Sabtu, 19 September 2015

99 Untuk Tuhanku: Menggapai Kemesraan Lewat Puisi

Tuhanku,
berdekatankah kita
sedang rasa teramat jauh
tapi berjauhankah kita
sedang rasa begini dekat.


Ada banyak cara yang ditempuh sejumlah seniman untuk menggapai kemesraan dengan Tuhannya masing-masing. Emha Ainun Nadjib telah menempuh jalannya sendiri menuju Tuhan. Dengan puisi, Emha menyatakan kemesraan, cinta, dan kasih sayangnya kepada Tuhan. Emha lantas mengumpulkan semua puisinya itu dalam '99 Untuk Tuhanku' yang lahir kembali setelah 30 tahun lebih setelah penerbitannya yang pertama.

Tulisan ini mencatat beberapa hal yang saya tangkap dari beberapa puisi pilihan. Tentunya, dasar pemilihan puisi-puisi ini adalah puisi yang mengingatkan saya pada statement/pernyataan-pernyataan Emha dalam esai, ceramah, diskusi, yang lahir kemudian, jauh setelah lahirnya 99 puisi Emha untuk Tuhannya ini. Dengan harapan, bagi saya pribadi saya mampu menemukan hubungan dan kesesuaian sikap antar apa yang pernah ditulis dulu dengan apa yang dikatakan/dilakukan sekarang.

Dalam puisi ke-8, Emha menyatakan pelepasannya atas segala harapan, kenikmatan, dan kemungkinan sejarah untuk membawa dirinya pada suatu keadaan yang ideal. Namun, sejarah sendiri hanyalah paket-paket kegagahan dan kecengengan berisi pedang serta sampah dan perut para pemenang.
 
tapi apa gerangan sejarah, Kekasih?
ialah paket-paket kegagahan
dan kecengengan
berisi pedang serta sampah
dan perut para pemenang
 

Puisi ke-23 adalah pernyataan Emha atas jalan yang ia pilih dan sedang ia tempuh. Emha telah memilih jalan yang sunyi ditengah hiruk pikuk zaman. 

Tuhanku,
inilah sepiku
di tengah pekik zaman
yang membuatku bisu.
 

Puisi ke-30 memuat pernyataan Emha yang eksistensial. Tentu dengan makna konotatif khas puisi. Emha berseru pada Tuhannya agar tidak lantas menjadikan dunia ini sebagai tempat tinggalnya. Sebagai tempat tinggalnya dalam keabadian. Tidak. Emha tidak menginginkan dunia dengan berdiam didalamnya.
 
Tuhanku,
jangan katakan dunia ini
ialah tempat kediamanku.

Puisi ke-37 membuat saya teringat pada forum-forum Maiyahan maupun forum lainnya yang menghadirkan Emha sebagai pembicara. Emha membuka dirinya, menjadi orang tua, menjadi pendengar yang baik, menjadi lawan diskusi, bagi siapapun yang menginginkan interaksi dengan dirinya.
 
Tuhanku,
bagai Engkau, kusediakan cinta kasih bagi segala
hal yang tak beres, bagi racun-racun, para
musuh dan pengkhianatan, bagi yang enak
dicintai maupun yang tak sedap


Puisi nomor 42 tidak terlalu panjang. Menurut saya, puisi ini berkaitan dengan semangat Emha dalam memberikan pencerahan dalam masyarakat. Puisi ini berisi semangat Emha dalam menuju Tuhannya dengan tidak melarikan diri dari dunia yang semakin mengajarkan manusia untuk menjauhi Tuhannya. Dalam perjuangannya itu, Emha tidak pernah beranjak dari dirinya sendiri.

bukanlah karena aku ingin melarikan diri
dari dunia yang menjauhi-Mu ini
sebab dalam bertualang kepada-Mu
tak pernah aku beranjak
dari diriku sendiri.


Puisi nomor 59 menyatakan pertanyaan atau gugatan kecil Emha kepada Tuhannya. Dengan segenap kemajuan zaman yang semakin menjauhkan manusia dari Tuhannya, mengapa Tuhan tidak lantas menurunkan kembali pada Nabi. Emha menyatakan bahwa zaman-zaman ini adalah zaman yang membutuhkan lebih banyak Nabi. Puisi ini walaupun sederhana namun cenderung filosofis. Ada pertentangan pemikiran yang mendasari gagasan untuk menurunkan kembali Nabi setelah Khatammul Anbiya Rasulullah SAW.
 
Tuhanku
apakah sesungguhnya arti kehendak-Mu
dengan tak menurunkan lagi
seorang Nabi pun
untuk zaman yang membutuhkan
lebih banyak Nabi-Nabi?


Dalam puisinya yang ke-65, Emha menyisipkan doa. Agar kita selalu berendah hati dalam memohon kepada Tuhan dan hanya bertanya apa yang dibutuhkan dan sejati didambakan. Puisi ini memiliki makna yang panjang. Emha tidak menggiring pembaca untuk berdoa apa saja kepada Tuhan walaupun Tuhan telah bersabda: memintalah kepada-Ku, niscaya aku kabulkan. Emha seakan mengingatkan bahwa memintalah hanya yang diperlukan dan dibutuhkan. 

Tuhanku
anugerahilah kami kerendahan hati
untuk senantiasa memohon dan bertanya kepada-Mu
apa yang sesungguhnya kami butuhkan
apa yang murni kami perlukan
apa yang sejati, sejati-sejatinya
kami dambakan

Puisi nomor 76 memuat lagi pilihan Emha. Emha sengaja memilih sepi. Sepi yang sunyi. Barangkali dalam sepi sunyi itu, Emha menafsir rahasia-rahasia Tuhan dalam semesta ruang dan waktu. Emha memilih untuk menepi dalam sepi sunyi. Tak terpengaruh riuh rendah deru kehidupan yang tak henti selalu mendorongnya untuk tampil kembali.

Tuhanku Yang Mahahening!
kupilih sepi
sepi yang sunyi
maupun sepi dalam ramai.
sepi rahasia-Mu
yang menampung semesta ruang dan waktu
tak penuh oleh keributan jagat seribu
 

Emha kembali menyatakan pembebasan jiwanya pada puisi ke-87. Emha telah melepaskan segala ikatannya terhadap kekuasaan. Ia lepaskan juga ikatannya terhadap perkumpulan apapun. Ia ingin jadi individu dengan jiwa yang bebas jua. Tidak diperintah dan tidak memiliki. Emha hanya milik Tuhannya belaka. Maka, ia berikan segala hak apapun kepada yang berhak menerima darinya.
 
Tuhanku,
tak ingin aku memerintah
memerintah ialah diperintah.
tak ingin aku memiliki
memiliki adalah dimiliki.
Tuhanku,
berserah diri kepada-Mu
menumbuhkan segala kekuatan
yang tak bisa diganggu

Bagi Emha, cara ini adalah sebuah sembahyang. Sembahyang sederhana sebagai usaha untuk merebut dirinya sendiri dari tengah cengkeraman kehidupan, kebudayaan, peradaban, politik, ekonomi, persaingan kalah-menang serta berbagai macam kecenderungan yang makin menjauhkannya kepada Allah SWT.

Sebutlah Emha sedang membaca puisi, berdoa, melakukan suatu pertobatan, suatu katarsis pikiran dan roh, atau bahkan sedang melaporkan kekhilafan-kekhilafannya, maka semuanya itu adalah benar. Puisi-puisi Emha mengikuti modifikasi budaya yang merangkum maknanya sebagai ungkapan rasa keagamaan, keindahan, kesenian, sekaligus pernyataan terus menerus akan kebenaran Allah SWT.

Dengan makna-makna yang tak terpilahkan itu maka Emha telah memilih sikap hidup yang sekaligus melandasi pola ungkapnya. Kesemua puisi Emha telah dibawanya ke dalam suatu sikap sembahyang, yakni buku ini sendiri '99 Untuk Tuhanku'.

Semua puisinya dimulai dengan nama Tuhanku. Seolah 99 puisi Emha ini mentafakkuri keberadaannya yang sama dengan jumlah nama-nama Allah SWT-Asmaul Husna.

Catatan Personal

Walaupun puisi-puisi lahir sebelum masa reformasi tahun 1998, tahun dimana Emha tampil terakhir kalinya di layar televisi, namun saya mencatat ada beberapa puisi (yang sudah saya tuliskan diatas) yang menjadi sikap Emha atas kejadian-kejadian seputar Reformasi 1998. Emha telah melepaskan segala ikatannya dengan pemerintahan, penguasa, partai, atau kelompok keagamaan manapun, setelah lengsernya Presiden Soeharto. Suatu tindakan yang didasari atas dasar keprihatinan batinnya ketika melihat kawan-kawan seperjuangannya ternyata ikut menikmati kue Reformasi 1998.

Dengan demikian, paripurna lah kiranya segenap puisi Emha yang terkumpul dalam buku ini. Puisi bagi Emha rupanya bukan hanya sebuah karya, sebuah jalan pemikiran. Tetapi, lebih jauh puisi juga adalah pola ungkap konsistensi sikap seorang Emha Ainun Nadjib.
 
Judul           : 99 Untuk Tuhanku
Penulis        : Emha Ainun Nadjib
Penerbit      : Penerbit Bentang
Tahun         : 2015
Tebal          : 112 hal.
Genre         : Puisi - Sastra Indonesia  

Dharmawangsa, 19 September 2015.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...