Minggu, 26 September 2010

Sepatu

Suatu ketika sehabis main futsal, sepatu yang biasa saya pakai mendadak jebol (supaya dramatis aja, padahal memang sudah umurnya). Dengan demikian, tak lama setelah bel tanda waktu habis saya segera membuat pernyataan bahwa sepatu skateboard merk conv*rse itu telah memasuki masa purnabakti tugasnya sejak mengabdi Mei 2003. Artinya, saya harus segera mencari sepatu lagi, yang benar-benar khusus untuk futsal.

Keesokan harinya, saya bilang sama Bapak saya bahwa sepatu itu akan saya buang. Memang masih bisa diperbaiki, tetapi alangkah baiknya bila sepatu itu dibuang saja. Masalah gantinya, itu urusan kecil.

Beberapa hari kemudian, saya mendapat sms dari Bapak saya bahwa sepatu itu tidak jadi dibuang. Melainkan sudah di sol. Saya pun terkejut seraya membalas pesan singkat beliau.

Setelah saya pikir-pikir kembali, kenapa Bapak saya tidak mau membuang sepatu itu, mungkin karena beliau punya alasan lain. Dulu, untuk membeli sepatu itu saya tidak minta uang pada orangtua. Saya mengumpulkan sisa-sisa uang jajan dan sedikit dari ''kadeudeuh'' yang biasa saya terima dari saudara-saudara yang berkunjung. Itu dulu waktu SMA.

Barangkali juga, beliau berpikir saya masih ''sayang'' sama sepatu itu karena kalaupun mau sepatu itu sudah saya buang semenjak masuk tahun pertama kuliah, medio 2004. Alasan terakhir, mungkin juga beliau tahu isi dompet saya yang tidak pernah mengizinkan saya untuk punya sepatu bagus lagi. Ketiga alasan tersebut memang logis. Tetapi, makna yang saya sadari justru lebih dalam lagi.

Entah bagaimana saya harus menuliskan seperti apa bahwa perhatian dan rasa sayang orang tua memanglah besar dan sepanjang masa adanya. Entah ketika saya masih tinggal serumah atau nomaden seperti sekarang. Beliau selalu menaruh perhatian terhadap keluhan-keluhan saya, padahal itu semua harusnya menjadi tanggungjawab pribadi saya saja. Bahkan, kadang-kadang beliau memperbaikinya sendiri.

Dulu waktu SD, setiap ada tugas sekolah yang saya belum bisa kerjakan, Bapak selalu memeriksanya sambil menandai pembahasan hal tersebut di dalam buku. Pun ketika beliau sedang marah pada saya, beliau masih membuatkan saya maket gedung sekolah untuk tugas minggu depan.

Semuanya dilakukan dengan cara beliau sendiri. Saat saya sedang enak-enaknya tidur, di saat itulah beliau melakukan semua hal-hal yang saya perlukan. Paginya, saya hanya bisa senyum hahah heheh karena semuanya sudah selesai.

Saya pun kembali teringat pada masa-masa itu. Bapak selalu mendengarkan kemauan anaknya. Walaupun tidak semuanya harus dituruti dan diwujudkan tetapi saya yakin beliau telah mengusahakan yang terbaik. Tidak hanya untuk saya saja, adik saya juga demikian.

Maka, saya hanya bisa berdo'a, semoga Tuhan membalas apa yang telah beliau lakukan dengan caraNya sendiri. Panjangkan umurnya, berikan kesehatan, dan lancarkan segala urusannya, agar kelak di surga nanti beliau tidak ikut menanggung dosa-dosa yang saya perbuat.

Jikalau engkau membaca tulisan ini apalagi sambil mendengarkan lagu Titip Rindu Buat Ayah (Ebiet G. Ade); Ayah(The Mercy's/Rinto Harahap); atau juga Ayah (Koes Plus), maka doakanlah ayah-ayah dan bapak-bapakmu juga. Kalau engkau seorang lelaki wajib rasanya bagimu, karena kelak engkau kan seperti beliau-beliau itu jua.

Paninggilan, 26 September 2010. 01:31.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...