Kamis, 26 April 2012

Bayangan Sepanjang Jalan

Kemanapun aku pergi
Bayang bayangmu mengejar
Bersembunyi dimanapun
Selalu engkau temukan
Aku merasa letih dan ingin sendiri *)



Aku ingat pada senyuman itu. Senyum merekah menyambut pagi yang tak pernah ramah. Senyumnya selalu ada disitu, menunggu bus kota lewat dan berhenti di halte. Aku selalu ingat pada senyuman itu. Rupa berseri dalam balutan senyum itu mengingatkanku pada perempuan itu. Perempuan yang pernah ada mengisi hari-hari sepi. Perempuan yang selalu membuatku hilang dari sadarku. Perempuan yang tiba-tiba menghilang bagai mimpi-mimpi malam.

Pemilik senyum tadi rupanya naik bus kota setiap hari. Berdesakan dengan penumpang lainnya yang sama memburu mimpi di Jakarta. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia harus berlarian mengejar bis kota. Mereka berlomba dan saling berebutan hanya untuk sekedar mendapatkan bangku kosong yang ada.

Aku pun pernah mengalaminya. Betapa tidak menyenangkannya saat-saat itu. Saat peluh bercampur dengan berbagai macam aroma dan itu selalu membuat kepalaku pusing. Aku tidak bisa membayangkan bahwa ia harus hidup dengan kenyataan itu setiap hari. Aku tidak bisa membayangkan apa yang telah dialaminya dan tiba-tiba saja dalam sekejap ia sudah kembali menata penampilannya. Membereskan letak leher kamejanya, mengikat rambut serupa buntut kuda, tak lupa menambal perona wajah sekenanya. Dengan demikian, ia telah siap untuk menjalani hari-hari yang akan selalu seperti itu.

*

Ibu Guru Tati mengawali harinya dengan menyapa orang tua murid yang kebetulan bisa mengantar anak-anak mereka pergi sekolah satu persatu. Setiap pagi ia akan selalu menemuiku. Dengan wajah berseri sambil menyapa hangat "Selamat pagi..."  sembari ditemani dua murid kecilnya yang sudah menunggu. Tidak pernah nampak bekas keringatnya yang meleleh sewaktu di dalam bus. Tidak ada juga wajah lelah dan bosan.

Ibu Guru Tati selalu tersenyum manis setiap menghadapi murid-muridnya. Tidak jarang, mereka sudah menyambutnya sejak gerbang sekolah. Kemudian, ia akan selalu menggandeng tangan Prita. Membawanya masuk kelas dan meninggalkanku. Aku masih ingat wangi parfumnya. Aku perlahan tersenyum sendirian. Sialan. Memori itu masih ada dibenakku.

Sekali waktu, sengaja aku menunggunya. Usai dentang bel sekolah, aku menemuinya dan mulai berbasa-basi. Aku ingin mengantarkannya pulang. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena telah mau menjadi ‘teman’ untuk Prita. Prita selalu bercerita bahwa Ibu Guru Tati selalu mengajarinya membaca buku #Cerita Hari Ini dari seorang penulis tanpa nama. Buku cerita favorit muridnya. Buku itu tidak lebih dari sekumpulan cerita anak berjumlah tiga puluhan cerita pendek yang berisi pelajaran-pelajaran dasar kehidupan. Misalnya, budi pekerti.

Semenjak perceraianku dengan Anita, sudah jadi kewajibanku untuk mengantar-jemput Prita. Makanya, aku selalu punya kesempatan untuk bertemu dengan Ibu Guru Tati. Kesempatan yang tidak akan pernah aku lewatkan begitu saja. 

“Mari, saya antar pulang.”
“Maaf. Terima kasih. Saya naik bus saja.”

Begitu katanya, sambil pergi berlalu begitu saja bagai pesawat tempur.

Aku memang kehilangan kesempatan itu. Aku tidak tahu mengapa tetapi yang jelas ia punya seribu alasan untuk tidak menerima tawaranku. Aku bisa mengerti itu. Dengan statusku yang seperti ini tentu Ibu Guru Tati lebih cerdas dalam bertindak. Tentu ia tidak ingin menampakkan sesuatu yang sangat sulit untuk dijelaskan. Ibu Guru Tati tidak ingin pandangan orang lain merusak reputasinya. Apalagi, ia menjadi figur pengganti para orang tua di sekolah.

Aku melihatnya berlalu begitu saja. Berjalan cepat sambil sesekali menutupi wajahnya karena silau matahari siang. Aku bisa melihat butir keringat yang perlahan muncul di dahinya. Seketika pula ia akan menyekanya dengan sapu tangan berwarna merah jambu. Sapu tangan pemberian Anita, sebulan sebelum kami bercerai. Aku lihat Ibu Guru Tati melambaikan tangan. Bus kota yang sudah terlalu tua dan badannya dipenuhi iklan itu menepi. 

Tidak kulihat lagi Ibu Guru Tati. Ia kembali melebur jadi warga ibu kota yang selalu jadi korban kebijakan. Betapa kota ini tidak pernah ramah bagi warganya sendiri. Pengguna angkutan umum adalah contohnya. Pemerintah telah berkhianat pada mereka. Satu sisi, Pemerintah mengharapkan warganya untuk beralih menggunakan sarana transportasi publik. Namun, disisi lain Pemerintah tidak menyediakan sarana transportasi yang layak dan memadai. Ibu Guru Tati hanyalah bagian kecil dari siklus perkeliruan itu.

*

Aku kini sedang berada dalam bus malam yang akan membawaku ke Surabaya. Malam mulai meninggi. Jalanan sudah sepi. Hanya keremangan malam yang menemaniku. Aku lihat tidak banyak penumpang yang masih terjaga. Kecuali aku dan seorang yang duduk di dekat toilet. Kondektur dan sopir pun seakan khusyuk sekali memandang jalanan di depan.

Kepergianku ke Surabaya bukan untuk sekedar perjalanan biasa. Aku telah memutuskan untuk pindah ke Surabaya. Aku terima tawaran pekerjaan disana. Aku butuh pengalaman dalam hidupku yang semakin terasa datar ini. Aku tidak pernah tahu kemana sungai kehidupan membawaku. Aku hanya tahu bahwa aku harus melanjutkan hidup, itu saja.

Aku terlalu banyak mengkhayal tentang Ibu Guru Tati. Semenjak kepindahanku ini, aku tentu tidak akan bisa menemuinya lagi. Menatapi senyum ramahnya dan merasakan aroma parfum yang dikenakannya. Tidak pula kutemui lagi sapaan hangat yang selalu membuat Prita begitu riang.

Sepanjang perjalanan aku hanya bisa tertegun bila mengingatnya. Entah darimana datangnya. Bayangan tentangnya masih saja menemuiku. Raungan mesin diesel Hino masih memecah kebisuan di sepanjang jalanan yang masih juga sepi. Aku masih melamun. Aku hanya memandangi jendela saja.

Dalam gelap malam yang semakin pekat. Bayangan itu nampak jelas dan seakan hidup. Aku hanya melihat bayangan wajahnya saja. Bukan Anita, sosok perempuan rendah hati yang telah kusakiti hatinya. Bukan pula Prita, buah cinta kesayanganku satu-satunya, yang selalu membuatku punya alasan untuk tetap hidup. Aku hanya melihat bayangan Ibu Guru Tati. Bayangannya saja.

Beginilah keadaannya. Aku tidak pernah merasa berat hati untuk meninggalkan apapun yang telah kulalui. Aku tidak pernah merasa menyesal atas apapun. Sejenak masih melamun. Bayangan Ibu Guru Tati datang lagi ketika aku mengingat kembali senyumannya. Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan? Aku memanggil namanya kembali. Dalam hati saja. Begitu lekatnya hingga tak ingin pergi.

Semuanya masih gelap. Hanya keremangan lampu jalanan saja yang menemani. Aku masih menatap jendela. Aku merasa sangat lelah. Perlahan bayangan tentangnya muncul kembali. Bagai hujan di musim badai seperti ini yang tak pernah berucap kapan waktunya tiba. Bagus. Sementara perjalanan masih lumayan jauh, aku hanya berkutat dengan bayangannya saja. Pergulatan dengan bayangan yang semakin menyiksaku. Kenapa hal seperti ini muncul pada saat-saat seperti ini? Aku sedang tidak melarikan diri tapi kenapa bayangnya masih selalu ada. Senyumnya selalu mengikuti. Bagaikan bus kota yang mengikuti kehendak sang supir.

Ia bukan siapa-siapa. Maksudku, ia hanya seorang guru, dan hanya itu saja. Kita dipertemukan oleh takdir yang sudah seharusnya terjadi. Aku mengenalnya karena sering bertemu saja. Lainnya, tidak ada. Tapi mengapa saat ini seakan aku merasa dekat sekali dengannya. Aku bisa rasakan hembusan nafasnya dibelakang tengkuk leher ini. Hmm, aku jadi merinding.

Lewat dini hari aku tidak tahu sudah sampai mana. Aku merasa ia sedang duduk di sebelahku. Sama-sama memandang sayu pada jendela yang bertuliskan Jakarta-Surabaya. Aku merasa ia disana dan sedang memegangi tanganku dengan dingin yang mengalir dari sela jari-jarinya.

Aku segera tersadar bahwa aku hanya tertidur sesaat. Itu pun kalau bukan karena klakson bus malam lainnya yang berpapasan. Aku menghela nafas panjang. Aku lihat disekelilingku hanya aku saja yang masih terjaga. Ada sesuatu menganggu. Aku ingin terus terjaga.

*

Aku bersandar pada jok. Mengambil nafas panjang dan keluarkan perlahan sambil memejamkan mata. Aku merasa lebih tenang sekarang. Aku merasa sendirian. Sendirian saja di dalam bus malam yang penumpangnya penuh. Aku melihat titik-titik berwarna putih. Perlahan semakin banyak dan menutupiku.


Paninggilan, 26 April 2012.

*) dari lirik lagu “Aku Ingin Pulang” dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade

Minggu, 22 April 2012

Konser: Cinta, Kebahagiaan, dan Perselingkuhan

Judul       : Konser
Penulis    : Meiliana K. Tansri
Penerbit  : Gramedia Pustaka Utama
Tahun     : 2009
Tebal      :296 hal.
Genre     : Novel Dewasa

Jika kau percaya, cinta akan datang padamu bila saatnya tiba
.

Kirana, pemain biola andalan Simfoni Bintang dengan predikat "rising star". Seorang gadis yang baru saja beranjak dari masa remajanya. Masa-masa yang seharusnya penuh suka cita andai saja ayahnya masih bersamanya. Kehilangan ayah tercinta adalah suatu pukulan telak bagi keluarganya. Kehidupan mereka tidak akan pernah lagi sama. Kenyataan hidup telah mengajarinya banyak hal. Kirana "dipaksa" menjadi dewasa sebelum waktunya.

Kirana dan Fajar adalah sesama rekan kerja di Simfoni Bintang yang dipimpin oleh Adji. Keduanya terlibat dalam jalinan rasa yang mengikat pada hati masing-masing. Perlahan, Kirana telah jatuh cinta pada Fajar, sang pianis andalan Simfoni Bintang. Fajar sendiri telah menikah dengan Elise. Pernikahan yang berlangsung dalam kepura-puraan belaka. Fajar tidak pernah mencintai istrinya sekalipun Elise sangat mencintainya. Pernikahan yang dilangsungkan hanya untuk memenuhi ambisi ego pribadinya belaka. Demi sebuah konser tunggal yang kelak akan disponsori oleh Sudarto, ayah Elise.

Petaka itu dimulai ketika Kirana dan Fajar mulai terlibat dalam hubungan yang lebih intens. Tidak hanya sekedar rekan kerja belaka. Seringkali, bayangan tentang Kirana menyeruak dibenaknya. Fajar pun seakan tidak kuasa. Rasa simpati Fajar terhadap segala kejadian pahit yang menimpa Kirana berubah menjadi benih-benih cinta diantara semak belukar hatinya. Fajar menyadari bahwa ia mencintai Kirana namun belum sepenuhnya bisa terlepas dari jerat pernikahannya dengan Elise. Kirana pun demikian. Rasa cintanya yang kian membuncah itu harus berhadapan dengan jurang pemisah bernama pernikahan. Kirana tidak sanggup membayangkan bahwa dirinya akan terjebak diantara Fajar dan Elise.

Elise, belakangan mulai curiga dengan perubahan yang terjadi pada Fajar. Fajar terlihat sering muram dan mulai susah tidur. Elise menangkap sesuatu pada benak Fajar. Sesuatu yang melebihi insting nalar perempuannya untuk mengendus sesuatu dibalik sikap Fajar yang semakin dingin. Elise mulai berhadapan dengan berbagai asumsi dan prasangka. Elise kemudian mencoba untuk membuktikan semuanya. Tidak perlu waktu lama untuk menyadari yang terjadi pada Kirana dan Fajar. Elise telah mendapatkan jawaban atas segala kekhawatiran yang selalu melandanya.

Tensi konflik-konflik dalam cerita semakin meningkat ketika Lydia, sosok Ibu yang begitu dicintai Kirana jatuh sakit dan harus dirawat. Kirana berusaha untuk tetap tegar menghadapi vonis kanker yang diderita Ibunya. Disinilah Kirana mengalami berbagai ujian. Kirana sudah berhasil menjaga jarak dengan Fajar setelah Elise melabraknya dan menggores Stradivarius kesayangannya. Kirana menganggap dirinya telah cukup dewasa untuk menghadapi semua itu. Namun, ukuran kedewasaan tidak hanya diukur dari sejauh mana Kirana mampu menghadapi semua belenggu dihadapannya. Ada banyak hal lain yang masih membutuhkan jam terbang pengalaman. Dalam perjuangannya itu, Kirana mulai menerima kenyataan untuk merelakan Ibunda tercinta ke pangkuan Tuhan.

Perkenalannya dengan Sastro, kolektor barang antik, telah menyelamatkan Kirana dari jeratan lain yang mengintainya. Kirana merasa sangat merasa berterima kasih dan berhutang budi padanya. Sesuatu yang harus dibayar mahal. Kirana menerima pinangan Sastro, seorang kaya raya seumuran ayahnya yang masih membujang. Suatu awal bagi babak baru kehidupan Kirana. Ia memutuskan berhenti bermain musik setelah menikah.

Memasuki akhir cerita, semua konflik yang dibangun sejak awal hingga pertengahan cerita menemukan benang merahnya masing-masing. Fragmen-fragmen dalam adegan Elise yang mengalami pendarahan sehingga menyebabkan kematiannya dan bayi yang dikandungnya, pesan terakhir Elise yang menagih janji ayahnya, fakta bahwa ayah Elise sebagai biang keladi dibalik hancurnya bisnis keluarga Kirana, hingga kehamilan Kirana yang menimbulkan konflik baru dalam pernikahannya dengan Sastro.

Kehilangan Elise membuat Fajar semakin menyadari bahwa dirinya memang telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Fajar telah menyia-nyiakan cinta dan segenap pengorbanan Elise. Konser terakhir yang digelar pun bertajuk “Fur Elise” sama dengan judul sebuah nomor klasik. Fajar tampil sepenuh hati dalam konsernya itu demi membahagiakan Elise yang telah menantinya di alam lain. Konser itu pula yang akhirnya membawa penyelesaian bagi tautan perasaan Fajar dan Kirana. Sedang, Sastro mulai bisa menerima kenyataan pada konflik yang mereka alami dalam pernikahanya bersama Kirana.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Awalnya, saya merasa bakal mendapat gambaran yang jelas tentang bagaimana sebuah konser atau resital piano berlangsung. Saya semakin yakin karena sampul depan buku ini memang menampilkan alat musik yang menjadikan Beethoven sebagai masetro, piano. Selama ini, yang ada dibenak saya tentang resital piano adalah konser Francis Lim di Amerika sana, yang saya baca dalam buku Traveler’s Tale.
Namun, keyakinan saya itu seketika berubah sebaliknya. Membaca sinopsis singkat di bagian belakang buku, rasanya ada sesuatu lain yang ditampilkan buku ini. Tidak melulu tentang musik. Sejenak, saya menangkap makna bahwa buku ini memberikan sesuatu yang lain. Masih tentang cinta dan konflik-konflik seputarnya, dan itu melibatkan orang ketiga.

Isu tentang perselingkuhan sudah ada lama sekali sejak pertama kali Tuhan menciptakan cinta dalam jalinan pernikahan. Perselingkuhan selalu menjadi isu  yang menarik untuk diikuti. Selalu menarik untuk mengikuti cerita cinta yang tidak hanya milik dua orang anak manusia. Isu yang tidak akan pernah membuat bosan karena banyak variasi yang bisa dilakukan untuk tetap mencintai seseorang, sekalipun itu terlarang.

Konser lebih banyak bercita tentang konflik-konflik seputar pergulatan tokoh-tokohnya dengan kehidupan mereka masing-masing. Kirana, dengan segenap problematikanya yang mengharuskannya lebih dewasa dari orang dewasa. Fajar, yang harus mengakui sifat pengecut yang bersemayam dalam dirinya karena pernikahannya dengan Elise tidak pernah ditautkan oleh cinta sehingga mulai jatuh cinta pada sosok Kirana. Cerita yang berputar diantara tokoh-tokoh tersebut tidak lantas membuat buku ini kehilangan dimensi-dimensi lainnya. Latar cerita semakin menambahkan kesan yang kuat dalam membentuk imajinasi pembaca terhadap situasi-situasi yang dialami tokoh-tokoh cerita. Walaupun akhir cerita terkesan sedikit filmis dengan terkuaknya semua “rahasia”, semua itu tidak mengurangi kekuatan cerita yang berangkat dari ide yang sangat sederhana ini.

Yang patut dijadikan pelajaran dari buku ini adalah memaknai nilai-nilai keteguhan dan kesetiaan kaum perempuan. Keteguhan hati seorang perempuan ditampilkan dalam sosok Lydia dan Elise.  Lydia, dalam perjuangannya membesarkan ketiga buah hatinya. Pun, ketika berjuang melawan penyakit kanker yang menimpanya. Elise, walaupun tampak rapuh dibalik sikap manjanya ternyata sangat mencintai Fajar. Elise rela berkorban apa saja demi cintanya itu. Elise telah membuktikan bahwa cinta memang membutuhkan pengorbanan, sekalipun nyawa taruhannya. Elise meninggalkan dunianya dengan membawa cintanya. Cintanya masih menggema di sanubari sehingga membuat Fajar merasa sangat bersalah.

Sungguh tidak mudah bagi kaum istri untuk menerima kenyataan bahwa suami mereka berselingkuh. Namun, penolakan itu sama pahitnya dengan menyadari apa yang telah terjadi lalu mencoba berdamai dengan segala kecurigaan dan prasangka yang terlanjur mengisi relung hati. Sehingga, apapun pilihan atasnya menjadikan perempuan sebagai sosok yang lebih dari sanggup untuk mengatasi semua itu.

Melalui cerita ini, Meiliana berhasil membangun imaji tentang kekuatan seorang perempuan dalam menghadapi segenap prahara dan badai konflik dalam rumah tangga. Kekuatan yang berasal dari fitrah yang saling melengkapi peran kaum perempuan. Baik itu dalam konteks relasional dengan dunia sekitar mereka maupun dengan perasaan mereka sendiri. Perasaan dan intuisi yang seringkali jadi lawan abadi dalam menemukan pelangi di akhir badai.

Paninggilan, 22 April 2012.

Senin, 16 April 2012

Dimsum Terakhir

The truth is what you choose to believe. (hal. 262)

Kalau Trio Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani punya Tiga Menguak Takdir maka Clara Ng punya Empat Menguak Takdir. Bukan untuk membanding-bandingkan tetapi jelas bahwa empat orang karakter utama dalam buku ini sengaja diciptakan untuk mengupas takdir mereka masing-masing. Empat perempuan kembar dengan empat lini masa yang berbeda. Empat perempuan yang berjuang demi hidupnya masing-masing.

Siska, perempuan tangguh yang dibesarkan dengan mental metropolitan Singapura. Indah, penulis best-seller yang semakin gamang dengan julukan barunya itu. Rosi, petani bunga yang tomboi dan memiliki sifat kelaki-lakian yang bersemayam bersama dirinya. Novera, seorang guru yang menyimpan hasrat menjadi seorang biarawati demi menutupi kegalauannya. Mereka berempat memiliki hidupnya masing-masing.

Ketika mengetahui ayah mereka, Nung Atasana, harus dirawat karena sakitnya dan diprediksi tidak akan bertahan lama, keempat perempuan itu terpaksa harus pulang dan berkumpul lagi. Indah, sebagai anak Nung satu-satunya yang tinggal di Jakarta merasa bertanggungjawab untuk mengumpulkan saudara kembarnya. Segenap pertumpahan ego terjadi. Turut menaikkan tensi cerita. Siska, yang lebih peduli pada bisnisnya. Rosi, yang mencintai bunga-bunga dikebunnya bagai seorang bayi. Novera, yang masih bimbang dengan segala keputusannya.


Segala usaha akhirnya menyatukan mereka kembali untuk berkumpul bersama menemani Nung di penghujung usianya. Nung hanya berpesan pada keempat anak kembarnya agar segera menikah. Papa ingin kalian segera menikah, katanya. Satu pesan yang singkat, padat, dan jelas. Satu pesan yang ditanggapi dengan berbagai alasan penolakan. Satu pesan yang bermakna bagi penelusuran identitas dan eksistensi empat perempuan kembar itu.

Siska,  kariris yang tidak percaya lagi pada ikatan pernikahan. Indah, menyimpan rahasia hubungannya dengan Antonius, seorang pastur. Novera dengan segala keraguannya atas pernikahan karena harapannya telah usai karena tidak punya rahim. Sementara itu, Rosi tidak akan pernah bisa menerima ide Nung karena gejolak dalam dirinya. Pertempuran batinnya dengan identitas yang melekat padanya telah membawanya pada penyangkalan dan pencarian identitas diri yang baru.

Sejak itu, berbagai pertanyaan penting tentang kehidupan bermunculan. Berbagai peristiwa yang terjadi saat mereka bergantian menemani Nung mengantarkan jawaban-jawaban yang muncul perlahan. Justru pada saat mereka kembali ke ‘akar’ kehidupan di rumah lama mereka.

Perlahan tapi pasti, tabir itu terkuak satu persatu. Segala ketakutan, kecemasan, harapan, penerimaan, dan penolakan mewujud dalam alur cerita yang memikat. Pergulatan jiwa penuh tanya dalam menerima setiap kemungkinan yang masih ditawarkan hidup. Demi satu tujuan. Demi satu nilai yang selalu dijunjung tinggi setiap keluarga keturuan Tionghoa. Demi keutuhan keluarga.

Setahun telah berlalu sejak stroke Nung yang pertama. Takdir telah menemukan jalan bagi Siska, Indah, Rosi, dan Novera. Nung, sudah mengetahui semuanya. Pertemuan dengan Dharma, kekasih Rosi; Antonius, pastur yang mencintai Indah namun terhalang oleh statusnya sebagai seorang evangelis; dan Rafy, duda beranak satu yang mencintai Novera sepenuh hati; telah membuatnya semakin mengerti. Menjelang ajalnya, Nung telah belajar untuk menjadi lebih arif. Kearifan yang bersumber dari akumulasi perjalanan hidupnya untuk menerima keputusan keempat putri kembarnya.

Konflik intern keluarga dan budaya yang melekat dalam novel ini semakin menyadarkan kita bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling kompleks. Kompleksitas itu menyublim dalam konteks kehidupan. Suatu proses untuk menjalani dan mengambil segala pelajaran yang disajikan oleh hidup itu sendiri. Melalui penuturan yang lugas, cermat, dan alur cerita yang memikat, Clara Ng berhasil membangun kedekatan antara fiksi dengan realitas kehidupan sehari-hari.

Secara kontekstual budaya, Dimsum Terakhir memberikan gambaran yang jelas bagaimana kehidupan keluarga keturunan Tionghoa ikut membaur dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang heterogen.Tradisi yang melebur dalam corak beragam akulturasi budaya yang sempat mengalami represi bawaan Orde Baru diungkap dengan jelas. Ragam-ragam tradisi  budaya Tionghoa disajikan dengan cermat dan teliti sehingga pembaca seakan mengalami sendiri hal tersebut. Sebagai konklusi, keindahan dalam keragaman yang mencari ciri khas bangsa ini memang harus ditelusuri kembali untuk kemudiaan diperbaiki dan diterima sebagai suatu kebanggaan atas nama Bhinneka Tunggal Ika.

Catatan Singkat Seorang Kolumnis Dadakan

Membaca Dimsum Terakhir sama juga dengan bercermin pada diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan  sederhana tentang hidup seakan menyeruak. Masalah identitas, keberanian-ketakutan,  penerimaan-penolakan, hingga menemukan damai dalam sirkuit kemelut. Perjalanan hidup mungkin saja mengantarkan kita untuk menjadi lebih bijak dalam menentukan langkah. Hanya saja, kearifan dalam menyikapi segenap pertanyaan yang muncul belum tentu mampu didapat begitu saja. 

Seiring berjalannya waktu, kita akan dihadapkan untuk lebih arif dalam menyikapi berbagai keadaan. Tentang hidup dan kematian, yang batasnya sangat tipis. Takut atau berani. Berdamai dengan segala konflik dalam menemukan cinta dan kebahagiaan demi keutuhan keluarga. Dimsum Terakhir memberikan kita harapan, bahwa ada kalanya hidup memberikan hadiah yang paling kita idamkan.

Judul        : Dimsum Terakhir
Penulis     : Clara Ng
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama
Tahun       :Januari 2012 (cetakan ke-3)
Tebal       : 364 hal.
Genre      : Novel Dewasa


Paninggilan, 15 April 2012.

Minggu, 15 April 2012

Cinta, Sejarah, Selingkuh, Spiritual, dan Manajemen. (CBD-Cerita Buku Diskon edisi April)

Menyenangkan sekali rasanya untuk bisa memborong buku lagi tanpa harus bertanya-tanya, "Kapan mau selesai lha wong yang kemarin saja belum tamat?". Memang seharusnya begitu. Selesaikan dulu buku-buku yang masuk daftar wishlist kemarin. Tuliskan resensi dan catatan pribadi di blog, lalu buat wishlist baru. Ah, lupakan dulu kebiasaan itu. Kebetulan, lagi ada sale di Gramedia Matraman. Ingat, sale tidak pernah datang dua kali. 

Untuk beberapa alasan, inilah jawaban saya.

1. Konser, Meiliana K. Tansri.


Sudah lama sekali saya ingin tahu apa saja dibalik sebuah konser. Terutama konser resital piano. Selama ini, yang ada di kepala saya hanyalah resital piano dari Francis Lim. Resital fiktif dalam buku "Travelers Tale: Belok Kanan Barcelona". Saya harap buku ini dapat memberikan gambaran yang lebih detil. Terlebih, ketika sebuah konflik atas nama cinta terselip disitu.

2. Hening (Silence), Shusaku Endo


Mendengar nama penulisnya, sudah jelas buku ini adalah buku terjemahan. Buku yang aslinya terbit dalam bahasa saudara tua kita, bahasa Jepang. Kemudian, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris baru ke bahasa Indonesia. Mudah-mudahan proses pengalihbahasaan tidak membuat cerita kehilangan maknanya.

Berlatar kondisi sosio-kultural Jepang di abad ke-17, periode Edo. Pada zaman dimana berlangsung pelarangan terhadap iman Kristiani. Menarik sekali untuk membaca lebih jauh mengenai 'gugatan' buku ini terhadap Tuhan. Apakah Tuhan tetap dalam diam dan hening melihat penderitaan dari para penyebar kasihNya?

3. Pertempuran 10 November 1945, Sutomo (Bung Tomo)


Ini adalah buku yang direproduksi dari buku aslinya. Dihadirkan kembali atas dasar kebutuhan untuk mengingatkan kita pada suatu peristiwa sejarah dalam periode awal kemerdekaan Republik ini. Buku yang ditulis langsung oleh Bung Tomo, tokoh yang selalu dikenal dalam buku pelajaran Sejarah sebagai pemimpin Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. 

Membaca sekilas, buku ini akan membawa kita pada suasana Republik tercinta pasca kemerdekaan. Betapa sulitnya untuk mempertahankan kemerdekaan dibandingkan dengan usaha-usaha untuk mencapainya. Ada banyak hikmah untuk dipelajari agar kita tidak kehilangan identitas bangsa. Sejarah selalu hadir untuk kebutuhan saling mengingatkan.

4. Pelangi di Akhir Badai, Adriana S. Ginanjar.


Isu tentang perselingkuhan selalu menarik untuk dibahas. Selingkuh menjadi bagian dari realitas manusia modern. Selingkuh sudah terjadi sejak pernikahan melembaga. Selingkuh adalah satu kenyataan ketika pernikahan tidak menemukan lagi hakikatnya. Cinta saja tidak pernah cukup.

Ditulis oleh seorang praktisi konseling pernikahan, buku ini memberikan visualisasi nyata tentang perselingkuhan dibalik pernikahan. Satu hal yang membuat saya tertarik pada buku ini adalah sebab-musabab dibalik selingkuh. Menarik juga untuk mengetahui sejauh apa batasan selingkuh itu sendiri. 

Buku ini diangkat dari kisah nyata yang benar-benar terjadi dan dialami sendiri oleh para narasumber. Lebih jauh, buku ini akan mengajarkan siapapun (baik yang sudah menikah atau pun belum) untuk menerima kenyataan dan berdamai atas peristiwa selingkuh yang dilakukan oleh pasangan.

5. Riwayat Kerja si Dudi (Komik Manajemen), Rico Sierma & Eva H. Saragih.


Setelah komik Indonesia mengalami masa kebangkitannya medio 2000-an ini maka mulai banyak komikus yang melakukan berbagai ekplorasi bentuk grafis dan penjelajahan tema. Dan komik manajemen ini adalah salah satunya. Penyampaian pesan-pesan yang berkaitan seputar manajemen kini tidak lagi membosankan. Paduan unsur grafis dan teks pada komik mampu menjadi jembatan komunikasi yang baik. Ini semakin membuktikan efektivitas komik sebagai media pembelajaran, walau masih banyak perdebatan atas pernyataan tersebut.

6. Spiritual Journey Emha Ainun Nadjib, Prayogi R. Saputra. (Ini nggak diskon!)


Tidak banyak buku yang bercerita tentang Emha Ainun Nadjib bila bukan Emha sendiri yang menulisnya. Dari pembacaan sepintas, buku ini berisi tentang kisah-kisah dibalik Jamaah Maiyah; asal-usul, perjalanan, dan imbasnya pada individu-individu yang terlibat didalamnya. 

Tidak hanya itu saja, barangkali lewat buku ini penulisnya ingin sekali memberikan alasan dan jawaban Emha atas eksistensinya yang hampir tidak pernah lagi diangkat media mainstream di negeri ini. Buku ini, agaknya menjadi bahan perenungan bagi kita semua untuk lebih melihat ke dalam diri sendiri. Untuk tetap bermanfaat walau hanya dalam diam dan sendirian di jalan yang sunyi.


Paninggilan, 15 April 2012.


Sabtu, 14 April 2012

2 Weddings and a Clayderman

2 Weddings

Awalnya, memang sulit menerima kenyataan kalau Jatnika ini, Muhammad Jatnika Fathurrahman, Ketua OSIS yang punya SMP 9 jaman kita dulu, jadian sama si calon istrinya ini. Secara kita tahu, kalo doi memang naksir sama Jatnika dari dulu tapi gak pernah berani buat ngungkapin. And tiba tiba aja gitu, sekarang she's having Jatnika for entire life. What a fact!

 

Tuhan telah pilihkan perempuan untuk Jatnika. Selanjutnya, adalah perjalanan untuk tetap menjadi diri sendiri dalam jalinan ikatan pernikahan dua takdir anak manusia. Sebagai sahabat yang baik, saya percaya Jatnika mampu jadi imam yang baik, penuntun, dan pemimpin yang adil untuk keluarga mereka kelak. Saya sangat berharap mereka bisa jadi keluarga sakinah mawaddah warrohmah seperti apa yang selalu didambakan keluarga muslim pada umumnya. Apapun itu, untuk kebahagiaanmu, Jat.

Ada perasaan haru ketika berhasil menyalami Ibu Jatnika untuk pertama kalinya setelah kelulusan SMP. Beliau masih ingat saya, dan itu melegakan sekali. Pun, ketika melihat kakak-kakak dan adik-adiknya. They're all grown up. See, time has changing them all. Semuanya seakan masih sama seperti dulu. Tapi, satu yang tidak akan pernah kembali. Tidak akan pernah sama lagi.

Kejadian macam ini menyadarkan saya pada sesuatu, bahwa pernikahan adalah garis persinggungan antara takdir Tuhan dan kehendak usaha manusia. Seseorang yang dulu kita pikir akan memiliki segalanya dengan segala kepatutan dan kepantasan untuknya, bisa berubah dalam sepersekian detik. Seseorang yang kita pikir bahwa nanti dia akan memiliki hidupnya sendiri dengan seseorang yang memang pantas untuknya ternyata punya suratan takdir sendiri. Kita tidak pernah punya kuasa atas yang terjadi kepadanya. Itu benar-benar terjadi, saat Jatnika bersanding di pelaminan.

Sebenarnya, di hajatan 'tokoh' seperti Jatnika ini yang saya harapkan adalah pertemuan dengan beberapa sahabat lama. Itu memang terjadi. Kami bertemu dengan sahabat-sahabat lama. So, this is the time to remembering those days. Loe tau sendiri kan gimana deketnya saya, dia, kita, mereka dulu? Semuanya berhamburan. Saya selalu merasa baru bisa jujur pada saat-saat seperti ini.

Mengerikan sekali, melihat waktu berganti tetapi image yang sudah dulu terbentuk tentang seseorang itu masih melekat. Saat ini, saat kita bertemu lagi, image itu terlanjur melekat kuat. Isn't it ridiculous? Time flies and nothing's change. Seperti kata @adhityamulya di bab Life Happens, memang benar begitu adanya, makannya saban hari kita reuni, kita selalu bilang 'wah, gak nyangka loe bisa jadi seperti ini...'.

He's married now, and we're all alone. Again.

Next. We still have to attend Darmawan's wedding. Darmawan. Dengan segala kelakuan aneh di kampus. Masih larak-lirik gadis di FPIK padahal udah punya pacar. Mungkin, one is never enough berlaku untuk dia. Kalau ingat waktu itu, waktu ketemu Darmawan di kampus, banyak pertanyaan yang ingin saya ajukan. Kalau bisa di pelaminan, biar sekalian ketahuan sama istrinya. Misalnya saja, kenapa baru mau menikah sekarang padahal sudah empat tahun berlalu sejak kelulusan mereka? Apa masih ada yang ‘ngganjel’ untuk menggenapkan setengah agama?

Niatnya begitu, tapi kita masih punya perasaan. Sudah saya pendam semua tanya itu. Biar hilang sendiri. Setiap orang punya alasan masing-masing. Setiap orang punya rahasia masing-masing juga. Sekali lagi, pernikahan dua orang sahabat ini membuka kembali mata dan pikiran kami. Kami disini adalah term untuk Saya, Eddy, dan Adit, if i may add. Kami disadarkan lagi bahwa tangan Tuhan akan bekerja dengan caraNya sendiri.

Kami pulang sambil menakar tanya. Jatnika kawin, Darmawan kawin euy, kita kapan? Yang terpenting, pernikahan ini menyadarkan saya sekali lagi bahwa pernikahan itu adalah persimpangan takdir dan kehendak dalam usaha manusia untuk menggenapkan setengah agamanya. Sudah jelas jodoh itu urusan Tuhan, kita tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit saja. Ketika takdir mengantarkan anasir-anasir ketidakpastian hasil usaha manusia, percayalah takdir Tuhan bekerja dengan caraNya sendiri.

Richard Clayderman

Entah kenapa, saya merasa harus mendengarkan lagi Richard Clayderman. Saya ingat, Bapak punya satu album instrumental Richard Clayderman. Disitu ada lagu instrumen favorit saya. Saya sudah jelas lupa judul lagunya. Kapan terakhir kali mendengarkan pun sudah lupa. Mungkin dulu. Sekitar tahun 1997, waktu masih SD. Hanya saja, seandainya saya punya kesempatan menjajal satu per satu lagunya, saya tentu akan tahu yang mana lagu favorit saya itu. Sayangnya, saya selalu lupa untuk mencarinya di rumah.


 
Saya sudah mencarinya via website resmi Richard Clayderman. Saya terlalu bingung untuk mencari album itu. Saya hanya ingat warna cover albumnya yang berwarna merah. Tetapi, terlalu banyak pilihan. Mungkin juga, covernya memang berbeda dengan versi internasional.

Seusai menghadiri pernikahan Darmawan, akhirnya kami memutuskan untuk singgah sebentar di Toko DVD langganan. Saya tidak perlu sebut namanya. Yang jelas, kalau memang anda orang Bandung, tidak terlalu susah untuk menemukan Toko DVD di daerah Jalan Ambon. Sekitar dua minggu yang lalu, saya mampir kesana dan membeli film ‘I Don’t Know How She Does It’ dan MP3 David Foster Collection.

Iseng-iseng, saya menemukan yang saya cari. MP3 Richard Clayderman Album Collection. Menemukan CD ini saya rasa sama halnya dengan urusan jodoh. Ketika kita mempunyai satu kehendak, semesta akan membawa kita kesana, dalam pertemuan yang tidak sengaja. Begini, maksudnya saya memang tidak berniat sedikit pun untuk mencari album Richard Clayderman, hari itu. Hanya saja, saya telah tiba pada suatu momen dimana kehendak bersimpangan sempurna dengan takdir. Saya pikir, begitu juga dengan jodoh. Tiba-tiba hadir dalam suatu pertemuan yang tidak sengaja dan kadang tanpa diharapkan sama sekali. Tetapi, kita cukup sadar bahwa memang itulah yang kita butuhkan. Tanpa sengaja, pikiran macam ini melintas begitu saja saat kami bertiga sedang menikmati dimsum di sebuah warung di sebelah Toko DVD itu.
 
*

Agaknya, akhir pekan kemarin itu memang Tuhan telah takdirkan seperti itu. Supaya kami benar-benar bisa mengambil pelajaran dari dua momen bahagia sahabat kami. Saya pun bisa memahami sedikit demi sedikit jalan pikiran dan sudut pandang dua sahabat saya itu. Tentang bagaimana memaknai kejadian-kejadian sepanjang akhir pekan ini.

Angin berhembus pelan. Bandung masih macet.

Pharmindo-Paninggilan, 14 April 2012.

Rabu, 11 April 2012

Menoreh Janji di Tanah Suci

Perjalanan, kemana pun tujuannya, adalah perjalanan menuju diri sendiri. Pencarian makna diri dalam ruang dan waktu yang tak pernah sama. Mencari arti dibalik hakikat penciptaan dan segala hal yang menafsirkan ayat-ayat Tuhan. Perjalanan spiritual yang membutuhkan lebih dari sekedar kesadaran untuk jujur terhadap diri sendiri. Perjalanan menuju titik dasar dalam jiwa. Berbalut pada harap dan ridho Yang Maha Kuasa.

Perjalanan haji sebagai tingkatan ibadah tertinggi di Rukun Islam bagi sebagian orang hanyalah mimpi belaka. Ongkos Naik Haji yang cenderung naik setiap tahun belum lagi ditambah kondisi inflasi adalah satu tantangan. Belum lagi, situasi sosio-religius masyarakat kita yang cenderung menganggap berhaji adalah suatu kewajiban bagi mereka yang mampu secara materi.

Padahal, bila dikaji lebih dalam, kata ‘mampu’ ini ditafsirkan sebagai penegasan bahwa ‘mampu’ bukan lagi bermakna harfiah sekedar bisa mencukupi dalam hal materi saja. Kata ‘mampu’ disini berarti mampu secara jiwa dan ragawi, secara maknawi, untuk mengelola hati dan perasaan terutama dalam kesiapan memenuhi panggilan Allah SWT.

Berhaji adalah persimpangan antara ikhtiar, tawakkal, dan harapan. Segala makna peribadahan terkulminasi dalam ibadah haji. Keberserahan diri kepada Yang Maha Kuasa diuji di Tanah Para Nabi, Tanah Haram. Melalui berbagai kejadian yang tidak disengaja, akhirnya Allah SWT telah berkenan memanggil hambanya. Seorang penulis prolifik, Pipiet Senja, untuk memenuhi panggilanNya. Allah SWT telah memberikan karuniaNya kepada Pipiet Senja untuk mengalami suatu kebesaran atas namaNya.

Buku ini banyak bercerita tentang kejadian-kejadian yang dialami Pipiet Senja dalam perjalanannya ke Tanah Suci. Dua kali. Umroh dan haji. Ditulis dengan gaya yang santai membuat pembacaan buku ini tidak terkesan terlalu serius. Bahkan, dengan cara tersebut membuat pembaca lebih mudah untuk mengambil ibroh (pelajaran) dan hikmah dari cerita-cerita Pipiet Senja. Pembaca seakan diajak mengalami sendiri peristiwa-peristiwa di Tanah Suci. Mulai dari kekaguman penulis ketika pertama kali melihat Baitullah, merasakan susahnya masuk Raudhah, hingga rangkaian ibadah haji besar. Bermalam di Mina, wukuf di Arafah, sampai Tawaf Wada’.

Penuturan yang apa adanya khas Pipiet Senja membuat pembaca tidak akan kesulitan mencerna kisah-kisah dalam buku. Simak berbagai pengalaman yang didapat Pipiet Senja bersama rombongannya di Tanah Suci. Cerita-cerita seputar kelakuan jamaah haji Indonesia serta jamaah lainnya dari segenap penjuru dunia menjadi sajian tersendiri yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Bahkan, beberapa diantaranya akan membuat kita terperangah dan tidak jarang malah berkaca pada diri sendiri. Terutama, ketika Tanah Suci memberlakukan ayat “Sesungguhnya aku tergantung pada prasangka hambaKu”. Entah keajaiban atau kesialan bisa menghampiri sebegitu cepatnya.

Lebih jauh, Pipiet Senja mengajak pembaca untuk senantiasa mentafakkuri hikmah dibalik pengalaman yang didapatnya. Catatan yang lebih tepat disebut memoar ini memberikan gambaran bahwa sejatinya berhaji adalah bukan sekedar memenuhi panggilan Allah SWT, bukan sekedar unjuk kepunyaan materi, bukan sekedar ritual ibadah belaka. Berhaji adalah bukan perjalanan biasa. Dibutuhkan lebih dari sekedar iman untuk melaksanakannya. Kita akan dibuat lebih yakin akan kebesaran Allah SWT. Kita akan semakin yakin bahwa janji Allah SWT itu benar adanya. Keikhlasan, tawakkal, tawaddhu, dan kepasrahan, menyublim dalam wujud pengharapan pada Sang Maha Pencipta.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Awalnya, saya menandai buku ini dalam daftar wishlist buku yang akan dibeli dan dibaca. Namun, keinginan untuk membacanya belum sebesar nafsu ingin menamatkan Nagabumi II. Saya memang punya keinginan untuk pergi umroh. Entah kapan. Tidaklah terlalu salah punya keinginan seperti itu. Toh, namanya juga ibadah. Hingga suatu saat saya tersadar bahwa saya juga merasakan hal yang sama seperti Pipiet Senja. Tepat ketika sahabat saya, Adit, berterus terang untuk berangkat umroh bersama ibundanya tengah bulan April ini. Akibatnya, saya merasa harus segera menamatkan pembacaan buku ini.

Selain itu juga, saya ingin mempunyai gambaran jelas tentang apa-apa saja yang harus dipersiapkan selama beribadah di Tanah Suci. Satu cara yang efektif yaitu dengan membaca memoar ini. Saya rasa tidak terlalu sulit bagi seorang penulis untuk menceritakan kembali pengalaman-pengalaman yang dialami disana. Akan mudah rasanya bagi saya untuk memahami semua itu melalui tulisan santai dan tidak melulu serius namun sarat akan makna, pengalaman, dan hikmah.

Harus saya akui bahwa karya yang kesekian dari Pipiet Senja ini adalah satu karunia untuk mengobati keringnya jiwa saya akhir-akhir ini. Buku ini adalah buku pertama yang berhasil membuat saya menitikkan air mata. Bulu roma saya merinding pada saat membaca halaman-halaman awal buku ini. Semua itu terjadi begitu saja di dalam bis yang membawa saya kembali ke Jakarta.

Saya bisa bayangkan keadaan yang digambarkan Pipiet Senja. Betapa keadaan beliau saat itu sangat tidak memungkinan untuk bisa memenuhi panggilan Allah SWT. Bahkan, berharap pun tidak. Tetapi, justru disitulah Allah SWT menunjukkan kebesaranNya. Tanpa disangka, takdir, harapan, dan keinginan bertemu di satu persimpangan atas nama nasib anak manusia.

Rasanya, ada banyak sentuhan emosional dalam proses penciptaan buku memoar ini. Sesuatu yang tadinya tidak akan pernah mungkin tiba-tiba bisa berubah menjadi suatu kenyataan, senyata-nyatanya. Pipiet Senja tidak pernah bermimpi dapat menunaikan ibadah umroh dan haji apalagi dengan dukungan finansial dari pihak-pihak yang tak terduga. Sebuah pelajaran berharga bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar. Bahwa rezeki kita masih 'nyangkut' di tangan-tangan yang Allah SWT kehendaki.

Membaca buku ini sama juga dengan menebalkan kembali keyakinan kita kepada Allah SWT. Allah SWT ingin memberi pelajaran bahwa janganlah sekali-kali berputus asa dari rahmatNya. Sebab, ketika saat itu tiba maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan. Wallahu’alam bis shawab.

Judul         : Menoreh Janji di Tanah Suci: Catatan Haji dan Umroh Pipiet Senja
Penulis      : Pipiet Senja
Penerbit    : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit        : Agustus 2011
Tebal        : 247 hal.
Genre       : Memoar

 Pharmindo-Paninggilan, 10 April 2012.

Selasa, 10 April 2012

It's Just What We Did on Our Date Night

Rutinitas yang membosankan bisa jadi sesuatu yang berbahaya dalam kehidupan pernikahan. Segala urusan tetek bengek rumah tangga adalah kejenuhan yang sangat membosankan. Tak terkecuali bagi Phil Foster (Steve Carrell), seorang akuntan pajak dan Claire Foster (Tina Fey), pialang properti mencoba menengahi kebosanan yang melanda kehidupan pernikahan mereka. Phil merencanakan sebuah makan malam yang tidak biasa. Phil mengajak Claire pergi ke kota untuk merayakan date night mereka yang kesekia itu dengan makan malam di suatu restoran terkenal.

Celakanya, mereka tidak membuat reservasi terlebih dahulu sehingga masuk daftar tunggu antrian. Entah karena ingin memberikan kejutan, Phil mengambil reservasi yang telah dipesan atas nama The Tripplehorns. Suatu ide yang tidak disukai Claire. Tapi demi malam spesial mereka Claire pun mengalah dan menikmati makan malam yang di tempat yang paling spesial. Dari sini cerita dimulai when everything's totally goes wrong.


Tak lama sebelum mengakhiri makan malam itu, mereka didatangi oleh dua orang tak dikenal yang menyatakan mereka adalah The Tripplehorns. Merasa tidak mengerti, keduanya pun terlibat dalam suatu keadaan yang jauh dari menyenangkan untuk ukuran sebuah kencan. Phil dan Claire terpaksa mengikuti dua orang tak dikenal itu yang menyangka mereka memiliki sebuah flash drive. Setelah berupaya untuk kabur, mereka melapor ke kantor polisi. Bukannya mendapat perlindungan tetapi malah semakin terlibat dan terjebak dalam situasi yang tidak pernah mereka harapkan. Seseorang mengejar flash drive yang mereka miliki dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.

Merasa tidak pernah menginginkan sesuatu terjadi seperti ini, mereka pun mencoba untuk melakukan apa saja semampu mereka. Termasuk mengumpulkan kembali informasi yang pernah Claire ketahui tentang klien-kliennya dan meminta tolong pada salah satunya, Holbrooke. Dengan bantuan Holbrooke, mereka mencoba meretas ulang apa yang telah terjadi pada mereka. Saat itulah Phil menyadari bahwa mereka benar-benar ada dalam bahaya yang sangat besar. Flash drive itu berisi file blackmail The Tripplehorns kepada Jaksa Wilayah, Frank Crenshaw. Isi file itu adalah kegiatan rutin Crenshaw di sebuah klub prostitusi yang tentu saja bila bocor ke media akan sangat membahayakan bagi karir si Jaksa Wilayah.

Setelah mengetahui semua itu akhirnya Phil dan Claire mencoba untuk mendatangi langsung Crenshaw agar semua ini bisa cepat berakhir. Mereka menyamar menjadi duet stripper untuk memancing perhatian Crenshaw. Merasa tertantang, Crenshaw pun akhirnya terjebak dalam permainan mereka. Setelah perdebatan panjang dan adegan saling mengancam di atas gedung, polisi pun akhirnya terlibat. Claire tidak pernah menyangka akan berakhir seperti itu. Namun, Phil mencoba meyakinkanny. Inilah saat dimana akhirnya Claire percaya bahwa Phil telah melakukan suatu rencana yang berjalan mulus-tidak seperti biasanya.

*

Film action ini dikemas dengan nuansa santai dan sangat ringan. Bahkan, tidak jarang banyak adegan komedi didalamnya. Tina Fey masih tetap mengagumkan. Tetap terlihat sama seperti ketika pertama kali melihat aktingnya sebagai Guru Matematika di film Mean Girls. Akting Steve Carrell pun terlihat memiliki chemistry dengan Tina Fey. Mungkin karena mereka telah sering beradu akting juga lewat serial Saturday Night Live.

Lebih jauh, film ini memberikan suatu gambaran dalam kehidupan pernikahan ditengah masyarakat urban perkotaan. Ketika waktu menguji cinta mereka. Mencoba berdamai dengan situasi dimana pernikahan berjalan seperti rutinitas harian saja. Apalagi, setelah keduanya menyadari bahwa kejenuhan dalam rutinitas itu pula yang membuat sahabat mereka bercerai. Mereka mulai mempertanyakan kehidupan pernikahan mereka. Sudahkah mereka melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. 

Phil dan Claire mulai berkaca dari kejadian itu justru bukan dalam situasi normal untuk saling berintrospeksi diri. Keduanya terlibat dalam suatu unfortunate event yang semakin membuat mereka yakin terhadap komitmen masing-masing. Mereka menemukan diri masing-masing dalam suatu kejadian yang tidak disengaja. Saling percaya telah membuat mereka kembali menemukan sesuatu yang telah lama hilang. Pada scene terakhir, dimana Phil dan Claire melakukan makan malam terakhir mereka, sangat jelas bahwa mereka telah kembali menemukan kehangatan itu. 

Film ini bisa dianggap sebagai gugatan atas rapuhnya ikatan pernikahan di kalangan masyarakat urban. Segala tuntutan kehidupan yang berlangsung rutin dan membawa kejenuhan adalah akibat yang lumrah. Barangkali hal itu menyadarkan pada hambarnya kehiduan pernikahan. Film ini mengajarkan satu hal bahwa mencintai saja tidak pernah cukup. Karena pernikahan adalah perjalanan menuju diri masing-masing untuk saling memahami, saling percaya, dan menjadi diri sendiri.

Judul        : Date Night (2010)
Sutradara : Shawn Levy
Pemain     : Steve Carrell, Tina Fey, Mark Wahlberg, Mila Kunis


Medan Merdeka Barat, 10 April 2012.


Senin, 02 April 2012

Ketika Jarak Hanya Sepenggal Kisah: Winter to Summer; 11.369 km untuk Satu Cinta

Pernahkah kita membayangkan berada jauh dari rumah, merasa terasing, lalu kemudian bertemu dengan seseorang yang benar-benar mencintai kita sepenuh hati. Seseorang yang sangat begitu memahami perbedaan yang membentang dalam jarak dua dimensi budaya. Seseorang yang begitu tulus menerima segenap perbedaan itu tanpa kehilangan sedikit pun perasaan sayangnya

Berada 11.369 KM dari bumi pertiwi membawa satu pengalaman baru bagi Kirana. Mahasiswi jurusan Hubungan Internasional yang mendapatkan beasiswa untuk sekolah di Geneva. Pengalaman itu juga yang mengantarnya pada suasana dan kawan-kawan baru. Hingga pada akhirnya menemukan satu cinta pada sosok Manu.


Jatuh cinta di negeri orang rasanya bukan hal yang mudah. Jurang perbedaan antara timur dan barat yang begitu dalam terkadang jadi penghalang untuk sebuah perasaan atas nama cinta. Berbagai ujian siap menghadang. Ruang dan waktu takkan lagi sama kala jarak membentang.

Kirana, harus merelakan perasaan yang tertinggal untuk Manu di Paris ketika waktu itu tiba. Kirana harus kembali ke Indonesia untuk melanjutkan studinya. Sementara, Manu pun hanya bisa berjanji untuk menemui Kirana. Entah kapan, Kirana memegang janji Manu untuk menemuinya di Indonesia.

Perjalanan Euro Trip dengan Manu sebelum kepulangannya ke Indonesia adalah satu-satunya hal berharga yang akan terus diingat. Dalam perjalanan itulah Kirana dan Manu mengenal lebih dalam pribadi masing-masing. Manu, yang sejak awal menaruh hati pada Kirana, akhirnya menyatakan cintanya. Sementara, Kirana yang memang jatuh cinta, menerima Manu sepenuh hati. Cinta tidak pernah salah sejak saat itu. Cinta telah menemukan jalannya. Menuju pelabuhan kecil di sudut hati Manu dan Kirana.

Perpisahan selama empat tahun semakin menimbulkan gejolak dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang hubungan mereka. Apapun usaha keduanya untuk saling melupakan tidaklah cukup. Hati mereka memang tidak sanggup lagi berbohong. Bahwa mereka masih saling mencintai.

Kedatangan Manu ke Indonesia pun tidak berpengaruh banyak bagi perjalanan cinta mereka. Pertemuan dengan keluarga Kirana pun bukan malah memperbaiki semuanya seketika, cinta mereka menjadi anasir yang rumit. Kirana, dengan segenap pertimbangannya telah memutuskan untuk mengakhiri perasaan yang terlanjur larut dalam kebahagiaannya dengan Manu. Suatu akhir yang terus menghadirkan tanya di benak Manu. Suatu akhir yang tidak pernah bagi keduanya. Kirana tidak ingin Manu kehilangan prinsipnya walaupun Manu telah meyakinkan Kirana untuk menerima segalanya: asalkan bisa selalu bersama.

Membaca debut novel dari Icha Ayu ini sama juga dengan menikmati sebagian belahan Eropa. Pembaca tidak harus benar-benar menginjakkan kaki di benua biru itu. Lewat detail-detail yang tersaji dalam cerita, pembaca dihadapkan pada penjelajahan imajinasi tentang Eropa itu sendiri. Tentang seribu cahaya di Trocadero dan Eiffel, hujan musim dingin di Geneva, suasana musim semi di Brugge, hingga pojok-pojok sunyi kota Paris. Sentuhan-sentuhan seperti detail latar cerita yang mengambil tempat pada ruang-ruang publik yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya ikut memberi warna tersendiri.

Lebih jauh, novel ini setidaknya menghadirkan jawaban-jawaban untuk takdir cinta yang tak pernah adil karena terhalang sekian banyak perbedaan. Penerimaan terhadap diri sendiri, memaknai pilihan masing-masing atas dasar saling menghargai saja tidak pernah cukup. Cinta yang terjalin atas dasar saling membutuhkan dan saling memiliki yang diuji dengan konflik-konflik yang muncul dari luar individu. Persoalan keluarga dan latar belakang budaya seringkali jadi kerikil tajam yang harus dilalui. Suatu keadaan yang sering kali dijadikan alasan untuk menyerah lalu berpisah.

Lewat novel ini, kita disadarkan bahwa apapun pilihannya cinta akan menemukan dirinya sendiri dalam pergulatan takdir. Cinta akan menemukan jalan menuju kebahagiaannya sendiri. Karena sejatinya, cinta tak akan pernah bohong saat ia memutuskan dimana akan berlabuh.


Medan Merdeka Barat, 2 April 2012.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...