Kamis, 30 Desember 2010

Our Garuda Has Landed

...we hate it when our friend become succesful...*

Euforia publik sepakbola nasional kembali meninggi setelah Timnas Indonesia berhasil masuk Final AFF Cup 2010. Usai pertandingan melawan Filipina dimana Indonesia memang sudah duluan kalah 12-0 (dalam hal kegantengan dan ketampanan) publik seakan dibuai bahwa meraih piala AFF yang pertama kalinya adalah bukan keniscayaan semata. Tingkat keyakinan hyper-confident seakan dialami skuad Garuda yang kini dihuni pemain-pemain baru (yang kelak jadi idola baru) macam Irfan Bachdim, Achmad Bustomi, dan Cristian Gonzales.

Ketika wasit meniup peluit panjang tanda Indonesia akan mencoba mengganyang Malaysia di Final, saya sudah menduga bahwa dua partai final itu akan jadi antiklimaks untuk Indonesia. Saya tidak begitu yakin Timnas akan meraih mahkota AFF. Terserah anda mau sebut sekalian menjuluki saya seorang nihilis-pesimis yang antinasionalis.


Memang demikian adanya. Anda boleh kaget, kecewa dan jadi orang pertama yang tidak menerima kenyataan ini. Entah kebetulan atau memang sudah takdirnya mesti begini ternyata memang betul kejadian. Garuda jatuh tertembak laser Melaise. Tanda-tanda itu sudah tersirat. Bukan hanya dari membludaknya jumlah penonton sehingga menimbulkan kerusuhan soal tiket. Ada beberapa alasan yang membuat saya tidak yakin bahwa Timnas akan juara tahun ini.

So, inilah alasan-alasan itu:

1. Setiap Timnas main, masjid selalu sepi. Kadang hanya tinggal muadzin yang merangkap jadi imam sekaligus makmum. Kemana Pak Kiai atau Pak Haji yang biasa berdoa dengan khusyuk itu? Barangkali kalau beliau-baliau itu mau lebih khusyuk dan mampu menggiring umat untuk sama-sama mendoakan Timnas di masjid maka tidak perlulah Timnas diistighosahkan. Semoga Tuhan selalu memberkahi para Muadzin.

2. Suporter yang banyaknya bukan main itu sholatnya dimana? Apakah ada waktu barang sebentar saja untuk sekedar meluangkan waktu sholat? Tentu ada berbagai macam alasan dan juga pembenaran. Entah fasilitasnya memang tidak mencukupi hingga takut tidak kebagian tempat duduk. Bagaimana Timnas mau menang kalau yang mendoakannya saja nggak sholat?

3. Kaos timnas mirip dengan Timnas Portugal. Mantan penjajah juga. Bedanya jelas, mereka punya Cristiano Ronaldo, kita punya Irfan Bachdim. Portugal adalah tim hebat which is nggak pernah juara! Entah di Eropa ataupun dunia. Paling banter, ikut merasakan final. Makanya, Indonesia juga cukup sampai final saja!

Addendum: Ngurus tiket aja nggak bisa kok mau jadi juara?

Itulah beberapa alasan yang cukup simple bagi saya. Tentang kenapa Timnas belum diridhoi Tuhan untuk menggenggam piala AFF tahun ini. Terserah anda, apakah anda punya analisis, pembenaran, atau pendapat sendiri. Ini murni celoteh saya. Buat yang protes, ingat ini blog saya.

Paninggilan, 29 Desember 2010.

* Morissey, We Hate It When Our Friend Become Succesful

mengenang kalahnya Timnas Indonesia secara agregat 4-2 dari Melaise di Turnamen AFF Cup 2010.

Selasa, 28 Desember 2010

The Pace (2)

Life is just a blast, it movin' really fast, so you better stay on top or life'll kick you in the ass...*

Kamis, 9 Desember 2010

Perjalanan ke Banjarmasin adalah satu yang selalu berkesan. Utamanya kalau bicara tentang persiapan. Tujuan perjalanan kali ini adalah untuk mempresentasikan draft pekerjaan sesuai dengan due date yang ada dalam kontrak perjanjian. Untuk itu, memang sudah seharusnya dokumen-dokumen kerja disiapkan sehari sebelumnya. Tapi, justru itulah yang membuat perjalanan ini selalu berkesan.

Rupanya, saya masih terjerat kebiasaan lama untuk menyelesaikan laporan menjelang dini hari, pukul 01.00 laporan dan semua dokumen baru selesai dipersiapkan. Makanya, saya hanya punya sedikit saja waktu istirahat karena pukul 04.00, taksi yang akan mengantar kami ke Bandara akan sudah standby sejak pukul 03.30.

Dengan mata yang masih pedas, tim yang cuma dua orang ini melangkah gontai untuk sekedar menyegarkan diri. Adzan subuh pun belum di telinga ketika kami menyusuri tol yang sepi. Jalanan kosong berteman lampu temaram seperti menapaki ketiadaan. Usai sholat subuh dan check-in kami melanjutkan istirahat di boarding lounge.

Cuaca memang tidak terlalu cerah ketika pesawat take-off. Karena memang masih mengantuk, kami sepakat untuk tidur saja sepanjang penerbangan 1,5 jam. Lumayan, untuk menambal jam tidur. Lagipula, pramugari dengan belahan rok sampai paha itu tidak akan sengaja membangunkan kami kecuali untuk hal yang benar -benar penting.

Singkat cerita, landasan di Bandara Syamsudin Noor menyisakan basah sisa hujan semalam. Aroma tanah basah dan memori Pakutik saling berkejaran. Cacing dalam perut pun mulai bernyanyi minta diisi. Tidak banyak pilihan memang untuk sarapan pagi di foodcourt bandara. Kalau saja kami dijemput, tentu saya akan lebih memilih sarapan di rumah makan Soto Banjar di Martapura. Saya lupa namanya tapi kalau saja diberi kesempatan kembali kesana saya masih ingat tempatnya.

Akhirnya, kami makan di foodcourt yang punya menu soto banjar. Walau harus kena injury time 15 menit. Sambil menunggu, saya mengenang kembali perjalanan pertama ke Banjarmasin, sarapan di D*nkin Donat, menunggu jemputan, tanda tangan kontrak, makan siang di RM Depot Madina (recommended, potongan ikan patin bakarnya gede banget!), lanjut ekstraksi data ke BPN Banjarmasin (harap dicatat: Bandara Syamsudin Noor terletak di Banjarbaru, sekitar 25 KM dari Banjarmasin), kembali ke Banjarbaru, makan malam di RM Asian, dan menghabiskan malam sambil menonton pertandingan Brazil.

Tugas ini memang terhitung berat semenjak Senior Geologist kami "dipinjam" oleh Rekanan. Terlebih lagi pengalaman saya di bidang pertambangan masih minim bahkan hampir nihil, kecuali pertambangan data di bidang Information Retrieval yang biasa disebut Data Mining. Alhasil, saya hanya punya modal PD Tingkat Dewa untuk berhadapan dengan komite penilai perusahaan mitra.

Semua berjalan lancar setidaknya sampai waktu makan siang tiba. Jamuan makan siang dengan ragam menu ikan pun terbilang baik, di restoran Simpangan, tak jauh dari batas kota Martapura-Banjarbaru. Kalau saja rencana pekerjaan ini masih berlanjut hingga esok mungkin saya lebih memilih di Restoran Seafood Asian. Saya bersyukur masih mempunyai waktu jeda untuk sekedar mempersiapkan diri fokus ke permasalahan pekerjaan. Sedikit tegang memang namun saya tetap percaya bahwa Tuhan pun tidak akan tinggal diam menyaksikan hamba-Nya yang sedang ditimpa kegalauan (emangnya saya ini siapa? Hehehe).

Berkat andil "Tangan Tuhan" yang bekerja dengan caraNya sendiri saya tetap merasa PD. Setelah makan siang, kami kembali membahas hal-hal yang belum sempat dikoreksi bersama. Bab per bab, dengan kantuk yg mulai menggila. Data eksplorasi, sebaran cadangan batubara, data kependudukan, analisa investasi dan keuangan, menjadi menu wajib selanjutnya. Masih dengan kantuk yang mulai padam. Menjelang adzan maghrib (WITA) kami semua sudah menyepakati data-data yang akan direvisi kemudian. Entah kapan, akhir tahun atau awal tahun sepertinya saya masih harus kembali untuk menyelesaikan beberapa dari sesuatu yang tertunda. Rupanya, diluar sana hujan turun lebih deras. Lebih deras dari hujan-hujan di Pakutik. Segera saja kami pamit diantar mobil ke hotel tempat kami akan menginap.

Ada beberapa pilihan untuk menghabiskan malam di Banjarbaru. Namun, pilihan selalu jatuh pada Hotel Rahayu, persis di depan SPBU dan Bank Mandiri Banjarbaru. Hujan belum juga reda dan malam baru saja membuka mata. Rintik gerimis sesaat mengingatkan kami bahwa kami berada ratusan kilometer jauhnya dari Pondok Indah Mall. Artinya, memang sedikit pilihan untuk makan malam. Untung saja, tak jauh di seberang hotel ada warung seafood pinggir jalan yang selalu ramai. Setidaknya, sudah setengah jam ini saya perhatikan dari jendela hotel. Kami pun segera turun untuk makan malam di warung itu.

Usai makan malam, kami belanja keperluan perbekalan untuk besok. Mengingat pesawat kami yang first flight in the morning itu, tidak menyisakan banyak waktu bagi kami untuk sekedar mencari sarapan. Di supermarket sebelah hotel itu pun kami belanja, sambil menatap aneh pada gerobak tukang baso tusuk tak jauh dari tempat parkir. Kami putuskan untuk mampir sejenak sambil ikut menikmati baso tusuk.

Saya jadi ingat, dulu di Pakutik setiap sore selalu ada tukang baso tusuk yang mangkal di depan lapangan badminton. Anehnya, selalu banyak penggemarnya, tidak pernah sepi. Bedanya, disini basonya lebih besar. Satu porsi dijual seharga Rp. 8.000,-, sudah lengkap dengan baso sapi ukuran sedang 3 butir dan 1 baso besar, pilihannya bisa dipotong atau tetap dengan versi original. Yang membedakan dengan bakso lainnya adalah cara makan saja. Namanya bakso tusuk ya makannya ditusuk sambil dicocol ke dalam saus atau kecap tidak memakai kuah. Habis sudah penasaran. Lain lubuk lain ilalang. Lain daerah lain baksonya.

Malam makin meninggi, 22.30 WITA. Mungkin dirumahmu masih pukul 21.30 dan kantuk belum pasti akan segera menyerangmu. Rintik gerimis belum juga usai. Kota semakin sepi. Satu-satu terdengar laju kendaraan yang menapak basah. Entah pukul berapa, kami pun tertidur dengan TV dan AC yang sengaja tidak dimatikan. Just a half way to go home.


10 Desember 2010

Alarm mulai berdendang pukul 04.00. Saya segera mandi dan bersiap sholat subuh sementara rekan saya masih pulas. Rencananya, mobil travel yang akan membawa kami ke Bandara akan tiba pukul 04.30. Usai checkout, kami segera menunggu di lobby hotel. Udara sekitar masih dingin ditemani sisa-sisa gerimis semalam. Masih dengan kantuk yang menggila, kami menuju Bandara yang ternyata sudah menampakkan denyut kesibukan.

Walaupun sudah tiba di Bandara pukul 05.20 ternyata antrian untuk check-in sudah padat merayap. Saya tidak tahu apa jadinya bila kami telat barang lima menit. Mungkin, we will be the last to go. Thanks God, rupanya ada loket yang sengaja dibuka untuk menghandle antrian. Tiket sudah confirmed, bayar airport tax plus retribusi daerah, it’s time to waiting (again). Tak lama kemudian, pintu keberangkatan dibuka dan kami diperbolehkan menaiki pesawat. Entah kenapa, yang terngiang di benak saya hanyalah lagu Michael Buble, “...let me go home..... i’m just too far from where you are...”, padahal baru sehari saja menapak kembali di Bumi Lambung Mangkurat.

Take off. Yeah, we’ll be in Jakarta right away. Karena hanya awan mendung menggantung di sisi jendela lebih baik saya tidur saja. Saya terbangun ketika pramugari yang roknya belah 3/4 paha itu membangunkan saya untuk memperbaiki posisi duduk. Kiss landing, we’re on Cengkareng now. Kok masih mendung ya?

Sambil sarapan, saya melamun dan membayangkan apa yang akan saya lakukan weekend besok. Tak hanya itu saja, saya juga segera mempersiapkan laporan perjalanan dinas untuk segera disimpan di kantor. Mudah-mudahan, weekend ini akan berakhir di Bandung. Itulah yang ada di benak kami berdua.

Saya pikir perjalanan kembali ke kantor akan jadi sesuatu yang biasa saja. Tapi, bukankah justru hidup itu sendiri sudah tidak seperti biasanya? Benar saja, saya mendapat telepon untuk segera merapat ke Ditjen Minerbapabum di Tebet. Padahal, taksi kami masih terjebak macet usai keluar tol di Karang Tengah. Alhasil, kami segera masuk tol dalam kota via Meruya yang macetnya juga minta ampun. Ya sudahlah, saya masih punya waktu istirahat tambahan sambil deg-degan membayangkan urusan di Ditjen. Khawatir? Ya, sangat.

Selesai urusan di Ditjen, kami berdua segera kembali ke kantor. Mengingat ini hari Jum’at kami tentunya berharap tiba sebelum waktu Shalat Jum’at. Rupanya, waktu tidak mengizinkan sehingga kami harus turun di depan masjid yang biasa menggelar Jum’atan. Masih dengan peralatan dan muka yang kusut.

Tak perlu kami ceritakan apa yang kami lakukan saat khutbah Jum’at. Yang pasti kami kembali ke kantor dan segera merapihkan hasil pekerjaan kemarin lalu segera beristirahat. Kalau tidak terlalu lelah, sore ini mungkin kami ke Bandung. Besok saya ada janji dengan seorang kawan. Apa yang terjadi selanjutnya memang bukan kejutan lagi. Kami berdua masih nguplek data sampai tengah malam karena meeting baru selesai menjelang pukul 23.00 Waktu Bagian Republik Ciledug. Memang kadang sesuatu berada di luar kendali kita. Apa yang direncanakan memang belum tentu sesuai kenyataan. Tetapi, bukankah hal-hal seperti itu yang juga menjadikan hidup ini sesuatu yang worth living?

Bandung? Masih ada Sabtu pagi.



Banjarbaru-Tebet-Paninggilan, 10 Desember 2010.

*) OST Mission Impossible II, Limp Bizkit - Take A Look Around

Minggu, 19 Desember 2010

Penolakan

Aku tunggu engkau, aku tunggu engkau... Rupanya engkau forget to me... *

Selama kurang lebih tiga hari mengikuti Latihan Disiplin dan Kepemimpinan di Bhumi Marinir Cilandak ada beberapa hal penting yang saya pelajari kembali. Entah itu menemukan kembali nasionalisme yang sudah mulai luntur, makna teamwork dalam aplikasi yang sesungguhnya di medan laga, hingga kontrol diri. Barangkali, kalau semua itu saya ceritakan satu per satu tentu akan menghilangkan esensi dari judul tulisan ini. Biarlah jari-jari saya menulis cerita-cerita itu nanti di lain episode.

Pada hari kedua latihan, Pelatih berpangkat Letnan Satu yang juga Komandan Kompi kami berpesan sambil mengevaluasi performance kami dalam hal teamwork. Beliau bilang "ingat, laki-laki itu egois...".

Dalam konteks pembinaan mental teamwork hal itu bisa menjadi dasar mengapa kita disana melakukan latihan ini. Permainannya pun terhitung sedehana tetapi bila direnungkan kembali akan memiliki makna yang sangat dalam, juga bila dikaitkan dengan pernyataan Pelatih itu tadi.

Hari ini, tepat sebelum kami membubarkan diri dari latihan mountaineering, pelatih itu berpesan lagi "..laki-laki itu cuma punya satu kelemahan... Takut Ditolak...".

Barangkali memang egois dan sikap takut ditolak ini saling berhubungan erat. Egois, sepanjang pengalaman saya memang telah menjadi sesuatu yang disadari atau tidak bisa membawa manfaat atau malah sebaliknya. Sifat egois ini juga bahkan didominasi oleh kaum laki-laki.

Saya tertawa simpul dalam hati sembari mengangguk tanda membenarkan perkataan pelatih. Saya melakukan itu karena saya pun telah mengalaminya. Saya tidak ingin ditolak untuk mendapatkan apa yang saya inginkan. Apalagi dalam urusan asmara, moro seneng, pekerjaan, dan lain sebagainya

Saking egoisnya, sampai kadang saya tidak menerima satu penolakan atas apapun yang saya inginkan. Penolakan sering berarti juga kegagalan. Setiap penolakan berarti kegagalan. Dengan begitu, bila sudah menemui kegagalan pilihannya hanya tinggal maju terus pantang mundur karena badai pasti berlanjut atau berjalan mundur perlahan sambil mengambil sikap bunuh diri. Kalau perlu, pinjam sekalian kredo-kredo di sekeliling Ksatriaan, contohnya: Pantang pulang sebelum menang, agar kegagalan itu tidak jadi batu sandungan.

Saya seakan disadarkan kembali bahwa sebesar apapun penolakan itu pasti membawa hikmah. Saya percaya Tuhan telah memberikan hal itu pada saya karena Tuhan pun tahu saya mampu mengatasi hal itu. Saya kembali membuka mata, hati dan pikiran kepada proses-proses kehidupan agar setiap penolakan-penolakan itu mampu saya atasi. Minimal, saya bisa memperkecil dampaknya karena imbasnya sangat buruk bagi kesehatan mental. Saya masih harus terus belajar. Belajar mengikuti dan menjalani proses kehidupan demi hasil yang dicita-citakan.


Cilandak-Paninggilan, 18 Desember 2010. 21.01

* prelude yel yel Pasukan Siswa Latihan Dispim Kemhub, 14-18 Desember 2010 di Ksatriaan Hartono, Brigif II Marinir, Bhumi Marinir Cilandak. Dinyanyikan pada setiap kesempatan latihan lapangan.

Jumat, 10 Desember 2010

Friend Said This! Eps. 2

"Boong banget lah kalau cewek gak seneng diperhatiin"


Banjarbaru-Tebet-Paninggilan, 10 Desember 2010.


* mengenang pesan sahabat via japri

Selasa, 07 Desember 2010

Friend Said This!

xxx_zzzzz: "keun weh dasar kudu jeung nu leuwih hade didinya mah"


Paninggilan, 7 Desember 2010.


* mengenang pesan sahabat via Messenger, terjemahan lihat Google Translate

Minggu, 05 Desember 2010

Very Like This, Lah!

Ooh … jatuh cinta itu indah sekali …

Karena,

Belum ada keharusan untuk
...bayar sewa rumah, rekening listrik, perbaiki pompa air yang rusak, mertua yang turut campur, istri boros, suami kasar, tak suka kesukaan masing-masing, dan saling merahasiakan sms dan bbm.


Itu sebabnya, bila Anda jatuh cinta, pastikanlah Anda jatuh cinta kepada orang yang akan tetap mencintai Anda, dan yang akan tetap Anda cintai.


Mario Teguh


Paninggilan, 5 Desember 2010. 16.33

*Dicopy-paste dari page FB Mario Teguh

Sabtu, 04 Desember 2010

Saya Tidak Percaya Bahwa Saya Menulis Hal Yang Demikian Eps. 4

To: xxxx_mmmmmm@yxxxx.com
Subject: Surga Pada Semangkok Soto: Kebahagiaan Untuk Sahabat Kita



Dear Mi Amigos,

Kebahagiaan bisa ditemukan pada apa saja. Bukan pada secangkir kopi Starbucks (yang digulain sekilo juga tetep ga manis) atau pada manisnya roti coklat Breadtalk.

Kebahagiaan bisa datang kapan saja, entah ketika baru gajian atau pas lagi cengkak. Pas lagi rieut nyusun skripsi atau pas lagi mimpi.

Kebahagiaan bisa datang dimana saja. Kita tidak selalu harus ke Paris untuk tahu artinya bahagia*, justru teman kita yang satu ini menemukan kebahagiaannya di warung soto pinggir jalan saja.

Kebahagiaan bisa datang dan pergi sesukanya, tak peduli engkau bakal sakit ketika ditinggalkannya, karena ia akan tetap tega.



Bukit Pakar Timur, 2 Agustus 2008.


-telah mengalami proses editing dari postingan e-mail-

*pada salah satu cerpen SGA didalam "Dunia Sukab" Gramedia, 2001

Kamis, 02 Desember 2010

It's Just The Life We Can't Repeat?

Suatu malam, sambil menyelesaikan laporan-laporan yang tercecer tanpa sengaja saya menemukan lagu ini. Lagu lama dari The Offspring, band punk rock asal Amerika Serikat. Thanks God It's 4Shared! Sudah lama sekali saya mencari judul lagu ini. Karena, waktu pertama kali mendengar dan menyimak videonya sekitar tahun 2005 saya tidak terlalu ingat lirik apalagi judulnya. Saya pernah iseng-iseng mencoba download karena saya pikir judulnya "Self Esteem". Kepedean. Padahal setelah selesai diunduh, lead intro-nya jauh banget, beda. So, saya salah. Sejak saat itu, perhatian saya terpecahkan. Hanya menyisakan sedikit penasaran. Berharap tahu suatu saat nanti.

Finally, God's hands works with His own pattern. Sambil menyusuri kembali laman www.letssingit.com, situs langganan untuk mencari lirik lagu, saya iseng lagi mengklik lirik "Can't Repeat" karena rasanya saya pernah mendengar yang ini. Betul saja, pilihan saya tidak salah. Setelah selesai mengunduh filenya, saya bisa memastikan bahwa memang lagu ini yang saya cari.

Menyimak kembali lagu ini artinya sama saja dengan menatap kembali lembaran-lembaran kehidupan yang telah saya lalui. Semua itu telah terlalui dan tidak akan bisa kembali terulang. Seperti apa yang mereka bilang, "Memories are bittersweet... The good times we can‘t repeat..". Yeah, bittersweet. Seperti judul lagu Olivia Ong. Hal positifnya adalah bahwa hidup ini tidak akan terulang kedua kalinya. Episode kehidupan akan terus berjalan tanpa harus menunggu aktornya beres shooting atau tidak sekalipun. Roda-roda nasib terus berputar, perjalanan panjang semakin membentang.



Ini liriknya, sekaligus sebagai pengingat untuk sekedar "mengaca" kembali. Bahwa, life goes on, so now we must move ahead, despite our fear and dread. Be positive!

Song Title: Can't Repeat
Artist: The Offspring
Album: Greatest Hits (2005)

I woke the other day
And saw my world has changed

The past is over but tomorrow‘s wishful thinking

I can‘t hold onto what‘s been done

I can‘t grab onto what‘s to come

And I‘m just wishing I could stop, but


Life goes on

Come of age

Can‘t hold on

Turn the page


Time rolls on

Wipe these eyes

Yesterday laughs

Tomorrow cries


Memories are bittersweet

The good times we can‘t repeat

Those days are gone and we can never get them back

Now we must move ahead

Despite our fear and dread

We‘re all just wishing we could stop, but


Life goes on

Come of age

Can‘t hold on

Turn the page


Time rolls on

Wipe your eyes

Yesterday laughs

Tomorrow cries


With all our joys and fears

Wrapped in forgotten years

The past is laughing as today just slips away

Time tears down what we‘ve made

And sets another stage

And I‘m just wishing we could stop




Paninggilan, 2 Desember 2010. 20.26

* video yang diembed adalah bukan versi resmi channel The Offspring on Youtube.

Selasa, 30 November 2010

Membaca Kembali Aki Melalui Manifest

Mengacu kepada judul diatas, rasanya kita tidak akan pernah berpaling lagi pada sosok lain selain Achdiat K. Mihardja (alm). Begawan sastra Indonesia yang menghabiskan sebagian banyak umurnya di Negeri Kangguru sana. Penulis yang juga menghasilkan karya-karya besar lainnya seperti Atheis (Novel, 1949) dan Debu Cinta Bertebaran (Novel, 1973) memiliki beberapa keistimewaan yang menjadikannya sebagai saksi zaman.

Aki, begitu beliau biasa dipanggil, berumur panjang, sempat menyaksikan epos pasang-surut perkembangan perjalanan bangsa sepanjang penggalan abad ke-20 dan 21. Beliau adalah legenda yang menjelmakan suka-derita Indonesia. Pada kalbunya mengendap falsafah hidup tentang arti kemanusiaan yang mudah beralih menjadi adi-kegetiran jika ketamakan dan kepongahan melalaikan manusia dari misi kemanusiaan.


Beliau terlahir dari generasi yang dipersatukan oleh pengalaman yang sama dengan genersi Intelektual zaman Soekarno. Sama-sama produk awal pendidikan Politik Etis, sama-sama tumbuh dalam gelombang pasang kemunculan dan pertentangan ragam ideologi-politik, sama-sama menciptakan tanda "indonesia" sebagai komunitas impian baru, sama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan kelak sama-sama dikecewakan oleh rezim Orde Baru.

Proses pencarian beliau tertuang dalam manifest yang beliau beri nama sebagai "Manifesto Khalifatullah". Melihat kepada penamaan tersebut, menandakan pada proses pencarian untuk menemukan tugas penciptaan. Semua makhluk memiliki tugas penciptaan. Suatu tugas dalam bentuk pendelegasian kasih sayang Tuhan dengan menjadi Khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi. Sayangnya, tidak semua manusia menyadari tugas penciptaan tersebut. karena iblis tidak pernah diam dan tidak pernah mati untuk senantiasa menggagalkan terwujudnya pencapaian tugas tersebut. Begitulah, yang ingin Aki sampaikan melalui manifestnya ini.

Walaupun lebih berbentuk novel, Aki enggan menyebutnya demikian. Aki lebih suka menyebutnya "kispan" alias Kisah Panjang. Ini mungkin disebabkan karena Aki ingin membagi rekaman perjalanan intelektual dan spiritual yang dialaminya. Karena memang tidak mudah untuk menghadapi berbagai pertemuan dan pertentangan dengan aliran-aliran pemikiran yang dianut orang-orang macam Karl Marx, Engles, Siddharta, Adam Smith, dan Nietzsche.

Satu lagi yang membuat manifest ini sungguh berarti adalah bahwa Manifesto Khalifatullah ini ditulisa dalam keadaan mata Aki yang hampir buta. Proses penulisannya pun harus diselesaikan oleh seorang typist komputer. Maka rasanya tidak salah bila dalam testimoninya, Taufiq Ismail mendeskripsikan Manifesto Khalifatullah sebagai semacam rangkaian kuliah penutup tentang makna kehidupan dari seorang Dosen Sastra Emeritus.

Judul: Manifesto Khalifatullah
Penulis: Achdiat K. Mihardja (1911-2010)
Penerbit: Arasy Mizan, 2005
Tebal: 215 hal.
Genre: Memoar


Blok M-Paninggilan, 30 November 2010. 21.05



Selasa, 23 November 2010

Mereka Yang Datang dan Pergi

Rasanya tidak berlebihan bila pada akhir bulan Oktober kemarin adalah akhir bulan yang paling sukses untuk Jakarta. Betapa tidak, hanya selang beberapa hari Jakarta sukses menggelar konser dua musisi legendaris (sebenarnya empat plus Natalie Cole dan Peter Cetera, namun mereka masuk dalam rombongan David Foster) yang selalu dinanti penggemar setianya.

Kebetulan, entah karena Indonesia sedang mengalami bencana atau mungkin para teroris itu tidak mengerti musik dan juga paham siapa itu mereka, alhasil kedua pertunjukan itu dapat berlangsung dengan sukses. Sehingga, Indonesia masuk dalam catatan perjalanan David Foster & Friends, Simply Red, Kenny G, dan baru-baru ini Megadeth, yang kalau juga tidak ada halangan akan menggoyang Jakarta.

Barangkali juga, mereka sempat menulis "Hallo Indonesia, I was here" di sprei kasur atau dinding toilet hotel tempat mereka menginap. Berbeda sekali dengan kejadian tur Manchester United ke Indonesia medio tahun lalu yang diwarnai aksi teroris sehingga The Fergie Boys batal merumput di Senayan. Untungnya, bisnis pertunjukan tidak mengalami gangguan berarti. Padahal, kalau dipikir-pikir idelogi tersembunyi yang tersirat dalam musik bisa jadi musuh utama "teroris".

Adalah suatu anugerah bila dalam suasana berduka akibat berbagai macam "kekacauan domestik" masih ada musisi dunia yang menyempatkan mampir di Indonesia. Even, hanya untuk sekedar mengajak penonton bernostalgia. Lupakan sejenak penat dalam hiruk pikuk kemacetan Jakarta untuk mereka yang kebagian tiket front row. Lupakan juga tangis duka saudara-saudara kita di Wasior, Mentawai, dan wedhus gembel Merapi, karena esok pagi kembali. Dan kita akan tertawa bersama-sama lagi.

Rangkaian itu pun kemudian masih ditambah dengan kunjungan Obama. Kunjungan bilateral atas nama Trade and Democracy (versi BBC). Barangkali, Obama perlu menyaksikan sendiri bagaimana cara bangsa ini mengejawantahkan paham demokrasi barat. Dan contoh yang paling sederhana untuk itu adalah cara pemerintah menghandle dan mengeksekusi cara penanggulangan bencana. Obama juga perlu melihat sendiri gambaran bencana di Indonesia.

Mereka datang dan pergi. Berlalu bersama kesan dari abu Merapi. Merapi telah menyambut mereka karena Merapi tak pernah ingkar janji.



Paninggilan-Gambir, 22 November 2010. 00:56

Celoteh Malam

Kadang-kadang perasaan selalu ingin sendiri, menyendiri, menyepi jauh dari keramaian dunia sering menghinggapi. Entah apa sebabnya. Barangkali juga momen-momen seperti itu bisa menjadi sarana refleksi, introspeksi sekaligus retrospeksi menyeluruh. Menuju kedalaman dasar hati dan jiwa dengan penuh kejujuran.

Sudah sering hal seperti itu terlintas. Mungkin ada baiknya juga untuk menghela nafas sejenak. Demi menyiasati kehidupan yang selalu berjalan rutin dan kadang-kadang membosankan. Betapa seringnya hal itu terlintas dalam lubang pikiran yang menganga.

Seringkali juga hadir pertanyaan-pertanyaan yang entah dimana jawabnya. Tentang mengapa kehidupan kadang tidak selalu berpihak. Tentang mengapa hidup selalu tetap seperti itu, tidak seperti mimpi yang selalu berubah tiap malam. Barangkali juga mengapa hidup ini juga kadang terasa sebagai sebuah kenikmatan. Tentang besarnya karunia Tuhan atas tata kosmologis kehidupan tiap insan.

Sudah sering hal-hal semacam itu menghinggapi. Walau kadang dihantui semacam kekhawatiran bila nanti itu semua tidak ada gunanya. Kehilangan esensi hakiki, makna dari entitas kehidupan itu sendiri. Berubah jadi hal-hal yang tak selesai. Lalu, dengan entengnya meminta bantuan Tuhan agar kelak bisa selesai semuanya. Sungguhlah Tuhan telah biasa terbebani.

Rasanya perlu untuk sesekali meracik kembali bumbu-bumbu kebahagiaan dari bahan dasar yang sudah terlanjur disediakan oleh hidup ini sendiri. Atau malah justru merenkonstruksi kembali jalanan yang sudah tertempuh sejauh ini hanya untuk memastikan bahwa jauh di depan nanti tidak ada lagi kerikil-kerikil tajam yang menjadi sebab kekhawatiran yang juga awal dari kesengsaraan.

Betapa saya merindukan kembali saat-saat itu. Kala galau mulai meraja. Merajuk, memaknai serentetan kegagalan atas segenap pencapaian.



Paninggilan, 09 November 2010. 00.45

Rabu, 17 November 2010

Saya Tidak Percaya Bahwa Saya Menulis Hal Yang Demikian Eps. 3

Memang demikian adanya. Saat membaca status seorang teman di facebook, yang menyodorkan pertanyaan lengkap dengan pilihan jawaban layaknya soal ujian favorit: pilihan ganda.

"Selain orangtua, siapakah orang yang Anda anggap paling berjasa dalam hidup anda? A) Pasangan B) Guru C) Atasan, atau anda punya jawaban sendiri?"

Melihat opsi pilihan seperti itu, jelas yang ada di benak saya adalah opsi jawaban diluar semua pilihan diatas: D. Diri saya sendiri. Berbeda dengan komentator lainnya yang menjawab sesuai opsi. Saya tidaklah sendirian karena ada juga yang menganggap Celine Dion, pelantun My Heart Will Go On itu sebagai idola yang paling berjasa dalam hidupnya. Saya rasa itu cukup beralasan entah karena perasaan narsis atau paham “everyman himself” yang sedang saya anut.

Saya rasa semua orang pun sama. Diakui atau tidak, diri kita sendiri berperan utama dalam jalan hidup masing-masing. Sebagai contoh, bila diri kita sendiri tidak sadar bahwa ada orangtua yang mencurahkan segala kasih sayangnya, bila kita tidak mau mengalah dan sanggup untuk menerima sebagian ilmu dari guru-guru kita, apakah kita akan jadi seperti sekarang? Itulah sebabnya, mengapa saya begitu yakin bahwa peran dari dalam diri sendiri pun ikut memiliki pengaruh paling tinggi atas segenap episode kehidupan.

Bagaimanapun, saya tidak bisa menghindari fakta bahwa mereka memang telah memiliki peran dan jasa-jasa yang hingga saat ini belum bisa saya balas. Walau hanya untuk sekedar mengucapkan terima kasih saja. Terutama kepada orang tua dan guru-guru yang telah lebih dari bersedia untuk menanggapi segenap kebodohan saya.

"I will stand for my dreams if I can, symbol of my faith in who I am..."*



Paninggilan-Gambir, 16 November 2010. 08.59


*dari lirik lagu Immortality, dnyanyikan oleh Bee Gees & Celine Dion.

Jumat, 12 November 2010

The Unforgiven (II)

Sama merdunya dengan yang pertama. Nyanyikan dengan syahdu. Seraya mengiringi hari-hari sepi.




Lay beside me, tell me what they've done
Speak the words I wanna hear, to make my demons run
The door is locked now, but it's open if you're true
If you can understand the me, than I can understand the you

Lay beside me, under wicked sky
The black of day, dark of night, we share this paralyze
The door cracks open, but there's no sun shining through
Black heart scarring darker still, but there's no sun shining through
No, there's no sun shining through
No, there's no sun shining...

What I've felt, what I've known
Turn the pages, turn the stone
Behind the door, should I open it for you....
What I've felt, what I've known
Sick and tired, I stand alone
Could you be there, 'cause I'm the one who waits for you
Or are you unforgiven too?

Come lay beside me, this won't hurt I swear.
She loves me not, she loves me still, but she'll never love again
She lay beside me, But she'll be there when I'm gone
Black heart scarring darker still, yes she'll be there when I'm gone
Yes, she'll be there when I'm gone
Dead sure she'll be there...

What I've felt, what I've known
Turn the pages, turn the stone
Behind the door, should I open it for you....
What I've felt, what I've known
Sick and tired, I stand alone
Could you be there, 'cause I'm the one who waits for you
Or are you unforgiven too?

Lay beside me, tell me what I've done
The door is closed, so are your eyes
But now I see the sun, now I see the sun
Yes now I see it

What I've felt, what I've known
Turn the pages, turn the stone
Behind the door, should I open it for you....
What I've felt, what I've known
So sick and tired, I stand alone
Could you be there, 'cause I'm the one who waits,
The one who waits for you....

Oh what I've felt, what I've known
Turn the pages, turn the stone
Behind the door, should I open it for you....
(So I dub thee unforgiven....)
Oh, what I've felt....
Oh, what I've known....
I take this key (never free...)
And I bury it (never me...) in you
Because you're unforgiven too....
Never free....
Never me....
'Cause you're unforgiven too....

Taken from the album, ReLoad (1997)



Paninggilan, 12 Noviembre 2010.

The Unforgiven

Entah kenapa, lagu ini terasa sangat merdu akhir-akhir ini.





New blood joins this earth
And quickly he's subdued
Through constant pained disgrace
The young boy learns their rules

With time the child draws in
This whipping boy done wrong
Deprived of all his thoughts
The young man struggles on and on he's known
A vow unto his own
That never from this day
His will they'll take away

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never be
Never see
Won't see what might have been

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never free
Never me
So I dub thee unforgiven

they dedicate their lives,
to ruining all of his
He tries to please them all
This bitter man he is
Throughout his life the same
He's battled constantly
This fight he cannot win
A tired man they see no longer cares
The old man then prepares
To die regretfully
That old man here is me

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never be
Never see
Won't see what might have been

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never free
Never me
So I dub thee unforgiven

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never be
Never see
Won't see what might have been

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never free
Never me
So I dub thee unforgiven

Never free
Never me
So I dub thee unforgiven

You labeled me
I'll label you
So I dub thee unforgiven

Never free
Never me
So I dub thee unforgiven

You labeled me
I'll label you
So I dub thee unforgiven

Never free
Never me
So I dub thee unforgiven...

Taken from Metallica, The Black Album, 1991


Paninggilan, 12 November 2010.

Minggu, 31 Oktober 2010

Membaca Emha

Kaya tidak berarti jaya di mata Tuhan atau di skala dunia akhirat. Miskin tidak berarti kehinaan. (Tuhan Tidak Murka)



Itu yang pertama. Singkat kata, pesan itu (buat saya) mengandung makna optimisme yang sangat.

Selanjutnya.

Berumah tangga itu bagaikan rasa pedas. Rasa pedas tidak bisa diinformasikan meskipun melalui sepuluh tesis ilmiah para doktor. Ia hanya bisa dialami. Kalau seseorang mengulum isi lombok barang satu menit, baru ia ngeh tentang apa itu rasa pedas. Waktu dibayangkan, ia adalah kehangatan dan kenikmatan, sesudah dikulum baru tahu itu panas.

Istri tidak sama dan sebangun dengan jodoh, seperti juga jodoh tidak identik dengan istri. Istri belum tentu jodoh, jodoh juga belum tentu jadi istri. Jodoh adalah suatu pengertian obyektif tentang komposisi dan harmoni antara dua manusia. Tetapi juga bisa dipahami di luar frame itu: jodoh adalah dua titik yang ditentukan oleh (sunnah) Tuhan untuk menyatu, terserah secara obyektif ia harmonis atau tidak. Sebab orang lembut tidak harus memperoleh harmoni dengan orang lembut. Bisa sebaliknya: ada yang namanya dialektika, atau kematangan karena konflik. (Kawin Gelap, Poligami, Negara...)


And i truly have no idea about that.


Pharmindo-Paninggilan, 24 Oktober 2010. Saat Jakarta dilanda kemacetan yang (katanya) parah.


*dua artikel tersebut dapat dibaca dalam buku Emha Ainun Nadjib, "Kiai Untung, Kiai Hoki, Kiai Bejo", Penerbit Buku Kompas, 2007.

30 Hari, 30 Lirik

Ketika engkau sedang membaca semua lirik ini, terserah apa yang ada di dalam pikiranmu. Bilang saja aku sedang mengalami broken heart, silakan. Galau? Mangga.

Sepuluh hari pertama

1. Thinking 'bout you every night and find out where i am, i'm not livin' in your heart.
(Olivia Ong - Koini Ochite)

2. Mengertilah aku resah, mungkinkah aku cemburu... Tolonglah tenangkan aku, putuskan dia bercintalah denganku. (Melly Goeslaw - Bercintalah Denganku)

3. If i could ask God just one question, why are'nt you here with me? (Mandy Moore feat. Jonathan Foreman)

4. For years i've been telling myself the same old stories... And now i know i've already blown much chances than anyone should ever gets... (Hugh Grant - Don't Write Me Off)

5. Dont ask me why, the times has passed us by, someone else moved in from far away... (Bee Gees - First of May)

6. Bukan aku meragukanmu tapi sungguh ku tak ingin, engkau jauh dari diriku... (Rida Sita Dewi - Ketika Kau Jauh)

7. And i cant fight this feeling anymore, i've forgotten what i started fighting for... (REO Speedwagon - Can't Fight This Feeling)

8. Have i told you lately that i loved you, have i told you there's nothing else above you? (Rod Stewart - Have I Told You Lately)

9. After tonight, i will never be the same again... (REO Speedwagon - After Tonight)

10. Rasa sesal di dasar hati diam tak mau pergi, haruskah aku lari dari kenyataan ini, pernah ku mencoba tuk sembunyi, namun senyummu tetap mengikuti (Iwan Fals - Yang Terlupakan)

Sepuluh hari kedua.

11. Loving you it hurts sometimes, i'm standing here you just don't bye, i'm always there you just don't feel or you just don't wanna feel... (D'Cinnamons - Loving You)

12. It takes some times, God knows how long, i know that i can't forget you, as soon as forever it through, i'll be over you... (TOTO - I'll Be Over You)

13. Heart of mine, how will you keep from dying, stop reminiscing who is she kissing... (Bobby Caldwell - Heart Of Mine)

14. Semua terserah padamu aku begini adanya, kurelakan keputusanmu apapun yang akan kau katakan (Broery Marantika feat. Dewi Yull - Jangan Ada Dusta Diantara Kita)

15. Bye bye baby bye bye, she said in the letter, and that was all she wrote, guess this is goodbye, guess this is forever (Firehouse - All She Wrote)

16. Mungkin diriku bagimu tak ada artinya, tapi kuingin sebaliknya, kuharap kau disisiku bila hatiku merindu, tapi kau takkan pernah tiba jua... (Atiek CB - Kau Ada Dimana)

17. Can't believe that i'm a fool again, i thought this love would never end, how was i to know, you never told me... (Westlife - Fool Again)

18. Biarkan hari berselang malam, seribu gelap berganti terang, waktu kan menjawab hanya dirimu satu cintaku (Warna - Waktu Kan Menjawab)

19. I don't want to talk about it, how you broke my heart... (Rod Stewart - I Don't Want To Talk About It)

20. It must have been love but it's over now, it must have been good but i lost it somehow... (Roxette - It Must Have Been Love)

Sepuluh hari ketiga.


21. Aku terbakar cemburu, cemburu buta, tak bisa kupadamkan amarah dihatiku... (Padi - Terbakar Cemburu)

22. Aku pulang, tanpa dendam, kuterima kekalahanku... (Sheila On 7 - Berhenti Berharap)

23. Karena denganmu atau tanpamu ku tak mampu jalani, kisah kita tak menentu bersamamu tanpamu... (Base Jam - Denganmu Tanpamu)

24. Just like me, they long to be, close to you... (Carpenters - Close To You)

25. You really know where to starts, fixing a broken heart... (Indicent Obsession - Fixing A Broken Heart)

26. I've wasted all my tears, wasted all those years, and nothing had the chance to be good, nothing ever could... (Simply Red - Holding Back The Years)

27. How can you mend this broken man, how can a looser ever win? (Bee Gees - How Can You Mend A Broken Heart)

28. I woke up one morning to find my love gone, my love is gone for you too... (Olivia Ong - Bittersweet)

29. Tak mudah untuk dihati, tak mudah untuk dihadapi, saat harus mengucap selamat tinggal... (Indra Lesmana & Gilang Ramadhan - Selamat Tinggal)

30. Biarkan kucoba lagi mencari bunga pengganti diantara puing-puing cinta ini... (Rano Karno & Nella Regar - Jangan Lagi Kau Menangis Untukku)



Teluk Buyung-Pharmindo-Paninggilan, 9-25 Oktober 2010. 23.34.



*dibuat untuk pengganti 30 Hari Menulis Patah Hati


Kamis, 21 Oktober 2010

Kisah Semalam

Kuputuskan mencari seikat seruni di tengah pekatnya malam ini. Tepat ketika Nina dan Nadira terlelap di peraduan sambil berharap bertemu Ibunya dalam mimpi.

Kuputuskan untuk melukis langit malam ini. Bagai merangkai tasbih dari ciuman terpanjang di awal musim semi.


Ketika Kirana menanti dengan sebilah pisau di utara bayu. Entah seseorang sedang menungguku at Pedder Bay.



Paninggilan, 18 Oktober 2010. 00:13



*beberapa keywords dalam tulisan ini bisa ditemukan di halaman judul "9 Dari Nadira" karya Leila S. Chudori

Minggu, 10 Oktober 2010

The Pace

Ready for the pace of life...

Begitulah kata zodiak hari kemarin tentang peruntungan saya. Dalam keadaan setengah mengantuk saya sedikit menyadari bahwa mungkin esok akan ada kejutan untuk saya. Mungkin juga itu semua akan mencampuraduk perasaan saya. Siapa tahu? Anak SD juga tahu, tomorrow still a mystery.

Paginya teriakan dua anak kecil (anaknya Paman saya) membangunkan saya dari keheningan panjang (mimpi apa saya semalam...?). Langit gelap mega berarak mendung melintas. Tak lama hujan turun. Tentu diawali dengan guludug (gemuruh campur kilat). Waw, rencana hari ini sepertinya batal.

Beberapa detik kemudian, komputer menampilkan message "BOOTMGR is missing. Failed to load. Ctrl+Alt+Del to reboot". Sialan, alamat pertanda tak baik. Inikah awal maksud dari ramalan itu? Seandainya hidup ini adalah sebuah sistem seperti komputer yang punya dua kombinasi sakti: tentu saja Ctrl+Alt+Del (shutdown) dan Ctrl+Z (undo), akan jadi favorit. Barangkali hanya Tuhan sajalah yang akan kecewa karena pekerjaannya terinterupsi oleh sistem (yang juga ciptaanNya) tersebut.

Satu jam berlalu. Keringat mulai mengucur. Terpaksa recovery manager harus turun tangan sekalian install ulang. Data available for erase? Delete data? Yes. Enter. OMG, saya sedikit lengah. Akibatnya, file-file musik dan video mesum Ar*el vs CT ikut lenyap. Semoga Tuhan memberkati komputer yang baru diinstall ulang ini.

Sampai akhirnya si Blackie berhasil loading sempurna, hujan mulai berhenti. Mentari mulai nampak. Selamat menjelang siang, dunia. Eh, ternyata eh ternyata, si DVD-ROM sialan malah ikut pensiun. So, Pak Bos yang dapat laporan tentang hal ini segera mengajak saya untuk jalan-jalan. Cuci mata katanya. Sekalian mampir ke Service Center. Terima kasih, saya akan membatalkan agenda saya. Padahal ada satu janji yang harus saya lunasi. It's ok lah, jangkrik Boss!.

Singkat cerita everything's totally under control. Dari mulai mengatasi macetnya Jakarta sampai turun naik ke lantai 25. Termasuk waktu pit stop makan di Mayestik. Sip lah, you're the best, Boss!

Sore mengawali senja pembukaan. Semburat kekuningan di kaki langit nampak semarak. Entah apalagi yang akan terjadi. What will be, will be. Kutipan dari teman sebelah meja waktu SMA di kelas IPA (sok penting banget ya kesannya :D)



(sampai disini Penulis berhenti sebentar bersiap-siap mereka ulang kejadian sebelum tulisan ini ditulis sambil mengambil nafas dalam-dalam.)


Kabar berikutnya yang benar-benar memacu "pace" dr jantung ini adalah..eng ing eng... Nama laki-laki lain dalam secarik surat. Surat pendek berjudul SMS (gak penting banget, sumpah :D). Seperti judul lagu dangdut saja. OMG, Eau My God*. Rupanya yang datang bukan sekedar kabar.

Tak lama kemudian terjadi beberapa peristiwa yang tidak bisa dihindari. Bagai satu sekuensial khas komik yang tak terelakkan. Mulai dari bahasan tentang tweets "gak penting" demi memenuhi kebutuhan informasi followers (sounds like judul skripsi). Percakapan di telpon yang lagi-lagi "gak penting" tapi tetap berarti buat yang di ujung sana. Hingga ditutup oleh renungan tentang hal-hal "cemen" yang seharusnya tidak sampai melibatkan Tuhan.

Menjelang dini hari, saya semakin menyadari bahwa segala kemungkinan dalam hidup ini memang tidak terhindari. Segalanya kadang terjadi begitu cepat. They always get you. The problem is apakah semua itu berada dalam keseimbangan tata kosmos kemestian atau malah kita yang harus menyesuaikan. Segalanya masih mungkin terjadi dan setiap kemungkinan memiliki probabilitas masing-masing untuk berubah dalam variabel yang entah konstan atau dinamis. Dan malam pun makin merambat menuju sepertiganya membawa akhir cerita.



Mayestik-Paninggilan, 9-10 Oktober 2010.


*diucapkan Jenson Button jauh sebelum jadi Juara Dunia F1, ketika akan menjajal tikungan terkenal, Eau Rouge atau Air Merah, di Sirkuit Spa-Franchorchamps, Belgia, medio 2000. Ada di Majalah F1 Racing edisi tahun yang sama tapi saya lupa bulannya. Mohon pembaca maklum adanya.

Suatu Malam Aku Mendengar

Semalaman ini, setidaknya aku tidak harus lagi memutar lagu-lagu seperti ini:


Ketika malam tiba, ingin ku mengungkap tanya, dengan siapa kau melewatinya... (1)

If i could ask God just one question, why are'nt you here with me...(2)

Lelah,lelah hati ini... Menggapai hatimu, tak jua menyatu... (3)


Berganti dengan lagu...


For years i've been telling myself the same old stories... And now i know i've already blown much chances than anyone should ever gets... (4)

Dont ask me why the times has passed us by, someone elses moved in from far away... (5)

Bukan aku meragukanmu tapi sungguh ku tak ingin, engkau jauh dariku...(6)

And i cant fight this feeling anymore, i forgotten what i started fighting for... (7)

Have i told you lately that i loved you (8)

If i ever loose my faith in you (9)


Terakhir...


Katakanlah, katakan sejujurnya, apa mungkin kita bersatu... Kalau tak mungkin lagi kita menyanyikan lagu cinta biarkanlah ku pergi jauh.... (10)


Paninggilan, 10 Oktober 2010. 01.20


1. Iwan Fals, Aku Bukan Pilihan
2. Mandy Moore ft. Jonathan Foreman, Someday We'll Know
3. Rafika Duri, Tirai
4. Hugh Grant, Dont Write Me Off
5. Bee Gees, First of May
6. Rida Sita Dewi, Ketika Kau Jauh
7. REO Speedwagon, Cant Fight This Feeling
8. Rod Stewart, Have I Told You Lately
9. Sting, If I Ever Loose My Faith
10. Christine Panjaitan, Katakan Sejujurnya

Minggu, 03 Oktober 2010

Catatan di Minggu Pagi

Menikmati hari Minggu dengan bangun siang tentu sangat menyenangkan. Tetapi, bila dibangunkan oleh raungan mesin dan klakson dari loper koran bisa jadi sesuatu yang mengganggu. Bisa jadi juga satu hal yang tidak menyenangkan. Dan itu terjadi pada saya.

Tentu banyak alasan mengapa banyak orang membaca koran di pagi hari. Ada yang memang karena hanya punya waktu di pagi hari. Ada yang memang kebiasaan baca di pagi hari. Ada juga yang mengikuti formalitas semata, seperti yang Pak Edwin pernah bilang waktu belajar Komunikasi Massa.

Saya tidak pernah punya kolom favorit yang selalu saya tunggu setiap minggunya. Saya tidak mengidolakan satu kolom bagaikan subscribed threads di forum-forum yang saya ikuti. Walaupun begitu saya selalu punya kolom yang setidaknya harus sempat dibaca atau disimak biar kata itu cuma kolom Teka Teki Silang atau pun komik strip seperti Panji Koming.

Saya juga tidak perlu tahu mengapa kolom Sastra, Kesenian, dan Kebudayaan ditempatkan pada hari Minggu. Apakah untuk memanjakan para penikmat sastra, seni, dan budaya yang hanya punya waktu luang di hari Minggu, saya rasa saya tidak perlu tahu juga. Yang saya tahu, dengan mata yang masih pedas saya membaca liputan wawancara tentang kebudayaan bersama Ajip Rosidi. Sosok seorang tokoh dalam ranah sastra daerah dan nasional yang semakin saya akrabi semenjak membaca karya beliau yang berjudul, “Orang dan Bambu Jepang”.

Beliau juga yang semenjak tahun 1999 ikut menggagas Hadiah Sastra Rancage, yang kini tidak hanya terbatas pada penulis Sunda saja, tetapi juga penulis dari Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Perlu dicatat, itu dilakukan beliau tanpa (berharap) dukungan dari Pemerintah.


Beberapa Catatan


"Budaya Tak Pernah Diperhatikan..."

Sejak negara Indonesia didirikan, budaya tak pernah diperhatikan, itu kalau kebetulan pejabatnya mempunyai perhatian.

Kebudayaan hanya embel-embel apalagi sekarang kebudayaan dimasukkan dalam pariwisata, artinya kebudayaan hanya dimasukkan sebagai komoditas yang bisa dijual.

Mereka tidak pernah memikirkan bahwa kebudayaan itu merupakan salah satu bagian dari pembangunan bangsa. Mereka merasa cukup dengan memberikan hadiah pada seniman atau lembaga yang bergerak di bidang kesenian. Hanya itu saja.

Membaca petikan diatas, saya teringat akan sesuatu. Saya cukup miris dengan kenyataan bahwa masalah kebudayaan bangsa yang sejatinya menjadi urusan pemerintah ternyata tidak pernah mendapat perhatian serius dan seringkali terpinggirkan. Zaman Orde Baru, Kebudayaan menjadi satu dengan Pendidikan dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rasanya masuk akal bila masalah pendidikan dan kebudayaan berada satu atap dibawah lembaga yang menaunginya. Setidaknya, pendidikan akan membuat orang tersadar akan masalah khazanah kebudayaan bangsanya. Itu menurut logika sederhanacsaya yang masih perlu diuji keabsahannya.

Sedangkan kini, masalah kebudayaan kembali dipisahkan dengan masalah pendidikan dan dilebur ke dalam urusan pariwisata. Bergabung dalam Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan. Dari kedua-duanya, kebudayaan tidak pernah mendapat tempat pertama. Selalu berada setelah subjek yang pertama. Hal itu mengindikasikan (lagi-lagi) Pemerintah memang tidak pernah serius mengenai urusan kebudayaan ini. Barangkali, Pemerintah hanya peduli dengan Visit Indonesia Year yang jelas-jelas demi usaha meningkatkan bisnis pariwisata dengan menjual kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang layak dijual (menurut hitung-hitungan dagang). Bisa saja, keresahan yang diungkapkan oleh Ajip Rosidi itu benar adanya. Sekali lagi, itu menurut logika sederhana saya yang masih bisa terbantahkan, maklum saya hanya rakyat biasa.

Dari sekian petikan wawancara dalam kolom ini, rasanya saya sependapat lagi dengan beliau mengenai masa depan Indonesia. Saya pesimis? Tidak. Realistis? Ya. Seperti bisa disimak pada petikan berikut:

Bagaimana Anda melihat negeri ini ke depan?
Saya sudah putus asa. Dalam otobiografi saya katakan saya tidak melihat masa depan Indonesia. (Dalam otobiografi Hidup Tanpa Ijazah, Ajip menulis "Aku tidak melihat ada fajar yang akan merekah di sebelah depan yang dekat...")

Apakah itu tidak pesimistis?
Banyak orang mengatakan begitu. Saya kira, saya tidak pesimistis, tapi realistis. Saya tidak mengharapkan yang muda akan mengubah kultur politik kita. Sudah berapa generasi dari '66, '98 yang muda masuk, tapi kalau sudah masuk mereka ikut juga. Saya lakukan saja apa yang dapat saya lakukan, dan saya tidak pernah meminta pada Pemerintah.



Paninggilan, 3 Oktober 2010. 21.15

Sumber Bacaan: Ajip Rosidi dalam kolom Persona, harian Kompas, Minggu 3 Oktober 2010.

Senin, 27 September 2010

The Nightsong

Suatu malam, paman saya seperti biasa menemui kami di basecamp yang serupa rukan (alias rumah iya kantor juga iya). Kami tak bicara banyak. Kami hanya membahas kekalahan Chelsea dari timnya Juragan dari Arab, Manchester City 1-0, kekalahan kandang Arsenal atas tim promosi West Bromwich Albion, dan juga hasil seri 2-2 antara Liverpool-Sunderland (The Anfield Gang is now walking alone :(( ).

Selanjutnya, saya masih mengutak-atik model-model desain 2D bis AKAP yang baru saya unduh dari www.bismania.com untuk dijadikan papercraft, dan juga Land Rover Discovery III 2006 European Edition skala 1:100 yang akan saya modifikasi jadi mobil operasional lapangan tim kami (semoga Tuhan mengabulkan wishlist kami...!). Besok, saya berencana mencari papermodel Cherokee 1996 Limited USA (model Cherokee favorit saya) sambil berkhayal untuk dijadikan mobil operasional juga.

Tak lama saya pun segera menyudahinya karena barangkali saja datangnya beliau ini membawa suatu kabar. Sambil ngobrol perlahan lagu itu pun mengalun sunyi usai hujan reda di keheningan malam minggu. Lagu lama dari Paul Carrack yang saya download kemarin lusa, Eyes Of Blue (thank God it's 4shared!). Sambil kaget, paman saya itu pun bertanya kenapa sampai lagu itu bisa ada disini.



Entah karena saking senangnya, paman saya seperti terdiam ketika melihat lagu itu di playlist Winamp. Mungkin, itu membuatnya teringat kembali akan masa-masa galaunya dahulu. Betul saja, dia pun mulai bercerita tentang malam-malam panjang yang dilaluinya sambil mendengarkan lagu keluaran tahun yang sama dengan Toyota Corona Absolute generasi terakhir itu. Tak lupa juga beserta ungkapan-ungkapan atas segala kegelisahan hidup yang membaur dan segera menghilang bersama asap rokok yang terbawa angin.

Saya pikir, paman saya itu tidak menyukai lagu-lagu pop jadul seperti yang biasa saya dengarkan di radio. Makanya, saya agak sedikit heran dengan kejadian ini. Betapa suatu lagu mampu membuat kita bercerita tentang segala ingatan dibelakangnya. Termasuk, membuat kita jujur terhadap perasaan kita sendiri. Mungkin itulah sebabnya, lagu-lagu kenangan (a.k.a jadul alias oldies) akan terus hidup dan dikenang.

Saya sendiri menyenangi lagu itu secara kebetulan karena sering mendengarnya di nightshow sebuah radio di Bandung. Karena itu pula saya segera mendownloadnya (again, God Bless 4shared!) supaya semua ingatan tentang momen-momen yang saya rasakan di malam itu tidak hilang perlahan. Apalagi, kalau sampai teringat wajah seseorang yang pernah membuat perasaan ini jadi sedikit layu dan berbunga tiba-tiba. Saya rasa lebih baik kehilangan rasa cinta dibandingkan kehilangan momen-momen yang membuat kita bisa membuka diri dan jujur pada hati sendiri (sampai saat ini saya pun tidak yakin pernah menulis kalimat yang demikian :D ).

Saya rasa adalah manusiawi bila suatu saat kita mengalami hal yang demikian itu. Terkadang ada beberapa momen yang hadir kembali dan menyeruak dalam ingatan justru ketika mendengarkan suatu lagu dari masanya. Boleh jadi itu semacam Original Soundtrack yang bisa diasosiasikan untuk merepresentasikan bagian-bagian kecil peristiwa hidup yang kita jalani.

Sebagai penutup, quote ini saya kutip dari komentar seorang teman di album kenangan SMA: "Picture fade away, Memory is Forever".

Akhirul kalam, wallahu'alam bis shawab.


Paninggilan, 26 September 2010. 21:41

Minggu, 26 September 2010

Sepatu

Suatu ketika sehabis main futsal, sepatu yang biasa saya pakai mendadak jebol (supaya dramatis aja, padahal memang sudah umurnya). Dengan demikian, tak lama setelah bel tanda waktu habis saya segera membuat pernyataan bahwa sepatu skateboard merk conv*rse itu telah memasuki masa purnabakti tugasnya sejak mengabdi Mei 2003. Artinya, saya harus segera mencari sepatu lagi, yang benar-benar khusus untuk futsal.

Keesokan harinya, saya bilang sama Bapak saya bahwa sepatu itu akan saya buang. Memang masih bisa diperbaiki, tetapi alangkah baiknya bila sepatu itu dibuang saja. Masalah gantinya, itu urusan kecil.

Beberapa hari kemudian, saya mendapat sms dari Bapak saya bahwa sepatu itu tidak jadi dibuang. Melainkan sudah di sol. Saya pun terkejut seraya membalas pesan singkat beliau.

Setelah saya pikir-pikir kembali, kenapa Bapak saya tidak mau membuang sepatu itu, mungkin karena beliau punya alasan lain. Dulu, untuk membeli sepatu itu saya tidak minta uang pada orangtua. Saya mengumpulkan sisa-sisa uang jajan dan sedikit dari ''kadeudeuh'' yang biasa saya terima dari saudara-saudara yang berkunjung. Itu dulu waktu SMA.

Barangkali juga, beliau berpikir saya masih ''sayang'' sama sepatu itu karena kalaupun mau sepatu itu sudah saya buang semenjak masuk tahun pertama kuliah, medio 2004. Alasan terakhir, mungkin juga beliau tahu isi dompet saya yang tidak pernah mengizinkan saya untuk punya sepatu bagus lagi. Ketiga alasan tersebut memang logis. Tetapi, makna yang saya sadari justru lebih dalam lagi.

Entah bagaimana saya harus menuliskan seperti apa bahwa perhatian dan rasa sayang orang tua memanglah besar dan sepanjang masa adanya. Entah ketika saya masih tinggal serumah atau nomaden seperti sekarang. Beliau selalu menaruh perhatian terhadap keluhan-keluhan saya, padahal itu semua harusnya menjadi tanggungjawab pribadi saya saja. Bahkan, kadang-kadang beliau memperbaikinya sendiri.

Dulu waktu SD, setiap ada tugas sekolah yang saya belum bisa kerjakan, Bapak selalu memeriksanya sambil menandai pembahasan hal tersebut di dalam buku. Pun ketika beliau sedang marah pada saya, beliau masih membuatkan saya maket gedung sekolah untuk tugas minggu depan.

Semuanya dilakukan dengan cara beliau sendiri. Saat saya sedang enak-enaknya tidur, di saat itulah beliau melakukan semua hal-hal yang saya perlukan. Paginya, saya hanya bisa senyum hahah heheh karena semuanya sudah selesai.

Saya pun kembali teringat pada masa-masa itu. Bapak selalu mendengarkan kemauan anaknya. Walaupun tidak semuanya harus dituruti dan diwujudkan tetapi saya yakin beliau telah mengusahakan yang terbaik. Tidak hanya untuk saya saja, adik saya juga demikian.

Maka, saya hanya bisa berdo'a, semoga Tuhan membalas apa yang telah beliau lakukan dengan caraNya sendiri. Panjangkan umurnya, berikan kesehatan, dan lancarkan segala urusannya, agar kelak di surga nanti beliau tidak ikut menanggung dosa-dosa yang saya perbuat.

Jikalau engkau membaca tulisan ini apalagi sambil mendengarkan lagu Titip Rindu Buat Ayah (Ebiet G. Ade); Ayah(The Mercy's/Rinto Harahap); atau juga Ayah (Koes Plus), maka doakanlah ayah-ayah dan bapak-bapakmu juga. Kalau engkau seorang lelaki wajib rasanya bagimu, karena kelak engkau kan seperti beliau-beliau itu jua.

Paninggilan, 26 September 2010. 01:31.

Minggu, 19 September 2010

Ziarah Pustaka Walisongo

Perbincangan seputar mitos dalam kehidupan para Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa seringkali diwarnai oleh perdebatan mengenai jejak-jejak peninggalan mereka. Terlebih lagi, mengenai tafsiran dari ajaran para Wali sehingga dikhawatirkan terjadinya taqlid buta dan pengkultusan terhadap ajaran maupun tokoh Wali itu sendiri. Maka, diperlukan adanya semacam telaah pustaka atas dasar sejarah faktual mengenai keberadaan mitos-mitos Walisongo yang beredar di masyarakat. Dengan demikian, kesimpangsiuran atas hal tersebut bisa dihindari atau diminimalisir sekecil mungkin.




Dalam pengantarnya, penulis lebih suka untuk menamai pengembaraan dalam proses pencarian berbagai keterangan yang diperlukan sebagai ziarah pustaka. Barangkali mengacu pada kegiatan yang senantiasa dilakukan masyarakat pada umumnya untuk 'menengok' dan napak tilas para Wali. Ziarah diartikan sebagai suatu kegiatan yang mengandung makna lahiriah dengan mengunjungi kuburan atau makam seseorang yang telah meninggal.

Maka dari itu, Ziarah Pustaka dapat diartikan sebagai ziarah yang dilakukan dengan bantuan perantaraan media untuk melakukan telaah kajian historis melalui beberapa koleksi pustaka yang menulis tentang Walisongo. Sangat dimungkinkan adanya keterwakilan lahiriah dalam kaitannya untuk mewakili makna langsung ziarah itu sendiri. Demi memaknai kembali keberadaan eksistensial para Wali.

Makna tersebut justru menjadi bahan perbincangan yang produktif ketika dibongkar keberadaannya sebagai mitos, untuk mendapat gambaran bagaimana kebudayaan bekerja. Tanpa mengalami pembongkaran, mitos akan hadir secara tidak produktif. Bahkan bisa menjebak pada suatu kebutaan mitologis semata.

Judul: Sembilan Wali & Siti Jenar - Seri Biografi
Penulis: Seno Gumira Ajidarma (Teks & Foto)
Penerbit: Intisari Mediatama
Tahun: 2008 (Cet. II)
Tebal: ix + 208 hal.
Genre: Sejarah & Budaya



*) Daftar Isi Buku:

1. Maulana Malik Ibrahim: Kisah Makam-makam Islam Tertua di Jawa

2. Sunan Ngampel Denta: Wali Perintis dari Cempa

3. Sunan Giri: Dinasti Pemuka Agama dari Giri

4. Sunan Bonang: Wali yang Membujang, dengan Empat Makam

5. Sunan Kudus: Ketegasan Seorang Wali

6. Sunan Kalijaga: Wali yang Orisinil

7. Sunan Gunung Jati: Wibawa Politik Seorang Wali

8. Sunan Muria: Eksis Dalam Legenda

9. Sunan Drajat: Wali yang Menunggang Ikan

10. Syekh Siti Jenar: Wali Cacing Tanah

11. Catatan Lepas: Tentang Piring di Tembok Makam Itu



Pharmindo-Paninggilan, 19 September 2010.

Sabtu, 18 September 2010

Orang Dan Bambu Jepang: Catatan Dari Negeri Saudara Tua

Judul: Orang dan Bambu Jepang: Catatan Seorang Gai Jin
Penulis: Ajip Rosidi
Penerbit: Pustaka Jaya
Tahun: 2009 (cetakan ke-2)
Tebal: 208 hal.
Genre: Memoar (Kumpulan Esai)





Memang tidak fair rasanya bila membandingkan Indonesia yang hanya berstatus sebagai negara berkembang dengan Jepang yang sudah duluan sebagai negara maju. Akan tetapi ada beberapa kesamaan antara keduanya sebagai bangsa yang berakar dari nilai-nilai budaya kehidupan masyarakat tradisional. Hanya saja, Jepang lebih dahulu mengadopsi segala pengaruh dari Barat sejak Restorasi Meiji tahun 1868 yang menandai berakhirnya kekuasaan Shogunal.

Membaca buku ini selain memberikan wawasan seputar kehidupan dan budaya dalam keseharian masyarakat Jepang berarti juga berkaca pada dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Maka, sangat dimungkinkan untuk melakukan semacam perbandingan singkat antara masyarakat kedua negara yang secara kasat mata memulai kembali pranata kehidupannya medio abad ke-20. Dari mulai urusan tetek bengek sampah, lalu-lintas kereta, hingga urusan Yakuza. Selain itu, beberapa esai juga kerap membuat kita tertawa sendiri (mungkin sambil tersenyum getir dan miris) menghadapi perilaku sebagian pengurus negeri ini yang masih berkutat dengan keruwetan birokrasi demi mengurusi rakyatnya.

Kumpulan esai ini ditulis dan dihimpun oleh Ajip Rosidi di sela-sela kesibukannya mengajar di Osaka Gaidai (Osaka University). Kesemuanya merupakan hasil-hasil pengamatan yang merupakan perspektif pribadi dan berasal dari rutinitas dan dinamika keseharian masyarakat di negerinya Toyota itu. Sehingga, walaupun nuansa subjektivitas terasa kental namun tidak mengurangi esensi objektivitas dan orisinalitasnya.


Pharmindo-Teluk Buyung, 15 September 2010. 12.03

1 Liter of Tears: Memaknai Makna Perjuangan

Tiap manusia memiliki penderitaan yang tak terucap. Ada kalanya kenyataan terasa sangat kejam.
(Hal. 121)

Bila ada orang yang mampu untuk merasakan penderitaan lahir dan batin akibat penyakit yang terlanjur menjalar hingga seluruh tubuh pastilah ia adalah seseorang yang memiliki kekuatan luar biasa. Kekuatan yang mampu melewati batas keinginan hingga terpaksa menyerah dan kalah akibat penyakitnya jua. Terkadang keinginan tak seiring sejalan dengan kenyataan. Terlebih lagi, ketika mendapati fakta bahwa penyakit yang mendekapnya adalah penyakit yang belum ditemukan obatnya. Kalaupun ada, itu hanya bersifat memperlambat dan menghalau laju penyakit itu untuk sementara saja.

Memang kematian adalah sesuatu yang tak bisa dihindari lagi namun Aya berhasil meyakinkan dirinya bahwa ia harus membalas budi orang-orang yang berbaik hati pernah membantu dan menolongnya. Sehingga, Aya menemukan alasan untuk tetap bertahan dalam kehidupannya yang demikian sebagai penderita cacat. Sama halnya dengan yang dirasakan oleh Aukai Collins, seorang mualaf yang dalam memoarnya ''My Jihad''*) selalu merasa diintai oleh kematian ketika berada di medan perang (baca: Jihad) dan ia selalu memiliki alasan untuk tetap bertahan hidup.

Hanya saja, Aya sudah tahu, cepat atau lambat, kematian akan menyambutnya. Namun Aya tidak mau berpikir tentang kematian itu sendiri. Ia memiliki optimisme yang kuat untuk kehidupannya kelak. Aya tidak mau menyerah dulu sebelum berjuang sekuat tenaga melawan penyakitnya. Sayang sekali kalau harus mati tanpa berjuang dulu, begitu tulisnya.

Dalam buku ini dimuat juga catatan dari dokter yang menangani Aya, Dokter Yamamoto Hiroko dan ibu kandung Aya, Shioka Kito. Dalam tulisannya, dr. Hiroko menjelaskan secara singkat mengenai ihwal penyakit yang biasa disingkat dengan SCA itu (mirip inisial penulis favorit saya) beserta gejala-gejala yang biasa dialami penderita.




Diketahui, Aya mengidap penyakit bernama Spinocerebellar Ataxia yang mengakibatkan timbulnya ketidakseimbangan dalam daya kerja syaraf dalam tubuh. Akibatnya, sel-sel saraf sumsum tulang belakang, otak kecil, dan penghubung otak besar-otak kecil mengalami perubahan dan bahkan kehilangan fungsinya. Dengan kata lain, penyakit itu mengakibatkan hilangnya fungsi pergerakan otot semua bagian tubuhnya secara perlahan.

Tidak hanya itu saja, kesan personal juga ditunjukkan dalam catatan dr. Hiroko seputar momen-momen ketika mendampingi Aya. Mulai dari pertemuan dengan Ibu Aya hingga saat-saat menghadapi Aya secara langsung. Termasuk konflik batin yang dirasakannya usai menanggapi pertanyaan-pertanyaan Aya. Dari situ kita dapat belajar bahwa hanya dengan bersabar dan memahami lebih dalam keadaan penyakit itu kita dapat berempati dan berkomunikasi lebih baik penderita.

Catatan Ibu Aya kental sekali dengan nuansa yang lebih personal-naluri alamiah seorang ibu. Tentang perasaan seorang ibu yang terus mengusahakan pengobatan terbaik demi kesembuhan anaknya. Sekaligus juga menghadapi konflik dalam batinnya mengenai kehidupan anaknya kelak. Termasuk menanggung kepahitan ketika Aya kerap menyalahkan diri sendiri atas keadaan kehidupannya yang demikian. Belum lagi beban atas kehidupan adik-adik Aya yang lain, karena perhatiannya lebih tercurah pada Aya.


Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


Menarik sekali untuk membaca kisah perjuangan seorang gadis kecil yang beranjak dewasa namun harus kehilangan semua impian masa mudanya. Semua impian itu harus Aya bungkus rapat-rapat dalam setiap usaha untuk mempertahankan hidup, demi bertahan dari penyakit yang perlahan menggerogoti dirinya. Aya sendiri terus berkutat dengan dirinya sendiri yang masih punya banyak keinginan dan harapan untuk melanjutkan sekolah, bekerja, atau sekedar terjun ke masyarakat.

Barangkali saja, bila penyakit itu tidak terlanjur menggerogoti raganya, Aya akan mampu sekolah hingga jenjang universitas dan bekerja menjadi seorang Pustakawati. Kenyataan memang terkadang tidak selalu menyenangkan. Aya kehilangan kehidupannya yang dulu penuh dengan semangat dan cita-cita. Kalaupun ada yang tersisa, Aya harus tetap semangat demi kelangsungan hidupnya sendiri.

Walaupun begitu, Aya tidak sendirian. Banyak teman-temannya baik sebaya, senasib, maupun yang lebih tua, yang peduli dan menaruh perhatian khusus kepadanya. Itulaah sebabnya, Aya merasa masih layak untuk hidup. Demi membalas kebaikan orang-orang tadi yang telah berjasa membantunya-terutama kepada ibunya.

Melalui buku ini, jelas bahwa alasan dibalik penerbitannya memiliki niat yang mulia bagi pembacanya untuk lebih menghayati nilai-nilai perjuangan; bahwa segala sesuatunya harus tetap diusahakan dan diperjuangkan. Apalagi dalam menghadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan-dan belum ditemukan obatnya-sekalipun akan berujung pada kematian.

Menghargai kehidupan kadang begitu sulit-sekalipun dalam keadaan normal. Namun, dalam posisi Aya seberapa pun kecilnya nilai kehidupan tentu jauh lebih berarti. Betapa daya juang dalam penderitaan semacam itu membuat kita belajar supaya bisa lebih memaknai dan mensyukuri atas segala nikmat dan karunia yang Tuhan berikan.

Menghayati lebih jauh, kita akan diajak untuk lebih memaknai kasih sayang dalam keluarga. Terutama mengenai kasih sayang seorang ibu. Maka benarlah kata satu lagu anak-anak, kasih ibu tak terhingga sepanjang masa.


Judul: 1 Liter of Tears
Penulis: Aya Kito
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun: 2005
Tebal: viii + 156 hal.
Genre: Memoar


Pharmindo, 14 September 2010. 22:54.


*) lebih lanjut baca ''My Jihad'', Aukai Collins, Penerbit Hikmah, 2006.

NB: Mengenai 1 Liter of Tears, pernah diangkat menjadi sinema televisi di negerinya. Lebih detil bisa disimak di Youtube. Konon, di Indonesia juga pernah dipentaskan di layar sinetron. Tapi, saya lupa kapan dan siapa yang memerankannya. Mohon pembaca maklum adanya.

Selasa, 14 September 2010

Mudik

Orang tak bisa tak mudik, karena hidup adalah pergi untuk kembali. Atau, perginya orang hidup, adalah kembali*.

Dengan demikian, mudik yang mulanya hanya kebiasaan perlahan-lahan menjadi semacam tradisi. Kemudian, oleh dinamika dan mobilitas masyarakat ia berevolusi kembali menjadi suatu budaya yang berulang setiap tahun. Pun kini ketika budaya tersebut mereinkarnasi wujudnya menjadi semacam ritual yang boleh dibilang 'wajib' tanpa harus mengacu pada aliran mazhab tertentu.

Begitu dahsyatnya peristiwa mudik ini sehingga menjadi barang yang laku dijual setiap tahunnya. Stasiun TV dan media elektronik lainnya saling berlomba menayangkan dan menyiarkan informasi terkini seputar arus lalu-lintas jalur mudik. Bahkan, ada beberapa yang disertai pemandangan visual langsung pada titik-titik yang menjadi sentral pergerakan kaum pemudik.


Sejatinya mudik adalah untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang. Bisa saja itu berupa wujud fisik dan non-fisik. Wujud fisik itu bisa menjelma dalam bentuk raga orang tua dan segenap sanak famili keluarga besar. Berbeda dengan wujud non-fisik yang bisa hadir dalam bentuk abstrak seperti suasana kampung halaman dan segenap perasaan yang melingkupinya.

Secara kasat mata, mudik seringkali diibaratkan sebagai sarana untuk menjalin silaturahmi sambil menemukan kembali semangat dalam balutan suasana kekeluargaan. Maka, esensi dari mudik itu sendiri harus tetap terjaga dalam ikatan fisik dan non-fisik itu tadi.

Disadari atau tidak, orang membutuhkan mudik, terlepas dari modus dan motif mudik itu sendiri. Mudik sangat penting untuk mengisi kekosongan diri di tengah zaman yang menindas harkat manusia dan derajat kemanusiaan**. Mudik lebaran yang secara sosiologis dirayakan setahun sekali menjadi momentum yang jangan sampai terlewat.

Mumpung masih ada jatah umur, lebih baik rajin-rajin pulang kampung. Dan yang paling efektif adalah menjelang atau seusai Ramadhan. Suatu waktu dimana semua keluarga pasti berkumpul dan kita bisa bercengkerama beberapa saat untuk menutupi kekecewaan dan kenyataan dalam hidup yang tidak selalu menyenangkan yang terlanjur menggumpal dalam kalbu.

Lebih jauh, mudik mengajarkan makna sebenarnya dari Innalillah wa inna ilaihi roji'un. Bahwa hakikat setiap detik kehidupan adalah untuk berproses dalam lingkaran tersebut: segala yang berasal dari Allah akan kembali juga pada Allah. Kita dan apa saja adalah hak-Nya dan satu-satunya kemungkinan hanyalah kembali ke pangkuan-Nya.

Barakallahi wallakum. Wallahu'alam bis shawab. Selamat bermudik.


Pharmindo, 12 September 2010. 23:12


* Emha Ainun Najib dalam esai ''Mudik Keluarga, Mudik Bangsa'' dalam buku ''Jejak Tinju Pak Kiai'', Penerbit Buku Kompas, 2008.

** Masih dari sumber buku yang sama diatas.

Malam Terakhir

Tarawih malam terakhir semalam tadi hanya menyisakan sepi dalam balutan kantuk yang semakin menjadi. Dalam 11 rakaat yang entah masih ada pahalanya atau malah nilainya tergerus kantuk itu sendiri.

Tuhanku, apalah yg sudah kulakukan untukmu di Ramadhan yang kesekian kalinya ini? Adakah setiap huruf dalam lantunan ayat-ayat itu bernilai pahala seperti yang telah kau janjikan?

Tuhanku, Ramadhanku kali hanya berisi keyakinan semu. Khattam pun tak mampu. Masih terhenti di deretan ayat An-Nisa. Masihkah ada nilainya bila semua itu menuju padaMu?

Tuhanku, aku berharap semua kelakuanku di RamadhanMu yang akan segera berlalu ini tidak lantas menambah dukaMu yang abadi. Entah harus berapa lafadz maaf harus terucap ke haribaanMu.

Tuhanku, RamadhanMu akan segera berlalu meninggalkan kami yang tertatih menuju ridhoMu. Tiada lain yang kami inginkan selain umur untuk kembali menyambut Ramadhan yang akan datang. Supaya kami bisa semakin menata diri dan berkaca atas segala kealpaan kami terhadapMu.

Tuhanku, diantara bulir-bulir hujan yang semisal dosa kami, kami serahkan kembali padaMu. Asalkan Engkau sedang tidak marah, apapun yang terjadi kami tidak peduli. Kami terimakan dan ridho atas segala keputusanMu.

Tuhanku, maafkan kami yang terlalu lancang untuk selalu mengemis dan meminta supaya doa-doa kami tidak menggantung di langitMu yang maha luas tak terkira. Maka, Ya Allah perkenankan kami (yang tak layak untuk surgaMu ini) untuk sekedar menikmati kesucian di awal bulan Syawal, yang sesungguhnya kami pun malu untuk menyambut hari kemenangan besok.

Tuhanku, di senja yang mendung ini, di ambang Syawal nan fitri, perkenankanlah kami untuk kembali pada kesucian. Seraya menyebut namaMu yang agung, mengumandangkan takbir penuh haru, sambil mengucap selamat jalan Ya Ramadhan. Mudah-mudahan, Engkau masih berbaik hati supaya kami bisa menyambutnya kembali. Barakallahi wa lakum.



Pharmindo, 09 September 2010. 17:55

Setiap Habis Ramadhan

Setiap habis Ramadhan, satu judul lagu dari Bimbo yang selalu terngiang menjelang akhir perpisahan dengan bulan Ramadhan penuh berkah. Dulu, biasanya di akhir bukan suci ini saya selalu minta diputarkan lagu Lebaran Sebentar Lagi. Hampir setiap menjelang lebaran, saya dan adik saya menunggu penuh harap 'uang THR' yang dihitung per hari tamat puasa dan juga jatah baju baru yang Ibu telah belikan.

Betapa kami sungguh gembira. Biarpun hanya untuk setahun sekali tetapi sungguh berarti rasanya. Singkat kata, hanya Lebaran lah yang mampu memberikan kenikmatan tersendiri seperti itu. Bagi kami, rasanya seperti baru terbebas dari suatu kewajiban dan kami harus menyambutnya dengan suka cita. Suatu hal yang kelak saya sadari bahwa hal itu kurang tepat.

Kini, beranjak dewasa saya tersadar bahwa momen-momen seperti bulan Ramadhan ini memang sangat jarang sekali sehingga sangat layak untuk mengisi dan menjalaninya dengan sepenuh hati dan melakukan semua amalan terbaik yang mampu dilakukan. Bukankah Rasulullah SAW pun telah mengingatkan bahwa seandainya kita tahu segala manfaat dan barokah di bulan Ramadhan niscaya kita pasti menginginkan setiap bulan adalah bukan Ramadhan.

Betapa bulan Ramadhan ini bukan hanya menjadi ritual tahunan semata demi memenuhi rukun Islam. Makna dibalik kehadiran Ramadhan sendiri semakin ditegaskan dengan adanya malam Lailatul Qadar. Suatu malam yang lebih baik dari 1000 bulan ibadah. Belum lagi, momen-momen seperti buka puasa bersama, sahur on the road (yang belakangan ini marak dan menjadii tren), i'tikaf bersama dll, yang semakin menguatkan tali silaturahmi dan kasih sayang dengan sesama.

Ramadhan memang telah dan akan segera berlalu. Ia akan datang kembali tanpa harus menunggu kepastian apakah kita bisa menemuinya kembali. Ia akan kembali dan pasti kembali. Adakah kerinduan kita untuk menyambutnya kembali? Menyambut Ramadhan bak seorang tamu agung yang datang dari jauh dan membawa sekian banyak hal-hal yang hanya bisa ditakar oleh timbangan Allah SWT yang Maha Sempurna. Mudah-mudahan Ramadhan kali ini membawa perubahan dan menjadi titik pangkal bagi suatu awal yang baru bagi kita semua. Uusikum wa nafsii bi taqwallah.


Pharmindo, 9 September 2010. 01:05

Selasa, 31 Agustus 2010

Kesaksian Seorang Pembaca

Anggi Hafiz dan Selendang Warna

Awalnya saya mengira Anggi Hafiz, pemilik blog ini, hanya akrab dengan komputer, bahasa pemrograman, aneka software, kabel-kabel. Karena itulah Anggi yang saya kenal jaman kuliah dulu. Waktu itu kami sama-sama sekolah di universitas, fakultas, dan jurusan yang sama. Satu kelas pula. Kalau teman-teman di kelas agak oon di mata kuliah yang bersangkut paut dengan komputer atau teknologi informasi, bisa dipastikan meraka bakal datang ke Anggi untuk bertanya. Dan Anggi akan menjawab dengan caranya yang khas: meledak-ledak.


Belakangan saya ngeuh bahwa ia pun ternyata gemar dan mahir menulis. Bukan menulis tentang curhat dan curhat dan curhat. Ia menulis dengan serius. Tema yang ditulisnya bermacam-ragam. Dari soal film, hingga perempuan. Dari politik sampai cinta.


Yang cukup mengagetkan saya, ternyata ia pun bisa menulis dengan bahasa puitis. Saya kaget karena di kelas, dulu, ia adalah mahasiswa yang kerap menyemburkan pendapat, argumen, dan kritik pedas atas banyak perkara yang diangkat di ruang kelas. Dan seperti saya bilang tadi, selain isinya pedas, gaya penyampaian khas: meledak-ledak.


Saya tidak tahu persis kapan Anggi mulai menjadikan menulis sebagai bagian penting dari aktivitas hidupnya. Tapi yang saya tahu, sejak dua tahun lalu ia mulai menerbitkan tulisan-tulisannya di blog ini, selendangwarna.blogspot.com. Dan sejak saat itu pulalah saya mengenal Anggi sebagai penulis.


Selendang Warna? Ah, saya tak tahu apa makna dari dua kata itu. Kalau selendang warna seperti yang sering dipakai banyak perempuan, saya tahu. Tapi saya kira, ada makna lain dibalik selendang warna yang dijadikan nama blog ini.


Saya masih ingin banyak menulis tentang Anggi dan Selendang Warna, tapi takut salah dan terjebak, secara sadar atau tidak, dalam penilaian-penilaian tidak penting.


Jadi, inilah saya sampaikan ucapan saya yang tidak ada apa-apanya karena memang bisa ditemukan di mana saja. Teruslah menulis sampai tak ada lagi yang tersisa untuk ditulis!



Bandung 31 Agustus 2010.

Atjep Moesliem


*Tulisan ini dimuat dalam rangka 2 Tahun Selendang Warna.

Senin, 30 Agustus 2010

Jumat, 13 Agustus 2010

Menantang Diktator, Menantang Takdir

Judul Buku : Menantang Diktator: Konspirasi Rahasia Anti-Hitler
Penulis : Darma Aji
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : 2006
ISBN : 9789797091996
Genre : Sejarah Dunia










Conspiracy without solidity will be nothing

Membaca kembali catatan sejarah peninggalan Third Reich dengan simbol kejayaan Nazi dan Adolf Hitler tentu masih sangat menarik untuk diperbincangkan. Perlawanan terhadap rezim yang menjalankan kekuasaan dengan diktatorisme dan totalitarian menjadi sangat tdak mudah. Terlebih lagi, Angkatan Bersenjata Jerman terikat sumpah setia pada Fuehrer.

Menggalang kesatuan ide dan kesepakatan politis demi mencapai tujuan bersama, yaitu bersatunya kembali Jerman dan runtuhnya rezim Nazi seringkali gagal karena tidak kokohnya fondasi konspirasi yang mereka buat sendiri. Dengan demikian, sampailah mereka pada ide untuk membunuh Hitler dan Himmler. Namun, merencanakan pembunuhan Hitler pun bukan perkara yang mudah. Banyak Jenderal masih memegang sumpah setianya pada Fuehrer dan banyak pula yang beranggapan bahwa berkonspirasi membunuh pemimpin Negara adalah suatu tindakan pengkhianatan terhadap Negara.

Berbagai plot telah disiapkan guna menggulingkan rezim diktator yang semakin menenggelamkan Jerman dalam perang melawan Sekutu Barat dan Uni Soviet dibawah pimpinan Stalin. Plot pembunuhan Hitler disusun bersama dengan serangkaian rencana kudeta dan pengambilalihan kekuasaan di Ibukota Jerman saat itu, Berlin. Hanya saja, keberuntungan seringkali menaungi Hitler. Beberapa percobaan sempat mengalami kegagalan. Hitler pun semakin di atas angin dan semakin merasa bahwa tujuan mulia terhadap Third Reich adalah takdirnya.

Begitu pun usaha dari Kolonel Clauss von Stauffenberg pada 20 Juli 1944 yang membawa bom dalam koper dan meninggalkannya di ruang rapat markas Hitler di Wolfersschanze (Wolf’s Lair), Prusia Timur. Kisah heroik ini juga pernah difilmkan dengan judul Valkyrie (MGM, 2008) dan dibintangi oleh Tom Cruise yang memerankan sendiri Stauffenberg. Valkyrie sendiri adalah nama dewa dalam mitologi Jerman-Nordik yang juga namanya dijadikan sandi operasi pengambilalihan keamanan darurat dalam negeri bila sewaktu-waktu kepala Negara berada dalam keadaan bahaya.


Melalui buku ini, pembaca diajak lebih menyelami kejadian-kejadian konspirasi sepanjang berkuasanya Rezim Nazi dibawah komando Adolf Hitler, der Fuehrer. Pembaca juga akan mendapatkan wawasan tambahan sepanjang Perang Dunia II, tentang bagaimana taktik militer Jerman pasca D-Day di Normandia dan War of Stalingrad, dan juga apa dan siapa yang ikut berperan seputar masa-masa kelam dalam sejarah kemanusiaan. Lebih lengkap lagi bila pembaca juga menonton film dokumenter D Day 6.6.44 (2004) dan War of The Century: When Hitler Fought Stalin (2000) rilisan BBC Films sehingga objektivitas pembaca akan tetap terjaga dengan informasi dan arsip-arsip terbaru yang dirilis Rusia guna kepentingan riset.


Paninggilan, 13 Agustus 2010. 10.33

* Edisi Sejarawan Dadakan

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...