Sabtu, 19 September 2015

99 Untuk Tuhanku: Menggapai Kemesraan Lewat Puisi

Tuhanku,
berdekatankah kita
sedang rasa teramat jauh
tapi berjauhankah kita
sedang rasa begini dekat.


Ada banyak cara yang ditempuh sejumlah seniman untuk menggapai kemesraan dengan Tuhannya masing-masing. Emha Ainun Nadjib telah menempuh jalannya sendiri menuju Tuhan. Dengan puisi, Emha menyatakan kemesraan, cinta, dan kasih sayangnya kepada Tuhan. Emha lantas mengumpulkan semua puisinya itu dalam '99 Untuk Tuhanku' yang lahir kembali setelah 30 tahun lebih setelah penerbitannya yang pertama.

Tulisan ini mencatat beberapa hal yang saya tangkap dari beberapa puisi pilihan. Tentunya, dasar pemilihan puisi-puisi ini adalah puisi yang mengingatkan saya pada statement/pernyataan-pernyataan Emha dalam esai, ceramah, diskusi, yang lahir kemudian, jauh setelah lahirnya 99 puisi Emha untuk Tuhannya ini. Dengan harapan, bagi saya pribadi saya mampu menemukan hubungan dan kesesuaian sikap antar apa yang pernah ditulis dulu dengan apa yang dikatakan/dilakukan sekarang.

Dalam puisi ke-8, Emha menyatakan pelepasannya atas segala harapan, kenikmatan, dan kemungkinan sejarah untuk membawa dirinya pada suatu keadaan yang ideal. Namun, sejarah sendiri hanyalah paket-paket kegagahan dan kecengengan berisi pedang serta sampah dan perut para pemenang.
 
tapi apa gerangan sejarah, Kekasih?
ialah paket-paket kegagahan
dan kecengengan
berisi pedang serta sampah
dan perut para pemenang
 

Puisi ke-23 adalah pernyataan Emha atas jalan yang ia pilih dan sedang ia tempuh. Emha telah memilih jalan yang sunyi ditengah hiruk pikuk zaman. 

Tuhanku,
inilah sepiku
di tengah pekik zaman
yang membuatku bisu.
 

Puisi ke-30 memuat pernyataan Emha yang eksistensial. Tentu dengan makna konotatif khas puisi. Emha berseru pada Tuhannya agar tidak lantas menjadikan dunia ini sebagai tempat tinggalnya. Sebagai tempat tinggalnya dalam keabadian. Tidak. Emha tidak menginginkan dunia dengan berdiam didalamnya.
 
Tuhanku,
jangan katakan dunia ini
ialah tempat kediamanku.

Puisi ke-37 membuat saya teringat pada forum-forum Maiyahan maupun forum lainnya yang menghadirkan Emha sebagai pembicara. Emha membuka dirinya, menjadi orang tua, menjadi pendengar yang baik, menjadi lawan diskusi, bagi siapapun yang menginginkan interaksi dengan dirinya.
 
Tuhanku,
bagai Engkau, kusediakan cinta kasih bagi segala
hal yang tak beres, bagi racun-racun, para
musuh dan pengkhianatan, bagi yang enak
dicintai maupun yang tak sedap


Puisi nomor 42 tidak terlalu panjang. Menurut saya, puisi ini berkaitan dengan semangat Emha dalam memberikan pencerahan dalam masyarakat. Puisi ini berisi semangat Emha dalam menuju Tuhannya dengan tidak melarikan diri dari dunia yang semakin mengajarkan manusia untuk menjauhi Tuhannya. Dalam perjuangannya itu, Emha tidak pernah beranjak dari dirinya sendiri.

bukanlah karena aku ingin melarikan diri
dari dunia yang menjauhi-Mu ini
sebab dalam bertualang kepada-Mu
tak pernah aku beranjak
dari diriku sendiri.


Puisi nomor 59 menyatakan pertanyaan atau gugatan kecil Emha kepada Tuhannya. Dengan segenap kemajuan zaman yang semakin menjauhkan manusia dari Tuhannya, mengapa Tuhan tidak lantas menurunkan kembali pada Nabi. Emha menyatakan bahwa zaman-zaman ini adalah zaman yang membutuhkan lebih banyak Nabi. Puisi ini walaupun sederhana namun cenderung filosofis. Ada pertentangan pemikiran yang mendasari gagasan untuk menurunkan kembali Nabi setelah Khatammul Anbiya Rasulullah SAW.
 
Tuhanku
apakah sesungguhnya arti kehendak-Mu
dengan tak menurunkan lagi
seorang Nabi pun
untuk zaman yang membutuhkan
lebih banyak Nabi-Nabi?


Dalam puisinya yang ke-65, Emha menyisipkan doa. Agar kita selalu berendah hati dalam memohon kepada Tuhan dan hanya bertanya apa yang dibutuhkan dan sejati didambakan. Puisi ini memiliki makna yang panjang. Emha tidak menggiring pembaca untuk berdoa apa saja kepada Tuhan walaupun Tuhan telah bersabda: memintalah kepada-Ku, niscaya aku kabulkan. Emha seakan mengingatkan bahwa memintalah hanya yang diperlukan dan dibutuhkan. 

Tuhanku
anugerahilah kami kerendahan hati
untuk senantiasa memohon dan bertanya kepada-Mu
apa yang sesungguhnya kami butuhkan
apa yang murni kami perlukan
apa yang sejati, sejati-sejatinya
kami dambakan

Puisi nomor 76 memuat lagi pilihan Emha. Emha sengaja memilih sepi. Sepi yang sunyi. Barangkali dalam sepi sunyi itu, Emha menafsir rahasia-rahasia Tuhan dalam semesta ruang dan waktu. Emha memilih untuk menepi dalam sepi sunyi. Tak terpengaruh riuh rendah deru kehidupan yang tak henti selalu mendorongnya untuk tampil kembali.

Tuhanku Yang Mahahening!
kupilih sepi
sepi yang sunyi
maupun sepi dalam ramai.
sepi rahasia-Mu
yang menampung semesta ruang dan waktu
tak penuh oleh keributan jagat seribu
 

Emha kembali menyatakan pembebasan jiwanya pada puisi ke-87. Emha telah melepaskan segala ikatannya terhadap kekuasaan. Ia lepaskan juga ikatannya terhadap perkumpulan apapun. Ia ingin jadi individu dengan jiwa yang bebas jua. Tidak diperintah dan tidak memiliki. Emha hanya milik Tuhannya belaka. Maka, ia berikan segala hak apapun kepada yang berhak menerima darinya.
 
Tuhanku,
tak ingin aku memerintah
memerintah ialah diperintah.
tak ingin aku memiliki
memiliki adalah dimiliki.
Tuhanku,
berserah diri kepada-Mu
menumbuhkan segala kekuatan
yang tak bisa diganggu

Bagi Emha, cara ini adalah sebuah sembahyang. Sembahyang sederhana sebagai usaha untuk merebut dirinya sendiri dari tengah cengkeraman kehidupan, kebudayaan, peradaban, politik, ekonomi, persaingan kalah-menang serta berbagai macam kecenderungan yang makin menjauhkannya kepada Allah SWT.

Sebutlah Emha sedang membaca puisi, berdoa, melakukan suatu pertobatan, suatu katarsis pikiran dan roh, atau bahkan sedang melaporkan kekhilafan-kekhilafannya, maka semuanya itu adalah benar. Puisi-puisi Emha mengikuti modifikasi budaya yang merangkum maknanya sebagai ungkapan rasa keagamaan, keindahan, kesenian, sekaligus pernyataan terus menerus akan kebenaran Allah SWT.

Dengan makna-makna yang tak terpilahkan itu maka Emha telah memilih sikap hidup yang sekaligus melandasi pola ungkapnya. Kesemua puisi Emha telah dibawanya ke dalam suatu sikap sembahyang, yakni buku ini sendiri '99 Untuk Tuhanku'.

Semua puisinya dimulai dengan nama Tuhanku. Seolah 99 puisi Emha ini mentafakkuri keberadaannya yang sama dengan jumlah nama-nama Allah SWT-Asmaul Husna.

Catatan Personal

Walaupun puisi-puisi lahir sebelum masa reformasi tahun 1998, tahun dimana Emha tampil terakhir kalinya di layar televisi, namun saya mencatat ada beberapa puisi (yang sudah saya tuliskan diatas) yang menjadi sikap Emha atas kejadian-kejadian seputar Reformasi 1998. Emha telah melepaskan segala ikatannya dengan pemerintahan, penguasa, partai, atau kelompok keagamaan manapun, setelah lengsernya Presiden Soeharto. Suatu tindakan yang didasari atas dasar keprihatinan batinnya ketika melihat kawan-kawan seperjuangannya ternyata ikut menikmati kue Reformasi 1998.

Dengan demikian, paripurna lah kiranya segenap puisi Emha yang terkumpul dalam buku ini. Puisi bagi Emha rupanya bukan hanya sebuah karya, sebuah jalan pemikiran. Tetapi, lebih jauh puisi juga adalah pola ungkap konsistensi sikap seorang Emha Ainun Nadjib.
 
Judul           : 99 Untuk Tuhanku
Penulis        : Emha Ainun Nadjib
Penerbit      : Penerbit Bentang
Tahun         : 2015
Tebal          : 112 hal.
Genre         : Puisi - Sastra Indonesia  

Dharmawangsa, 19 September 2015.

Jumat, 18 September 2015

Tiga Menguak Takdir

Kalau kami bitjara tentang kebudajaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudajaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudajaan baru jang sehat. 
- Surat Kepercayaan Gelanggang (hal. xi)


Tiga Menguak Takdir adalah cita-cita dari ketiga penggagasnya: Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Ide dasar atas terbitnya buku ini  sudah ada di kepala mereka sejak satu setengah tahun sebelum mereka mendirikan 'Gelanggang'. Gelanggang sendiri adalah sebuah rubrik kebudayaan yang mengisi warta mingguan 'Siasat'. Tabloid Siasat mulanya diasuh oleh Chairil Anwar dan Ida Nasution. Kemudian, dilanjutkan oleh Rivai Apin, Asrul Sani, Siti Nuraini, dan terakhir oleh Ramadhan K.H.

Gelanggang bisa diartikan sebagai termpat berkumpulnya sastrawan Angkatan '45. Pada waktu itu, Chairil-Rivai-Asrul hendak menjadikan Gelanggang sebagai suatu kumpulan kesenian (Kunstkring). Tetapi, setelah melalui berbagai diskusi dan pertukaran pikiran, mereka menemukan bahwa belum ada suatu dasar yang menjiwai pertanggungjawaban atas takdir mereka yang berada dalam kumpulan itu. Mereka membutuhkan sebuah angkatan untuk menamai kelompok Gelanggang ini. Angkatan ini tidak saja harus ada, tapi juga harus mempunyai pandangan hidup, suatu tujuan takdir.

Pada dasarnya, baik Chairil Anwar, Rivai Apin, maupun Asrul Sani, menempuh jalan kesenian yang berbeda. Mereka punya jalan masing-masing, yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya mereka. Bersatunya mereka dalam Gelanggang tidak lantas membuat setiap dari mereka harus mengikuti haluan salah seorang lainnya. Melainkan, ketiganya telah berupaya untuk menempuh jalan konsensus dan saling menghargai masing-masing pribadi.

"Pendekatan ini tidak berarti menuruti salah satu garis atau garis dari salah seorang dari kami, tapi dalam saling menghargai segi-segi yang dihadapi masing-masing. Garis dasar yang satu, bagi kami apriori, tidak usah dipertengkarkan lagi." Demikian, Asrul Sani menulis.

Kumpulan puisi ini membawa kita menyelami pemikiran dan perasaan Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Dengan segenap perbedaan, mereka bersatu demi mencapai cita-cita yang mereka sebut  sebagai 'suatu tujuan takdir'. Lantas, 'takdir' seperti apa yang sebenarnya mereka perjuangkan?

Generasi Gelanggang yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Angkatan '45 lahir dan berawal dari kecamuk dan kegetiran atas Perang Kemerdekaan. Kemenangan atas perang akan mengantarkan kemerdekaan. 'Surat Kepercayaan Gelanggang' pun menyuratkan bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.

Tekanan perasaan dan pikiran semasa itu serta keadaan ekonomi yang mengguncang, telah memenjarakan kemerdekaan mereka. Puisi, lantas menjadi jalan keluar sebagai jalan pembebasan. Rivai Apin sendiri memaknai kemerdekaan kebebasan sebagai kebebasan berkata, berpikir, atau berekspresi yang harus diperjuangkan sendiri. Sedangkan, Asrul Sani, memaknainya dengan pengembaraan ke dunia luas dan alam bebas, seperti tertulis dalam puisinya, 'Surat Untuk Ibu'.

Pembebasan juga tidak hanya dimaknai sebagai pengembaraan jasmani, tetapi juga pengembaraan pikiran. Pengembaraan yang mendaparkan Rivai Apin dalam kehidupan yang tak kenal siang. Tercatat dalam sajak "Anak Malam". Puisi juga menjadi media apresiasi mereka terhadap para pejuang yang telah mengorbankan nyawa, demi tercapainya kemerdekaan. Chairil Anwar menulisnya dalam "Antara Krawang - Bekasi" dan Asrul Sani dengan "Sebagai Kenangan kepada Amir Hamzah, Penyair yang Terbunuh".

Tiga Menguak Takdir terbit pertama kali tahun 1950 oleh Balai Pustaka. Pada tahun yang sama pula, "Surat Kepercayaan Gelanggang" diterbitkan di majalah. Surat itu seakan menjadi jawaban atas Polemik Kebudayaan generasi Pujangga Baru. Pernyataan sikap yang demikian itu seolah memutus generasi sebelumnya. Sebuah upaya dan usaha untuk menguak takdir selanjutnya telah ditegakkan. Sebuah angkatan baru telah dibentuk. Chairil-Rivai-Asrul menegaskan sikap kepengarangan dan gerak estetika mereka dalam buku ini. Sajak-sajak mereka berkatalah dengan sendirinya.

Catatan Personal

Seandainya saya mengenal buku ini 11-12 tahun yang lalu, tentu saya tidak akan terlalu kebingungan dalam menjawab soal-soal Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Saya terus terang merasa kesulitan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar generasi Pujangga Baru, Tabloid/majalah Siasat, Angkatan '45, Surat Kepercayaan Gelanggang, dan segenap persoalan sastra Indonesia di masa itu. Saya belum membaca sendiri seperti apa buku-buku yang sering menjadi pertanyaan dalam soal-soal ujian. Misalnya, Atheis, Tiga Menguak Takdir, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, hingga Olenka karya sang maestro Budi Darma.

Saya sendiri perlu melakukan penelitian (observasi, lebih tepatnya) lebih lanjut dan mendalam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan saya sendiri terhadap Tiga Menguak Takdir. Yaitu, apa dasar bagi Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani, yang menjadi alasan penentu karya-karya yang ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir? Saya yakin bahwa ketiganya sudah memiliki satu buku kumpulan puisinya yang paling lengkap. Lalu, bagaimana ketiganya melakukan seleksi atau pemilihan atas karya-karya mereka sendiri untuk ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir? Saya rasa, saya masih harus mengkajinya dengan mencermati tanda zaman waktu itu; zaman perang kemerdekaan.

Overall, bisa dibilang, penemuan buku ini bagi saya pribadi adalah menguak takdir atas diri saya lebih dari satu dekade kemarin. Barangkali, ada maksud tersendiri mengapa saya harus baru bisa menamatkan Tiga Menguak Takdir ini usai Tragedi Crane yang jatuh di Mekkah sana. Ya, barangkali.

Judul           : Tiga Menguak Takdir
Penulis        : Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani
Penerbit      : Balai Pustaka
Tahun         : 2013
Tebal          : 82 hal.
Genre         : Sastra Indonesia


Dharmawangsa, 18 September 2015.

Selasa, 15 September 2015

Istriku Seribu: Sebuah Dialektika Poligami

Rahman dulu, baru Rahim. Beres cinta sosial dulu, barulah ketenteraman cinta pribadi. 
 Emha Ainun Nadjib (hal. 64)




Alhamdulillahirabbil'alamin. Lagi-lagi saya harus mengucapkan syukur ke hadirat Illahi Rabbi atas terbitnya kembali buku ini yang saya beli berbarengan dengan buku Emha lainnya, yaitu "99 Untuk Tuhanku". "Istriku Seribu" rupanya menempuh perjalanan yang lumayan panjang untuk hadir kembali ditengah-tengah masyarakat.
 
"Istriku Seribu" merupakan kumpulan esai Emha Ainun Nadjib yang mengangkat isu poligami dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Mulai dari asal mula turunnya ayat yang mengatur poligami, kewajiban manusia terhadap sesamanya, prasangka manusia yang membutakan, hingga konsep cinta dalam berbagai bentuk. Emha kali ini tidak tampil sendirian. Ia ditemani oleh Yai (Kiai) Sudrun, barangkali pembaca Emha sudah kenal sebelumnya.
 
Sebagian pembaca pasti kaget bila menyadari bahwa buku ini tidaklah cukup tebal untuk membahas isu semacam poligami. Pembaca mungkin tidak akan percaya bahwa Emha mampu menguraikan hal-hal yang demikian itu dalam buku yang tebalnya tak sampai 100 halaman. Pun, dimensi buku ini pun cenderung lebih kecil dari buku komik Jepang terjemahan.
 
Perlu dipahami juga bahwa walaupun esai-esai didalamnya berdiri dengan judul masing-masing, sesungguhnya semuanya itu adalah satu jua adanya. Emha dengan cerdik menempatkan esai-esainya sedemikian rupa agar pembaca mampu mencerna pelajaran dari setiap kisah, cerita, dan segenap dialektikanya bersama Yai Sudrun. Memang telah disinggung di bagian awal bahwa sedianya judul asli tulisan dalam "Istriku Seribu" ini adalah "Poligami Monopoligami Nopomimogali", yang lantas membuat Yai Sudrun langsung naik pitam.
 
Dalam memahami "Istriku Seribu", pembaca harus membaca esai dengan urut mulai dari awal. Harus ada kesepahaman nilai terlebih dahulu dengan penulisnya sebelum menafsirkan isi buku ini. Mungkin hal itu diperlukan pengulangan beberapa kali demi tercapainya satu konsensus bersama dan juga sebagai ijtihad agar tidak salah mengartikan.
 
Untuk mulai proses memahami tersebut, bisa dimulai pada esai 'Sudrun dan Tuhan Tak Mau Diduakan', Emha mengajak kita untuk memahami Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang baginya Aisyah itu adalah istri utama namun menjelang dicabutnya nyawa Beliau, yang disebut-sebut justru bukanlah Aisyah R.A, melainkan "Ummatiii... Ummatiii..". Kemudian, pada konteks sifat Allah SWT Ar-Rahim (cinta ke dalam, cinta vertikal, cinta personal) istri kita adalah ibunya anak-anak kita. Persuami-istrian lelaki-perempuan adalah suami-istri dengan skala ar-Rahim, meskipun berposisi dialektis dengan ar-Rahman: suami-istri sosial (cinta meluas, horizontal, keluar). Pada Kanjeng Nabi, istri ar-Rahim-nya adalah Khadijah, yang bersamanya justru beliau berdua memberi kontribusi-kontribusi sangat besar secara ar-Rahman.
 
Setelah Khadijah R.A wafat, istri ar-Rahim Beliau adalah Aisyah. Istri beliau yang lain pada masa sepuhnya adalah istri-istri dalam konteks ar-Rahman: istri sosial, istri yang diambil karena dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial: banyaknya janda-janda peperangan, sejumlah wanita teraniaya, jumlah tak seimbang antara lelaki dan perempuan.
 
Kaum Muslim bersemayam di kandungan kalbu Kanjeng Nabi, terkadang bagai salju yang sejuk, terkadang bagai api yang membakar dada beliau. Kanjeng Nabi tidak punya masalah pribadi dengan manusia, dunia, atau Tuhan. Beliau sudah dijamin masuk surga. Namun, setiap malam, Kanjeng Nabi bersujud, tahajud, menangis, menangis, menangis. Dan yang Beliau tangisi bukan diri Beliau sendiri, bukan istrinya yang ar-Rahim, Khadijah almarhumah atau Aisyah, melainkan istri ar-Rahman: yakni Umat Islam.
 
Mungkin salah satu hal yang Kanjeng Nabi tangisi adalah karena Kaum Muslim yang istri utamanya tidak pernah benar-benar meletakkan Beliau sebagai istri atau suami Beliau yang utama. Dalam hampir semua bagian dari sejarahnya, Kaum Muslim memperistrikan-atau lebih akurat: mempermaisurikan-harta benda, kekuasaan, kepentingan pribadi, dan keserakahan dunia. Allah dan Muhammad seringkali disebut-sebut dalam konteks kepentingan untuk mendapatkan kekayaan atau kekuasaan. Allah dan Kanjeng Nabi hanya instrumen bagi Kaum Muslim  yang dipakai untuk memperbanyak perolehan modal, deposit materi, kekuasaan, atau popularitas.(Hal. 47-49)
 
Emha mulai bicara lugas soal poligami sejak asal-usul hingga pedoman pelaksanaannya sejak esai berjudul 'Satu Suami Ratusan Istri'. Pada zaman sebelum Kanjeng Nabi mengantarkan ajaran Allah, lelaki di masyarakat meletakkan kaum wanita sebagai barang atau aksesori berlian atau budak. Lelaki waktu itu, kalau kaya, bisa mengawini ratusan wanita. Kaum wanita dianiaya, direndahkan derajatnya, dianggap barang, diambil dan dibuang semaunya oleh lelaki.
 
Dalam keadaan itu, Allah SWT melakukan revolusi: dari fakta ratusan istri diradikalkan menjadi hanya paling banyak empat istri, dengan peringatan keras jangan mengeksploitasi mereka dalam hal apapun. Dari ratusan istri diradikalkan menjadi empat istri merupakan sebuah tahap, Dan, tahap inilah yang dipergunakan oleh sebagian besar pelaku pernikahan dalam Islam untuk dipakai sebagai dasar hukum bahwa lelaki boleh beristri empat. Segala sesuatunya disetop disini dan dilegitimasi bahwa syariat Islam memperkenankan hal itu, seolah-olah tidak ada dimensi lain yang perlu dipertimbangkan. Maka, seluruh dunia pada abad 21 ini beranggapan seperti itu, stagnan dalam justifikasi bahwa Islam memperbolehkan lelaki kawin empat. (hal. 84-86)

Esai selanjutnya, 'Tuhan Mengajak Berdiskusi' berisi diskusi antara ayat Tuhan dengan akal pikiran manusia. Tuhan tidak hanya memberi perintah, tetapi juga mengajak manusia berdiskusi, agar manusia memproses pemikirannya kemudian mengambil keputusan sendiri dengan akalnya.

Pada kalimat yang sama, dengan radikalisasi ratusan istri menjadi empat istri, Tuhan memancing kedewasaan akal manusia: Kalau engkau takut tidak akan bisa berbuat adil, maka satu istri saja. Itu pun kalimat sebelumnya, yang menyebut istri satu atau dua atau tiga atau empat dimulai dengan kata 'maka'. Artinya,  pasti ada anak kalimat sebelumnya. Ada latar belakangnya, ada pertimbangan-pertimbangannya, tidak bisa dipotong disitu.

Maka, kawin empat itu juga berangkat dari prasyarat-prasyarat sosial yang kita himpun  disamping dari yang dipaparkan oleh Tuhan dan sejarah, juga kita cari melalui aktivitas akal kita sendiri. Kawin empat, menurut kematangan akal dan rasa kalbu kemanusiaan, tidak pantas dilakukan atas pertimbangan individu. Ia memiliki konteks sosial. Ia bukan merupakan hak individu, melainkan kewajiban sosial. Kewajiban adalah sesuatu yang 'terpaksa' atau wajib kita lakukan, senang atau tidak senang. Karena masalahnya tidak terletak pada selera, kenikmatan atau kemauan pribadi, melainkan pada kemaslahatan bersama.

Engkau menjadi manusia yang tidak tahu diri kalau Tuhan mengatakan, 'kalau engkau takut tak bisa berbuat adil...' lantas engkau bersombong menjawab kepada Tuhan, 'Aku bisa kok berbuat adil', kemudian ambil perempuan jadi istri keduamu. Bahkan engkau nyatakan 'Aku ingin memberi contoh poligami yang baik'-seolah-olah Tuhan tidak membekalimu dengan akal dan rasa kalbu kemanusiaan. (hal. 88-90)

Melalui "Istriku Seribu", Emha mengajak kita untuk senantiasa berijtihad dengan memproses pemikiran dengan akal dan rasa kalbu kemanusiaan. Emha tidak menafsirkan poligami menjadi sebuah polemik yang kaku dan tetap. Emha ingin berpesan bahwa banyak hal-hal yang harus dipahami terlebih dahulu dalam memaknai satu dan sekian banyak ayat-ayat Tuhan. Termasuk implikasi sosio-historisnya dalam konteks kehidupan berkeluarga. Emha tidak berkata tidak kepada poligami, tetapi ia menegaskan kembali satu persyaratan utama dari Allah SWT. Satu hal yang sering kita anggap remeh; bahwa kita bisa dan mampu berlaku adil. Sedang, Tuhan-yang menciptakan manusia-sangatlah paham, bahwa ciptaannya itu takkan mampu berbuat demikian.
 
Catatan Singkat

Usai pembacaan buku ini selesai, saya tidak hanya mendapatkan penjelasan Emha mengenai poligami yang telah diuraikan diatas, buku ini juga mengantarkan saya kembali pada definisi Manajemen, dimana sebelumnya pada bulan Ramadhan tahun 2011 lalu pernah saya muat juga dalam blog ini. Bila pembaca penasaran, sila loncat ke halaman 39 atau klik link berikut.

Selain definisi manajemen versi Emha Ainun Nadjib, saya juga menemukan keteguhan sikap Emha atas dunia. Seperti yang pernah saya saksikan pada satu sesi pengajian Maiyahan.
 
"Silakan menertawakanku, melecehkanku, membuangku. Namun, engkau wahai dunia, tidak akan sedikit pun pernah mampu mengubah sejengkal saja kakiku dari pijakan cinta yang kupilih."
 
"Kalian tidak akan pernah bisa memusnahkanku, karena aku sudah merdeka dari kemusnahan, sudah merdeka dari yang kalian pahami sebagai kehidupan dan kematian." (hal. 58)

Sungguh tegas pernyataan Emha diatas. Pernyataan yang lahir dari keteguhan hati dan kebesaran jiwa, yang hanya mendamba pada Allah SWT semata. Agaknya, mengenai sikap Ehma yang demikian itu tidaklah perlu diadakan penelitian tersendiri. Lintasan waktu sejarah telah menggembleng Emha untuk menempuh jalan sunyinya sendiri.

Judul           : Istriku Seribu
Penulis        : Emha Ainun Nadjib
Penerbit      : Penerbit Bentang
Tahun         : 2015
Tebal          : 98 hal.
Genre         : Agama Islam-Sosial dan Budaya 


Dharmawangsa, 15 September 2015.

Senin, 14 September 2015

Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers dan Dr. Strehler

Sejarah adalah hal yang selalu menarik untuk diulang kembali. Termasuk, kehadiran buku yang menerbitkan kembali sejumlah artikel bertema sejarah Batavia. Buku ini memuat kembali tulisan-tulisan Frieda Amran dalam Rubrik Wisata Kota Toea harian Warta Kota. Ini merupakan sebuah pengakuan bahwa tulisan-tulisan tersebut memiliki nilai yang bukan hanya sekedar nilai jual tetapi juga nilai-nilai sosio-historis yang menggambarkan suasana tempo dulu di Kota Jakarta.


Frieda Amran tidak hanya menulis tentang kawasan perdagangan yang dulu pernah dikelilingi tempok penanda kota itu. Artikel lainnya juga memotret asal muasal nawa kawasan, bangunan landmark suatu wilayah, tokoh-tokoh, dan tentang budaya, kebiasaan, perilaku, dan potret sosial Jakarta tempo dulu.

Kisah perjalanan "Kapten Woodes Rogers dan Harta Karun Armada Spanyol" jadi cerita pembuka buku ini. Kapten Woodes Rogers adalah pelaut Kerajaan Inggris yang ditugasi menghalau dan merampas muatan kapal-kapal Spanyol yang berlayar dari Amerika Selatan. Alasannya, kapal-kapal Spanyol mengangkut emas dan barang-barang berharga lainnya dari tanah jajahan mereka. Buat saya, cerita itu menegaskan kembali apa yang pernah dikatakan Ibu Guru Sejarah dulu, "Britannia Rules The Waves!".

Cerita yang agak panjang ada pada cerita kedua setelah kejayaan Sang Kapten Woodes Rogers. "Terang Bulan di Laut: Menuju Batavia" adalah kisah petikan dari buku harian seorang dokter berkebangsaan Jerman, dr. Strehler. Ia adalah seorang tenaga medis di sebuah kapal Belanda yang bulak-balik berlayar ke Tropisch Nederland (Belanda Tropis) alias Hindia Belanda. Catatan hariannya itu kemudian terbit pada tahun 1833 sebagai buku berjudul: "Bijzonderheden wegens Batavia en deszelfs omstreken: uit het dagboek gedurende twee reizen derwaarts in 1828-1830 van Dr. Strehler.

Setelah cerita tersebut, penulis mengangkat kisah-kisah lain seputar kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Secara rinci namun ringan penulis menceritakan perbedaan yang dialami oleh warga Batavia yang heterogen, kemegahan khas Eropa di khatulistiwa, suasana Passer Baroe (Pasar Baru), kehidupan kesenian di Gedung Kesenian (Schouwburg), suasana malam minggu di Batavia, kenikmatan pijat dan musik, hingga persoalan akomodasi di Batavia tidak luput dari perhatian penulis.

Pada umumnya, buku ini bercerita tentang hal-hal menarik yang terlewatkan dan dilewatkan begitu saja oleh ahli-ahli sejarah, karena untuk penelitian mereka itu tidaklah penting, terlalu ringan atau terlalu rinci. Bagaimana cerita pelaut-pelaut pertama yang berlayar selama delapan bulan di laut lepas sebelum kapal mereka membuang sauh di perairan Sunda Kelapa? Apa yang dimakan di kapal? Apa saja yang dilakukan untuk mengusir kejenuhan dan rasa bosan? Cerita-cerita ringan itu justru memuat gambaran menarik mengenai orang Indonesia sehari-hari. Cerita kehidupan sosial sehari-hari orang Belanda, orang Indo-Belanda dan orang Indonesia di Batavia merupakan bagian sejarah yang tak kalah pentingnya dengan isu penjajahan dan masa pemerintahan Hindia-Belanda.

Buku ini tidak seperti buku-buku sejarah pada umumnya. Penampilannya ringkas, mudah dibaca, dan tidak terlalu tebal (untuk ukuran buku sejarah). Buku ini bisa dibaca sekali duduk hingga tamat. Penulisnya sangat mampu untuk membuat tulisan sejarah yang nyaman tanpa pembaca harus merasa sedang dibebani tugas untuk menamatkan pembacaan karya ilmiah kesejarahan. 

Akhir kata, penerbitan kisah-kisah lama ini demi meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kesejarahan, terutama dalam memahami konteks zaman keemasan Batavia yang sempat dianggap sebagai kota yang paling modern di Asia Tenggara sejalan dengan niat mulia untuk membantu meningkatkan kepedulian dan minat pada sejarah dan warisan budaya, khususnya periode emas Batavia. Serta, Sejarah Indonesia umumnya.


Judul           : Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers dan Dr. Strehler
Penulis        : Frieda Amran
Penerbit      : Penerbit Buku Kompas
Tahun         : 2012
Tebal          : 128 hal.
Genre         : Sejarah-Sosial dan Budaya


Medan Merdeka Barat, 14 September 2015.

Sabtu, 12 September 2015

Tragedi Mekkah


Musim Haji tahun ini kembali diwarnai dengan jatuhnya korban jiwa. Kali ini, crane proyek perluasan Masjidil Haram jatuh dan menyebabkan 200 lebih korban meninggal dan ratusan mengalami luka. Bahkan, Jamaah Haji asal Indonesia turut menjadi korban meninggal.

Bukan sekali ini terjadi tragedi di musim haji. Tahun 1990, Tragedi Mina cukup membuka mata kita bahwa perencanaan dan sistematisasi ibadah haji adalah hal yang amat penting sehingga tidak perlu menimbulkan korban sebanyak itu. Saya terkenang kembali kejadian itu setelah membaca catatan Emha Ainun Nadjib dalam bukunya yang saya lupa judulnya.

Kejadian semacam ini secara kasat mata membuktikan bahwa otoritas penyelenggara haji tidak belajar dari Tragedi Mina 1990. Faktor keselamatan Jamaah setidaknya perlu dievaluasi kembali mengingat ritual tahunan ini mendatangkan cukup banyak Jamaah dari segala penjuru dunia.

Berkaca dari hal-hal diatas, Pemerintah Arab Saudi seharusnya bukan sekedar menginvestigasi penyebab kejadian ini namun perlu juga untuk mengindikasikan adanya tindakan kriminal. Tindakan kriminal atas kelalaian penyelenggaraan proyek perluasan Masjidil Haram. Apakah faktor keselamatan Jamaah Haji selama proyek berlangsung mendapat perhatian khusus? Kemudian, apakah proyek tidak bisa dihentikan sementara selama musim haji berlangsung?

Lalu juga, jangan peristiwa syahidnya ratusan jamaah haji ini dijadikan pembenaran dengan mengatasnamakan takdir Allah SWT. Keselamatan jamaah haji harus jadi prioritas, sejak meninggalkan embarkasi hingga kembali ke embarkasi asalnya. Segala hazard atau potensi bahaya yang mungkin mengganggu keselamatan Jamaah harus dieliminir atau ditiadakan seminimal mungkin.

Perlu diingat, keselamatan bisa dicapai semaksimal mungkin bila hazard dimitigasi dan dikontrol dengan benar dan sistematis. Jamaah Haji bayar ONH bukan untuk dikecewakan apalagi meninggal saat beribadah. Tugas Pemerintah negara asal Jamaah dan Otoritas Penyelenggara Haji lah yang punya andil besar untuk keselamatan mereka.

Saya menulis catatan ini ketika Bapak dan Ibu Mertua sedang berada di sekitar Ka'bah. Tepat ketika SMS dari Bapak tiba dan berkata bahwa ia berada hanya 4 meter jauhnya dari TKP. Saya tidak ambil pusing dengan fakta-fakta proyek-apakah memang sudah sesuai standar atau tidak. Saya juga mengesampingan fakta soal cuaca serta implikasinya-misalkan, angin kencang dan badai pasir. Yang jelas, sebuah kecelakaan tidak terjadi begitu saja. Ada faktor-faktor penyebab dan kausalitas implikatif dari sekian potentious hazards. Nyatanya, kejadian selama Musim Haji yang menimbulkan banyak korban kembali terulang.

Pertanyaan saya, mengapa begitu mudah untuk membuat bangunan hotel mewah nan megah di sekitar Masjidil Haram tanpa menimbulkan banyak korban, namun proyek perluasan Masjidil Haram malah jadi sumber petaka? Saya khawatir hal ini ada hubungannya dengan mengapa para Nabi dan Waliyullah disebar di Jazirah Arab. Semoga Allah SWT menerima segala amal ibadah para syahid dan syahidah disana. Wallahu'alam.


Dharmawangsa, 12 September 2015.

Rabu, 02 September 2015

Bapak Ulang Tahun

Dad, you were there for me from the day I was born, always having my best interests in mind. You are one of the most important people in my life and I love you with my whole heart. I  may not be the perfect child, but you are the perfect papa. Happy birthday, Dad!



Tepat hari ini Bapak saya genap berusia 60 tahun. Sebuah pencapaian yang sarat akan pengalaman. Bagaimanapun, perjalanan hidupnya pernah mengalami banyak tanjakan dan turunan. Bahkan, tak jarang kakinya ditembus kerikil tajam yang berserakan diantara debu cinta yang bertebaran. 

Dulu, Bapak bekerja di Pabrik Pesawat terbesar se-ASEAN. Bapaklah yang mengenalkan saya pada makhluk ajaib ciptaan manusia yang bisa terbang itu. Kini, saya mengikuti jejak beliau. Bapak akan selalu jadi inspirasi saya. Kata orang, buah tidak jauh jatuh dari pohonnya. Saya mulai pahami maksud istilah itu ketika perlahan menyadari keadaan diri saya sekarang. Terlebih, ketika minggu lalu saya berada di satu tempat dimana Bapak menghabiskan dua dekade lebih masa kerjanya. Sungguh sebuah perasaan aneh menghinggapi saya. Namun, perasaan itu sirna dengan senyuman hangat dan jabat erat dari teman-teman Bapak semasa kerja dulu.

Rupanya, nostalgia seperti itu adalah semacam perjalanan sunyi bagi saya. Saya menerawang ke masa lalu dengan menempatkan sosok Bapak disitu. Saya menyadari bahwa tidak mudah baginya untuk menjalani hari demi hari. Supaya saya dan adik saya bisa terus sekolah, supaya dapur tetap ngebul, dan setahun sekali bisa berlebaran.

Anyway, selamat ulang tahun, Bapak. Saya (lagi-lagi) hanya bisa mengucapkannya dari jauh, tidak dengan sebuah pelukan hangat. Terima kasih, untuk berjuta pengalaman yang telah engkau ajarkan. Terima kasih, untuk setiap pengingat dan pelajaran yang tidak henti-hentinya engkau berikan. Tuhan memberkahi, selamat ulang tahun.


Medan Merdeka Barat, 2 September 2015.

Selasa, 01 September 2015

Celebrating 100.000 Viewers (Agustus 2008 - Agustus 2015)

Tepat di hari ulang tahun istri tercinta, saya mendapat kado terindah sepanjang karir saya menulis blog. Pembaca blog saya, menembus angka 100.001 pembaca (shared at 31 Agustus 2015, at 10:47 WIB). Sebuah pencapaian yang buat saya pribadi amat pribadi. Walau tentunya angka pencapaian itu masih belum ada apa-apanya bila dihitung rata-rata view per bulan sejak mulai ngeblog pada bulan Agustus tahun 2008 lalu.



Personally, pencapaian 100.000 lebih pembaca (dan akan terus berlanjut) ini merupakan sesuatu yang sangat spesial bagi saya. Blog selendangwarna yang tadinya hanya akan memuat tulisan-tulisan soal review buku, film, dan musik, kini telah bertransformasi dengan tema tulisan yang bertema personal dan kontemplatif. Saya pun kini tidak segan lagi bila ingin berbagi cerita pengalaman sendiri di blog. Sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya.

Saya percaya bahwa setiap tulisan mempunyai pembacanya sendiri. Alhasil, saya tidak pernah menamai diri saya sebagai 'blogger'. Pun, berafiliasi dengan menjadi atau pun bergabung dengan perkumpulan blogger mana pun. Alasannya sederhana. Saya hanya ingin tetap menulis tanpa ada pengaruh siapa pun. Saya ingin menjadi penulis yang jujur dan terus tetap menulis tanpa ada kepentingan apapun selain menulis itu sendiri.

Tujuan awal dari dimulainya SelendangWarna Project adalah sebagai dokumentasi pikiran. Saya juga punya keyakinan bahwa dokumentasi akan tetap abadi. Saya, waktu itu (2008) membayangkan bahwa teknologi akan semakin canggih. Mesin pencari Google akan terus dioptimalkan sehingga akan sangat mudah menemukan informasi tentang hal apapun. Dengan adanya diversifikasi media, penggunaan perangkat teknologi pun akan menjadi sangat vital. Berangkat dari situ, maka saya usahakan untuk tetap menulis, setidaknya satu tulisan setiap bulan.

Sejak tahun 2010, saya menetapkan target minimal 6 tulisan terbit di blog. Dengan tambahan tema yang personal dan kontemplatif memang membuat saya tidak terlalu kesulitan menentukan cerita mana yang akan ditulis dan diterbitkan. Beberapa tulisan dalam blog memang ada yang sempat diikutkan dalam lomba menulis. Meskipun begitu, saya rasa masih jarang cerpen yang saya tulis didokumentasikan disana. Saya menyimpannya dalam Goodreads Writing, walaupun belum semuanya.

Belakangan ini, saya bersyukur bahwa blog ini bisa menjadi identitas saya. Dengan maraknya situs social sharing/collaboration, saya dapat dengan leluasa menambahkan alamat blog saya dalam kolom profil. Saya pun dapat dengan mantap berkata "Search aja nama saya di Google, kalau ingin tahu siapa saya.". Bukan tanpa alasan, mesin pencari Google yang semakin optimal membuat dunia semakin mudah menemukan saya. Bahkan, sejak 2008, dosen saya yang sedang short course di Paris menemukan tulisan saya di blog Wordpress yang kemudian jadi tema penelitiannya. For that reason, i'll keep some piece of mind there.

Saya sendiri pernah dibuat kaget ketika mencari sesuatu tentang hubungan Pramoedya Ananta Toer (Pram) dengan Ramon Magsaysay Award yang sempat dihujat oleh beberapa sastrawan. Sebabnya, hasil searching Google yang menunjukkan tulisan dalam blog saya sebagai 4 hits teratas. Alangkah hebatnya perubahan dalam mesin pencari Google ini sejak 2008 lalu. Saya bahkan bisa menemukan diri saya sendiri dalam tulisan yang pernah saya tulis.

Finally, menulis blog mengajarkan saya tentang banyak hal. Tentang konsistensi, misalnya. Menulis blog sendiri buat saya adalah pekerjaan rutin yang melepaskan saya dari segala kegilaan rutinitas harian. Ada waktu ketika saya dengan mudah membuat beberapa tulisan dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh. Ada kalanya saya belum punya bahan apa-apa untuk ditulis sehingga masih berjibaku dengan deadline setiap akhir bulan. Apapun itu, saya bersyukur bahwa kini sudah mampu menulis dan menerbitkan 549 blogpost. Saya tidak akan berhenti menulis, terima kasih.


Trunojoyo, 31 Agustus 2015.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...