Minggu, 31 Agustus 2014

Seminggu di Incheon (5-tamat)

Annyeonghaseyo,

Kabut turun perlahan di waktu sahur ini. Tadinya saya pikir saya sedang bermimpi. Perlahan, kabut bergerak menerpa kaca jendela meninggalkan embun. Seperti biasa, saya buka nasi instan yang saya beli sore kemarin di Emart. Tak lupa, rendang vacuum dari Indonesia. Waktu Shubuh segera tiba. 


Sejak pukul 8 ini kami melakukan Excursion Day ke Seoul. Saya belum tahu kemana Nick (course leader) akan membawa kami. Kemarin, usai closing ceremony saya bertanya apakah ia akan membawa kami ke Seoul Tower. Ya, dia akan membawa kami kesana. Entah pagi, siang, atau sore nanti.

Konon, di Seoul Tower ada tempat yang penuh gembok cinta. Banyak pasangan mengikat janji mereka dan mengucinya pada gembok yang dipasangkan ke sebuah pagar disana. Mungkin, terinspirasi dari drama dan sinetron Korea yang syuting disana. Boys Before Flower salah satunya.
Korean Folk Village


Saya menulis postingan ini di sebuah restoran tradisional Korea yang terletak di Korean Folk Village. Korean Folk Village adalah tujuan pertama kami. Gina, tour guide kami sengaja membawa kami kemari sebagai tujuan pertama agar kami memahami tradisi kehidupan masyarakat Korea. Harga tiket masuk cukup mahal. 15.000 KRW untuk dewasa, 12.000 KRW untuk grup, sedangkan untuk anak-anak dan remaja berkisar antara 8.000-12.000 KRW.
Atraksi yang bisa dinikmati disini cukup banyak. Ada tarian dari sekelompok petani untuk merayakan panen. Kemudian, ada juga atraksi Tightrope Acrobatic. Bila sedang beruntung, kita bisa menyaksikan prosesi pernikahan tradisional Korea juga. Menarik untuk mengetahui bagaimana orang Korea zaman dahulu menjalani tata kehidupan bermasyarakat. Sejarah, sepertinya bagian yang integral dari perjalanan hidup mereka.


Selanjutnya, kami berjalan-jalan menelusuri rumah-rumah tradisional. Seperti yang biasa ditonton di drama kolosal mereka. Sinetron Daejanggeum mengambil lokasi syuting disini. Kami pun menghabiskan waktu makan siang kami disini. Sajian menu tradisional bibimbab dan green radish kimchi jadi menu utama hari ini. Sayangnya, saya masih punya 8 jam sampai waktu shaum berakhir. 



Usai berkeliling, saya menemukan sebuah kumpulan batu besar. Tertulis siapa saja boleh menuliskan harapannya pada kertas yang disediakan, lalu melipat dan mengikatkannya pada tali pengikat batu. Mirip ritual ‘Gembok Cinta’ di Seoul Tower. Hanya saja disini sedikit lebih unik. Karena Seoul Tower masih jauh. Saya menulis sebuah harapan dan merekatkannya pada tali jerami. Semoga harapan yang saya tulis tadi tidak lantas nyangkut di langit dan Tuhan segera membacanya.

Waktu makan berakhir terlalu singkat. Saya tidak sempat menengok toko souvenir yang ada disana. Namun, saya menemukan Lee Yo Won dalam wujudnya sebagai poster The Great Queen Seondeok. What a coincidence. Rasanya ingin mampir sebentar ke toko didalamnya dan mencari posternya, barangkali si pemilik toko masih punya barang satu atau dua. Sayang sekali, Gina segera bergegas mengumpulkan kami untuk berangkat kembali ke Gyeongbokgung Palace.



Saya semakin menyadari bahwa hari-hari saya disini sebentar lagi usai. Pembaca mungkin membayangkan saya bertemu dengan artis macam Lee Min Ho atau Rain. Jangankan mereka, saya pun gagal bertemu Shin Min Ah dan Lee Yo Won. Selebihnya, sisa waktu saya disini masih berkutat soal sejarah peradaban bangsa Korea.

Sejarah bagi saya adalah hal yang sangat penting untuk menandai keberadaan kita di dunia ini. Masa depan dibangun dari puing-puing sejarah. Sejarah selalu hadir untuk kebutuhan saling mengingatkan. Sejarah selalu ada untuk kita berkaca, berkontemplasi, dan menatap diri lebih dalam.

Gyeongbokgung Palace

Kami mendatangi Istana Raja Korea Purba bernama Gyeongbokgung Palace. Aroma sejarah kian pekat dari angin yang berhembus menempa. Istana ini dibangun pada tahun 1395 pada masa Dinasti Joseon. Gyeongbokgung sendiri berarti “the palace greatly blessed by heaven” atau istana yang diberkahi. Istana Gyeongbokgung ini membantu saya melihat akar tradisional bangsa Korea dengan segala keasliannya.



Rombongan kami tiba tepat pada waktu pergantian pasukan pengawal istana. Kami sempat menonton bagaimana pengawal istana melakukan pergantian shift kerja. Kami termasuk beruntung bisa mendapatkan waktu demi melihat event ini.

Raja Korea zaman Dinasti Joseon sengaja memilih lokasi Istana Gyeongbokgung tepat di jantung Seoul. Pemilihan tempat ini didasari penghitungan fengshui mereka yang meyakini bahwa Istana yang didepannya mengalir Sungai Han dan dilindungi oleh Gunung Bugaksan dan Gunung Namsan di bagian belakang.

Bentuk bangunan dan interior yang masih utuh nampak terawat. Saya membayangkan bagaimana raja duduk disana bersama dengan para pengawalnya. Lalu bagaimana Raja mendatangi kamar Sang Permaisuri demi mendapatkan buah cinta mereka.

Bangsa Korea memang niat sekali melindungi sejarahnya. Bangunan ini memang nyaris dibumihanguskan semasa pendudukan Jepang. Namun, Pemerintah Korea sengaja merevitalisasi bangunan ini agar mampu menghadirkan kembali bagian sejarah bangsa yang terancam musnah.



Sebelum beranjak menuju N Seoul Tower, kami mengunjungi ‘The Blue House’ (‘Cheonghwadae’ dalam bahasa Korea) tempat tinggal Presiden Korea. Suasananya agak mirip Istana Bogor. The Blue House sendiri terletak di bagian selatan Istana Gyeongbokgung. Saya menyimpan tanya, apakah penamaan bangunan itu mengikuti bangunan kepresidenan Amerika Serikat yang lebih dahulu masyhur dengan nama White House. Entahlah.
Kami pun menyinggahi sebuah museum bertajuk Cheonghwadae Sarangchae yang dari jauh terbaca oleh saya sebagai Cheonghwadae Saranghae. Seketika Gina membenarkan ucapan saya. saya tertawa kecil, karena mudahnya untuk mengucapkan ‘saranghae’ pengaruh dari Hallyu (Korean Wave) di negeri kita tercinta.


Cheonghwadae Sarangchae sendiri adalah sebuah tempat yang nyaman untuk mempelajari tata hidup dan pencapaian-pencapaian Presiden Korea terdahulu, dan juga untuk memahami tradisi kultural bangsa Korea. Layanan dalam bahasa non-Korea, seperti bahasa Jepang, Inggris, dan China bisa didapatkan bila kita melakukan reservasi terlebih dahulu.

Sejarah yang dipertahankan dan diurus dengan begitu serius punya andil dalam membentuk sebuah bangsa yang hebat. Kita perlu belajar bahwa sejarah selalu hadir sebagai bentuk perjuangan melawan lupa. 



Sebelum beranjak ke Namsan, kami mampir di sebuah rumah makan. Rumah makan ini menyediakan menu Korean Gincseng Chicken Soup atau Samgyetang. Lagi-lagi saya hanya bisa mengelus dada karena tidak bisa ikut menikmati sajian sop ayam dalam hot plate. Recommended cuisine to try when you're in Seoul.

Korean Samgyetang

N Seoul Tower dan Gembok Cinta

Akhirnya, Gina dan Nick membawa kami ke N Seoul Tower dimana terdapat Pohon Gembok Cinta. N Seoul Tower terletak di kaki gunung Namsan. Bila ditarik garis lurus, akan sejajar dengan Istana Gyeongbokgung yang agung itu. N Seoul Tower itu kurang lebih seperti KL Tower. Kita bisa mengunjungi souvenir shop yang ada di lantai bawah atau sekedar menikmati pemandangan kota Seoul dari observatorium. Jangan khawatir kelaparan, karena disini banyak sekali restoran yang bisa disinggahi di setiap level.



Menuju kesana perlu lima menit berjalan kaki dari pelataran parkir. Kami termasuk pengunjung yang beruntung karena dibolehkan menggunakan bis yang kami tumpangi hingga ke tempat parkir bis. Warga Korea sendiri tidak dibolehkan membawa kendaraan untuk menuju kesana. Sehingga, mereka memarkirkan kendaraannya dahulu sebelum berjalan menanjak yang ditempuh selama kurang lebih satu jam. Agaknya, KL Tower dalam hal ini sedikit lebih baik karena menyediakan shuttle bus dari pick up point di bawah menuju ke tower.

Saya mengalami overexcited sepanjang perjalanan lima menit yang menanjak itu. Beberapa tahun lalu, saya membaca cerita dalam surat seorang kawan @syarafmaulini kepada kekasihnya. Dia mengabadikan cintanya dengan menulis kedua nama mereka dalam gembok yang dikunci. Saya bersyukur bahwa saya tidak akan lama lagi akan mengalami pengalaman yang kurang lebih sama dengannya.
Saya lupa membawa gembok koper yang sudah saya siapkan sebelumnya. Beruntung, toko souvenir itu memang menjual gembok cinta lengkap dengan spidol khusus. Satu paket dijual seharga 8.000 KRW. Menurut catatan beberapa traveler dari negeri kita harga itu cukup mehong alias mahal. 



Saya berhasil mengabadikan cinta saya disana. Saya menulis nama saya dan Ella di gembok itu lalu menguncinya. Saya tidak kesulitan mencari tempat untuk menggantungkan gembok harapan itu. Konon, ketika gembok itu terkunci, maka pasangan yang namanya ada di gembok tadi tidak akan terpisah untuk selamanya. Kedengarannya romantis bukan?
Saya membatalkan shaum saya yang terakhir di Korea ini dengan makan sandwhich dari Paris Baguette di N Seoul Tower. Suasana downtown Seoul terlihat indah dari ketinggian seperti ini. Hari mulai gelap. Angin dingin mulai menerpa. Kami pun segera pulang. Kami akan kembali ke Academy untuk menghabiskan dan menikmati malam terakhir disana.
Malam Terakhir
Seperti kebiasaan traveler pada umumnya, malam terakhir adalah kesempatan terakhir untuk berkemas. Termasuk saya, saya pun mengemasi barang-barang bawaan saya. Tidak ada bawaan berupa tas tambahan. Hanya saja, jinjingan saya bertambah banyak menjadi tiga kantong. Itu belum termasuk belanjaan di Duty Free Shop besok, mungkin.
Saya bersyukur bahwa akhirnya training ini selesai tepat pada waktunya. Saya bersyukur bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan training di satu training center berakreditasi Global Training Center dari ICAO. Namun, dalam hati saya memendam kerinduan agar bisa kembali ke IAAA satu saat nanti. Saya akan merindukan Academy. Saya akan merindukan kabut yang turun pagi hari usai sahur. Saya juga akan merindukan gonggongan anjing pemilik kebun yang menemani tidur saya semalaman.
Malam ini pekerjaan saya selesai. All my bags are packed and i’m ready to go.
Pulang

Saya dijadwalkan pulang naik Garuda Indonesia, hari Minggu, 13 Juli 2014, pukul 10.35. Hari Minggu ini, tidak ada jatah sarapan dari kafetaria sehingga kami harus mengambil sarapan di restoran Golden Dragon di Incheon Airport. Academy menyediakan shuttle car yang akan jadi kendaraan kami untuk mondar-mandir.
Saya langsung membawa semua barang bawaan. Saya mengucapkan salam terakhir dengan semua teman-teman yang sudah berkumpul di lobi. Satu kehormatan bagi saya untuk bertemu dan bekerjasama dengan mereka. Apalagi ketika berpelukan dengan Fuad dan Sami, dua teman yang unik.
Saya berusaha untuk tidak menitikkan air mata dengan perpisahan ini. Bagaimanapun, perpisahan akan selalu menjadi akhir yang paling tidak menyenangkan. Saya tidak ingin hal ini menjadi ganjalan. Saya mencoba menikmati perpisahan ini.
Saya segera menuju counter check-in yang penuh dengan orang-orang Korea yang akan menjadi turis di Indonesia. Saya akan berada satu pesawat dengan mereka. Kami akan makan siang di ketinggian 41.000 feet, hanya saja saya tidak akan makan karena saya masih berpuasa. Saya menaiki airport train menuju terminal keberangkatan. Agak sedikit jauh memang.

Saya menghabiskan waktu menunggu dengan mengunjungi Lotte Duty Free Shop yang bertebaran di Incheon Airport ini. Saya membeli beberapa cinderamata dan penganan cokelat korea untuk dibagikan di kantor. Saya menghabiskan jatah Won saya disini. Walau ternyata, saya tidak menghabiskan semuanya dan masih sisa beberapa untuk dibawa ke tanah air.

Tiba di boarding room, Airbus A330-200 PK-GPN sudah gagah menanti di apron. 10.00 waktu boarding tiba dan pengumuman mulai berkumandang. Saya mendapatkan kursi di bagian paling belakang pesawat. Dekat dengan lavatory dan galley. Omaigad, sejenak pikiran negatif menguasai saya. Saya tak kuasa menahan pikiran bahwa bagian belakang pfuselage adalah bagian yang aman apabila terjadi kecelakaan. Tidak, naudzubillahimindzalik. Semoga itu hanya pikiran saja. Saya masih ingin bertemu Ibu, Bapak, Adik, dan Ella.

Tidak banyak penumpang asal Indonesia. Selebihnya adalah turis yang sedang menikmati liburan musim panas mereka. Banyak diantaranya adalah kaum muda Korea. Saya heran tentang apa yang membuat mereka penasaran dengan Indonesia. Dari hasil nguping, harga barang dan biaya hidup yang relatif murah menjadi alasan mereka untuk mendatangi tanah air tercinta.
Pesawat pun pushback dan start engine. Cuaca cerah dan saya tidak merasa melankolik. Semua memang sudah harus seperti ini adanya. Saya harus kembali ke Indonesia, apapun alasannya. Isi nota kesepakatan saya dengan ROK-ICAO pun mensyaratkan demikian.
Makan siang mulai dibagikan ketika pesawat mulai cruising di 41.000 feet. Saya lantas menyimpan jatah makan siang dengan menu tambahan kimchi instan ini. Saya memberitahu pramugari bahwa saya berpuasa dan memintanya untuk tidak memberikan makanan atau minuman apapun setelah makan siang ini.
Saya menutup kepala dengan selimut yang disediakan. Saya tertidur pulas sampai sebuah pengumuman darurat diumumkan. Kami mengalami turbulence penuh goncangan selama sepuluh menit. Saya semakin tegang ketika mengingat pikiran saya menjelang keberangkatan tadi. Saya takut tidak mampu menepati janji saya untuk kembali. Saya tidur lagi.

Hampir tujuh jam terbang, pengumuman persiapan mendarat pun tiba. Saya senang karena bisa melihat kembali pemandangan pantai utara Jakarta sebelum landing di Soekarno-Hatta. Saya tiba di Jakarta tepat pukul 15.40 WIB. Still got few hours for fasting, anyway.

Saya segera menuju counter taksi dan segera pulang. Ah, rasanya menyenangkan untuk kembali ke Jakarta. Kembali ke macetnya Ciledug, kembali merasakan bau tanah sehabis hujan, dan kembali merasakan masakan yang memang pasangan lidah. Saya segera mengabari Ibu, Bapak, dan Ella. Bilang bahwa saya merindukan mereka semua.

The day seems so long and now i’m here back in Indonesia. Annyeonghaseyo. Selamat datang!


Incheon-Paninggilan, 13 Juli 2014.

Seminggu di Incheon (4)

Terlambat saya sadari bahwa Jumat kembali menyapa. Saya tidak bisa merasakan aroma thank-God-it’s-Friday disini. Tidak ada suasana ceria yang khas dalam menyambut weekend yang segera tiba. Barangkali karena disini situasinya masih sama saja sejak kemarin.

Hari terakhir ini kami menyelesaikan beberapa modul yang tersisa. Jadwal hari ini pun hanya sampai lunch break. Setelah itu, rencananya kami akan menuju aula untuk closing ceremony. Ah, rasanya baru kemarin kami tiba disini dan kini kami dihadapkan pada kenyataan bahwa training ini akan segera berakhir, cepat atau lambat.

Usai kelas berakhir, kami kembali menjalankan kebiasaan yang sama untuk terakhir kalinya. Mereka akan makan siang di kafetaria sementara saya akan menuju ke kamar untuk tidur siang terakhir di Academy. Sabtu besok, Nick sudah memberi konfirmasi bahwa kami akan pergi ke Seoul bersama-sama dalam acara bertajuk Excursion Day. Itulah alasan kuat mengapa saya harus menikmati tidur siang terakhir di hari Jumat ini. Sedikit catatan, tidak ada masjid di sekitar IAAA. Maka saya menunaikan shalat di kamar seperti biasa.


Kami berkumpul kembali di aula. Masing-masing dari kami duduk termenung. Entah mengapa, rasanya aroma nostalgia di hari opening ceremony masih terasa. Rasa takjub yang belum usai itu kini mau tidak mau akan berakhir. Saya sendiri mengingat lagi apa yang saya lakukan di hari pertama kemarin. Berkenalan dengan seluruh peserta dan menjiwai dengan segenap perasaan konsekuensi tinggal di IAAA.

Tony sebagai Direktur IAAA kembali tampil dan mengutarakan kesannya pada Awardee ROK-ICAO Fellowship Training tahun ini. Ia cukup senang dengan apa yang kami berikan selama menjalankan training disini. Ia berharap kami mampu menjadi jembatan dan juga pionir dalam urusan safety data collecting. Ia juga berpesan bahwa IAAA membuka kesempatan untuk kolega kami untuk menjadi peserta di training lainnya yang diadakan di IAAA.



Satu perwakilan kami, Mr. Omari Mussa dari Republik Tanzania membawakan closing speech mewakili kami semua. Kami mengucapkan terima kasih atas segala keramahan dan fasilitas yang kami terima selama masa training. Kami juga meminta maaf untuk semua tindakan kami yang ‘agak’ menyulitkan pihak IAAA. Insiden Selasa malam kemarin kembali terbayang. Untung saja, perwakilan MOLIT tidak mengambil tindakan yang bisa membahayakan status kami sebagai awardee.

Saya bertemu dengan Nick dan Tony secara pribadi usai acara formal ini berakhir. Saya mengucapkan terima kasih banyak atas segala perhatian dan pengertian mereka selama menjalankan ibadah shaum di Academy. Saya juga minta maaf apabila ibadah yang saya jalani membuat mereka merasa tidak enak.



Sebagai penutup, acara berlanjut ke penyerahan sertifikat dan kenang-kenangan dari IAAA. Perasaan saya campur aduk antara senang karena berhasil menyelesaikan training dan rasa betah yang mulai menghinggapi. Saya harus sadari itu dan kembali pada kenyataan. Bagaimanapun, saya harus kembali ke Indonesia. GA879 di Minggu pagi besok sudah menanti. It’s over when it’s over.


Dengan usainya closing ceremony, kami jadi punya waktu luang lebih banyak. Acara selesai pukul 15.00 Waktu Bagian Incheon. Beberapa teman segera bergegas ke kamar sebentar dan naik shuttle bus ke bandara. Sami dan Fuad tidak ada dalam rombongan. Saya akan berjalan-jalan sebentar di Incheon Airport. Namun, saya mampir dulu di sebuah supermarket Emart yang letaknya tak jauh dari Best Western Hotel tempat saya menghabiskan malam pertama di Incheon. Saya membeli tiga dus nasi instan, tiga varian teh Korea, dan empat potong pisang sebagai bekal berbuka.
 
Saya menumpang shuttle bus gratis yang beroperasi di sekitar bandara. Saya hanya perlu berjalan menyeberangi jalan raya di depan Emart menuju halte. Lima menit menunggu bis pun datang. Bis ini punya jadwal setiap 15 menit. Setibanya di airport, saya berjalan sendirian menuju beberapa bookshop. Barangkali ada kartu pos unik disitu.
 
Saya tidak menemukan kartu pos di dua bookshop yang saya singgahi. Saya mengitari airport untuk mencari gerai penjual makanan. Lumayan untuk menambah bekal pembatalan shaum nanti. Puas berkeliling, saya lagi-lagi tidak mendapatkan apa yang saya cari. Saya setengah berlari menuju area shuttle bus untuk naik bis jam 16.15.
 
Saya bertemu Fuad di halte dan dia mengajak saya jalan-jalan lagi. Saya meminta maaf bahwa ada yang harus saya kerjakan. Dia terlihat khawatir takutnya saya mendapat masalah. Saya jelaskan bahwa saya hanya akan membereskan bawaan saya sehingga esok hari saya tidak perlu berkemas lagi.
 
Saya kembali ke Academy sendirian lagi. Cuaca cerah. Saya sudah niat akan berlari di jogging track. Saya tidak akan memaksa untuk mendapatkan running distance maksimal. Saya hanya akan memanaskan badan saya yang selama di Academy ini tidak berolahraga sedikitpun.

Saya berlari mengelilingi Academy berteman sinyal wifi yang bertebaran di seluruh wilayah IAAA. Saya berlari dari jogging track di taman belakang menuju lapangan sepakbola, lapangan parkir depan, dan belakang gedung simulator, dan kembali ke jogging track. Saya menempuh jarak 2 kilometer lebih untuk dua kali bulak-balik mondar-mandir disini.
 
Saya bertemu dengan Ko, teman dari Laos yang sedang menikmati sore terakhirnya di Acedemy. Ia heran melihat saya yang berlari di sore seterik ini. Saya dapat menangkap ekspresi keterkejutannya. Mungkin dalam pikirannya, orang gila mana yang berpuasa dan tetap berlari dalam udara panas seperti ini.
 
Sore ini memang panas. Saya akui bahwa saya pun merasa kehausan dan tidak mampu menambah kecepatan lari. Saya juga merasakan kelelahan yang cepat menghinggapi otot-otot kaki. Saya tidak akan berhenti sebelum target dua kilometer ini selesai. Sensasi berlari di IAAA akan selalu jadi highlight dalam catatan perlarian saya sejauh ini. Angin dari bukit yang turun perlahan memang membuat perut saya agak berontak. Saya selesai pukul 17.00 dan langsung kembali ke kamar bersama teman-teman yang baru pulang dari Emart.
 
Saya mandi air hangat, mengalirkan air hangat pada kaki-kaki saya yang mulai lemas usai berlari.  Saya duduk manis menunggu waktu berbuka tiba sambil menonton variety show di televisi lokal. Tak lupa sambil streaming Radio B 95.6 Bandung FM yang menayangkan acara ngabuburit. Saya tertidur sebentar. Buka puasa terakhir di Academy ini saya habiskan dengan satu cup nasi instan, satu buah pisang, sepotong daging rendang, dan air hangat.
 
Menutup malam, saya merapikan surat yang saya tulis untuk Ella yang 7.200 km lebih jauhnya dari Incheon (kira-kira dari PIM 1 ke Incheon berapa km ya?). Saya posting di blog dan langsung di share ke akun social media. Rintik hujan ikut mengantar surat saya malam ini. Saya tidak tahu kapan saya tertidur, yang jelas Piala Dunia 2014 pun akan segera berakhir. Argentina dan Jerman akan saling bertemu. Satu ajang pembuktian, apakah sang Messias akan benar-benar menyelamatkan Argentina dari gempuran panser-panser muda Jerman.

Life is very long, and i miss you so much.


Jung-gu, Incheon, 11 Juli 2014.

Kamis, 28 Agustus 2014

Seminggu di Incheon (3)

Setelah melewati hari pertama dengan sukses. Hari kedua justru dimulai lagi dengan kesuksesan terbesar saya sejauh ini yaitu telat sahur. Saya bangun pukul 03.15 sedangkan waktu Subuh adalah 03.25. Saya langsung berlari menuju tempat dispenser di luar kamar, menyeduh oatmeal, dan minum air putih sebanyak-banyaknya. Saya bersyukur karena 10 menit yang berharga dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Usai dua rakaat Subuh, saya tidur lagi. Kabut mulai turun perlahan. 



Agenda hari Selasa ini adalah melanjutkan sesi training ke penggunaan aplikasi SOMS. Kelas dimulai pukul 09.30 dan berakhir pukul 16.30. Istirahat makan siang 12.30 – 14.00. Dengan jadwal seperti itu, saya bisa memanfaatkan waktu makan siang untuk tidur siang. Saya benar-benar menikmati  kebiasaan baru ini.

Sore ini, usai kelas berakhir sesuai jadwal, beberapa dari kami berencana untuk pergi ke kota. Saya sendiri berencana jalan-jalan di sekitar Incheon Airport saja. Kami pergi naik shuttle jam 17.15 menuju airport. Niat semula untuk hanya sampai ke airport terpaksa saya batalkan karena desakan teman-teman untuk bersama-sama pergi ke kota. Kami pergi ke kota dengan subway train. Saya tidak tahu jelas tujuan kami, beberapa rekan dari Afrika mengincar diskon 50% toko bernama Yoghwa. Letaknya dekat Hongik University.



Mimpi tinggal mimpi. Saya masih ingat mimik wajah rekan-rekan dari Afrika itu ketika si pelayan toko berkata, “We didn’t sell phone to foreigners. Sorry.”. Pengalaman adalah guru yang paling baik. Tahun 2012 lalu, pengalaman seperti ini sudah saya alami sendiri di Medan. Hanya saja, Indonesia mengizinkan siapapun membeli barang elektronik apapun yang diinginkan. Selama untuk tujuan pribadi. Satu hal yang perlu saya ingat kembali bila suatu saat nanti pergi bersama orang-orang daro Afrika.

Untuk urusan seperti itu, saya lebih dulu paham. Perjumpaan yang berlanjut dengan obrolan seputar kehidupan di Korea dengan teman-teman TKI sepulang Pemilu di Kedubes RI sangat membantu. Mereka sudah lebih dahulu mewanti-wanti saya perkara sarana komunikasi. Orang asing di Korea tidak mudah untuk mendapatkan nomor ponsel lokal. Tidak seperti di Thailand dimana nomor ponsel khusus turis dijual di toko-toko waralaba. Seorang teman TKI menawarkan untuk membeli nomor lewat dirinya menggunakan identitas Alien Card miliknya. Harganya sekitar 20.000 KRW. Nomor itu bisa langsung aktif sepanjang tidak diaktifkan pada hari Minggu karena operator selular libur pada hari itu.

Kami pun berpisah dengan teman-teman Afrika itu yang masih penasaran dengan electronic stuff. Saya hanya berjalan-jalan saja sambil mencari makanan untuk buka puasa. Dalam perjalanan menuju stasiun, saya mampir gerai Subway dan membeli sandwhich. Saya ditemani Fuad dari Yaman dan Sami dari Tunisia. Kami bertiga pulang dengan keadaan lelah. Kami sempat menawar taksi untuk mengantar kami hingga ke Academy. Tidak ada taksi yang mau. Barangkali karena memang lokasi IAAA masih jauh dari Incheon Airport. Kami pun naik subway dan taksi menuju IAAA. Kami tiba pukul 10.15.

Saya menutup hari dengan shalat Maghrib dan Isya yang di jamak. Kemudian sukses tertidur hingga alarm mengingatkan waktu sahur tiba. Saya menyantap sahur dengan menu yang sama lagi. Rendang dan oatmeal.
Jam Malam

Saya mulai terbiasa dengan rutinitas di Academy. Masuk kelas pukul 09.30. Tidur siang pada saat lunch break, dan bubaran kelas jam 16.30. Kompensasi kurang tidur bisa dibayar lunas dengan tidur siang. Satu pengumuman penting datang dari Nick. Ia mendapat informasi bahwa peserta dari Afrika kembali ke Academy pada pukul 01.00 dini hari. Nick meminta kami untuk mematuhi jam malam disini yaitu pukul 22.00. Nick khawatir petugas dari MOLIT yang mensponsori kami tahu mengenai hal ini dan mengevaluasi kembali sponsorship mereka untuk program Fellowship Training ini selanjutnya.

Rabu sore ini, Fuad meminta saya untuk pergi ke Itaewon. Saya bercerita kepadanya bahwa di Itaewon ada masjid dan juga tempat yang tepat untuk menemukan makanan yang halal. Sami pun setuju untuk ikut dengan kami. Kami naik subway menuju stasiun Itaewon dan berjalan kaki 10 menit sebelum tiba di Masjid Itaewon. Setelah melihat-lihat, kami pun segera mencari tempat makan.


Ada rumah makan yang menyediakan menu Indonesian Food, Indian cuisine, dan Turki. Fuad yang berlidah Arab agak lama menentukan pilihan. Tidak seperti saya dan Sami yang pemakan segala. Kami pun sepakat untuk makan di Little India Restaurant. Dengan ramah, sang pemilik restoran mengatur meja kami dan menanyakan apakah ada dari kami yang berpuasa. Saya pun segera menjawabnya. Rupanya, pengunjung yang sedang berpuasa akan mendapat tajil. And you know what? Menu tajil yang disediakannya sudah serupa menu utama buka puasa saya di Indonesia. Kurma, buah, chicken drumstick minus nasi, dan sebotol susu murni beraroma strawberry.


Pesanan kami pun tiba 10 menit sebelum waktu buka puasa. Saya mempersilahkan Fuad dan Sami untuk lebih dahulu mencicipi Nasi Briyani, Lamb Vindaloo, dan Aloo pratha yang kami pesan. Mereka menunggu saya terlebih dahulu. Kami pun makan bersama tepat ketika adzan mengalun syahdu dari Masjid Agung Itaewon. Porsi yang besar membuat kami kewalahan. Usai makan kami pun tidak ingin melanggar jam malam yang sudah diumumkan Nick. Kami kembali ke Academy dengan perut kenyang dan penuh dengan nasi. Akhirnya, kami tiba kembali di Academy tepat pukul 22.30.


Closing Dinner

Materi hari Kamis ini adalah implementasi SMIS, singkatan dari SARPs Management Information System. Rupanya, Republik Korea berhasil menjalin kerjasama dengan Tim IT ICAO untuk kepentingan mereka. Korea berhasil membuka server ICAO untuk secara langsung bertransaksi dengan server mereka. Artinya, Korea tidak perlu lagi mengakses ICAO CMA via server ICAO. Mereka hanya tinggal masuk melalui SMIS yang terintegrasi dengan NARMI (National Aviation Resources Management Information). Semua menu SMIS sudah disesuaikan dengan isi ICAO CMA sehingga meniadakan kemungkinan duplikasi informasi. Begitu juga dengan urusan security yang lebih ketat.

Saya memang sudah tidak asing lagi dengan ICAO CMA sejak ditunjuk menjadi NCM Assistant pada April 2012 lalu. Hanya, beberapa bulan terakhir ini saya mulai aktif bermain di ICAO CMA Online Framework (OLF). Hal itu juga yang mengantar saya hingga ke IAAA ini sebagai satu syarat aplikasi untuk mendapat Fellowship.

Seharian ini kami belajar menggunakan SMIS. Kami jadi tahu bagaimana Korea membuat segala sesuatunya lebih simpel dan terintegrasi dalam satu online workspace. Saya sedikit takjub dengan usaha Korea ini. Perlu waktu tiba bulan untuk meyakinkan ICAO agar mau membuka servernya. Demikian, ucap seorang programmer disana.


Rasa lelah hari ini terbayar dengan sebuah makan malam di Gimpo Airport. Nick segera mengurus keberangkatan kami menuju Gimpo Airport. Kami akan makan malam di satu restoran disana. Kami pun diberi waktu satu jam untuk melihat-lihat pusat perbelanjaan yang ada di Gimpo Airport. Ada Airport Outlet yang berada di dalam komplek airport dan Lotte Department Store di seberang.

Saya menghabiskan waktu sejam itu di Airport Outlet saja. Tidak terlalu mengecewakan, mereka punya banyak pilihan untuk belanja. Terutama sepatu olahraga. Beberapa brand sedang menggelar diskon. Lagi-lagi saya menjadi korban. Saya mampir ke outlet Adidas demi diskon 50% untuk Adidas ClimaCool Aerate III. Saya tidak bisa menahan godaan untuk menambah amunisi perlarian \:D/.


Waktu makan pun tiba. Closing Dinner dimulai sejak pukul 18.30. Saya berharap masih punya waktu untuk menikmati makan malam disini. Saya meminta pada Nick untuk merubah jadwal pulang ke Academy menjadi pukul 20.15. Ia pun mengiyakan dan saya punya 20 menit untuk menikmati menu buffet lines disini. Restoran ini bernama The Sky Onn. Pemandangan hiruk pikuk Gimpo Airport dapat dinikmati dari sini. Pilihan menunya beragam mulai dari Korean Cuisine, Chinese, Japanese, hingga Italian Food. Saya memilih spaghetti, jus aprikot, dan berbagai salad.

Kami kembali ke Academy dengan perut kenyang sehingga pulas tertidur. Saya tidak bisa tidur. Sesuatu mengganggu pikiran saya, entah itu rindu atau apa. Saya menerawang ke arah jalanan. Betapa hidup ini terasa begitu panjang.


Jung-gu, Incheon, 10 Juli 2014.

Selasa, 26 Agustus 2014

Seminggu di Incheon (2)


Menikmati malam di Best Western Incheon Airport Hotel adalah satu kemewahan untuk saya. Menyenangkan rasanya bisa merebahkan diri dan beristirahat di kamar Deluxe Suite walau hanya semalam ini saja. Rasa lelah usai seharian menyesatkan diri di Seoul terbayar lunas. Walau begitu, saya masih terkejut kala mendapati toilet yang sama, toilet tanpa semprotan air. Untuk seminggu ke depan, saya harus lebih terbiasa.

Saya tiba di hotel pukul 19.45. Menurut kalender hijriyah Ramadhan yang saya dapat dari Masjid Agung Itaewon, hari ini maghrib turun pada 19.55. Masih ada sepuluh menit untuk bersiap-siap menyantap hidangan buka puasa pertama di negeri orang, negerinya Bong Dal Hee pula. :p

Ketika maghrib tiba, tidak ada kumandang adzan disini. Hanya ada deru mesin pesawat yang mengangkasa dari airport terbaik di dunia. FYI, hotel ini hanya berjarak lima menit sehingga setiap menitnya saya pasti tahu bila ada pesawat yang take off dan landing. Suasana seperti ini kelak akan terus saya alami hingga larut malam nanti, entahlah.

Saya berpaling pada gadget dan segera menyalakan radio streaming. Adzan maghrib baru saja berkumandang di Bandung mengingat perbedaan antara Incheon dan Jakarta yang dua jam lebih awal. Saya meminum air kemasan komplimen yang disediakan hotel lalu turun ke restoran untuk makan besar. Let’s see what they have here.

Pilihan menu makan malam di hotel ini tidak berbeda dengan standar hotel bintang lima lainnya. Pilihan masakan bervariasi, mulai dari daging babi, daging sapi, daging ayam, dan sayuran. Walaupun orang Korea sama-sama makan nasi, saya sengaja tidak mengambil nasi untuk makan malam. Saya mengambil beef steak, beef sausage yang bersebelahan dengan pork ribs, dan beberapa potong ayam goreng ditambah pelengkap macam kentang goreng dan menu wajib disini yaitu kimchi. Ada empat macam kimchi; kimchi kubis, kimchi lobak, kimchi toge, dan green radish kimchi. Konon, yang disebut terakhir itu adalah kimchi berharga paling mahal.


Saya cukup menikmati makalan malam saya disini. Saya menutup menu dengan jus aprikot. Buah yang jarang saya temui di Indonesia (atau emang gak tau kali ya? :D ). Tidak terasa sudah pukul 21.00. Incheon mulai diselimuti malam. Deru bising mesin pesawat masih terdengar jelas sementara jalanan mulai sepi. Hanya lampu-lampu kendaraan terlihat bagai semut menuju Incheon Bridge.

Saya tidak lanjut menonton acara televisi. Hanya menonton berita saja sekilas di Arirang usai mandi. Setelah menunaikan shalat, saya segera tidur setelah alarm di set pukul 02.00. waktu subuh disini adalah 03.15 maka saya punya banyak waktu untuk mempersiapkan sahur.

Terlalu lelap tidur membuat saya tidak mendengar alarm yang sudah berteriak. Saya terbangun pukul 02.45 dan tergagap-gagap menyalakan water heater. Menu sahur pertama saya kali ini adalah semangkuk oatmeal dan potongan rendang daging yang saya bawa dari Indonesia. Butuh perjuangan untuk melawan waktu yang semakin mendekati imsak #TolongAnggiYaAllah. Sahur selesai pukul 03.10, saya bersyukur karena tidak melewati deadline. Saya langsung mengambil wudhu untuk shalat subuh. Tak lama, saya kembali ke ranjang untuk meneruskan mimpi yang tertunda. Siaran ulang entertainment news di Arirang menemani saya.

The Very First Day.


Senin, 7 Juli 2014. Hari pertama Electronic Safety Tools training akan dibuka secara resmi oleh Direktur IAAA. Melalui email beberapa hari kemarin, para peserta disuruh berkumpul di lobi hotel pada pukul 08.30 pagi. Hari sudah terang dan saya yang bangun jam 08.00 merasa sangat keteteran karena harus merapikan kembali koper dan tas perbekalan. Saya turun dan buru-buru mencapai lift disusul beberapa pilot dan cabin crew Vietnam Airlines.

Saya melapor pada Nick (nama aslinya Sung Ok Kang), sang Course Coordinator. Setelah semuanya siap, kami diantar menuju Incheon Airport Aviation Academy. Our sanctuary for this whole week. Menurut informasi yang saya terima dari Nick, IAAA berjarak 20 menit dari hotel. Saya pikir tidak akan terlalu jauh. Kenyataan memang tidak selalu menyenangkan. Kami melewati jalanan pedesaan yang lalu lintasnya sepi selama 20 menit itu. Jadi, bayangkan saja jauhnya. Bahkan Google Maps pun berkata demikian *sigh*.

Saya dibuat takjub ketika menginjakkan kaki usai melafalkan ‘Gamsahamnida’ kepada pengemudi bis. Sebuah Training Center yang berdiri megah di daerah pedesaan yang sepi dan terpencil. Saya agak ragu untuk menggunakan istilah desa karena jarak rumah paling dekat saja sekitar 1 km dari IAAA (kecuali rumah pemilik kebun di belakang asrama, lengkap dengan kandang anjingnya). Saya rasa Korea ini memang serius mengurusi bidang training bagi personil penerbangan di negaranya sendiri. Tercermin dari bentuk bangunan yang terdiri dari gedung utama, Aviation Training Center (isinya ada simulator pesawat dan ATC), classroom, dan dormitory. Ada juga jogging track di halaman belakang, lapangan sepakbola, dan tentu saja tanpa kolam renang (ngana pikir kita mau liburan?).

Saya merasa nyaman dengan suasana didalamnya. Tata bangunan modern minimalis  yang memaksimalkan tata cahaya membuat saya segera betah. Hanya saja, jangan melihat wilayah sekeliling Academy. Ada padang pasir luas terbentang di seberang Academy. Bila berjalan kaki melewatinya,  kita akan sampai ke Incheon Airport, entah kapan. Yang jelas, hilir mudik pesawat kembali terdengar dan terlihat. Tentu saja tak sehingar-bingar di hotel kemarin.

Kami digiring menuju meja respsionis untuk mendapatkan kunci kamar. Mereka menamakan asrama tempat tinggal kami sebagai dormitory. Tapi, bagi saya dan beberapa teman, asrama mereka terlihat seperti fasilitas hotel bintang 3++. Saya diberi kamar di lantai 5. Saya senang mendapat kamar dengan jendela besar yang menghadap ke belakang. Ada kebun sayuran dan bukit disana. Saya juga dapat melihat jelas rumah sang pemilik kebun. 10 menit kami lewati untuk menyimpan barang dan berkumpul untuk Opening Ceremony di Classroom. 


Pidato pembukaan tuan rumah disampaikan oleh Tony, Direktur IAAA. Seorang perwakilan telah ditunjuk dari kami untuk membacakan opening speech. Acara dilanjutkan dengan perkenalan seluruh peserta. Usai perkenalan, kami diberi break 5 menit sebelum pembicara pertama naik panggung. 


Slot pertama diisi oleh presentasi berjudul “New Paradigm and Strategies on Aviation Safety” dari Mr. Yool KIM, anggota National Continuous Monitoring Team, Office of Civil Aviation, MOLIT. April lalu, saya bertemu dengan NCMC Korea (Bos NCM Team) pada workshop di Jakarta. 



Slot kedua menampilkan seorang eks Pilot Boeing 767 Asiana Airlines yang kini bergabung dengan MOLIT. Capt. Yong Tae Ahn tampil membawakan presentasi bertajuk “Flight Safety Oversight System in Korea”.


Berkaca dari dua presentasi tersebut, saya takjub oleh keseriusan negara itu dalam membangun sebuah sistem keselamatan penerbangan yang mapan. Barangkali itu bedanya negara maju dengan negara berkembang. Ketika mereka sudah jauh melangkah dengan mapan, kita masih meraba-raba dan mencoba berbagai metode yang entah dipaksa dicocokkan dengan situasi negara kita. Andai saja kita mau lebih serius tanpa perlu berebut kepentingan, niscaya Indonesia pun akan maju pesat seperti mereka, i wish.

Dua sesi pembuka ini mengantarkan kami pada lunch break. IAAA menyediakan fasilitas catering di kafetaria mereka untuk urusan perut kami selama disini. Berhubung saya sudah memutuskan untuk tetap berpuasa maka saya tidak mengambil jatah makan siang saya. Hal ini membuat Nick sedikit gusar. Ia memastikan apakah saya baik-baik saja. Ia juga bertanya mengapa saya berpuasa sedangkan teman-teman dari Nigeria, Mali, Yaman, dan Tunisia tidak berpuasa. Saya menjawab bahwa mereka terlalu lelah dengan penerbangan kemarin, lagipula seorang muslim punya pilihan untuk berpuasa atau tidak jika sedang dalam perjalanan jauh. Beruntung Nick mengerti dan mengajak saya melihat-lihat kafetaria. Seorang kawan dari Yaman, menggelengkan kepalanya pada saya ketika melihat menu Korean Beef yang terparkir di sebelah pork ribs.

Saya kembali ke kamar dan berencana untuk tidur. Satu jam waktu istirahat ini akan saya habiskan dengan tidur siang. Satu kesempatan mewah yang sudah jarang saya nikmati belakangan ini. Saya menghabiskan 45 menit yang sangat mewah tadi dengan nyenyak dan sukses membuka mata tepat pukul 13.15. Masih ada 15 menit sebelum kelas mulai untuk menunaikan shalat.


Back to Classroom. Teman-teman sudah terlihat lebih segar. Mungkin karena mereka sudah selesai dengan urusan perut mereka. Saya pun demikian, hanya saja perut saya masih perlu diisi 6,5 jam lagi. Materi course hari ini adalah Introduction to SOMS and Installation (Safety Oversight Management System). Satu aplikasi yang digunakan Republik Korea sebagai workspace bagi Aviation Safety Inspector mereka. Materi ini adalah materi perkenalan sebelum praktek aplikasi besok. Kelas dibubarkan pukul 15.55 karena kami akan pergi untuk Airport Visit.

Bubaran kelas, kami diberi kesempatan untuk mencoba-coba aplikasi sesuai panduan di Guidance Material. Kesempatan yang tentu saja disia-siakan oleh semua peserta karena mereka masih lelah dan butuh tidur untuk menghilangkan jetlag :D. 

Airport Visit

Saya berharap bahwa visiting kali ini akan memberikan keleluasaan bagi kami untuk berjalan di runway layaknya Alessandra Ambrosio di VS Fashion Show. Nyatanya, seperti di KLIA, kami duduk di dalam bus dan mendengarkan penjelasan dari James, Airport Operations Instructor.

One of symbol from their glory.
Kami dibawa berkeliling Incheon Airport, melihat lebih dekat aktivitas yang berlangsung di lapangan. Incheon Airport merupakan salah satu bandar udara hub tersibuk di dunia. 15.000 orang bekerja disini dan ada 7.000 kendaraan operasional berlalu lalang setiap hari.

Kami dibuat takjub dengan cara negara ini menjalankan operasi bandar udara terbesar di dunia. Tak heran bila KLIA pun meniru beberapa hal dari sini.



Untung saja, waktu makan malam segera tiba dan IAAA menyambut kami dengan Welcoming Dinner. Acara santai menjelang istirahat malam pertama di Academy. Acara dimulai pukul 18.00. Maghrib belum akan nampak. Sementara teman-teman menyantap makan malam, saya ikut bergabung dengan mereka di meja dan mengobrol. Kebetulan, James, seorang instruktur duduk di sebelah saya. Kami saling bertukar pikiran mengenai saya yang berpuasa sedangkan teman muslim lainnya tidak.

"So you are a good moslem, and they aren't?" katanya.
"No. We have different perspective especially when we are on our way abroad. Options are open. You may fasting for full day or not fasting and replaced in on another day, outside Ramadhan." jawab saya.

Jawaban yang tentu masih mengundang pertanyaan lainnya buat Nick dan James sendiri. Melalui diskusi semacam itu, saya jadi tahu bagaimana orang Korea memahami umat Muslim. Mereka memandang Muslim sebagai satu entitas yang saklek dan kaku dalam memaknai kitab sucinya. Padahal dengan penjelasan yang mendasar, mereka pun dapat memahami detail kehidupan umat Muslim.



Makan malam usai sebelum pukul 19.00. Tidak ada sesi karaoke seperti dijanjikan Nick. Kami semua kembali ke kamar dan tidak ada seorang pun yang berkeliaran selepas makan malam. Semua sepertinya sibuk di kamar masing-masing, kecuali saya yang melamun di teras asrama lantai 5, menghadap ke utara, menikmati senja pembukaan di langit Incheon. Maghrib masih lama. Saya teringat bait puisi:

Maghrib jatuh, buluh cintaku rapuh *)

Saya menikmati sore di Incheon dengan khidmat. Mendengarkan nyanyian angin yang menghempas deru di kejauhan. Sejenak saya bertanya, “sedang apa Ella disana? Apakah langit berwarna sama di Kebayoran Baru sana?”. Lamunan saya terhenti oleh suara keras dari pintu yang dikunci oleh penjaga keamanan. Dia tersenyum pada saya lantas berlalu.

Maghrib pun tiba, saya makan lagi oatmeal dan rendang untuk berbuka puasa. Ditambah mie instan sejuta umat, Indomi*. Kapan lagi makan rendang dan mie instan nggak pake nasi, pikir saya. Ritual berbuka puasa ini memakan waktu 45 menit. Waktu yang cukup lama dari kebiasaan saya. Saya pun mandi dan shalat. Saya butuh hiburan malam ini, maka saya mengutak-atik channel televisi dan sukses menemukan fakta bahwa hanya KBS World dan Arirang yang berbahasa Inggris. Sisanya? Saya menonton drama “Emergency Couple” dengan bahasa aslinya dan tanpa subtitle.

Malam semakin dingin, saya tidak menutup jendela. Dari kejauhan terdengar rintik hujan. Anjing pemilik kebun berhenti menggonggong. Rindu, datang tiba-tiba.


Jung-gu, Incheon, 8 Juli 2014.

*) dari puisi “Magrib Jatuh”, Esha Tegar Putra. Majalah Horison, Juli 2009, hal.8

Kamis, 21 Agustus 2014

Seminggu di Incheon

Awalnya


Awal tahun ini, saya menerima sebuah kiriman kartu ucapan selamat tahun baru dan kalender dari Incheon Airport Aviation Academy (IAAA), tempat yang kelak saya diami selama seminggu. Saya sempat membayangkan rasanya mengikuti course-course yang ditawarkan disana. Namun, karena mereka fokus kepada Airport Operations, saya tidak begitu menaruh perhatian mengenai training lainnya yang diselenggarakan disana. Walau tetap saya menyimpan keinginan untuk bisa ke Korea sana.

Sampai satu saat bulan Februari lalu, saya menerima satu State Letter dari ICAO perihal kesempatan mengikuti training dengan skema fellowship di IAAA untuk periode bulan Juli tahun ini, bertepatan dengan Bulan Ramadhan. Saya segera membaca dan mencari informasi course yang berkaitan dengan bidang spesialisasi safety. Pada State Letter tersebut, tercantum Electronic Safety Tools Course berkode B-3. Melihat segala persyaratan yang memungkinkan maka saya segera menyiapkan langkah selanjutnya. Mendaftar ke portal website untuk aplikasi dan mengunduh beberapa formulir.

Saya tidak menemui hambatan dalam mengajukan aplikasi via web. Pak Bos pun setuju untuk mengajukan aplikasi bersama-sama, termasuk ketika meminta persetujuan Official Nomination ke Direktur. Tenggat waktu berhasil kami penuhi. Terus terang, masa penantian pengumuman hasil seleksi awal cukup membuat saya was-was karena ada kemungkinan bahwa hanya satu orang saja yang akan diterima dari setiap negara. Saya yakin, kalau Tuhan mau kasih saya pergi kesana, saya pasti pergi kesana.

Hari pengumuman pun tiba. Waktu itu saya sedang berada di Bandung. Sebuah email dari Pak Bos cukup membuat saya terkejut hingga spontan melakukan sujud syukur. Saya dinyatakan lolos untuk melaju ke tahapan selanjutnya yaitu medical report. Saya sangat berharap tidak ada masalah pada hasil medical examination mengingat hasil tahun lalu yang tidak cukup menggembirakan. Saya segera mengunduh form medical report yang dipersyaratkan lalu segera masuk klinik kantor untuk melakukan pemeriksaan. Dokter yang memeriksa saya menyatakan saya fit untuk mengikuti training di IAAA, disahkan oleh statement dan stempelnya. I’m going to Korea, baby! I’m gonna catch you, Min Ah!

Perlu seminggu untuk Panitia Seleksi dari IAAA dan MOLIT (Ministry of Land, Infrastructure, and Transportation) sebelum mereka mengumumkan List of Participants yang diterima. Saya bersama 15 orang peserta lainnya dari berbagai negara seperti Filipina, Laos, Nigeria, Tanzania, Mali, Mongolia, Yaman, Pantai Gading, dan Tunisia, diterima untuk mengikuti Republic of Korea-ICAO Fellowship Training Program Course di Incheon Airport Aviation Academy, 6-13 July 2014.

Saya kembali tidak dapat menahan perasaan saya untuk mengucap syukur pada Allah SWT. Saya segera bersujud syukur segera setelah menerima email konfirmasi beserta Official Invitation Letter dari IAAA dan MOLIT. Tak lama kemudian, ICAO juga mengirim State Letter ke Direktur Jenderal perihal diterimanya saya untuk mengikuti fellowship di Korea.

Saya pun segera mengurus aplikasi visa Korea. Hasil googling, butuh waktu sekitar seminggu untuk proses penerbitan visa. Saya pun menyiapkan dokumen-dokumen pendukung, seperti Surat Referensi Bank (seharga IDR 150.000), surat keterangan kerja, slip gaji 3 bulan terakhir, copy buku tabungan, paspor, Official Invitation Letter, formulir aplikasi Visa, foto 3 x 4, kartu keluarga, dan KTP. Untuk urusan tiket, saya awalnya berharap kantor dapat memfasilitasi saya untuk bisa mencoba pengalaman terbang bersama Korean Air. Saya harus segera memberi konfirmasi kepada IAAA perihal informasi kedatangan dan kepulangan sebelum akhir bulan Juni. Trust me, untuk training organizer di negara maju hal ini sangat penting bagi mereka. Alhasil, kantor tercinta membekali saya tiket Garuda Indonesia Jakarta-Seoul PP. It’s not a bad idea, anyway.

Cepat atau lambat, waktu itu akan segera datang. Saya akan segera mengecap aroma kimchi di negeri asalnya. Ya, saya juga akan menikmati tayangan Arirang, KBS, dan SBS. Pun, menonton boyband-girlband itu langsung disana, minimal lewat televisi :D . Saya sengaja tidak menyiapkan What-To-Do-List-In-Korea. Saya justru berharap bisa merasakan pengalaman Get Lost in Seoul seperti pada tayangan di National Geographic waktu saya training di Kuala Lumpur tahun lalu. Saya juga berdoa supaya punya waktu untuk pergi ke N Seoul Tower, you know what i mean? Saya berniat pergi kesana untuk menulis nama saya dan sang pujaan hati dalam sebuah gembok cinta. Semoga waktu membawa saya kesana.

Sehari sebelum keberangkatan, paspor dan visa Korea sudah saya terima. Kenyataannya, butuh waktu dua minggu lebih untuk mendapatkan izin masuk ke Korea. Barangkali, itu karena agen perjalanan yang ditunjuk oleh kantor saya. Urusan biaya visa, saya dicharge IDR 500.000 oleh bagian keuangan yang dipotong dari uang perjalanan dinas.

Have a safe flight to Incheon!

The Departure

Adalah satu pengalaman tersendiri untuk melakukan perjalanan ke luar negeri di bulan suci Ramadhan. Terlebih, ketika tujuan perjalanan itu adalah satu negeri dimana umat muslim adalah minoritas. Melalui blog hasil googling, saya mendapat informasi bahwa puasa di Korea berlangsung selama kurang lebih 17 jam di musim panas ini. Saya belum tahu detailnya seperti apa, mulai imsak pukul berapa hingga buka puasa jam berapa.

Saya membawa 500 gram rendang vacuum dan 800 gram oatmeal untuk bekal makanan selama di Korea. Saya sengaja menyiapkan bekal seperti itu, at least kalau tidak ada nasi saya masih bisa survive dengan oatmeal yang konon mampu menahan lapar lebih lama dibanding karbohidrat pada nasi. Itu masih ditambah dengan mie instan dan beberapa snack lainnya.

5 Juli 2014 kemarin adalah hari keberangkatan saya menuju Incheon. Saya dijadwalkan terbang menggunakan pesawat Garuda Indonesia GA878 pukul 23.15 WIB. Saya tiba pukul 21.00 dan segera menuju Lounge Garuda Indonesia di terminal 2 untuk menunggu panggilan boarding. Saya makan malam terlebih dahulu di lounge. Pukul 22.30 panggilan boarding untuk seluruh penumpang GA878. Saya segera bergegas menuju boarding room. Sambil mengantri, Airbus A330-200 PK-GPM sudah terparkir menunggu untuk diberangkatkan.

Sedikit flashback, Agustus 2012 lalu, saya mengikuti sebuah lomba penulisan karya fiksi dengan bertema Korea. Saya mengadaptasi cerita perjalanan seorang teman dan membuatnya dalam tiga bagian cerpen. Saya menulis cerpen dalam bentuk tiga buah surat dari seseorang untuk kekasihnya di Indonesia. Saya juga tidak lupa bagaimana cerita teman saya itu ketika mengunci namanya dan kekasihnya di N Seoul Tower. Saya akan melakukan hal yang sama dengannya.

Saya masih tidak percaya bahwa saya akan pergi ke Korea. Saya masih tidak percaya bahwa saya akan mengalami sendiri pengalaman ini. Saya masih tidak percaya bahwa saya akan pergi ke N Seoul Tower dan menulis nama saya dan sang kekasih di gembok cinta. Bahkan, perasaan semacam itu tidak juga reda ketika pesawat pushback dan line up position untuk segera take off. Saya menutup wajah dengan kedua tangan, ada air mata keluar. Dalam hati, saya berterima kasih pada semua yang sudah mendukung juga berdoa untuk saya. Wajah mereka terbayang satu persatu. Take off position, seru pilot dari kokpit. PK-GPM pun mengangkasa menuju langit Incheon

Penerbangan menuju akan ditempuh selama kurang lebih 7 jam. Malam selarut ini tidak ada lagi yang ingin saya lakukan kecuali tidur. Saya sempat meminta pramugara untuk membangunkan saya pada waktu sahur nanti.  Ia segera menyanggupi permintaan saya. Saya jadi tenang tanpa harus khawatir ketinggalan sahur. Saya segera tidur nyenyak usai menyantap snack pembuka tak lama setelah pesawat mencapai ketinggian jelajah.

Namanya Minji

Pukul 02.00 entah waktu bagian mana, seorang pramugari asal Korea bernama Minji Do (lihat plat nama di dadanya) membangunkan saya disaat semua penumpang lainnya terlelap. Dia membantu menyalakan lampu kabin dan menyiapkan menu makan saya. Pesawat sedang berada diatas wilayah udara Taiwan. 

Menu Sahur 41.000 feet


Saya menikmati sahur saya yang pertama diatas pesawat terbang, 41.000 kaki diatas permukaan laut, diatas langit Taiwan. Sekeliling saya gelap, barangkali hanya saya dan Minji yang terbangun. Menjelang waktu subuh, pramugara yang tadi saya minta bantuannya, membangunkan saya kembali. Saya pun segera menunaikan shalat subuh di ketinggian jelajah 41.000 kaki. Matahari mulai menampakkan senyumnya. Hari sudah pagi disini, entah dimana. Hanya langit biru dan Tuhan yang tahu.

Arrival Card dan Customs Clearance Form

Saya terbangun ketika waktu sarapan pagi. Penumpang lainnya sudah kembali dari tidur mereka dan sedang menikmati sarapan. Saya masih mengantuk. Saya kembali tertidur dan dibangunkan ketika pengumuman persiapan untuk landing. Saya melihat ke jendela sambil mengisi Customs Clearance Form dan Arrival Card, pulau-pulau kecil di sekitar semenanjung sudah mulai terlihat. Sudah pukul 8 lebih disini. Hari sudah terang and this is Sunday, of course. Kiss landing, Incheon.

World's Best Airport 9 Consecutive Times

Tidak salah bila Incheon Airport dinobatkan sebagai bandara terbaik dunia 9 kali berturut-turut. It’s more than airport, it’s beyond expectation. Semuanya dibuat mudah sejak pertama kali kaki kita menginjak bumi. Papan petunjuk ada dimana-mana, tulisannya jelas dalam bahasa Inggris dan Korea. Beberapa tersedia dalam bahasa Cina dan Jepang. Kita dibuat untuk mandiri tanpa harus bertanya kesana-kemari lagi. 

Hal pertama yang saya lakukan di bandar udara terbaik di duni ini adalah mencari toilet. Betul kata traveler-traveler di blog mereka, toilet disini tidak menggunakan air untuk bersuci usai buang air. Semuanya menggunakan disposal tissue yang larut dengan air dan tidak menyebabkan mampet. Bila pembaca merasa belum terbiasa dan kesulitan beradaptasi dengan gaya seperti ini, sila mampir ke supermarket terdekat untuk membeli air minum botol kemasan seharga KRW 1.000 (IDR 12.000).

Saya tidak menemui kesulitan untuk sampai di pintu imigrasi. Saya diambil foto dan sidik jari oleh petugas Imigrasi dan segera berjalan lagi menuju baggage handling. Rupanya, saya masih harus menggunakan airport shuttle train menuju main building. Sekilas, pengalaman ini mengingatkan saya pada Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Entah siapa yang meniru siapa, yang jelas skema KLIA sama dengan di Incheon Airport. Tata bangunannya pun sama, dan karena saya menggunakan maskapai asing maka pesawat kami harus parkir di Extention Building. Pengalaman serupa tapi tak sama.

Saya pun tiba di pintu kedatangan dan langsung menuju Gate 13 dimana terdapat shuttle bus ke Best Western Hotel Incheon. Saya berjalan dari Gate 4 menuju Gate 13 sambil memperhatikan lalu-lalang Airport Limousine, sebutan untuk bis antar kota dari Incheon Airport. Saya mengamati tarif perjalanan, cara membeli tiket, dan yang paling penting adalah rute-rutenya. Kebanyakan, bis-bis ini menuju Seoul dan beberapa wilayah lain di pinggiran Seoul. Bahkan, bis menuju Busan pun ada. Padahal jarak Incheon-Busan bisa mencapai 500 km lebih via jalan tol Incheon-Seoul-Busan.

Saya menunggu 10 menit hingga shuttle bus hotel tiba. Saya menitipkan barang bawaan di concierge karena waktu check in masih pukul 14.00 local time Incheon. Saya kembali menunggu shuttle dari hotel ke airport. Saya akan pergi ke Seoul untuk melakukan pemilu saya yang pertama di luar negeri.

Let's Get Lost in Seoul

Berdasarkan informasi sebelumnya yang saya terima dari panitia pemungutan suara di Kedutaan Besar Republik Indonesia Seoul, pemilu diselenggarakan sejak pukul 09.00 hingga 20.00. Saya diberi pilihan untuk memilih di KBRI Seoul atau Jumin Center Incheon. Saya wajib membawa paspor dan bukti kewarganegaraan lainnya untuk bisa memilih disana. Sudah jelas, saya akan pergi ke KBRI Seoul daripada ke Jumin Center. FYI, Incheon Airport berada di sebuah pulau yang masih termasuk wilayah Incheon Metropolitan. Jadi, daripada saya get lost in Incheon lebih baik get lost in Seoul. :D

Saya sempat bingung ketika akan menuju Seoul namun karena KBRI Seoul terletak dekat stasiun Saetgang, maka saya memutuskan mencari bis dengan tujuan Seoul Station. Asal sudah sampai ke Seoul Station, saya pasti bisa menemukan kereta menuju Saetgang. Saya naik bis 6111 yang melewati Seoul Station dan membayar KRW 10.000 (sekitar IDR 120.000). Jalan tol hari minggu ini lengang. Bis melaju dengan kecepatan 100-110 km/jam. Butuh 45 menit untuk tiba di Seoul Station.

Masjid Agung Itaewon
Selanjutnya, pengalaman saya sudah lebih dahulu diposting disini. Sila baca tautan untuk cerita pengalaman hari pertama saya di Seoul. Bagaimana saya mencari lokasi KBRI Seoul yang ternyata berseberangan dengan KBS Annex, lalu pertemuan saya dengan teman-teman TKI yang membantu saya menemukan Masjid di Itaewon, hingga saya kembali ke hotel.

Annyeonghaseyo,
Jung-gu, Incheon, 8 Juli 2014.

Senin, 18 Agustus 2014

Mereka Bilang, Saya Monyet!

Kesan pertama dalam pembacaan kumpulan cerpen ini adalah sebuah kelugasan dalam bertutur cerita. Melihat rentang waktu penulisan cerpen-cerpen didalamnya, bisa dikatakan bahwa semua cerpen tersebut adalah sebuah breakthrough dalam ranah sastra Indonesia, pada saat itu. Bentuk penceritaan yang kemudian menjadi satu alternatif dalam penuturan cerita. Kisah-kisah kelam yang tak pernah tersampaikan hingga kebahagiaan semu adalah sepenggal saja dari kiasan eksploratif yang disampaikan si penulis.



Selain "Waktu Nayla" yang menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 2003, kumpulan cerpen ini tidak henti-henti menghadirkan kejutan. Saya kagum ketika penulisnya mampu membuat cerita seperti dalam cerpen "Namanya, ...". Tokoh si penulis yang dinamai 'Memek' sangat berada diluar kelaziman, bahkan tabu untuk beberapa kalangan. Namun, sekali lagi, dunia fiksi adalah ruang yang memungkinkan terjadinya kemungkinan semacam itu. Fiksi hidup dalam kepala pembacanya.

Cerpen lain yang tidak lazim adalah "SMS". Cerpen berisi petikan SMS dari sepasang kekasih yang saling bermain api adalah satu bentuk penulisan yang tidak umum. Keluwesan fiksi berhasil dimainkan dengan apik oleh si penulis. Gaya penulisan semacam ini tidak menyalahi kodrat cerpen sebagai turunan fiksi.

Cerpen "Asmoro" kiranya mengingatkan saya pada satu cerpen Seno Gumira Ajidarma berjudul "Sukab Menggiring Bola". Adjani terus berlari bagai Sukab yang terus menggiring bola hingga ke ujung dunia. Adakah hubungan diantara keduanya? Selain karena SGA disebut dalam halaman pembuka dari sang penulis. SGA yang telah memberikan "ilmu" dan keberanian untuk menulis cerpen-cerpen yang demikian.

Begitupun dengan cerpen "Wong Asu" yang terinspirasi dari cerpen "Legenda Wongasu" milik SGA. Keduanya tidak menceritakan hal yang sama. Namun, pada akhirnya pembaca dapat menilai mengapa tokoh-tokoh mereka mesti menjadi 'asu'.

Kiranya, pembaca dapat membaca kedua cerpen SGA tersebut dan menguji kebenaran hipotesa saya.

Daftar Cerita:

- Mereka Bilang, Saya Monyet!
- Lintah
- Durian
- Melukis Jendela
- SMS
- Menepis Harapan
- Waktu Nayla
- ... Wong Asu
- Namanya,...
- Asmoro
- Manusya dan Dia

Judul        : Mereka Bilang, Saya Monyet!
Penulis     : Djenar Maesa Ayu
Penerbit    :Gramedia Pustaka Utama
Tahun       : 2012
Tebal        : 150 hal.
Genre       : Kumpulan Cerpen


Medan Merdeka Barat, 18 Agustus 2014.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...