Selasa, 29 Juni 2010

Purnama 3 Kota



Belum usai menulis cerita untuk Bapaknya Muslim Junior
Aku sudah harus terbang
Banjarmasin, Bumi Lambung Mangkurat
Sambil mampir ke Kota Intan, Martapura
Gerimis, masih jadi teman setia musim yang basah
Purnama malamnya masih sama
Losari, Banjarbaru, atau Bandung sekalipun


Banjarbaru, 25 Juni 2010.

*dengan ingatan pada malam bulan purnama di 3 kota, Losari, Banjarbaru, dan Bandung

Senin, 28 Juni 2010

Mereka Yang Tersisih (Komentator Dadakan #4)

The winner takes it all
The loser standing small
Beside the victory
That’s her destiny
ABBA, Winner Takes It All



Suatu hari, dalam wawancara dengan satu stasiun televisi pemegang hak siar Piala Dunia 2010 ini saya mengatakan bahwa salah satu dari Slovenia atau Slovakia akan membuat kejutan dengan menyingkirkan tim-tim unggulan. Sampai dengan pertandingan Slovenia VS Inggris prediksi saya belum terbukti. Apalagi ketika si Dono (baca: Landon Donovan, pen.) berhasil mencetak gol dramatis ke gawang Aljazair. Musnahlah sudah harapan saya untuk menyaksikan Slovenia berlaga untuk pertama kalinya di putaran kedua Piala Dunia 2010. Saya masih mencoba untuk berbesar hati karena setidaknya masih ada harapan pada Slovakia yang masih akan bertanding melawan Sang Juara Dunia empat kali, Italia.

Pertandingan Italia kontra Slovenia sejatinya adalah kisah klasik Daud versus Goliath. Italia, yang masih dibesut oleh Marcelo Lippi masih mengandalkan permainan khasnya yang sedikit bercorak defensif ala catenaccio. Slovakia, yang harus menang pun tampil sangat baik, tanpa beban, dan penuh semangat. Kapten mereka, Marek Hamsik, yang didatangkan ke Napoli seharga 5 juta euro pun mampu memberikan kontribusi. Maklum saja, karena ia sudah berpengalaman dan familiar dengan sepakbola Italia maka sedikit banyak Hamsik tahu celah-celah untuk memanfaatkan kelengahan Italia.

Slovakia merayakan kemenangan yang mengantarkan mereka lolos ke babak kedua untuk pertama kalinya

Kisah Hamsik ini mengingatkan kita pada cerita di Piala Dunia 2002 lalu yang berlangsung di Korea-Jepang. Waktu itu, Ahn Jung Hwan membuat gol sensasional di babak kedua perpanjangan waktu yang menjadi penentu kemenangan Korea Selatan atas Italia di babak perempat final. Kontan, Perugia, tim Italia tempat Jung-Hwan bermain menolak untuk menggunakan jasa pemain Korea itu di lantai rumput sepakbola Italia, tak lama kemudia FIGC (PSSInya Italia) pun menghimbau agar Pahlawan Korea itu untuk tidak bermain lagi di Italia. Kita tentu masih tahu bagaimana kecewanya Italia saat itu yang masih dihuni pemain-pemain kelas wahid seperti Alessandro Del Piero, Filippo Inzaghi, Francesco Totti, dan Gianluigi Buffon.

Kapten Italia, Fabio Cannavaro terpaksa mengikuti jejak Thierry Henry dkk.

Pasca pertandingan Slovakia VS Italia, masih belum ada kabar tentang bentuk pelampiasan rasa kecewa macam apalagi yang akan ditunjukkan Italia. Mengingat mereka telah melakukan suatu "pembatasan" dalam dunia sepakbola modern ini hanya karena mereka kalah oleh legiun asing yang mencari makan di rumput Italia. Apakah Italia juga akan menghukum Hamsik untuk tidak bermain lagi di Italia? Masih belum pasti namun kenyataan yang ada tentu tidak akan menghukum Italia seperti 8 tahun lalu. Skuad Italia saat ini terkesan ringkih dengan komposisi pemain yang "kurang berpengalaman" untuk tampil di hajatan sebesar Piala Dunia. Seandainya Hamsik tidak diizinkan lagi merumput di Napoli maka ia tidak perlu khawatir karena tentu masih banyak klub besar lainnya yang menginginkannya.

Antonio Di Natale, melepaskan kegundahan setelah golnya tak cukup membawa Italia menang

Kekalahan 3-2 itu bisa menjadi suatu pelajaran bagi Italia bahwa mereka masih bisa tampil ngotot dengan sisa-sisa mental juara 4 tahun lalu. Tetapi, barangkali dibutuhkan komposisi pemain yang seimbang dan strategi yang cenderung tidak kalah oleh model sepakbola pragmatis yang sedang menjadi tren saat ini sehingga memaksa Italia harus mampu bermain lebih efektif dan efisien, baik dalam menyerang maupun bertahan. Italia harus menempuh kenyataan pahit, bahwa mereka tidak lolos dari fase penyisihan grup dan harus menemani lawan mereka di Berlin 2006, Perancis yang pulang duluan dengan tiket ekonomi sampai di bandara Charles de-Gaulle.

*

Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh Landon Donovan pasca kekalahan USA atas Ghana 1-2, bahwa pemain-pemain USA tampil terlalu naif sehingga cenderung melambatkan tempo permainan. Hasilnya, pukulan telak harus mereka terima setelah Kevin-Prince Boateng mencetak gol di menit ke-6. Ghana yang berhasil memanfaatkan kelengahan dan lambatnya tempo permainan USA memainkan serangan cepat sehingga berhasil unggul terlebih dahulu.

Pemain Ghana merayakan kemenangan atas USA

Landon Donovan berhasil memecah kebuntuan USA dengan tendangan piealtinya yang membuat mental The Cowboys bangkit kembali. Mereka masih punya banyak waktu untuk melakukan hal yang sama pada Ghana seperti ketika melawan Slovenia, mencetak dua gol penyeimbang untuk menahan laju Slovenia. Agaknya, bila dalam pertandingan terakhir melawan Aljazair, Landon Donovan mampu mencetak gol di masa kritis, kali ini anak-anak asuh Bob Bradley harus merasakan pil pahit yang sama. Asamoah Gyan mencetak gol penentu kemenangan The Black Stars Ghana di menit 93. Sungguh suatu ironis bahwa akhirnya mereka telah menjadi korban atas keganasan mereka sendiri. Ibarat kata Celine Dion, it's all coming back to me now.

Landon Donovan, tertunduk lesu usai kalah melawan Ghana

Walaupun demikian, USA bisa pulang dengan kepala tegak karena kalah secara gentlement dari Ghana setelah berhasil menahan imbang Inggris dan Slovenia lalu menang atas Aljazair. Finalis Piala Konfederasi 2009 ini pun patut berbangga hati karena semangat juang dan mentalitas mereka teruji dalam menghadapi lawan yang lebih matang.

*

Jerman kontra Inggris adalah pertandingan yang sama-sama diwarnai pergolakan sejarah kedua bangsa. Inggris turut berperan dalam Battle Of Normandy atau yang juga dikenal dengan D-Day untuk menyerang sekaligus menahan ekspansi Hitler. Muatan historis yang sangat kental dalam pertandingan keduanya merupakan suatu sensasi tersendiri bagi para fans fanatik Jerman dan Hooligans. Saya tidak perlu membahas lagi statistik pertemuan kedua negara ini karena pembaca tentu sudah terlebih dahulu menyimaknya melalui berbagai media elektronik maupun cetak.

Melawan Jerman, Inggris memiliki rasa percaya diri yang kuat. Namun, serangan yang dibangun dengan mengandalkan Rooney dan Defoe belum cukup ampuh untuk menembus blokade pertahanan Jerman yang dikawal duet Per Mertesacker dan Arne Friedrich. Malah mereka kebobolan terlebih dahulu oleh Miroslav Klose yang berhasil memanfaatkan kesalahan John Terry dan Upson. Walaupun selalu mencoba menekan Jerman dan menguasai bola hingga 52% tetap saja Gerrard cs masih kesulitan dan semakin terpuruk dengan gol kedua yang dilesakkan Lukas Podolski.

Semangat juang Inggris yang dimodali sejarah tahun 1966 ketika berhasil menjadi juara dengan mengalahkan Jerman Barat membuahkan hasil ketika Matthew Upson berhasil membuat gol menyambut umpan crossing Steven Gerrard. Bahkan, jika saja tidak dianulir Inggris sudah berhasil menahan imbang Jerman setidaknya sampai half-time. Namun, perbedaan antara takdir dan nasib seringkali sangat tipis sehingga kadang keduanya tak seiring sejalan. Bola hasil tendangan Lampard yang memantul tiang sempat masuk melewati garis namun wasit tidak mensahkan gol tersebut. Kontan hal itu menjadi titik kontroversial yang bisa saja membuat mental pemain Inggris semakin down.

Steven Gerrard, pemimpin skuad Three Lions

Memasuki babak kedua, Inggris masih gencar membangun serangan. Tetapi, lagi-lagi koordinasi yang buruk membuat mereka semakin frustasi. Beberapa kali tendangan bebas dari Lampard pun hanya membentur tiang dan barisan pemain penjaga. Justru di saat genting karena hujan serangan yang bagaikan gempuran bom pesawat Royal Air Force di Perang Dunia II itu, Jerman berhasil memperagakan permainan yang efektif. Dua gol dalam empat menit yang dicetak oleh Thomas Mueller jadi bukti keganasan serangan cepat Jerman, mirip blitzkrieg ke Polandia yang menandai awal kampanye ekspansi Hitler dengan Nazi-nya.

Pemain Jerman mengucapkan salam usai melibas Inggris 4-1

Inggris menyusul Italia dan Perancis. Raihan manis di babak kualifikasi segera saja sirna dengan telak usai menerima gilasan panser-panser muda Jerman. Untuk Jerman sendiri, kemenangan ini membuktikan bahwa mereka masih layak diperhitungkan dalam perburuan gelar juara dunia sepakbola sejagat ini. Sertakan juga predikat mereka sebagai tim turnamen yang mempunyai ketahanan luar biasa sepanjang turnamen.

Setelah tertinggal 4-1 barangkali mereka menyadari bahwa football (will not) coming home

*

Sebagai penutup, batas antara kemenangan dan kekalahan seringkali sangat tipis karena tidak akan ada yang tahu kemana bola akan menggelinding. Bola bagaikan nasib yang menggelinding kesana kemari menunggu waktu yang tepat untuk menentukan si pemenang dan si pecundang yang akan pulang. Piala Dunia 2010 ini telah menyuguhkan beberapa diantaranya, bahwa kadang-kadang nasib berpihak pada mereka yang kecil dan tidak diperhitungkan sedangkan takdir selalu berada di pihak yang paling pantas menerima kemenangan. Barangkali, hal ini juga membuktikan bahwa saat ini sedang terjadi pergesaran kekuatan sepakbola yang merata dan tidak selalu melulu Eropa.



Paninggilan, 28 Juni 2010


*dibuat setelah mengamati kekalahan Italia, USA, dan Inggris dan kemenangan Jerman yang sensasional dan kontroversial
* foto (c) Getty Images, ditampilkan disini hasil repro printscreen dari website FIFA

Rabu, 23 Juni 2010

Bola Bola Nasib (Komentator Dadakan #3)

Kegagalan Perancis dalam Piala Dunia 2010 sudah dapat diprediksi sejak awal drawing grup. Perancis tidak lagi ditempatkan sebagai tim unggulan bersama Brazil, Argentina, Spanyol, atau Inggris. Sebelumnya, Perancis juga dinilai lolos karena kebetulan mereka berhasil membuat Damien Duff dkk menangis hanya karena ulah tangan usil Thierry Henry. Untung saja, tidak ada pihak yang menyamakan kelakuan Henry itu sebagai “Gol Tangan Tuhan” yang sampai hari ini masih menjadi milik Yang Dipertuan Agung Diego Armando Maradona. Bahkan, Peter Shilton dan rakyat Inggris pun tidak akan pernah lupa kejadian tersebut.


Napoleon kembali menangis. Kejadian ini mengulang kisah tragis Piala Dunia 2002, dimana Perancis tak mampu lolos dari penyisihan grup setelah dikalahkan Senegal 0-1. Padahal, saat itu masih ada sang maestro lapangan tengah, Zinedine Zidane. Harmoni dan kerjasama tim menjadi isu yang mencuat ketika skuad Raymond Domenech kembali gagal menuai hasil. Dicoretnya Nicolas Anelka, bisa jadi satu pertanda akan hal tersebut setelah sebelumnya Patrice Evra mengaku tidak mengenal bahkan tidak pernah mengobrol dengan Yoann Gourcuff.

Dua kapten yang tersisih, Steven Pienaar dan Thierry Henry

Sama seperti sepakbola Indonesia. Perancis harus berbenah bila ingin kembali mendengarkan nyanyian Ayam Jago menyambut pagi yang cerah. Pergantian pelatih menjadi isu penting dan harus menjadi perhatian utama. Masalah teknik permainan biarlah para pemain sendiri yang menentukan di lapangan. Tinggal dibutuhkan keseriusan pelatih dalam menentukan taktik dan strategi permainan. Jangan lupakan juga peran pelatih dalam membangun karakter tim dana rasa percaya antar pemain.

Gol yang diakibatkan ulah Henry atau Maradona akhirnya membuat satu keniscayaan bahwa nasib kadang berat sebelah dan memihak mereka yang berlaku tidak jujur (unfair). Adalah satu kenyataan juga bahwa hal yang demikian terjadi juga dalam sepakbola, terlebih dalam gelaran hajat sepakbola terbesar di dunia. Kadang nasib berperan sesuai kodratnya, tim kuat menang lawan tim lemah. Tetapi barangkali nasib juga sudah bosan berperan demikian. Sebuah nama besar bisa langsung menjadi kerdil sesuai kehendaknya sehingga takdir hanya tinggal memuluskan jalan saja.

Franck Ribery. Au Revoir, Coupe du Monde

Bola-bola nasib yang bergulir kian tak pasti kesana kemari dapat disaksikan dalam banyak pertandingan. Spanyol kalah lawan Swiss, Jerman gagal melawan mental pejuang dari Balkan yang ditampilkan Serbia, Italia gagal menang dari Selandia Baru, dan Maradona yang berhasil membalikkan semua pandangan miring tentang kepelatihannya.

Diluar semua itu, bukankah kehendak manusia sendiri yang menentukan nasibnya? Terkadang juga nasib hanya mengikuti kehendak hidup manusia dan saat ini nasib pula yang ikut menggelinding bersama Jabulani. Ia hanya mengikuti kehendak si Jabulani, entah ke gawang atau ke pelukan tangan penonton.

Barangkali, perlu diuji hipotesis sementara, apakah nasib sepakbola Perancis sama dengan sepakbola Indonesia, dimana banyak pemain hebat tetapi malah terasing di negeri sendiri. Maka dari itu, layak ditunggu kelanjutan cerita ini, apakah hanya akan jadi fiksi belaka seperti kisah cerita dalam komik atau malah tragedi dari Yunani.

*judul tulisan sama dengan satu judul dari Trilogi Sepakbola Sindhunata, “Bola-bola Nasib”, Penerbit Buku Kompas, 2002

*ditulis ketika Perancis gagal lolos dari fase penyisihan Grup A, setelah kalah dari Afrika Selatan, 1-2(0-2)

*foto (c) Getty Images diambil dari website FIFA, ditampilkan disini hasil repro printscreen

Kamis, 17 Juni 2010

Komentator Dadakan #2: Mencipta Sejarah

Banyak sejarah telah tercipta memasuki akhir stage 1 Piala Dunia 2010 ini. Mulai dari gol pertama Slovakia dan Selandia Baru di Piala Dunia, kemenangan pertama Chile sejak 48 tahun lalu ketika menang atas Yugoslavia untuk menempati posisi ketiga di Piala Dunia 1962 yang juga digelar di rumah mereka sendiri hingga keberhasilan Swiss mematahkan rekor kemenangan 18 kali Spanyol.



Kesemuanya itu tentu saja membuat perbedaan dalam Piala Dunia. Sejarah yang tercipta itu juga lumayan untuk menutupi kebosanan akibat minimnya jumlah gol yang tercipta. Kemenangan Slovakia yang sudah didepan mata akhirnya lenyap ketika Reid menyamakan kedudukan untuk Selandia Baru. Walaupun cukup dengan berbagi angka, Slovakia dan Selandia Baru sama-sama telah mencatat sejarah masing-masing sebagai noktah merah keikutsertaan mereka di Piala Dunia.

Pemain Chile merayakan gol kemenangan

Chile, yang terakhir kali menang di Piala Dunia 1962 berhasil kembali meraih kemenangan yang sempat hilang selama 48 tahun. Pada penampilan perdananya sejak terakhir tampil di Piala Dunia 1982, Jean Beausejour akan menjadi pemain yang selalu dikenang setelah mencetak satu-satunya gol ke gawang Honduras. Barangkali, ia juga akan disejajarkan dengan Legenda Chile, duet penyerang Za-Sa, Ivan Zamorano dan Marcelo Salas.


Swiss adalah tim yang benar-benar menikmati malam kemenangan di Durban. Gol tunggal Gelson Fernandes membuat Swiss unggul atas Spanyol yang lebih diunggulkan dalam turnamen kali ini. Selain penampilan cemerlang kiper mereka, Diego Bonaglio, mereka juga patut berterimakasih pada pelatih mereka Ottmar Hitzfeld. Hitzfeld berhasil menerapkan taktik permainan disiplin untuk menutupi pergerakan cepat dan passing pendek Spanyol yang dimotori duet el Xaviniesta.


Bersama Hitzfeld, turut bersorak juga pendukung Swiss yang kali ini patut meminjam nyanyian fans Denmark, “We are red, We are white, We are Suisse dynamites!”. Melawan Spanyol yang jelas-jelas merupakan unggulan utama, Hitzfeld tidak terlihat gentar sedikitpun walau David Villa dan Torres masih meneror barisan belakang mereka.

Gelson Fernandes, man of the match yang merayakan golnya ke gawang Casillas.

Situasi seperti itu bukan pertama kalinya untuk Hitzfeld. Pada final Piala Champions Eropa 1997 yang berlangsung di Olympiastadion, Munich, strategi Hitzfeld berhasil menundukkan Juventus untuk membawa Piala Champions ke Westfallen, kandang VfB Dortmund. Berbekal pengalaman tersebut, Hitzfeld menunjukkan kematangannya sebagai pelatih yang berhasil menerapkan disiplin tinggi khas Jerman pada anak asuhnya di timnas Swiss sehingga Spanyol, sang favorit juara pun kandas di tangan mereka.


Melihat jadwal pertandingan selanjutnya, atas petunjuk seorang kawan, Argentina akan menghadapi Korea Selatan, wakil Asia yang terkenal karena kegigihan dan keuletannya. Akankah tercipta sejarah baru dimana Korea Selatan akan mengandaskan Argentina dan menenggelamkan superioritas Messi bersamanya? Menarik untuk ditunggu karena kedua tim tentu akan tampil menyerang untuk memastikan siapa yang akan lolos duluan ke babak selanjutnya.



Paninggilan, 17 Juni 2010. 00.16

*dibuat setelah menyaksikan kekalahan Spanyol atas Swiss, 1-0 dan menjelang pertandingan Argentina VS Korea Selatan
*gambar diambil dari FIFA.com

Senin, 14 Juni 2010

Komentator Dadakan

Agak sedikit membosankan menonton Piala Dunia 2010 sekarang. Karena sampai catatan ini ditulis, kemenangan terbesar dalam Piala Dunia 2010 diraih oleh Jerman yang berhasil mengandaskan The Socceroos, Australia, 4 – 0 dibayar tunai. Selebihnya, hanya Korea Selatan yang mampu menang dengan angka lebih dari satu, sisanya hanya menang tipis dan berbagi angka satu.


Tidak ada kejutan yang berarti dalam beberapa pertandingan awal Piala Dunia 2010. Kalaupun ada yang masuk kategori tersebut barangkali kegagalan Perancis untuk mencetak satu gol pun ke gawang Uruguay dan kesalahan Robert Green yang membuat jutaan fans Inggris menangis kecewa karena ia gagal menahan bola tendangan Clint Dempsey.


Meski banyak yang menjadikan Inggris sebagai favorit juara, saya tidak melihatnya demikian. Memang skuad Inggris saat ini adalah satu dari beberapa skuad terbaik dunia lainnya. Namun, mereka tidak punya kiper yang hebat. Itu memang sudah terbukti sejak Piala Dunia 2002, 2006, dan Kualifikasi Euro 2008. Saya rasa, jalan Inggris menuju tahtanya yang kedua masih sangat panjang.


Pemain Inggris berbeda sekali dengan Jerman misalnya. Pemain Jerman mampu memberikan segalanya untuk kemenangan tim. Itulah kenapa mereka menjadi tim yang solid sepanjang penampilannya di Piala Dunia. Sedangkan Inggris masih bergantung pada figur dan nama besar dalam skuad mereka. Inggris selalu mengusung slogan “Football coming home” setiap mereka turun dalam kejuaraan Eropa maupun Dunia, tetapi justru disitulah letak masalahnya. Inggris sendiri tidak bisa menentukan kapan mereka mau mengembalikan sepakbola ke tanah airnya sendiri. Seringkali mereka gagal karena ketidakpercayaan mereka terhadap kemampuan mereka sendiri.


Pertandingan Inggris melawan USA sejatinya merupakan pertandingan antara dua hegemoni besar di dunia. Tetapi, dalam kekuatan sepakbola keduanya berbeda kelas. Terakhir, Inggris menang 2-0 atas USA dan friendly match di Wembley pada 2008. Inggris dengan beberapa nama besar dalam skuadnya memang lebih diunggulkan bersama Spanyol, Argentina, Jerman, Brazil, dan Italia untuk meraih Juara Piala Dunia 2010. Suatu harapan yang terpendam selama 44 tahun.


Sayangnya, jalan masih terlalu panjang untuk menuju kesana. Don Capello memang berhasil membuat Inggris menjadi tim yang kuat dan penuh percaya diri pasca era Sven-Goran dan Steve Mclaren. Rekor kualifikasi mereka sendiri memang mengagumkan sekaligus jadi momok bagi setiap lawan Inggris di grup C. Melawan USA, Inggris menunjukkan determinasi tinggi dengan paduan umpan pendek dan gaya kick and rush, terbukti dengan gol Steven Gerrard di menit ke-4. USA pun bukannya tanpa perlawanan.


Serangan yang dimotori Landon Donovan, yang selama 3 bulan terakhir magang di Everton, cukup membuat barisan belakang Inggris kerepotan. Untung saja, Clint Dempsey yang juga berguru di Fulham, bisa membuat kedudukan imbang. Tendangannya tidak bisa diantisipasi oleh Robert Green. Seketika, harapan itu buyar. Kemenangan yang tentunya akan bisa dipertahankan musnah hanya sepersekian detik setelah Jabulani terlepas dari tangan Green. Kejadian itu terulang kembali. Kenangan buruk akan Piala Dunia 2006 dan kegagalan Inggris menembus Euro 2008 menyeruak hanya karena kegagalan kiper mereka.


Diluar semua kontroversi mengenai Jabulani, Inggris masih akan menatap keseriusan mereka dalam Piala Dunia kali ini. Inggris bisa saja berharap tuah tangan dingin Capello tetapi mereka juga butuh lebih dari itu. Seandainya mereka datang ke Afrika Selatan memang untuk menang, itu jauh lebih baik daripada sekedar mengenang kejayaan mereka yang hampir 5 dekade lalu. Obama pasti bahagia ketika mengajak David Cameron minum sampanye sedangkan diatas sana, Churchill merasa sangat malu pada Eisenhower.Sekarang atau tidak sama sekali.

*

Belanda menatap Piala Dunia 2010 dengan penuh keyakinan. Penampilan anak asuh Bert van Marwijck menunjukkan dominasi selama kualifikasi maupun pada saat partai ujicoba pemanasan. Cedera Robben yang menghantui mereka sudah bukan menjadi kekhawatiran. Belanda pun sama halnya dengan Inggris, datang dengan skuad utama yang hampir merata di semua lini.

Menyoroti Belanda, terutama dalam turnamen sekelas Piala Dunia tentu akan berhubungan dengan kegagalan mereka justru pada saat tim mereka dihuni oleh pemain-pemain hebat. Sejak generasi Cryuff, van Basten, de Boer, hingga van Persie kini Belanda hanya jadi raksasa tanpa gelar. Makanya, tidak berlebihan bila Rid de Saedeleer berkomentar, “Jika dalam sebuah Piala Dunia bermain 24 kesebelasan, 23 kesebelasan akan bermain untuk menang. Tinggal satu-satunya kesebelasan yang berniat untuk bermain bola dengan seindah mungkin, dan satu-satunya kesebelasan itu adalah Belanda.” Belanda pun masih punya masalah dengan diri mereka sendiri, seperti yang dikatakan Leo Beenhakker.

Mati dalam keindahan, itulah Belanda. Senada dengan Uwe Seller yang mengatakan bahwa pemain Belanda datang ke Piala Dunia untuk menunjukkan kemampuan mereka, bukan untuk menang. Pertandingan melawan Denmark nanti akan jadi saksi apakah Belanda akan bermain dengan indah dan penuh suka cita tanpa melupakan kemenangan atau hanya menunjukkan pada dunia bahwa mereka juga bisa menang.

Melawan Belanda, Denmark tentu akan tampil dengan tanpa beban. Mereka tentu ingin nyanyian fans Denmark di Euro 92 kembali bergaung di Johannesburg, “We are red, we are white, we are Danish dynamite.”



Paninggilan, 14 Juni 2010. 11.05


*dibuat setelah melihat beberapa hasil pertandingan dan untuk menyambut pertandingan Belanda vs Denmark
* foto Gerrard dan Donovan hasil print screen dari website FIFA

Kamis, 10 Juni 2010

David Foster (A Short Biography)

Tidak berlebihan untuk mengatakan bila semua yang disentuh David Foster berubah jadi emas-bahkan platinum. Penulis lagu dan produser sekaligus peraih 15 kali Grammy Award (termasuk tiga kali Producer of the year) dengan 44 nominasi, penerima 7 kali Canadian Juno Awards, satu kali Emmy Awards, dan 3 kali nominasi Oscar yang diraihnya dalam 4 dekade kesuksesan yang luar biasa. Bahkan, ia juga berhasil mengorbitkan beberapa penyanyi terbaik dunia sepanjang masa. Untuk keberhasilannya ini beberapa kalangan pengamat musik menamainya, Midas of Music Industry.

Satu dari pencapaian tertinggi dalam karir David Foster adalah konser spektakuler one-night only “Hit Man: David Foster and Friends” yang menampilkan Andrea Bocelli, Michael Buble, Josh Groban, Celine Dion, Peter Cetera, Kenny G, Brian McKnight, Katherine McPhee, Blake Shelton, penyanyi debutan Charice, dll. Rekaman konser itu juga tersedia dalam CD dan DVD.

Dalam konser tersebut, ia tampil sebagai host yang tentu saja menambah daftar panjang bakat dan keahliannya. Selain tampil sebagai host dalam konser tersebut, David Foster juga berperan membawakan welcome highlight dengan menampilkan beberapa hits nomor satu dan lagu-lagu favorit pemenang berbagai penghargaan. Rencananya, biografinya yang berjudul “Hit Man: Forty Years Making Music, topping the Charts and Winning Grammies” akan dirilis pada 11 November. Setelah itu, konser ini akan disiarkan di PBS pada bulan Desember.

Konser “Hit Man: David Foster and Friends”

David Foster berkarya di jalur musik sejak tahun 1973 dan dengan cepat segera mendapat reputasi sebagai kibordis yang disegani. Ia juga sering diminta tampil untuk mengiringi musisi lain. Sebut saja John Lennon, Diana Ross, George Harrison, dan Rod Stewart. Pada akhir tahun 1970, ia mulai beralih untuk menulis lagu dan memproduserinya seperti ketika bekerjasama dengan Earth, Wind and Fire yang menghasilkan lagu “After The Love Has Gone” dan “Got To Be Real” yang meraih sukses besar.

Karirnya pun semakin menanjak pada tahun 1980-an ketika ia memproduseri sekaligus menulis beberapa lagu luar biasa yang masuk dalam jajaran single No.1, seperti “Hard To Say I’m Sorry” dari Chicago, “The Glory of Love” Peter Cetera, dan “Man in Motion” John Parr. Sementara menyelesaikan multi-platinum selling songs dari OST Ghostbusters, Footloose dan album 16, 17, dan 18 dari Chicago, pada periode ini juga ia masih memproduseri dan menulis lagu untuk Alice Cooper, Al Jarreau, Hall and Oates, Kenny Rogers, Kenny Loggins, Boz Scaggs, dan Olivia Newton-John.

Periode 1990-an reputasinya kembali menghasilkan beberapa hits seperti hit pertama Celine Dion “The Power of Love”, “Unforgettable” Natalie Cole, “Have You Ever” Brandy, “Music of My Heart” Gloria Estefan dan N’Sync, serta single “Somewhere”dan album “Back To Broadway” dari Barbara Streisand. Pada tahun 1993, ia kembali menikmati tahun yang sangat berharga dimana ia dianugerahi Billboard Magazine’s "Top Singles Producer”, "Top R&B Producer," dan Top Grammy Nominee dengan 7 nominasi yang mengejutkan. Diatas itu semua, ia mendapatkan penghargaan “Producer of The Year” untuk soundtrack film The Bodyguard.

Setelah melewati tahun yang menggembirakan sepanjang 1993, David Foster tetap berkarya dan menapaki kesuksesan kembali pada tahun-tahun berikutnya (1994-1997). Ditandai dengan beberapa hits yaitu “Unbreak My Heart” Toni Braxton, “I Will Always Love You” Whitney Houston, “I Swear” All-4-One dan “Because You Loved Me” Celine Dion. Single-single tersebut berhasil meraih posisi No.1 pada tangga lagu Billboard Pop Singles dan berhasi memecahkan rekor dengan bertahan selama 42 minggu.


Pada akhir 90-an, David Foster mendirikan 143 (I Love You) Records dan bermitra dengan Warner Brothers. Dibawah label barunya, ia mulai merekrut beberapa bakat baru yang luar biasa. Tercatat nama-nama tenar seperti, The Corrs, yang telah menjual 30 juta kopi rekaman, Plus One, Grup Penyanyi Lagu Rohani, dan Kevin Sharp, bintang televisi dan penyanyi country yang meraih platinum.

*



Memasuki milenium baru merupakan awal bagi David Foster untuk kembali menemukan gairah dan bakat baru. Ia kembali dan memproduseri Josh Groban, yang dikritik karena albumnya diklaim telah terjual sebanyak 17 juta kopi. Pada 2007, Josh Groban dan David Foster berpasangan untuk album Natal “Noel” yang memecahkan rekor sebagai album Natal terlaris tahun 2007 dengan lima minggu berturut-turut bertahan di chart no.1 dan terjual sebanyak 3,7 juta kopi.

Selanjutnya, ia melirik Michael Buble, yang juga berasal dari Kanada. Seorang penyanyi dengan soft low voice yang albumnya, Call Me Irresponsible berhasil menduduki peringkat 2 chart Billboard dan menjadi nomor satu beberapa minggu kemudian. Album itu sendiri telah terjual lebih dari 5 juta kopo di seluruh dunia. Proyek terbaru darinya adalah bekerjasama dengan storyteller sekaligus musisi, Peter Cincotti. Album ke-2 dari Peter Cincotti, East of Angel Town, berisikan paduan dari funk jazz, rock dan blues. David Foster tidak berhenti dan terus mencari untuk menemukan bakat-bakat baru seperti Renee Olsted dan pianis William Joseph.

Diluar dari petualangannya untuk menemukan bibit-bibit baru, ia juga kembali bekerjasama dengan beberapa nama besar dan veteran dalam industri musik. Ia memproduseri album peraih platinum milik Andrea Bocelli, Amore, bersama dengan tambahan DVD/CD combo, Under the Desert Sky. Ia juga memproduseri dan menulis bersama dengan Carol Bayer Sager untuk lagu peraih Golden Globe, “The Prayer” yang dibawakan oleh Celine Dion dan Andrea Bocelli, dan beberapa hits untuk Madonna dan Michael Jackson. Kemudian, ia juga memproduseri beberapa album lainnya seperti duet Nicole Kidman “Come What May” dalam soundtrack film Moulin Rouge, album multi-platinum Celine Dion “Miracle” dan juga diberi kehormatan untuk membuat lagu penutup Olimpiade Musim Dingin 2006 bersama Amy, putrinya, dimana mereka menulis dan memproduserinya bersama.

Kesuksesan dan pencapaian hebat David Foster dalam industri musik selama 3 dekade terakhir juga membawakannya kesempatan untuk berkontribusi pada masyarakat disekitarnya terutama pada anak-anak. Pada tahun 1986, ia mendirikan David Foster Foundation yang bermarkas di Kanada sebelah barat, dimana ia sering mengadakan fundraising dana amal untuk membantu anak-anak yang membutuhkan transplantasi organ. Ia juga tampil pada beberapa acara amal, seperti the Andre Agassi Foundation, Race to Erase MS, Muhammad Ali’s Fightnight Foundation, Cap Cure Prostate Cancer Research Foundation, Malibu High School Scholarship Program, The Carousel Ball, and Cedars-Sinai Research Center for Woman’s Cancer.

Sepanjang karirnya, David Foster telah menunjukkan dirinya sebagai musisi yang kreatif, pekerja keras, dan perhatian. Ia tumbuh sebagai produser dan penulis lagu papan atas yang telah bekerja dengan banyak nama besar dan berhasil padu dengan mereka untuk menciptakan banyak hits terbaik selama 80-an dan 90-an.

Sebagai penulis dan produser, ia juga berhasil untuk membentuk dan memoles karir dari bintang-bintang muda berbakat. Kecenderungannya untuk menemukan bakat-bakat baru dan juga dedikasi dan kesuksesannya selama 3 dekade terakhir adalah sebuah bukti bahwa ia masih memungkinkan untuk meraih beberapa pencapaian, penghargaan, dan apresiasi untuk karyanya yang mengagumkan. Sepertinya, para penggemarnya akan masih dibuat untuk menunggu karya-karya dari David Foster selama beberapa tahun ke depan.

Biodata

Nama Lengkap : David Walter Foster
Tanggal Lahir : 1 November, 1949
Asal : Victoria, British Columbia, Canada
Genre : Pop, R&B, classical, gospel, adult-contemporary
Profesi : Record producer, composer, songwriter, arranger
Instrumen : piano, keyboards, synthesizers
Website : www.davidfoster.com

Penulis adalah penggemar karya-karya David Foster.

Tulisan ini disarikan, dan disajikan dengan mengutip pada www.davidfoster.com/biography




Paninggilan, 10 Juni 2010. 23.23

Rabu, 09 Juni 2010

Botchan


Prelude

Membaca Botchan bagi saya adalah suatu keharusan setelah membaca buku Two Japanese Novelists dari Edwin McClellan. Dalam buku itu, McClellan menjelaskan biografi singkat dari kehidupan dua novelis Jepang yang terkenal pada masanya, yaitu Natsume Kinnosuke yang lebih dikenal dengan Natsume Soseki dan Shimazaki Toson. Selain menjelaskan periode kehidupan dua novelis tersebut, McClellan juga memberikan semacam review singkat berisi pembahasan dan penilaian terhadap karya-karya dua novelis itu. McClellan memberikan pembahasan yang mendetail tentang masing-masing cerita (novel) lengkap dengan berbagai proses kreatif, penggalan cerita, dan hal-hal lain disekitar penulisnya dalam pembuatan karya tersebut.

Sayangnya, Botchan sebagai novel kedua yang ditulis pada tahun 1906 oleh Soseki setelah I am a Cat tidak mendapatkan atensi penuh dari McClellan, berbeda dengan karya Soseki lainnya, yaitu I am a Cat, Kokoro, Kusamakura (The Grass Pillow), dll. Mengenai Botchan, McClellan hanya memberikan sedikit penggalan cerita dan penjelasan tentang penyangkalan dari Soseki bahwa proses kreatif penulisan Botchan dianggap sebagai refleksi perjalanan hidupnya saat itu, sebagai seorang guru di daerah terpencil.

Dalam bukunya, McClellan menulis, “His personal experiences let him to consider the philosophical and cultural significance of human isolation from a variety of perspectives.

The style has a certain crudeness which, thoughtfully intended, limits the range of expression and prevents the novel from having much depth. Style free from ornateness and his quest for naturalness and simplicity, he chose the familiar drive of making a hero, a not very intelligent through well-bred young man.


The novel is, therefore in a sense an indictment of modern society. But it is doubtful that Soseki would have admired the young man very much in the role of an arrogant Hatamoto (Shogunal retainers).”


Menarik untuk disimak bahwa Soseki melakukan penyangkalan atas karya yang dinilai beberapa pengamat sebagai refleksi dari masa-masa awal karirnya. Penilaian ini muncul karena tokoh Botchan digambarkan sebagai orang yang berpendidikan lumayan dan bekerja sebagai seorang guru di derah terpencil, tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang dialami Soseki. Maka, wajar apabila terjadi silang pendapat dan penyangkalan dari penulisnya sendiri mengenai kaitan antara realita yang dialami penulis dengan latar belakang serta jalan cerita keseluruhan.

Melihat pada waktu penulisannya, Botchan lahir semasa modernisasi Jepang dengan Restorasi Meiji. Pada waktu itu, Jepang sedang mengalami pergolakan hasrat budaya untuk mengikuti modernitas dunia barat atau tetap bertahan dengan nilai-nilai budaya tradisional. Hal ini terjadi karena setelah Jepang membuka dirinya, pengaruh dan terpaan dunia barat seakan tidak terelakkan lagi. Maka tak heran bila kini di zaman Jepang modern muncul Patung Liberty dan Golden Gate San Fransisco di Obaida sebagai simbol Young Dynamics Japanese Spirit of Western Culture.

Sublimasi Karakter dalam Cerita

Mengenai asal-usul nama Botchan sendiri terdapat beberapa penafsiran. Botchan diterjemahkan McClellan sebagai “Little Masters”. Selain itu, ada pendapat yang menyebutkan bahwa “Botchan” bisa diartikan sebagai suatu panggilan yang sopan untuk anak laki-laki.

Botchan sendiri diceritakan sebagai anak yang memiliki pengalaman masa kecil yang kurang menyenangkan. Dalam keluarganya ia selalu dianggap sebagai pembawa masalah karena sering melakukan hal-hal yang diluar kewajaran untuk anak seusianya. Orang tuanya pun tidak terlalu menyukai Botchan karena selalu menyebabkan timbulnya suatu masalah. Sebagai gantinya, Botchan hanya mendapat kasih sayang dari Kiyo, pembantu yang bekerja di rumah mereka. Kelak, mereka berdua akan tinggal bersama. Botchan hidup dan besar dalam gemerlap modernisme Tokyo. Satu hal yang kemudian disadarinya ketika menerima pekerjaan sebagai guru di daerah terpencil Shikoku.

Botchan tumbuh dan besar di kehidupan ultra-modern Tokyo sebelum pindah mengajar di Matsuyama, sebuah daerah yang masih tradisional dalam kultur kehidupan masyarakatnya. Botchan sendiri seringkali dikejutkan oleh beberapa kebiasaan yang tidak lazim sebagaimana sering ditunjukkan oleh kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Botchan memiliki masalah pada perilakunya, suatu hal yang menjadi titik pusat cerita novel ini.

Keacuhan dan pembawaannya yang dinilai “lack of respect” menjadi sesuatu yang mengejutkan kalangan pembaca di Jepang. Pembaca yang belum begitu paham dengan perilaku semacam itu tetap bisa menerimanya karena banyak sekali hal yang tidak masuk akal dan menarik untuk diceritakan. Botchan sangat tidak terkesan dengan orang-orang disekitarnya. Botchan menjadi orang yang cenderung lambat untuk memahami sesuatu yang terjadi padanya sehingga ia sendiri tidak pernah yakin tentang posisinya karena berbagai tindakan dari guru-guru disekelilingnya. Benturan sering terjadi akibat karakter Botchan yang berlawanan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di daerah itu. Pun dengan kolega di tempat kerja, Hotta dan Kameja Merah.

Perdebatan dalam hati dan pikiran Botchan seputar Hotta dan Kameja Merah, apakah Botchan dengan segala kebiasaan dan moralnya menjadi terkikis lantara Kameja Merah, atau Botchan malah akan bersekongkol dengan Hotta untuk melawan dan mengembalikan tradisi moral pada tempatnya semula, setelah terlanjur dikotori oleh kelakuan Kameja Merah. Kiranya, hal ini menjadi pertanyaan besar yang diwakili seluruh bagian cerita dalam novel ini.

Hal yang paling penting untuk dipelajari dari seorang Botchan adalah penting sekali untuk menjadi manusia berkarakter. Apapun situasinya dan bagaimanapun perubahan terjadi, karakter yang melekat tetap pada pendirian dan pembawaan tidak akan terkikis hanya karena masalah loyalitas dan mentalitas kelompok.

Sedikit Tentang Soseki

Natsume Kinnosuke atau yang lebih dikenal dengan nama pena Natsume Soseki lahir pada 9 Februari 1867 di Shinjuku dan meninggal pada 9 Desember 1916. Pada tahun 1900, Pemerintah Jepang mengirim Soseki ke Inggris melalui program beasiswa. Tahun 1903, ia pulang ke Jepang dan kembali mengajar di Tokyo Imperial University.

Tema-tema utama yang muncul dalam karya-karya Natsume Soseki adalah kehidupan masyarakat dalam berjuang melawan kesulitan ekonomi, konflik antara tugas, keinginan dan harapan, loyalitas dan mentalitas kelompok melawan kebebasan dan individualitas, keterasingan individu dan kesendirian, pertumbuhan industrialisasi Jepang beserta konsekuensi sosialnya, keterbukaan Jepang dalam menerima kultur Barat, dan pandangan pesimistis sebagai sifat bawaan manusia.

Soseki juga menaruh perhatian pada para penulis yang tergabung dalam Shirakaba Literary Group. Dalam tahun-tahun terakhirnya sebagai penulis, Ryunosuke Akutagawa dan Kume Masao menjadi pengagum gaya menulisnya.



Sekedar Bacaan


McClellan, Edwin. 2004. Two Japanese Novelists: Soseki & Toson. Boston: Tuttle Publishing

Soseki, Natsume. 2004. My Individualism and the Philosophical Foundations of Literature. Boston: Tuttle Publishing

Soseki, Natsume. 2009. Botchan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...