Selasa, 14 September 2010

Mudik

Orang tak bisa tak mudik, karena hidup adalah pergi untuk kembali. Atau, perginya orang hidup, adalah kembali*.

Dengan demikian, mudik yang mulanya hanya kebiasaan perlahan-lahan menjadi semacam tradisi. Kemudian, oleh dinamika dan mobilitas masyarakat ia berevolusi kembali menjadi suatu budaya yang berulang setiap tahun. Pun kini ketika budaya tersebut mereinkarnasi wujudnya menjadi semacam ritual yang boleh dibilang 'wajib' tanpa harus mengacu pada aliran mazhab tertentu.

Begitu dahsyatnya peristiwa mudik ini sehingga menjadi barang yang laku dijual setiap tahunnya. Stasiun TV dan media elektronik lainnya saling berlomba menayangkan dan menyiarkan informasi terkini seputar arus lalu-lintas jalur mudik. Bahkan, ada beberapa yang disertai pemandangan visual langsung pada titik-titik yang menjadi sentral pergerakan kaum pemudik.


Sejatinya mudik adalah untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang. Bisa saja itu berupa wujud fisik dan non-fisik. Wujud fisik itu bisa menjelma dalam bentuk raga orang tua dan segenap sanak famili keluarga besar. Berbeda dengan wujud non-fisik yang bisa hadir dalam bentuk abstrak seperti suasana kampung halaman dan segenap perasaan yang melingkupinya.

Secara kasat mata, mudik seringkali diibaratkan sebagai sarana untuk menjalin silaturahmi sambil menemukan kembali semangat dalam balutan suasana kekeluargaan. Maka, esensi dari mudik itu sendiri harus tetap terjaga dalam ikatan fisik dan non-fisik itu tadi.

Disadari atau tidak, orang membutuhkan mudik, terlepas dari modus dan motif mudik itu sendiri. Mudik sangat penting untuk mengisi kekosongan diri di tengah zaman yang menindas harkat manusia dan derajat kemanusiaan**. Mudik lebaran yang secara sosiologis dirayakan setahun sekali menjadi momentum yang jangan sampai terlewat.

Mumpung masih ada jatah umur, lebih baik rajin-rajin pulang kampung. Dan yang paling efektif adalah menjelang atau seusai Ramadhan. Suatu waktu dimana semua keluarga pasti berkumpul dan kita bisa bercengkerama beberapa saat untuk menutupi kekecewaan dan kenyataan dalam hidup yang tidak selalu menyenangkan yang terlanjur menggumpal dalam kalbu.

Lebih jauh, mudik mengajarkan makna sebenarnya dari Innalillah wa inna ilaihi roji'un. Bahwa hakikat setiap detik kehidupan adalah untuk berproses dalam lingkaran tersebut: segala yang berasal dari Allah akan kembali juga pada Allah. Kita dan apa saja adalah hak-Nya dan satu-satunya kemungkinan hanyalah kembali ke pangkuan-Nya.

Barakallahi wallakum. Wallahu'alam bis shawab. Selamat bermudik.


Pharmindo, 12 September 2010. 23:12


* Emha Ainun Najib dalam esai ''Mudik Keluarga, Mudik Bangsa'' dalam buku ''Jejak Tinju Pak Kiai'', Penerbit Buku Kompas, 2008.

** Masih dari sumber buku yang sama diatas.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...