Kamis, 05 Juli 2012

Lewat Djam Malam: Sejarah Bangsa yang Terlupakan

Seingat saya, pertama kali tahu mengenai penayangan kembali film “Lewat Djam Malam” ini melalui twitter. Setelah sempat menandai twit itu sebagai favorite tidak lama kemudian saya segera lupa. Saya teringat kembali pada film itu saat iseng melihat jadwal film bioskop di sebuah harian ibukota. Pun ketika @ginaSnoer dan @hikmatdarmawan mengganti profile picture mereka dengan poster film ini. Saya khawatir takut melewatkan film Lewat Djam Malam ini karena hanya tayang satu-satunya di Plaza Senayan XXI. Semangat untuk menonton kembali meninggi tapi harus saya redam karena saat itu juga saya ditugaskan ke Bandung. Terus terang saya memang penasaran pada film ini. Entah, film ini menarik karena saya juga ingin melihat bagaimana hasil restorasi film yang dirilis pada tahun 1954 ini dan ditampilkan pula di Cannes Film Festival 2012.

Bila dirunut lagi ke belakang, ketertarikan atas film ini juga didasari pembacaan buku memoar kasih sayang Rosihan Anwar & Zuraida Sanawi yang ditulis oleh Rosihan Anwar sendiri. Memang tidak ada bab khusus yang membahas tentang hal ini. Namun, ada beberapa kali Rosihan Anwar menceritakan soal Sinematek dan perfilman Indonesia saat itu, medio 1950-an. Hal ini lumrah mengingat sutradara “Lewat Djam Malam”, Alm. H. Usmar Ismail sendiri adalah kakak ipar Rosihan Anwar. Kemudian, dalam majalah Horison edisi Juni 2012 kemarin membahas sosok seorang Alm. Misbach Yusa Biran, yang tetap bertahan dengan Sinematek. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya serta pertentangan status Sinematek dari tahun ke tahun setiap DKI Jakarta ganti Gubernur.


Poster Asli Film "Lewat Djam Malam" . Courtesy: Google Images

Lewat Djam Malam sendiri bercerita sesuai dengan latar masanya. Mengambil setting kota Bandung di pertengahan tahun 1950-an tepat saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan republik sedang gencar-gencarnya. Iskandar, seorang tentara republik turun gunung dan pulang ke rumah kekasihnya, Norma. Entry scene sudah menampilkan pelanggaran jam malam oleh Iskandar. Ia sempat dikejar oleh polisi yang jaga malam. Beruntung, Iskandar segera menemukan rumah kekasihnya. Kehadiran Iskandar di lingkungan keluarga Norma menghadirkan banyak tanya. Meski sudah bertunangan, terlihat sekali keraguan di mata ayah Norma. Iskandar sendiri tidak terlalu suka dengan keluarga tunangannya. Iskandar menganggap mereka hanyalah pribumi yang menikmati hasil perang kemerdekaan dan tidak pernah mengalami sulitnya jadi pejuang. Walaupun begitu, Iskandar dibuat sedikit beruntung karena ayah Norma segera mencarikan pekerjaan untuknya di kantor Gubernuran.

Iskandar tidak kerasan dengan pekerjaan barunya. Ia membutuhkan lebih dari sekedar adaptasi dengan lingkungan barunya ini. Revolusi kemerdekaan masih bercokol di kepalanya. Bayang-bayang perjuangan di hutan pegunungan masih terlalu membekas padanya. Ia tidak mampu menahan itu semua hingga akhirnya kehilangan pekerjaan yang belum genap sehari dijalaninya itu. Ia merasa disitu bukan tempatnya. Iskandar pun lalu menemui kawan-kawan seperjuangannya yang telah lebih dulu turun gunung. Iskandar sadar betul bahwa ia belum bisa beradaptasi dengan kehidupan barunya.

Ditemuinya Gofar pertama kali. Sesama teman perjuangan yang jadi pemborong. Pertemuan itu justru mengantarkannya pada Gunawan, mantan komandannya. Pertemuan dengan Gunawan bukan malah membuat hidup Iskandar jadi lebih baik. Ia terlibat dalam konflik batin yang menggumul dalam dirinya. Bayangan pembunuhan atas perintah Gunawan terus menghantuinya. Iskandar semakin kesal dengan Gunawan ketika mengetahui cerita-cerita tentang Gunawan dari Gofar dan Pujo, mantan anak buahnya dulu.

Semakin mengetahui keculasan yang dilakukan Gunawan semasa perang dahulu membuat pikiran Iskandar berkecamuk. Harta yang dirampas dari korban-korban yang dibunuhnya atas perintah Gunawan dulu ternyata digunakan untuk kepentingan pribadi Gunawan. Memang Gunawan mendirikan perusahaan dengan harta rampasan itu. Iskandar merasa dikhianati karena Gunawan selalu mengatasnamakan perjuangan dan revolusi yang belum berakhir untuk urusan perutnya sendiri. Sebagai seorang patriot, Iskandar tidak bisa menerima hal itu.

Scene pembantaian yang dilakukan Iskandar dan Pujo. Courtesy: Google Images

Entah bagaimana caranya, ia harus segera membuat perhitungan dengan Gunawan. Ia harus menuntut tanggung jawab Gunawan atas apa yang telah diperintahkannya. Atas bantuan Pujo, Iskandar pun menemui Gunawan. Gofar telah meyakinkannya bahwa kelak ia akan menemui kesiaan semata. Iskandar tetap bersikukuh dengan kehendaknya. Lalu, terjadilah peristiwa itu. Iskandar berhasil kabur dari pesta yang digelar Norma untuk menyambut kepulangannya. Gunawan tewas di tangan Iskandar. Memori pembunuhan itu agaknya terlalu menyeruak dalam batin Iskandar. Setelah itu, semua kawannya menjauh. Pujo, mendadak jadi seorang pengecut paling agung. Gofar pun tidak bisa berbuat apa-apa. Gofar telah mengingatkannya untuk kembali realistis dan menatap masa depan.

Iskandar mencoba untuk terus berlari. Ia memang sempat kembali ke rumah Norma. Namun, ketakutannya sendirilah yang justru mengantarkannya kepada malapetaka itu. Ia sempat lari dan tertangkap oleh Polisi Militer yang sedang berjaga. Beruntung lagi bagi Iskandar, komandan Polisi Militer mengenalinya dan bersedia mengantar Iskandar untuk pulang. Tidak selesai sampai disitu, Iskandar pun melarikan diri dari pos jaga Polisi Militer ketika diketahuinya berita kematian Gunawan telah menyebar seisi kota. Dengan segenap daya dan upaya terakhirnya, Iskandar mencoba lari sejauh dan secepat mungkin.

Iskandar cukup sadar bahwa tidak ada yang bisa melindunginya. Ia terbayang pada Norma yang selalu menerima dirinya apa adanya. Menyadari hal itu, Iskandar berlari sekuat tenaga untuk pulang. Sayang, sudah terlambat. Jam malam sudah diberlakukan. Iskandar tidak peduli dan terus berlari seraya berusaha kabur dari intaian Polisi Militer. Iskandar terus berlari walau beberapa tembakan telah mengenai kakinya.

Sementara di rumah, Norma sudah khawatir akan keberadaan Iskandar. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Iskandar tertembak di dekat rumah Norma. Untuk kesekian kalinya, Iskandar berhasil diselamatkan (kembali).


Sebuah Kritik

Film ini menggambarkan resistensi anak muda zaman perjuangan kemerdekaan. Sebagai seorang pejuang Iskandar heran melihat orang-orang di kota yang menikmati kemerdekaan begitu saja tanpa pernah memperhitungkan mereka yang gugur demi tegaknya Republik Indonesia tercinta. Suara hati Iskandar agaknya mirip dengan pesan terakhir Syafruddin Prawiranegara yang dikatakan menjelang ajalnya kepada Rosihan Anwar, “Lebih sakit dijajah oleh bangsa sendiri.” Maklum, waktu itu Pemerintah terlalu represif kepada pers dan Syafruddin Prawiranegara agaknya menyesali kejadian itu. Tidak jauh berbeda dengan kegalauan dan kegundahan hati seorang Iskandar.

Apa yang terjadi dengan bangsa ini? Kelak, bangsa ini akan kehilangan segalanya. Termasuk sejarah bangsanya sendiri. Perlahan-lahan, dari hari ke hari, semuanya seakan tampak nyata. Demikian pula yang terjadi pada karya-karya otentik anak bangsa, seperti film “Lewat Djam Malam” ini. Pertanyaan saya sejak awal film ini adalah mengapa tidak ada inisiatif Pemerintah dalam usaha restorasi film ini? Benar-benar menusuk hati. Restorasi fim ini melibatkan banyak pihak asing, seperti National Museum of Singapore, Yayasan Konfiden, Sinematek Indonesia, dan dikerjakan oleh Studio L'Immagine Ritrovata, Bologna, Italia.

Poster "Lewat Djam Malam" edisi pasca restorasi. Courtesy: Google Images

Lalu, dimana Pemerintah kita? Apa hanya selalu jadi wakil dalam setiap sambutan pembukaan semata sembari mengklaim bantuan yang telah diberikan? Dimana dukungan pemerintah terhadap hasil budaya bangsanya sendiri? Kenapa mesti ada campur tangan asing? Apa sudah sebegitu susahnya bagi kita untuk maju? Jangan heran bila kejadian zaman penjajahan terulang kembali. Kita semua tentu tidak ingin kehilangan sejarah bangsa kita sendiri. Masih lekat dalam benak kita mengenai koleksi peninggalan purbakala Indonesia yang terawat dengan apik di Leiden University. Jangan heran, bila beberapa tahun ke depan kita harus pergi ke Singapura untuk menonton film-film tempo doeloe karya bangsa sendiri.

Melalui berhasilnya program restorasi ini saya berharap bangsa ini tidak kehilangan jejak sejarahnya sendiri. Sejarah adalah sesuatu yang selalu berulang dan kita memang diharuskan mengambil pelajaran darinya. Seharusnya, warisan seperti ini tetap dipelihara. Daripada membuat film-film kontroversial “gak jelas” yang bertema komedi, misteri, dan seks lebih baik dananya dikumpulkan untuk restorasi film-film serupa. Bayangkan, berapa generasi bisa ikut menikmati sejarah bangsanya sendiri tanpa harus kehilangan identitas dan jati dirinya masing-masing.

Secara pribadi, saya cukup menikmati suasana kota Bandung zaman dulu. Sungai Cikapundung yang mengalir dibawah Jembatan Viaduct, panorama Gedung Sate, berpadu dengan lagu-lagu nasional macam Rasa Sayange, yang sempat ingin “diculik” oleh Malaysia, Potong Bebek Angsa, dan Halo-halo Bandung. Semua itu menghadirkan suatu romansa tersendiri. Romansa yang terjalin dalam harmoni sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Merdeka!


Judul : Lewat Djam Malam
Produser: Usmar Ismail, Djamaluddin Malik
Sutradara: Usmar Ismail
Pemeran: AN Alcaff, Netty Herawati, Dhalia, Bambang Hermanto, Rd Ismail, Awaludin, Titien Sumarni, Aedy Moward, Astaman, A Hadi, Wahid Chan, S Taharnunu, Lukman Jusuf
Tahun Rilis: 1954
Genre : Drama


Medan Merdeka Barat, 5 Juli 2012.

1 komentar:

Fikry mengatakan...

Bangsa ini telah kehilangan jati diri,, anak2 mudanya buta,
Orang2 tuanya tuli,
Para sejarawan bisu,,

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...