Senin, 31 Agustus 2015

SPY: Statham's Dead

Saya agak kaget ketika membaca review film ini di imdb.com dimana banyak review bernada negatif. Komentar terbanyak adalah penggunaan kata-kata yang tidak pantas dalam percakapan antar tokoh. Anyway, film berdurasi 120 menit ini menyuguhkan tontonan yang menghibur. Saya kira film ini akan menampilkan aksi mata-mata yang kira-kira sekelas James Bond dengan action semacam Bourne's Quartology. 

Courtesy: www.imdb.com
Susan Cooper (Melissa McCarthy) tampil sebagai pemeran utama sekaligus tokoh anti-hero. Inilah antitesis pertama dari film bertema spionase ini. Kehadiran superstar sekelas Jude Law dan Jason Statham saya pikir bakal jadi hal pembeda 'Spy' dari tipikal film sejenis. Nyatanya, mereka malah berperan sebagai karakter sempalan.

Yang paling saya catat dari film ini adalah: Statham is dead! Film ini adalah pembunuhan karakter baginya, IMHO. Terlebih setelah Statham sempat berperan sebagai lawan Dominic Torreto di #FF7. Statham dalam film ini tidak dapat berbicara banyak. Ia keluar dari tipikal karakter yang biasa dimainkannya sejak serial Transporter dan The Expendables. Statham melakukan banyak kesalahan yang tidak perlu dalam usaha CIA memburu teroris.

Film bergenre action comedy ini memang punya skor dan review yang tidak cukup bagus. Ditambah, alur cerita yang tipikal misi spionase intelejen dan mudah ditebak memang lantas menjadikan ukuran 'Spy' menjadi biasa. Namun, buat mayoritas penonton yang menginginkan perpaduan komedi dan aksi serta tokoh anti-hero yang cukup untuk membuat tertawa, film ini sudah cukup. 

Judul           : Spy
Sutradara    : Paul Feig
Cast            : Melissa McCarthy, Jude Law, Jason Statham, Rose Byrne
Durasi        : 120 menit
Tahun         : 2015
Produksi     : 20th Century Fox
Genre         : Action-Comedy


Dharmawangsa, 30 Agustus 2015.

Selasa, 25 Agustus 2015

Catatan #AyahASI: Bukan Sekedar Berbagi

...bahwa proses pemberian ASI is the best thing happen in the life of a family.
- (hal. 13)


Awalnya, saya tahu gerakan #AyahASI @ID_AyahASI ini di Twitter melalui retweetan beberapa orang yang saya follow. Saya belum cukup aware sampai akhirnya saya mengalami sendiri kebingungan dalam mempersiapkan masa kehamilan dan sesudahnya. Saya pun teringat kembali bahwa para dedengkot gerakan #AyahASI ini menerbitkan bukunya. Dengan demikian, saya berharap bahwa saya tidak terlalu terlambat untuk memahami dan mempersiapkan segala keperluan istri selama masa kehamilan maupun pasca hamil.
 
 

ASI atau Air Susu Ibu adalah bagian penting dari tumbuh kembang si buah hati. Betapa kandungannya memang sudah paling sesuai untuk kebutuhan bayi. Pemberian ASI Eksklusif adalah isu tersendiri mengingat saat ini gencar sekali promosi untuk menggantinya dengan susu formula. Di lain pihak, hal ini menimbulkan dilema ketika susu formula seringkali dijadikan 'senjata' pengganti ASI. Dengan berbagai alasan tentunya.

Masalah ASI bukan hanya urusan Kaum Ibu belaka. Perkara ini juga harus melibatkan peran serta yang seimbang dan setara dari Kaum Pria. Beruntung, ada delapan orang laki-laki keren yang berbuat sesuatu demi mencerdaskan kehidupan para Bapak yang justru sering kehilangan tingkat kecerdasan seketika kala berhadapan dengan urusan mengurus anak.

Saya percaya bahwa langkah kecil kedelapan suami yang membagi ceritanya dalam buku ini adalah sebuah wacana yang besar dalam memberikan pemahaman peran penting menyusui. Meski disajikan dalam bentuk bacaan ringan dalam cerita-cerita pengalaman keseharian para #AyahASI, tidak lantas membuat buku ini kehilangan tujuan utamanya untuk menjadi inspirasi sekaligus berbagi.

Mereka percaya bahwa semua orang tua menginginkan semua hal yang terbaik untuk buah hatinya. Maka tidaklah terlalu salah apabila pengalaman mereka menjadi buku pelajaran yang tidak terlalu text book. Dengan begitu, mereka juga menyertakan pendapat para ahli dan berbagai tips yang sangat berguna dan bermanfaat.

Tidak hanya itu saja, pengetahuan lain semisal soal penggunaan susu formula juga sangat membantu bagi para calon Ayah yang belum paham betul mengenainya. Plus, insert spesial dimana pembaca akan tahu apa yang bisa dibeli dengan uang untuk beli susu formula selama 6 bulan. Atau, simak juga tips untuk pembaca yang masih bingung bagaimana memilih rumah sakit yang pro menyusui dini (ASI) sekaligus memilih dokter spesialis anak.

Buku ini dapat dibaca tamat sekali duduk. Artinya, tidak terlalu membutuhkan effort lebih dalam memahaminya. Namun, buku ini juga tidak lantas membosankan bila dibaca berulang-ulang. Dapat dengan jelas dipahami bagaimana dan mengapa ASI mutlak diperlukan oleh buah hati kita. Pembaca juga dihadiahi komik yang menghibur di setiap akhir cerita. Barangkali saja, selama pembacaan mengalami satu ketegangan.

Buku ini layak jadi panduan atau sekedar bacaan santai sebagai sarana belajar bagi para calon orangtua yang sedang merencanakan pernikahan, kehamilan, dan persalinan. Cerita-cerita dalam buku ini memberikan wawasan yang lebih nyata, informatif, dan reflektif sehingga buku ini layak dijadikan ensiklopedia 'wajib' yang harus dibaca setiap calon Bapak. Buku ini menguatkan kesadaran Kaum Pria untuk mendukung dan mendampingi istri dalam pemberian ASI walau dengan pengetahuan seadanya.

Judul           : Catatan AyahASI: Kami Bukan Ahli, Cuma Mau Berbagi
Penulis        : Sogi Indra Dhuaja (et.al); Tutut M. Lestari (ed.)
Penerbit      : Penerbit Lentera Hati
Tahun         : 2013
Tebal          : 188 hal.
Genre         : Keluarga-Parenting
 
 
Dharmawangsa, 25 Agustus 2015.

Senin, 24 Agustus 2015

A6000+: Pengganti si HTC Desire VC

As we grow up in more technology-enriched environments filled with laptops and smart phones, technology is not just becoming a part of our daily lives - it's becoming a part of each and every one of us.
- Adora Svitak


Sempat dirundung galau, akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada Lenovo A6000+. Sebagai pengganti HTC Desire VC Dual on CDMA-GSM. Sebulan belakangan, ponsel HTC mulai menunjukkan kinerja yang layak untuk dilabeli “sudah minta diganti”. Mulai dari baterai yang enggan dicharge, baik dengan charger asli bawaan maupun powerbank, tidak bisa load aplikasi BBM, dan baterai yang cepat drop.
Lenovo A6000+. Courtesy: www.foneforest.com

Terus terang, mencari pengganti si HTC kesayangan adalah bukan perkara mudah. Beberapa minggu sebelumnya bahkan saya sudah menjatuhkan kandidat pengganti pada varian Andromax yang disupport jaringan 4G CDMA. Saya sebagai pengguna jaringan 3G CDMA cukup puas dengan layanan provider yang satu itu. Sehingga seharusnya tidak ada pilihan lagi bagi saya untuk menentukan pilihan pada Andromax Q. Namun, pilihan itu kembali goyah ketika muncul ponsel dengan spek yang sedikit lebih dan harga yang tidak terpaut jauh.

Kemunculan ponsel semacam Infinix Hot Note dengan fitur prosesor Quadcore dan 2GB RAM dengan harga dibawah 1,7 juta tentu membuat saya berpaling. Saya pun segera mencari review terkait ponsel yang baru masuk pasar Indonesia ini. Ponsel ini mengalami penjualan perdananya dengan menggandeng portal jualan online berinisial “L”. Dengan begitu, ponsel ini tidak mudah dijumpai di pasaran macam di BEC. Satu alternatif yaitu dengan membeli dari pedagang yang mengikuti flash sale itu, tentu dengan harga yang beragam.

Well, pada satu hari dimana si HTC sudah benar-benar enggan dicharge, saya segera mendatangi satu toko ponsel dan langsung memilih A6000+. Saya cukup sadar bahwa saya hanya butuh spek ponsel untuk aplikasi yang tergolong umum: chat, messaging, email, mobile office, dan browsing. Tentu keputusan ini didukung review yang telah dibaca sebelumnya. 

Lenovo A6000+ dibekali OS Android Kitkat 4.4.4, prosesor Quadcore 1,2 GHz Cortex A53, RAM 2GB, Dolby Audio, ROM 16GB (upgradeable to 32GB via microSD card), GPU Adreno 306, dan jaringan 4G LTE. Spesifikasi semacam ini masih didukung dengan kamera 8 MP (2MP front camera), layar IPS 5.0 inci, ketebalan 8,2 mm dengan berat hanya 128 gram. 

Bila ingin upgrade ke OS terbaru, bisa langsung diupdate ke Android Lollipop dengan System Update yang tersedia ketika ponsel diaktifkan. Saya tidak langsung mengupdate ke Android Lollipop karena khawatir update terbaru akan mengurangi kualitas kameranya. Seperti saya baca dalam user review di laman www.gsmarena.com.

Ponsel ini sudah cukup mendukung aktifitas harian saya. Pembaca pasti sudah paham rasanya menggunakan ponsel yang 4 kali lebih cepat dari ponsel lamanya. Lumayan menyenangkan ketika harus menulis note ditemani alunan lagu dari sound system berteknologi Dolby. Kalaupun ada yang kurang, dari sisi desain ponsel ini tampil standar dan terkesan tidak menampilkan premium look. LED flash notification di bagian depan pun tidak disertakan dan seperti kebanyakan ponsel Android, tidak saya temukan aplikasi Note bawaan (kecuali Samsung). 

Last but not least, ponsel ini punya value for money yang tinggi. Rasio antara harga dan fitur yang didapatkan pengguna seimbang bahkan diatas rata-rata. Apalagi, ponsel ini sudah mendukung penggunaan jaringan 4G untuk mendukung aktifitas mobile. Ponsel ini tidak terlalu salah bila jadi alternatif pilihan untuk pengguna yang menginginkan kualitas ponsel yang ringan, cepat, dan bersahabat dengan kantong.


Medan Merdeka Barat, 24 Agustus 2015.

Sabtu, 22 Agustus 2015

Transportasi (berbasis) Digital

Sudah kurang lebih sebulan ini saya menjadi pengguna jasa transportasi taksi dan ojek digital. Maksudnya, Uber Taxi dan Gojek yang sedang jadi trending topic saat ini. Kehadiran layanan transportasi semacam ini tidak bisa dihindari lagi. Perkembangan teknologi yang membuat dunia semakin dalam genggaman akhirnya dan kebutuhan transportasi memadukan keduanya.



Kemunculan layanan tersebut adalah imbas dari mobilitas masyarakat Jakarta yang menbutuhkan kecepatan dan ketepatan waktu. Sementara, layanan transportasi massal yang tersedia masih belum dapat diandalkan. 

Pro dan Kontra

Kehadiran layanan semacam itu kini menghadirkan bermacam silang pendapat. Satu sisi, memenuhi kebutuhan angkutan masyarakat dengan cara yang praktis dan harga terjangkau. Namun, dari sisi lain, aspek legal dan keselamatan menjadi isu tersendiri yang harus dihadapi penyedia jasa.

Usaha Pemerintah untuk menertibkan praktek bisnis semacam ini bisa dibilang hanya sebatas 'mengharamkan', dengan menggunakan istilah angkutan liar. Lalu, bagaimana dengan angkutan omprengan yang bisa banyak dijumpai di beberapa daerah di pusat kota Jakarta? Apa karena dilindungi oknum tertentu lantas menjadi legal beroperasi? Toh, kalau kecelakaan sama-sama tidak mendapat jaminan asuransi dari Jasa Raharja walau sama-sama bayar ongkos.

Saya rasa tidak adil bila harus demikian. Semua pihak punya kesempatan yang sama untuk berusaha. Apalagi, dengan tingkat kemacetan dan kecepatan rata-rata per jam yang semakin lambat, membuat manusia Jakarta harus lebih pandai mensiasati kebutuhannya. Termasuk urusan memilih moda transportasi.

Ekonomi Kerakyatan, Seperti Apa?

Bila memang Pemerintah masih menggemborkan istilah 'Ekonomi Kerakyatan", seharusnya Pemerintah memberi kesempatan yang sama pada pengusaha transportasi digital. Toh, metode yang digunakan masih konvensional, namun lebih rapi dn sistematis dengan adanya bantuan dari aplikasi.

Dari sisi rakyat sebagai pengguna layanan, sudah menjadi hal yang wajar bila masyarakat lebih memilih menggunakan jasa transportasi yang terjangkau dan praktis. Sementara di sisi lain, para pengusaha juga bermaksud untuk memajukan ekonomi masyarakat dengan ikut bergabung dan mendapat berbagai keuntungan. Pendapatan lebih, misalnya. Realita yang berkembang justru kebalikannya. Terjadi penolakan di beberapa daerah karena Gojek dianggap merusak pasar ojek pangkalan.

Saya sendiri menjadi pengguna bukan karena sekedar ikutan tren tetapi memang karena butuh. Bayangkan, saya bisa menghemat ongkos untuk berkunjung ke Ciledug, yang bila menggunakan taksi biasa biayanya tak kurang dari Rp. 100.000,- . Sementara, dengan Uber saya hanya membayar Rp. 11.000,- karena memakai kode promosi, dari tarif asli Rp. 86.000,-. Sama halnya dengan Gojek, dari Jl. Dharmawangsa X menuju Lebak Bulus, ojek pangkalan meminta tarif Rp. 30.000,- sedangkan dengan Gojek hanya setengahnya.

Kalaupun, ada hal yang perlu dikritisi adalah soal keamanan pembayaran dimana Uber mensyaratkan penggunaan kartu kredit sebagai metode pembayaran. Untuk hal ini, saya rasa Uber perlu meningkatkan fitur keamanan transaksinya. Lainnya, adalah soal edukasi mengenai safety riding bagi pengemudi kendaraan roda dua.

Saya tentu berharap bahwa adanya moda transportasi konvensional namun sistematis seperti ini tidak lantas menjadikan angkutan semacam ini sebagai 'angkutan liar'. Persoalan penolakan dan pelarangan operasi Gojek seharusnya mendapatkan perhatian khusus karena pembatasan semacam ini justru tidak menghasilkan apa-apa.

Berlabel buatan anak bangsa, alangkah baiknya apabila pengusaha bisa merangkul lebih banyak pengemudi untuk sama-sama menghasilkan keuntungan dan mewujudkan transportasi murah untuk masyarakat.



Dharmawangsa, 22 Agustus 2015.

Rabu, 19 Agustus 2015

Islam di Mata Orang Jepang

Buku ini adalah buku kedua Hisanori Kato yang saya tamatkan. Sebagai seorang Indonesianis, Sato-san tidak hanya melibatkan dirinya hanya sebatas pengamat. Lebih dari itu, ia membaur dan merangkul banyak tokoh dalam penelitiannya ini. Perlu diketahui juga bahwa tokoh-tokoh yang ditulis dalam buku ini juga ditemuinya ketika menulis karyanya yang lain, "The Clash of Ijtihad".


Tulisannya tentang agama Islam di Indonesia menarik sekali untuk jadi bahan diskursus. Terlebih, ia mendatangi sendiri para narasumber dengan berbagai latar belakang yang beragam. Mulai dari tokoh Islam moderat, liberal, hingga fundamental. Perjumpaannya dengan Abu Bakar Baasyir adalah satu hal yang eksepsional dalam buku ini. 

Selain bertemu Abu Bakar Baasyir yang seringkali dituduh melakukan serangkaian kegiatan berbau makar, Kato juga menemui tokoh-tokoh lain yang berpengaruh dalam perkembangan Islam di Indonesia. Ia mendatangi Bismar Siregar, mantan Hakim Agung yang terkenal di zaman Orde Baru; dan Mohamad Sobary, peneliti LIPI. Bahan perbincangan dari keduanya, menjadi bahan pengantar memasuki khazanah Islam di Bumi Nusantara.

Selanjutnya, Kato-san menulis pengalamannya ketika berjumpa dengan para tokoh Organisasi Islam.  Sato-san menemui pemimpin FPI, Eka Jaya, untuk mencari alasan dibalik aksi-aksi yang dilakukan FPI. Ia juga mendatangi Ismail Yusanto dari Hizbut Tahrir Indonesia yang berjuang  mengembalikan sistem kekhalifahan di Indonesia. Dari sisi lainnya, Kato juga bertemu dengan Ulil Abshar Abdalla yang mengibarkan bendera Islam Liberal.

Untuk menyeimbangkan segenap opini yang berkembang dalam buku ini, Kato-san juga memuat catatan pertemuannya dengan Lily Munir. Tentang bagaimana penafsirannya mengenai agama Islam untuk perempuan. Hubungan antara Islam dan Politik kemudian diungkapnya melalui pertemuan dengan Fadli Zon, aktivis mahasiswa yang saat ini bergabung dengan satu partai politik. Terakhir, dan agak panjang, adalah catatan kecilnya ketika bertemu dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid, mantan presiden RI). Saat itu, ia berteman baik dengan Gus Dur dan bicara banyak soal agama islam lokal dan demokratisasi dalam Islam.

Menutup catatan sudut pandangnya ini, Sato-san juga menulis esai singkat tentang perjalanan panjang menuju Islam. Bahwa tokoh-tokoh yang dijumpainya berjuang dengan caranya masing-masing menemukan Islam sebagai jalan hidup menuju kebenaran. Perdebatan mengenai fundamentalisme, liberalisme, feminisme, sosialisme, hingga demokratisasi dalam buku ini adalah nilai-nilai keragaman pemahaman dan pemaknaan atas Islam di Indonesia. 

Dengan demikian, Sato-san telah memberi sumbangan yang amat berarti bagi khazanah Islam di Nusantara. Terutama sejak buku ini berangkat dari tujuan penelitian. Lebih jauh, buku ini merupakan cermin bagi masyarakat Islam di Indonesia. Cermin untuk melihat kembali nilai keislaman kita yang senantiasa kita jalani dan amalkan.

Judul           : Islam di Mata Orang Jepang: Ulil, Gus Dur, sampai Ba'asyir
Penulis        : Hisanori Kato
Penerbit      : Penerbit Buku Kompas
Tahun          : 2014
Tebal          : 176 hal.
Genre         : Agama Islam


Dharmawangsa-Medan Merdeka Barat, 19 Agustus 2015

Selasa, 11 Agustus 2015

Jejak Mata Pyongyang: Sebuah Jejakan

"Sang pemimpin telah menyatakan dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk sosial dengan Chajusong, kreativitas dan kesadaran."
- Kim Jong-Il, On the Juche Idea (1982: 9)



Seno Gumira Ajidarma datang ke Pyongyang sebagai juri pengganti untuk Festival Film Internasional Pyongyang ke-8 pada tahun 2002 silam. SGA menggantikan Marselli Sumarno di ajang bernama Festival Film Negara-Negara Non-Blok dan berkembang Lainnya (8th Pyongyang Film Festival of Non-Aligned and Other Developing Countries). Festival ini berlangsung dari tanggal 4 sampai 13 September 2002. Festival ini berlangsung setiap dua tahun sekali, sebagai negara sahabat Indonesia selalu mengirimkan film dan delegasi kesana.

Buku ini tampil dengan desain lansekap, memuat 10 esai dan 1 tulisan pengantar dengan cetakan warna foto hitam putih. Tampilan seperti ini sungguh mengungkap nilai klasik di setiap karya fotonya. Maklum, saat itu belum musim kamera digital. Sehingga, ia yang sudah terlanjur akrab dengan kamera SLR manual Nikon FM-5 berusaha mendapatkan gambar sebanyak mungkin.

Cerita dibalik datangnya SGA ke negeri komunis ortodoks ini semakin menguatkan profil SGA sebagai kritikus film selain karena bukunya yang berjudul "Layar Kata: Menengok 20 Skenario Pemenang Citra, Festival Film Indonesia, 1973-1992" (Yayasan Bentang Budaya, 2000). Pada buku ini, mohon maaf apabila pembaca tidak banyak mendapatkan jejak mata dari film-film yang beradu di festival. SGA memusatkan perhatiannya pada kota Pyongyang itu sendiri. Kota yang jadi ibukota Republik Rakyat Demokratik Korea, negeri komunis ortodoks yang masih tersisa di muka bumi. Untuk tidak menyebutnya sebagai ibukota Korea Utara.

SGA mengamati bermacam-macam perilaku manusia selama 17 hari masa penugasannya. Ia menghasilkan catatan dan jejak mata berupa foto-foto, yang hanya bisa didapatkan dengan menyiasati berbagai larangan. Ia sendiri heran mengapa baru bisa mulai menulis kembali semua kesan yang menempel diingatannya 10 tahun kemudian.

Kematian Kim Jong-Il punya peran besar dalam penulisan pengalaman yang sudah satu dekade berlalu. Selain itu, cerpennya yang berjudul "Melodrama di Negeri Komunis" yang ditulisnya semasa tinggal di Pyongyang juga sudah dibukukan dalam "Aku Kesepian, Sayang: Datanglah Menjelang Kematian" (Gramedia Pustaka Utama, 2002) dan dimuat kembali dalam harian Media Indonesia, 1 Desember 2002.

Tulisan diawali dengan esai pengantar mengenai alasan kedatangannya ke Pyongyang hingga momen penyadaran yang membuatnya mau menuliskan kembali segenap pengalamannya itu. Satu hal yang tidak pernah berubah. Foto Lenin dan Karl Marx di pusat kota Pyongyang. Esai kedua memuat pengalaman unik  ketika para juri tiba di restoran. Esai ketiga berjudul "Ditempel Intel Mehong", bercerita tentang para pemancing di tepi sungai yang ditemui SGA ketika memotret sambil menikmati pagi. Rupanya, satu diantara pemancing itu adalah seorang intel karena SGA mendapat 'teguran' ketika bertugas sebagai juri pada siangnya.

Potret kehidupan masyarakat yang semakin dalam dapat dibaca pada catatan selanjutnya yang berjudul "Regulasi Cinta & Escort Lady", "Ribetnya Memotret di Pyongyang", "Modernitas Serba Kelabu", "Dalam Penjara Ideologis" dan "Busana Formal Kaum Proletar". SGA mengalami keseragaman total sebagai corak utama negeri yang dibangun atas filsafat komunisme Juche. Seno juga mempersoalkan dialektika materialisme dengan sosialisme, serta hubungannya dengan semangat patriotisme yang menurutnya kelabu. Negara ini juga termasuk unik, karena selalu menganggap dirinya modern, walaupun pemahaman modern disini tidak memiliki arti yang sama dengan modernitas yang dialami negeri komunis lainnya seperti Vietnam dan China.

Seno juga menunjukkan gugatannya atas peranan Negara terhadap kehidupan rakyatnya. Seperti kemunafikan, begitu tulisnya, saat menjumpai permainan judi di lantai dasar hotel yang ditempatinya. Negara sudah jelas menjadi bandar atas permainan judi itu, yang juga merupakan simbol kapitalisme diatas semangat ideologi anti-kapitalismenya.

Saya bersyukur karena tulisan Seno Gumira Ajidarma ini dibuat tidak dalam konteks untuk media tertentu. Sehingga terjadi penyesuaian dimana-mana, dipantas-pantaskan, agar layak bagi pembaca dengan citra yang sudah ditentukan. Alih-alih melaporkan, yang dikerjakan menjadi proyek pencitraan media bersangkutan. Segenap tulisannya ini berusaha menangkap fenomena penindasan rakyat oleh pemerintah negerinya sendiri.

Pandangan untuk melawan imperialisme Amerika Serikat dihayati oleh para pemimpin dan rakyatnya dengan naif. Kesimpulannya, Rakyat Republik Rakyat Demokratik Korea dibangun dengan konsep sebuah studio film, tempat rakyatnya meyakini kehidupan di dalam studio film yang serba artifisial itu sebagai sesuatu yang nyata. Segalanya kembali ke tangan bangsa Korea, untuk merebut sendiri kebebasannya, jika memang pembebasan merupakan suatu jawaban.


Judul        : Jejak Mata Pyongyang
Penulis     : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit   : Muffin Graphics (PT. Mizan Pustaka)
Tebal        : 156 hal.
Tahun       : 2015
Genre       : Travelogue-Esai (dengan gambar)


Dharmawangsa, 11 Agustus 2015.




LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...