Kamis, 26 November 2009

Kemenangan Guru, Kemenangan Pendidikan?

Selamat malam, Bung? Apa kabar anda hari ini? Apakah kopi yang anda hirup pagi ini masih sama dengan ketika di warung kopi dulu? Saya harap anda dapat menikmati bagian-bagian hidup anda bahkan yang terkecil sekalipun. Sudah lama sekali saya tidak menjumpai anda lewat tulisan saya. Anda tentu menganggap itu ada hubungannya dengan pensiunnya saya dari sekolah sialan itu kan? Ada benarnya namun itu kita bahas nanti saja di warung kopi langganan kita di pojok jalan itu.

Begini, Bung. Menjelang malam tadi sebuah berita masuk ke ruang dengar saya. Satu berita tentang dimenangkannya gugatan terhadao Ujian Nasional (UN) oleh Persatuan Guru Independen Indonesia (PGII) dan Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI). Saya tahu itu karena yang diwawancara adalah gembongnya yang ternyata guru SMA saya. Namanya Pak Iwan. Kami dulu mengenalnya sebagai sosok Guru Sosiologi yang paling sensasional dan revolusioner. Saat perhatian semua guru masih berkutat pada masalah kesejahteraan Pak Iwan sudah melepaskan semua hal itu dengan berpartisipasi di FAGI yang kurang lebih seperti KAMI-nya gerakan mahasiswa.

Dulu, kami selalu melihatnya mengenakan topi hitam bertuliskan FAGI lengkap dengan kacamata hitam mirip Don Johnson di Miami Vice, kumis mirip Antasari Azhar dan motor Honda Supercup 700. Sayang, saya belum pernah diajar olehnya. Saya hanya sering mendengar ceritanya dari kawan-kawan di kelas IPS. Beberapa dari kami sempat bercanda dengan menambahkan dua huruf “N” dan “A” pada topi kebanggaannya itu.

*****

Saya belum paham detail dari berita itu. Saya hanya mendengar berita sepintas saja. Diberitakan bahwa mereka mengadakan syukuran untuk kemenangan yang disahkan melalui putusan Mahkamah Agung. Bisa saya bayangkan bahwa sorak-sorai perasaan gembira para guru yang menggugat sama riuhnya dengan nyanyian kawan-kawan Imparsial pasca Pidato Presiden SBY menanggapi kasus kriminalisasi KPK dan aliran dana Century.

Agaknya, keadaan sistem pendidikan nasional masih (dan selalu) mengalami transformasi tanpa hasil akhir yang maksimal, rasional, dan memuaskan. Tujuan pendidikan nasional pun yang bermuara pada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya belum dapat dicapai. Ibarat kata masih amburadul. Belum ada satu sistem pendidikan nasional yang ajeg dan menyeluruh. Amanat UUD 1945 belum tunai.

Ajeg berarti statis, tegak. Artinya sistem pendidikan nasional harus mampu berdiri tegak sebagai satu sistem yang padu dan tidak mudah untuk dibongkar pasang oleh kekuatan apapun-termasuk kekuatan ekonomi. Menyeluruh artinya sistem itu juga harus mampu memberikan esensi-esensi dari pendidikan secara merata dan mendalam pada setiap jenjang pendidikan.

Sistem pendidikan nasional itu harus tercermin melalui penyelenggaraan ujian yang lebih menekankan pada kemampuan dan kompetensi peserta didik. Saya kurang setuju kalau UN dihapuskan. Bukan karena rasanya tidak pantas kalau Negara menguji calon generasi penerusnya tetapi lebih kepada pertimbangan kuantitatif terhadap kompetensi peserta didik.

Saya melihat dengan dihapuskannya UN maka penilaian terhadap kemampuan dan kompetensi akan mempertimbangkan pada hal-hal yang bersifat kualitatif. Penilaian tersebut tentu akan melibatkan semua hal yang berbau subyektif. Kalau ada murid yang selalu dapat ranking 1 dengan nilai-nilai yang memuaskan setiap ujian sumatif/formatif lalu kemudian ia gagal di UN maka jangan lantas menyalahkan UN sebagai biang keroknya. Perlu dilihat pula faktor-faktor lainnya. Faktor mental, psikis, dan kognitif bisa menjadi sumber masalah lainnya yang belum sempat terdeteksi. Dalam kasus yang demikian banyaknya, terdapat banyak hal yang bersifat emosional dalam pengambilan keputusan. UN hanyalah satu tolak ukur sejauh mana pemahaman peserta didik melalui ujian dengan kualitas soal standar kurikulum yang berlaku.

Perlu diakui juga bahwa masih terdapat kesenjangan yang sangat jauh antara proses pendidikan di kota-kota besar dengan di daerah-daerah terpencil. Itu bukan alasan untuk sebuah penolakan atas satu grand design bernama UN. Kesenjangan itu dapat diatasi dengan semakin banyaknya forum-forum dan media sosialisasi guru. Sehingga aksesibilitas seharusnya tidak lagi jadi alasan untuk sebuah kegagalan.

Jadi jangan heran generasi mendatang akan semakin menganggap enteng gampang proses pendidikan. Asalkan nilai rata-rata harian tidak terlalu jelek dan selalu berperilaku menyenangkan maka sudah cukup kriteria untuk dinyatakan lulus. Malu rasanya mendengar setiap berita dari kondisi pendidikan bangsa ini yang tak kunjung habisnya bagai perkara korupsi yang masih melilit negeri ini. Pendidikan bagaikan permainan politik kaum birokrat yang selalu berubah dalam jangka waktu tertentu. Pendidikan hanya jadi prioritas yang kesekian saja walau dengan alokasi penyerap anggaran Negara terbesar.

Serius sekali ya, Bung. Lagi-lagi saya berpikir bahwa anda sedang membaca tulisan saya ini sambil tersenyum. Entah tersenyum kagum atau sinis karena tulisan ini ditulis oleh seseorang yang pernah menjadi objek pendidikan dalam karir kependidikannya dan kebetulan pernah bekerja di satu institusi pendidikan swasta penganut mazhab Cambridge aliran Singapura. Apapun reaksi dari anda saya hargai itu dan saya anggap sebagai partisipasi anda dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.



Salam dari Pharmindo,


Cimahi, 25 November 2009


NB: Kalau Bung nanti buka sekolah internasional, masih mau ngikutin sistemnya Diknas?

Pembangunan dan Perubahan

“Time goes on, people touch and they’re gone…” *)

Bung, masih sadarkah anda bahwa zaman pembangunan masih berlangsung kendati sudah bukan zaman orde baru? Masih sadarkah anda bahwa proses pembangunan secara fisik masih berlangsung di depan mata kita sehari-hari? Masih sadarkah anda bahwa kita tidak bisa lepas dari makhluk yang namanya pembangunan?

Saya baru sadar kemarin, ketika melihat truk molen pengaduk pasir beton hilir mudik keluar masuk komplek. Oh ya, saya lupa kasih tahu Bung kalau saya tinggal di sebuah komplek perumahan di pinggiran kota. Kebetulan dibelakang komplek ini telah dibangun sebuah megaproyek untuk ukuran kota Cimahi. Lahan yang dulunya adalah persawahan dengan hasil yang lumayan kini telah berganti dengan deretan gedung. Tentu bukan deretan gedung seperti di ruas Jalan Thamrin-Sudirman, Jakarta.

Entah sebuah proyek ambisius atau memang program pemerintah proyek ini dinamakan Rusunami. Kurang lebih singkatan dari Rumah Susun untuk Warga Miskin. Walaupun begitu, saya lebih suka menyebutnya dengan sebutan apartemen bukan rusun atawa rumah susun. Saya masih belum bisa membedakan antara rumah susun dengan apartemen seperti yang sedang anda tempati saat ini. Apa karena status peruntukannya lantas rusunami versi pemerintah tidak boleh disejajarkan minimal disamakan penamaannya dengan apartemen megah buatan Agung Podomoro Group? Lain kali kita bahas.

Begitulah Bung. Setiap harinya 3-4 unit truk molen mengantri menunggu giliran untuk melaksanakann tugasnya: menumpahkan adukan semen dan pasir. Pemandangan serupa tentu bukan yang pertama kali saya lihat. Sudah ratusan mungkin ribuan kali saya berpapasan dengan truk molen dengan label perusahaan yang berbeda. Yang membuatnya terasa berbeda kali ini adalah bahwa truk-truk itu kini beroperasi di dekat rumah saya tinggal lalu saya merasa bahwa telah terjadi banyak perubahan. Terutama dalam waktu setahun terakhir ini.

Saya melihat bahwa pembangunan yang kini semakin mendekat dan nampak jelas di mata saya telah membawa dampak yang besar bagi sebagian penduduk di komplek saya. Saya bisa merasakan gairah perekonomian yang akan segera menggeliat dan menuju klimaksnya. Semua terasa lebih dinamis. Berbeda jauh dengan kondisi beberapa tahun ke belakang dimana suasana komplek cenderung lebih statis dan monoton. Pembangunan rusunami itu akan membuka akses yang lebih luas dengan komplek kami sebagai sentral dari pertumbuhannya.

Sementara pembangunan masih terus berlangsung saya mengamati perubahan-perubahan lainnya. Orang tua kami mulai memasuki masa pensiunnya. Sebagian dari mereka ada yang menghabiskan uang pensiunnya dengan naik haji ke Tanah Haram. Ada yang membeli mobil untuk disewakan kembali. Ada yang membeli rumah untuk dikontrakkan kembali. Ada yang membuka warung di teras rumahnya. Ada yang mencari aktivitas rutin di Masjid. Ada yang senang di rumah saja barangkali sambil menghitung jumlah uang pensiun yang masih tersisa.

Kemudian, kami yang seumuran dengan saya dan dengan Bung juga mulai memasuki usia produktif menurut angkatan kerja. Beragam pekerjaan kami jalani. Ada yang jadi kru event organizer, ada yang merantau ke luar kota, ada yang jadi pekerja part-time, ada yang kerja di bank dan gajian setiap tanggal 25, ada yang jadi guru olahraga, ada yang jadi guru TK, ada yang jadi staf marketing dealer motor, ada yang kerjanya di rumah saja-seperti saya ini.

Perubahan lainnya yang bisa dibilang cukup drastis adalah kaum remajanya. Entah karena pengaruh zaman yang semakin maju dengan pembangunannya kini mereka tidak seperti kami ketika remaja dulu. Dengan arus information superhighway membuat mereka lebih cepat belajar dan terbuka terhadap suatu hal. Jangan heran bila Bung menemukan anak SD yang bertanya siapa Miyabi itu. Semuanya jadi antitesis kami dahulu.

Begitulah, generasi-generasi baru terus dilahirkan dan membuat semarak dunia ini. Sama halnya dengan pembangunan yang akan terus jadi tanda perubahan. Tidak ada yang abadi. Perubahan itulah yang abadi.


Salam dari Pharmindo,

Cimahi, 25 November 2009


*) David Foster & Olivia Newton John, “For Just a Moment”, OST. St. Elmo’s Fire

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...