mengancam akan bunuh diri bila keinginanku tidak dipenuhi. Entah darimana, sore itu Ibu membawakanku gitar yang kelihatannya sudah tua namun suaranya masih bagus alias tidak fals. Ibu hanya berpesan agar kelak aku bisa memainkan lagu-lagu yang Ibu suka seperti Kisah Sedih di Hari Minggu yang selalu kunyanyikan di loteng setiap malam minggu.

Aku menyanyikan lagu itu sambil mencuri pandang pada loteng tetanggaku yang lain. Ya, aku sedang menarik perhatian seorang gadis anak tetangga yang juga seumuran denganku, A Mei namanya. A Mei sekolah agak jauh di luar kota dan tinggal dengan bibinya. Setiap hari Sabtu, A Mei selalu pulang dan itulah waktuku untuk menikmatinya. Ba’da Isya, aku sudah siap dengan gitarku. Tak lama kemudian, A Mei muncul juga di teras lotengnya sambil membawa lampion merah untuk dipasangkan. Aku mengalihkan pandanganku pada A Mei. Ajaib. A Mei tersenyum kearahku, dan sambil menunduk malu-malu A Mei masuk ke kamarnya. Hatiku yang senang bukan kepalang kembali meradang karena A Mei segera menghilang. Namun, dari kejauhan aku bisa lihat kalau A Mei masih mengintip lewat tirai jendela kamarnya.

Plak! Sebuah benda yang rasanya seperti sandal jepit menghantam pipiku. Aku kaget sekali. Aku teringat lagi pada cerpen di Majalah Hai, Seperti Janjiku Pada Ima, dimana si aku yang sedang melamun di loteng dihantam lemparan sendal jepit temannya. Kejadiannya persis dengan yang terjadi padaku. Aku pikir Ibu atau Kakakku yang memang selalu terganggu dengan acara malam mingguku, tetapi dugaanku salah. Perempuan yang mencintai hujan itu yang melakukannya, melempar sendal jepit bututnya yang penuh dengan tanah merah basah sisa hujan sore tadi. Setahun sudah kami tak pernah bertemu. Keadaan rupanya telah memisahkan kami. Ia diterima di SMA favorit di kota, sedangkan aku hanya masuk SMA biasa di dekat kampung kami. Tak lama ia menyusulku ke loteng.


“Mainkan untukku sebuah lagu?”

“Lagu apa?”

“Lagu cinta atau lagu apa saja yang kau bisa. Bagaimana kalau tentang negeri di awan?”

“Katon, tidak! Terlalu sulit.”

“Ayolah, malam minggu begini jangan lagunya Koes Plus melulu. Sabtu malam ku sendiri...”

“Terserah aku dong!”

“Kecuali kalau kamu memang mengharapkan gadis di seberang itu.”

“Maksudmu A Mei?”

“Siapa lagi? Walaupun laut-laut itu dalam, lebih dalam lagi perasaan. Tidakkah kamu ingat itu?”

“Kok kamu masih ingat?”

“Bukankah Bapakmu yang selalu memintamu memainkan lagu itu dengan gitar bututmu?”

“Darimana kau tahu?”

“Itu bukan urusanmu. Tapi, aku masih ingin terbang tinggi, lebih tinggi dari lamunan.”

“Lalu elangnya?”

“Betapa tinggi elang akan terbang, lebih jauh lagi tinggi lamunan. Masih ada horison yang membatasi jejak langkah sang elang.”


Malam ini hujan tidak turun. Ia merebahkan tubuhnya menghadap gelap malam yang kian pekat. Aku lihat lampion merah di kamar A Mei sudah mati, mungkin A Mei sudah tidur. Perempuan itu menatap ketiadaan dalam horison tanpa batas, jagad tanpa sekat.


“Apakah kau masih mencintai hujan?”

“Aku sudah tidak lagi mencintainya.”

“Apakah hujan membuatmu kecewa karena mengizinkan kemarau terlalu panjang?”

“Tidak. Aku mencintai langit, aku lebih mencintai kebebasan. Flying high to the mountain high....”


Perempuan itu bersenandung dalam warna malam yang pekat. Bong Dal Hee jatuh dalam pelukan dr. Ahn. Deo Mi menangis dalam dekapan Dong Young. SBY rapat dengan kabinetnya bahas pengganti Sri Mulyani. Tapi malam tetaplah malam dengan segala misteri dan keangkuhannya.


“Apakah betul kau mencintai A Mei?”

“Hmm... Aku belum mengenalnya.”

“Cintailah dia semampumu. Kelak kau takkan menyesal”

“Aku belum tahu.”

“Apakah kau mencintaiku?”

“Aku memang mencintaimu sejak dulu, sejak daun-daun pisang itu menutupi rambutmu yang basah. Sejak kau bilang mencintai hujan.”

“Apakah sekarang kau masih mencintaiku?”

“Aku tidak tahu.”

“No Me Ames. Kelak, aku minta kau jangan sekalipun mencintaiku.”

“Kenapa?”

“I wasn’t the one who said goodbye. I wasn’t the one who disappear in the night.”


***

Sampai saat cerita ini ditulis aku belum pernah bertemu dengannya lagi. Ibunya pun tidak pernah mendapat kabar darinya. Hanya saja, sekarang ia sudah lulus sekolah, sama sepertiku. Aku rasa aku tahu dimana dia berada. Perempuan yang pernah melemparku dengan sendal jepit butut itu kini pasti sedang berada dalam pengembaraannya menuju jagad tanpa sekat. Ia pasti sedang terbang tinggi. Sejauh lamunan, itulah yang sedang diinginkannya saat ini. Terbang jauh tinggi, mencapai segala impian yang mampu disodorkan oleh kehidupan. Aku hanya ingin mengirimkan pesan padanya supaya jangan sampai tersesat dan menghilang di kegelapan malam. Mungkin besok, aku kirim surat untuknya.




Paninggilan, 16 Mei 2010. 21.51


*dengan ingatan pada lagu “Keinginan” dipopulerkan oleh Indra Lesmana dan Sophia Latjuba

**dengan ingatan pada lagu “Perasaan” dinyanyikan oleh Koes Plus

***dengan ingatan pada lirik lagu “Better Than Love” dari Sherina, album Sendiri (2007)

****dengan ingatan pada lirik lagu “I Wasn’t the One (Who Said Goodbye)” dinyanyikan oleh Agnetha Faltskog dan Peter Cetera


Minggu, 16 Mei 2010

The Bailout

From : cinta@kantorberita.net
To : bedul@kempos.com
Subject : Euro VS Century Bailout


Dear Bedul,

Would you like to asses this case (Euro Bailout). Do you have any concern regarding it? I mean, is this case as same as Century's bailout? I hope you do well for my question here,


Faithfully yours, with love


Cinta

* * * * *


Deutsche Bank chief casts doubt on Greece bailout


Deutsche Bank CEO Josef Ackermann has expressed doubts about Greece's ability to repay its sovereign debt despite billions of euros in EU bailouts.

In an interview with German public broadcaster ZDF, Deutsche Bank CEO Josef Ackermann has questioned Greece's ability to pay down its massive debt despite an international rescue package of 110 billion euros ($138 billion).

A separate, 750 billion euro fund created to help stabilize the euro, however would help stabilize Spain and Italy's troubled economies, Ackermann said.

Ackermann is one of Europe's top bankers, and is a key architect of the private sector contribution to the bailout package to Greece. Despite the bailout and drastic austerity measures from the Greek government, Ackermann isn't completely optimistic when it comes to Greece's total recovery.

"I have my doubts about whether Greece is in a really position to step up its efforts," Ackermann said in the ZDF interview.

Should Greece fail to get its debt problem under control, Ackermann said it could lead to a sort of "meltdown" that could affect other countries.

Hope not lost

While Greece's future remains unclear, Ackermann said the EU's fund to stabilize the currency would have a positive impact in Spain and Italy, whose finances are also on shaky ground. Those countries could be stabilized enough to "reduce or consolidate the danger of contagion," but in the case of Portugal, things would be "a little more difficult."

Ackermann also had a positive outlook when it comes to inflation in the eurozone and the euro's strength as a world currency.

"In the next two to three years, I don't see any chance of [high inflation]." Ackermann said. We have very clear economic growth, we have unutilized capacity… inflation is surely not our problem."

He added that the euro remained "fundamentally strong," despite recent dips in trading against the dollar.

In fact, said Ackermann, a weakened euro could actually be beneficial to Germany, who relies heavily on exports.

* * * * *


Dear Cinta,

Terima kasih atas kepercayaannya. Tidak pernah terpikirkan bahwa seorang penulis jadi-jadian seperti saya ini dipercaya untuk memberikan penilaian terhadap suatu kejadian yang saya sendiri tidak paham persis letak persoalannya. Masalah krisis sejatinya adalah masalah keuangan dan hubungan keduanya masih perlu dikaji lebih jauh apakah saling mempengaruhi atau tidak.

Bailout Yunani ini saya kira akan berimplikasi terhadap milai mata uang Euro yang sedang melemah, dan juga terhadap keadaan inflasi di Eropa terutama di Negara-negara seperti Italia dan Spanyol. Tujuan dari bailout sendiri adalah untuk menyelamatkan Yunani dan Eropa dari krisis berkepanjangan. Hal ini dimaklumkan karena Eropa masih mengalami sisa-sisa krisis tahun 2008 lalu dan belum sepenuhnya pulih sehingga apabila Yunani tidak segera ditolong maka dikhawatirkan kejatuhan Eropa tinggal menunggu waktu saja.

Dari sisi sejarah, ada hal yang menarik yang saya rasa patut kita perhatikan. Okupansi Hitler atas Yunani pada awal 1940-an menjadi satu hal tersendiri dibalik alasan Deutcshe Bank untuk menanggung biaya bailout atas Yunani. Jerman kini menanggung beban moral akibat perjalanan sejarah bangsanya. Saya yakin, jika bisa membaca masa depan negerinya, Otto von Bismarck pun tidak akan meridhoi tindakan agresi Hitler karena Jerman akan menanggung beban akibat nafsu kekuasaan Hitler.

Bagaimanapun, Cinta, bailout dimanapun dan apapun bentuknya punya tujuan yang positif dan logis sebagai usaha untuk menghindar dari krisis. Hanya saja, terkadang muncul berbagai implikasi dari kebijakan ini dan celakanya, banyak pihak yang menjadikan proses pengambilan kebijakan ini sebagai celah untuk menyerang individu. Dalam konstelasi geopolitik regional, tentu Cinta sendiri lebih tahu siapa objek dan subjeknya.



Semoga berkenan,
Peluk Hangat,


-Bedul-



Paninggilan, 16 Mei 2010. 07.48


*berita diambil dari www.dw-world.com © Deutsche Welle

Senin, 03 Mei 2010

Fragmen Mimpi

“Mari pulang, Nak”

“Tidak, Bu. Ibu saja pulang duluan.”

“Setiap lelaki adalah pejuang dan pejuang pasti akan pulang, Nak.”

“Aku bukan tipe pejuang seperti itu, Bu.”

“Apalagi yang kau tunggu, Nak?”

“Aku tidak sedang menunggu siapa-siapa. Jadi, lebih baik Ibu pulang saja.”

“Kenapa, Nak? Katakan pada Ibu, apakah kamu sedang menunggu Deo Mi?”

“Aku masih berharap untuk dapat melihatnya lagi, Bu.”

“Percayalah Ibu, Nak. Kelak Deo Mi akan meninggalkanmu juga seperti Dal Hee.”

“Aku tahu suatu saat Deo Mi pasti akan begitu.”


“Kalau begitu, marilah pulang bersama Ibu.”

“Tidak, Bu. Tidak bisa.”

“Ayolah, Nak. Ibu paling tahu dirimu. Sudahlah, mari kita pulang.”

“Tidak, Bu. Aku masih mau disini.”

“Nak, ikutlah pulang. Ibu buatkan sayur capcay kesukaanmu ya?”

“Terima kasih, Bu. Tetapi, bukan sekarang saatnya.”

“Kenapa, Nak? Beritahu tahu Ibu.”

“Tidak perlu, Bu. Aku masih mau sendirian disini. Ibu pulang saja.”

“Tidakkah kamu ingin pulang melihat Bapak dan Adikmu?”

“Tolong, Bu. Jangan buat aku merasa bersalah.”

“Kucing kita, si Abu, sudah besar sekarang, semakin merepotkan saja. Begitu juga dengan arwananya.”

“Aku mohon, Ibu. Pulanglah. Jika aku tak kembali kelak Ibu pasti tahu dimana harus menemuiku.”

“Aku pergi sekarang. Ibu, aku mohon pulanglah, jaga Bapak dan Adik.”

“Nak,...dengarkan Ibu dulu...”


*

Aku mendengar Ibu menangis. Tetapi langkahku tetap tidak mau berhenti. Jalanku masih panjang maka aku takkan segera pulang.




Paninggilan, 3 Mei 2010, 23.49

Minggu, 02 Mei 2010

Catatan Seorang Olićianist

Perkenalan saya dengan Ivica Olic dimulai media Januari 2004 ketika menukangi Bayern Muenchen musim 2003-2004 di Championship Manager 03, game yang kini berevolusi menjadi Football Manager. Waktu itu, Olic masih merumput bersama CSKA Moskow. Sebenarnya, pada saat yang sama Muenchen juga sudah punya penyerang hebat seperti Roy Makaay, Claudio Pizarro, dan Roque Santa Cruz. Namun, mengingat Muenchen harus tampil di turnamen Eropa maka saya membawa Olic untuk jadi pelapis skuad utama bersama Robert Prosinecki yang sekarang sudah pensiun dan Milan Obradovic, yang kini bermain sebagai midfielder Real Zaragoza.




Agaknya, keputusan saya tidaklah terlalu salah. Muenchen juara DFB Pokal/Piala Jerman, runner-up UEFA Champions League karena kalah dengan gol injury time Trezeguet, dan finish ketiga di Championship. Suatu saat nanti, di dunia nyata saya punya keyakinan dan berharap pemain dengan bakat seperti Olic mampu menembus skuad utama tim-tim mapan di Eropa.

Pemain kelahiran Davor dekat Nova Gradiška, Kroasia, pada 14 September 1979, yang memulai karirnya di klub lokal NK Marsonia sejak 1996 ini sempat singgah di Bundesliga pada musim 1998 bersama Hertha Berlin BSC. Tahun 2000, Olic kembali merumput bersama NK Marsonia sebelum pindah NK Zagreb pada tahun 2001. Bersama NK Zagreb ia meraih gelar juara Liga Kroasia. Musim 2002, Olic merumput bersama Dinamo Zagreb dan menjadi top skorer.

Pada tahun 2003, Olic pindah lagi ke CSKA Moskow. Saya rasa disinilah puncak karirnya sebagai pemain professional. Bersama CSKA, Olic sukses meraih gelar UEFA CUP (2005), Liga Rusia (2003, 2005, 2006), Piala Rusia (2005, 2006) dan Super Cup Rusia (2004, 2006). Musim 2006-2007, Olic kembali ke Bundesliga dengan berseragam Hamburg SV dan menjadi kekuatan inti bersama Rafael van der Vaart. Pencapaian Olic dengan Hamburg adalah Emirates Cup pada 2008. Selama di Hamburg, Olic mencatat 78 kali tampil dengan 29 gol.

Musim panas 2009 lalu akhirnya saya benar-benar melihat Ivica Olic berseragam merah khas FC Hollywood. Sebuah impian yang benar-benar terwujud walau nyaris 5 tahun menanti. Masuknya Olic diharapkan sebagai back-up untuk duet penyerang Muenchen lainnya, Miroslav Klose dan Mario Gomez. Di atas kertas boleh dikatakan seperti itu namun saya tetap yakin bahwa pemain seperti Olic ini lebih pantas masuk skuad utama dibandingkan Klose atau Gomez.

Saat-saat pembuktian itu pun benar-benar terjadi. Pada babak per delapan final melawan Manchester United, Olic ikut menyumbang 1 gol yang membangkitkan semangat The Bavarians. Saya pikir pertandingan sudah selesai ketika Luis Nani mencetak gol ketiga United. Namun, semangat petarung yang pantang menyerah khas orang Balkan mampu menjadi titik balik Muenchen. Seandainya Robben tidak membuat gol spektakuler yang menyingkirkan United, saya yakin Oliclah yang akan melakukannya.

Kepantasan Olic bermain untuk tim sebesar Muenchen semakin terbukti pada semifinal kedua melawan Olympique Lyonnais. Hattrick Olic sudah lebih dari cukup untuk menancapkan panji Muenchen di Santiago Bernabeu. Setelah Messi terlebih dahulu membuat sensasi musim ini dengan mengandaskan Arsenal lewat 4 golnya, Olic pun mampu melakukan hal yang sama walau hanya dengan 3 gol saja.

Saat ini di Eropa, Lionel Messi dengan pesona dan kelincahannya mampu menjelma menjadi the next Il Nostro Dio setelah Maradona. Messi menjadi lebih dari sekedar Messias yang menjadikan Nou Camp sebagai katedral sucinya. Andai saja Messi membawa Argentina juara dunia di Piala Dunia 2010 nanti barangkali Messi pun akan dianggap sebagai “Tuhan” layaknya Maradona. Sayang sekali, Messi tidak ada di Final tahun ini.

Untuk Final 22 Mei nanti melawan Internazionale Milan, saya rasa posisi Olic sebagai striker tunggal atau pun diduetkan dengan salah satu dari Klose atau Gomez pun bisa jadi sangat berbahaya bagi gawang Julio Cesar. Semangat petarung dari Balkan serta campuran bakat Panser khas Jerman bisa jadi mesin yang sangat berbahaya bagi catenaccio ala Mourinho. Setiap tahun selalu terjadi perubahan peta kekuatan klub-klub Eropa dan saya bersyukur Olic ikut mewarnai kejutan-kejutan di Liga Champions musim ini.

Bagi saya pribadi, memang rasanya seperti khayalan yang menjadi kenyataan ketika akhirnya melihat lagi Ivica Olic di Final European Champions League bersama Bayern Muenchen. Betapa banyak hal yang terjadi begitu cepat dan kadang-kadang mimpi pun bisa jadi kenyataan di dunia ini. Saya tidak tahu apakah memang Tuhan benar-benar memperhatikan permainannya kala Olic masih menjadi skuad CM saya di Final Champions League musim 2003-2004. Atau mungkin ini semua hanya kebetulan saja. Sekalipun begitu, sebagai Olićianist, saya pun yakin Olic akan jadi sang juru selamat bagi Muenchen yang puasa gelar Eropa selama 9 tahun ini.



Paninggilan, 2 Mei 2010, 22.25


*dibuat dengan mengutip tulisan asli dari sekedarceritasaja.blogspot.com


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...