Senin, 27 September 2010

The Nightsong

Suatu malam, paman saya seperti biasa menemui kami di basecamp yang serupa rukan (alias rumah iya kantor juga iya). Kami tak bicara banyak. Kami hanya membahas kekalahan Chelsea dari timnya Juragan dari Arab, Manchester City 1-0, kekalahan kandang Arsenal atas tim promosi West Bromwich Albion, dan juga hasil seri 2-2 antara Liverpool-Sunderland (The Anfield Gang is now walking alone :(( ).

Selanjutnya, saya masih mengutak-atik model-model desain 2D bis AKAP yang baru saya unduh dari www.bismania.com untuk dijadikan papercraft, dan juga Land Rover Discovery III 2006 European Edition skala 1:100 yang akan saya modifikasi jadi mobil operasional lapangan tim kami (semoga Tuhan mengabulkan wishlist kami...!). Besok, saya berencana mencari papermodel Cherokee 1996 Limited USA (model Cherokee favorit saya) sambil berkhayal untuk dijadikan mobil operasional juga.

Tak lama saya pun segera menyudahinya karena barangkali saja datangnya beliau ini membawa suatu kabar. Sambil ngobrol perlahan lagu itu pun mengalun sunyi usai hujan reda di keheningan malam minggu. Lagu lama dari Paul Carrack yang saya download kemarin lusa, Eyes Of Blue (thank God it's 4shared!). Sambil kaget, paman saya itu pun bertanya kenapa sampai lagu itu bisa ada disini.



Entah karena saking senangnya, paman saya seperti terdiam ketika melihat lagu itu di playlist Winamp. Mungkin, itu membuatnya teringat kembali akan masa-masa galaunya dahulu. Betul saja, dia pun mulai bercerita tentang malam-malam panjang yang dilaluinya sambil mendengarkan lagu keluaran tahun yang sama dengan Toyota Corona Absolute generasi terakhir itu. Tak lupa juga beserta ungkapan-ungkapan atas segala kegelisahan hidup yang membaur dan segera menghilang bersama asap rokok yang terbawa angin.

Saya pikir, paman saya itu tidak menyukai lagu-lagu pop jadul seperti yang biasa saya dengarkan di radio. Makanya, saya agak sedikit heran dengan kejadian ini. Betapa suatu lagu mampu membuat kita bercerita tentang segala ingatan dibelakangnya. Termasuk, membuat kita jujur terhadap perasaan kita sendiri. Mungkin itulah sebabnya, lagu-lagu kenangan (a.k.a jadul alias oldies) akan terus hidup dan dikenang.

Saya sendiri menyenangi lagu itu secara kebetulan karena sering mendengarnya di nightshow sebuah radio di Bandung. Karena itu pula saya segera mendownloadnya (again, God Bless 4shared!) supaya semua ingatan tentang momen-momen yang saya rasakan di malam itu tidak hilang perlahan. Apalagi, kalau sampai teringat wajah seseorang yang pernah membuat perasaan ini jadi sedikit layu dan berbunga tiba-tiba. Saya rasa lebih baik kehilangan rasa cinta dibandingkan kehilangan momen-momen yang membuat kita bisa membuka diri dan jujur pada hati sendiri (sampai saat ini saya pun tidak yakin pernah menulis kalimat yang demikian :D ).

Saya rasa adalah manusiawi bila suatu saat kita mengalami hal yang demikian itu. Terkadang ada beberapa momen yang hadir kembali dan menyeruak dalam ingatan justru ketika mendengarkan suatu lagu dari masanya. Boleh jadi itu semacam Original Soundtrack yang bisa diasosiasikan untuk merepresentasikan bagian-bagian kecil peristiwa hidup yang kita jalani.

Sebagai penutup, quote ini saya kutip dari komentar seorang teman di album kenangan SMA: "Picture fade away, Memory is Forever".

Akhirul kalam, wallahu'alam bis shawab.


Paninggilan, 26 September 2010. 21:41

Minggu, 26 September 2010

Sepatu

Suatu ketika sehabis main futsal, sepatu yang biasa saya pakai mendadak jebol (supaya dramatis aja, padahal memang sudah umurnya). Dengan demikian, tak lama setelah bel tanda waktu habis saya segera membuat pernyataan bahwa sepatu skateboard merk conv*rse itu telah memasuki masa purnabakti tugasnya sejak mengabdi Mei 2003. Artinya, saya harus segera mencari sepatu lagi, yang benar-benar khusus untuk futsal.

Keesokan harinya, saya bilang sama Bapak saya bahwa sepatu itu akan saya buang. Memang masih bisa diperbaiki, tetapi alangkah baiknya bila sepatu itu dibuang saja. Masalah gantinya, itu urusan kecil.

Beberapa hari kemudian, saya mendapat sms dari Bapak saya bahwa sepatu itu tidak jadi dibuang. Melainkan sudah di sol. Saya pun terkejut seraya membalas pesan singkat beliau.

Setelah saya pikir-pikir kembali, kenapa Bapak saya tidak mau membuang sepatu itu, mungkin karena beliau punya alasan lain. Dulu, untuk membeli sepatu itu saya tidak minta uang pada orangtua. Saya mengumpulkan sisa-sisa uang jajan dan sedikit dari ''kadeudeuh'' yang biasa saya terima dari saudara-saudara yang berkunjung. Itu dulu waktu SMA.

Barangkali juga, beliau berpikir saya masih ''sayang'' sama sepatu itu karena kalaupun mau sepatu itu sudah saya buang semenjak masuk tahun pertama kuliah, medio 2004. Alasan terakhir, mungkin juga beliau tahu isi dompet saya yang tidak pernah mengizinkan saya untuk punya sepatu bagus lagi. Ketiga alasan tersebut memang logis. Tetapi, makna yang saya sadari justru lebih dalam lagi.

Entah bagaimana saya harus menuliskan seperti apa bahwa perhatian dan rasa sayang orang tua memanglah besar dan sepanjang masa adanya. Entah ketika saya masih tinggal serumah atau nomaden seperti sekarang. Beliau selalu menaruh perhatian terhadap keluhan-keluhan saya, padahal itu semua harusnya menjadi tanggungjawab pribadi saya saja. Bahkan, kadang-kadang beliau memperbaikinya sendiri.

Dulu waktu SD, setiap ada tugas sekolah yang saya belum bisa kerjakan, Bapak selalu memeriksanya sambil menandai pembahasan hal tersebut di dalam buku. Pun ketika beliau sedang marah pada saya, beliau masih membuatkan saya maket gedung sekolah untuk tugas minggu depan.

Semuanya dilakukan dengan cara beliau sendiri. Saat saya sedang enak-enaknya tidur, di saat itulah beliau melakukan semua hal-hal yang saya perlukan. Paginya, saya hanya bisa senyum hahah heheh karena semuanya sudah selesai.

Saya pun kembali teringat pada masa-masa itu. Bapak selalu mendengarkan kemauan anaknya. Walaupun tidak semuanya harus dituruti dan diwujudkan tetapi saya yakin beliau telah mengusahakan yang terbaik. Tidak hanya untuk saya saja, adik saya juga demikian.

Maka, saya hanya bisa berdo'a, semoga Tuhan membalas apa yang telah beliau lakukan dengan caraNya sendiri. Panjangkan umurnya, berikan kesehatan, dan lancarkan segala urusannya, agar kelak di surga nanti beliau tidak ikut menanggung dosa-dosa yang saya perbuat.

Jikalau engkau membaca tulisan ini apalagi sambil mendengarkan lagu Titip Rindu Buat Ayah (Ebiet G. Ade); Ayah(The Mercy's/Rinto Harahap); atau juga Ayah (Koes Plus), maka doakanlah ayah-ayah dan bapak-bapakmu juga. Kalau engkau seorang lelaki wajib rasanya bagimu, karena kelak engkau kan seperti beliau-beliau itu jua.

Paninggilan, 26 September 2010. 01:31.

Minggu, 19 September 2010

Ziarah Pustaka Walisongo

Perbincangan seputar mitos dalam kehidupan para Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa seringkali diwarnai oleh perdebatan mengenai jejak-jejak peninggalan mereka. Terlebih lagi, mengenai tafsiran dari ajaran para Wali sehingga dikhawatirkan terjadinya taqlid buta dan pengkultusan terhadap ajaran maupun tokoh Wali itu sendiri. Maka, diperlukan adanya semacam telaah pustaka atas dasar sejarah faktual mengenai keberadaan mitos-mitos Walisongo yang beredar di masyarakat. Dengan demikian, kesimpangsiuran atas hal tersebut bisa dihindari atau diminimalisir sekecil mungkin.




Dalam pengantarnya, penulis lebih suka untuk menamai pengembaraan dalam proses pencarian berbagai keterangan yang diperlukan sebagai ziarah pustaka. Barangkali mengacu pada kegiatan yang senantiasa dilakukan masyarakat pada umumnya untuk 'menengok' dan napak tilas para Wali. Ziarah diartikan sebagai suatu kegiatan yang mengandung makna lahiriah dengan mengunjungi kuburan atau makam seseorang yang telah meninggal.

Maka dari itu, Ziarah Pustaka dapat diartikan sebagai ziarah yang dilakukan dengan bantuan perantaraan media untuk melakukan telaah kajian historis melalui beberapa koleksi pustaka yang menulis tentang Walisongo. Sangat dimungkinkan adanya keterwakilan lahiriah dalam kaitannya untuk mewakili makna langsung ziarah itu sendiri. Demi memaknai kembali keberadaan eksistensial para Wali.

Makna tersebut justru menjadi bahan perbincangan yang produktif ketika dibongkar keberadaannya sebagai mitos, untuk mendapat gambaran bagaimana kebudayaan bekerja. Tanpa mengalami pembongkaran, mitos akan hadir secara tidak produktif. Bahkan bisa menjebak pada suatu kebutaan mitologis semata.

Judul: Sembilan Wali & Siti Jenar - Seri Biografi
Penulis: Seno Gumira Ajidarma (Teks & Foto)
Penerbit: Intisari Mediatama
Tahun: 2008 (Cet. II)
Tebal: ix + 208 hal.
Genre: Sejarah & Budaya



*) Daftar Isi Buku:

1. Maulana Malik Ibrahim: Kisah Makam-makam Islam Tertua di Jawa

2. Sunan Ngampel Denta: Wali Perintis dari Cempa

3. Sunan Giri: Dinasti Pemuka Agama dari Giri

4. Sunan Bonang: Wali yang Membujang, dengan Empat Makam

5. Sunan Kudus: Ketegasan Seorang Wali

6. Sunan Kalijaga: Wali yang Orisinil

7. Sunan Gunung Jati: Wibawa Politik Seorang Wali

8. Sunan Muria: Eksis Dalam Legenda

9. Sunan Drajat: Wali yang Menunggang Ikan

10. Syekh Siti Jenar: Wali Cacing Tanah

11. Catatan Lepas: Tentang Piring di Tembok Makam Itu



Pharmindo-Paninggilan, 19 September 2010.

Sabtu, 18 September 2010

Orang Dan Bambu Jepang: Catatan Dari Negeri Saudara Tua

Judul: Orang dan Bambu Jepang: Catatan Seorang Gai Jin
Penulis: Ajip Rosidi
Penerbit: Pustaka Jaya
Tahun: 2009 (cetakan ke-2)
Tebal: 208 hal.
Genre: Memoar (Kumpulan Esai)





Memang tidak fair rasanya bila membandingkan Indonesia yang hanya berstatus sebagai negara berkembang dengan Jepang yang sudah duluan sebagai negara maju. Akan tetapi ada beberapa kesamaan antara keduanya sebagai bangsa yang berakar dari nilai-nilai budaya kehidupan masyarakat tradisional. Hanya saja, Jepang lebih dahulu mengadopsi segala pengaruh dari Barat sejak Restorasi Meiji tahun 1868 yang menandai berakhirnya kekuasaan Shogunal.

Membaca buku ini selain memberikan wawasan seputar kehidupan dan budaya dalam keseharian masyarakat Jepang berarti juga berkaca pada dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Maka, sangat dimungkinkan untuk melakukan semacam perbandingan singkat antara masyarakat kedua negara yang secara kasat mata memulai kembali pranata kehidupannya medio abad ke-20. Dari mulai urusan tetek bengek sampah, lalu-lintas kereta, hingga urusan Yakuza. Selain itu, beberapa esai juga kerap membuat kita tertawa sendiri (mungkin sambil tersenyum getir dan miris) menghadapi perilaku sebagian pengurus negeri ini yang masih berkutat dengan keruwetan birokrasi demi mengurusi rakyatnya.

Kumpulan esai ini ditulis dan dihimpun oleh Ajip Rosidi di sela-sela kesibukannya mengajar di Osaka Gaidai (Osaka University). Kesemuanya merupakan hasil-hasil pengamatan yang merupakan perspektif pribadi dan berasal dari rutinitas dan dinamika keseharian masyarakat di negerinya Toyota itu. Sehingga, walaupun nuansa subjektivitas terasa kental namun tidak mengurangi esensi objektivitas dan orisinalitasnya.


Pharmindo-Teluk Buyung, 15 September 2010. 12.03

1 Liter of Tears: Memaknai Makna Perjuangan

Tiap manusia memiliki penderitaan yang tak terucap. Ada kalanya kenyataan terasa sangat kejam.
(Hal. 121)

Bila ada orang yang mampu untuk merasakan penderitaan lahir dan batin akibat penyakit yang terlanjur menjalar hingga seluruh tubuh pastilah ia adalah seseorang yang memiliki kekuatan luar biasa. Kekuatan yang mampu melewati batas keinginan hingga terpaksa menyerah dan kalah akibat penyakitnya jua. Terkadang keinginan tak seiring sejalan dengan kenyataan. Terlebih lagi, ketika mendapati fakta bahwa penyakit yang mendekapnya adalah penyakit yang belum ditemukan obatnya. Kalaupun ada, itu hanya bersifat memperlambat dan menghalau laju penyakit itu untuk sementara saja.

Memang kematian adalah sesuatu yang tak bisa dihindari lagi namun Aya berhasil meyakinkan dirinya bahwa ia harus membalas budi orang-orang yang berbaik hati pernah membantu dan menolongnya. Sehingga, Aya menemukan alasan untuk tetap bertahan dalam kehidupannya yang demikian sebagai penderita cacat. Sama halnya dengan yang dirasakan oleh Aukai Collins, seorang mualaf yang dalam memoarnya ''My Jihad''*) selalu merasa diintai oleh kematian ketika berada di medan perang (baca: Jihad) dan ia selalu memiliki alasan untuk tetap bertahan hidup.

Hanya saja, Aya sudah tahu, cepat atau lambat, kematian akan menyambutnya. Namun Aya tidak mau berpikir tentang kematian itu sendiri. Ia memiliki optimisme yang kuat untuk kehidupannya kelak. Aya tidak mau menyerah dulu sebelum berjuang sekuat tenaga melawan penyakitnya. Sayang sekali kalau harus mati tanpa berjuang dulu, begitu tulisnya.

Dalam buku ini dimuat juga catatan dari dokter yang menangani Aya, Dokter Yamamoto Hiroko dan ibu kandung Aya, Shioka Kito. Dalam tulisannya, dr. Hiroko menjelaskan secara singkat mengenai ihwal penyakit yang biasa disingkat dengan SCA itu (mirip inisial penulis favorit saya) beserta gejala-gejala yang biasa dialami penderita.




Diketahui, Aya mengidap penyakit bernama Spinocerebellar Ataxia yang mengakibatkan timbulnya ketidakseimbangan dalam daya kerja syaraf dalam tubuh. Akibatnya, sel-sel saraf sumsum tulang belakang, otak kecil, dan penghubung otak besar-otak kecil mengalami perubahan dan bahkan kehilangan fungsinya. Dengan kata lain, penyakit itu mengakibatkan hilangnya fungsi pergerakan otot semua bagian tubuhnya secara perlahan.

Tidak hanya itu saja, kesan personal juga ditunjukkan dalam catatan dr. Hiroko seputar momen-momen ketika mendampingi Aya. Mulai dari pertemuan dengan Ibu Aya hingga saat-saat menghadapi Aya secara langsung. Termasuk konflik batin yang dirasakannya usai menanggapi pertanyaan-pertanyaan Aya. Dari situ kita dapat belajar bahwa hanya dengan bersabar dan memahami lebih dalam keadaan penyakit itu kita dapat berempati dan berkomunikasi lebih baik penderita.

Catatan Ibu Aya kental sekali dengan nuansa yang lebih personal-naluri alamiah seorang ibu. Tentang perasaan seorang ibu yang terus mengusahakan pengobatan terbaik demi kesembuhan anaknya. Sekaligus juga menghadapi konflik dalam batinnya mengenai kehidupan anaknya kelak. Termasuk menanggung kepahitan ketika Aya kerap menyalahkan diri sendiri atas keadaan kehidupannya yang demikian. Belum lagi beban atas kehidupan adik-adik Aya yang lain, karena perhatiannya lebih tercurah pada Aya.


Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


Menarik sekali untuk membaca kisah perjuangan seorang gadis kecil yang beranjak dewasa namun harus kehilangan semua impian masa mudanya. Semua impian itu harus Aya bungkus rapat-rapat dalam setiap usaha untuk mempertahankan hidup, demi bertahan dari penyakit yang perlahan menggerogoti dirinya. Aya sendiri terus berkutat dengan dirinya sendiri yang masih punya banyak keinginan dan harapan untuk melanjutkan sekolah, bekerja, atau sekedar terjun ke masyarakat.

Barangkali saja, bila penyakit itu tidak terlanjur menggerogoti raganya, Aya akan mampu sekolah hingga jenjang universitas dan bekerja menjadi seorang Pustakawati. Kenyataan memang terkadang tidak selalu menyenangkan. Aya kehilangan kehidupannya yang dulu penuh dengan semangat dan cita-cita. Kalaupun ada yang tersisa, Aya harus tetap semangat demi kelangsungan hidupnya sendiri.

Walaupun begitu, Aya tidak sendirian. Banyak teman-temannya baik sebaya, senasib, maupun yang lebih tua, yang peduli dan menaruh perhatian khusus kepadanya. Itulaah sebabnya, Aya merasa masih layak untuk hidup. Demi membalas kebaikan orang-orang tadi yang telah berjasa membantunya-terutama kepada ibunya.

Melalui buku ini, jelas bahwa alasan dibalik penerbitannya memiliki niat yang mulia bagi pembacanya untuk lebih menghayati nilai-nilai perjuangan; bahwa segala sesuatunya harus tetap diusahakan dan diperjuangkan. Apalagi dalam menghadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan-dan belum ditemukan obatnya-sekalipun akan berujung pada kematian.

Menghargai kehidupan kadang begitu sulit-sekalipun dalam keadaan normal. Namun, dalam posisi Aya seberapa pun kecilnya nilai kehidupan tentu jauh lebih berarti. Betapa daya juang dalam penderitaan semacam itu membuat kita belajar supaya bisa lebih memaknai dan mensyukuri atas segala nikmat dan karunia yang Tuhan berikan.

Menghayati lebih jauh, kita akan diajak untuk lebih memaknai kasih sayang dalam keluarga. Terutama mengenai kasih sayang seorang ibu. Maka benarlah kata satu lagu anak-anak, kasih ibu tak terhingga sepanjang masa.


Judul: 1 Liter of Tears
Penulis: Aya Kito
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun: 2005
Tebal: viii + 156 hal.
Genre: Memoar


Pharmindo, 14 September 2010. 22:54.


*) lebih lanjut baca ''My Jihad'', Aukai Collins, Penerbit Hikmah, 2006.

NB: Mengenai 1 Liter of Tears, pernah diangkat menjadi sinema televisi di negerinya. Lebih detil bisa disimak di Youtube. Konon, di Indonesia juga pernah dipentaskan di layar sinetron. Tapi, saya lupa kapan dan siapa yang memerankannya. Mohon pembaca maklum adanya.

Selasa, 14 September 2010

Mudik

Orang tak bisa tak mudik, karena hidup adalah pergi untuk kembali. Atau, perginya orang hidup, adalah kembali*.

Dengan demikian, mudik yang mulanya hanya kebiasaan perlahan-lahan menjadi semacam tradisi. Kemudian, oleh dinamika dan mobilitas masyarakat ia berevolusi kembali menjadi suatu budaya yang berulang setiap tahun. Pun kini ketika budaya tersebut mereinkarnasi wujudnya menjadi semacam ritual yang boleh dibilang 'wajib' tanpa harus mengacu pada aliran mazhab tertentu.

Begitu dahsyatnya peristiwa mudik ini sehingga menjadi barang yang laku dijual setiap tahunnya. Stasiun TV dan media elektronik lainnya saling berlomba menayangkan dan menyiarkan informasi terkini seputar arus lalu-lintas jalur mudik. Bahkan, ada beberapa yang disertai pemandangan visual langsung pada titik-titik yang menjadi sentral pergerakan kaum pemudik.


Sejatinya mudik adalah untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang. Bisa saja itu berupa wujud fisik dan non-fisik. Wujud fisik itu bisa menjelma dalam bentuk raga orang tua dan segenap sanak famili keluarga besar. Berbeda dengan wujud non-fisik yang bisa hadir dalam bentuk abstrak seperti suasana kampung halaman dan segenap perasaan yang melingkupinya.

Secara kasat mata, mudik seringkali diibaratkan sebagai sarana untuk menjalin silaturahmi sambil menemukan kembali semangat dalam balutan suasana kekeluargaan. Maka, esensi dari mudik itu sendiri harus tetap terjaga dalam ikatan fisik dan non-fisik itu tadi.

Disadari atau tidak, orang membutuhkan mudik, terlepas dari modus dan motif mudik itu sendiri. Mudik sangat penting untuk mengisi kekosongan diri di tengah zaman yang menindas harkat manusia dan derajat kemanusiaan**. Mudik lebaran yang secara sosiologis dirayakan setahun sekali menjadi momentum yang jangan sampai terlewat.

Mumpung masih ada jatah umur, lebih baik rajin-rajin pulang kampung. Dan yang paling efektif adalah menjelang atau seusai Ramadhan. Suatu waktu dimana semua keluarga pasti berkumpul dan kita bisa bercengkerama beberapa saat untuk menutupi kekecewaan dan kenyataan dalam hidup yang tidak selalu menyenangkan yang terlanjur menggumpal dalam kalbu.

Lebih jauh, mudik mengajarkan makna sebenarnya dari Innalillah wa inna ilaihi roji'un. Bahwa hakikat setiap detik kehidupan adalah untuk berproses dalam lingkaran tersebut: segala yang berasal dari Allah akan kembali juga pada Allah. Kita dan apa saja adalah hak-Nya dan satu-satunya kemungkinan hanyalah kembali ke pangkuan-Nya.

Barakallahi wallakum. Wallahu'alam bis shawab. Selamat bermudik.


Pharmindo, 12 September 2010. 23:12


* Emha Ainun Najib dalam esai ''Mudik Keluarga, Mudik Bangsa'' dalam buku ''Jejak Tinju Pak Kiai'', Penerbit Buku Kompas, 2008.

** Masih dari sumber buku yang sama diatas.

Malam Terakhir

Tarawih malam terakhir semalam tadi hanya menyisakan sepi dalam balutan kantuk yang semakin menjadi. Dalam 11 rakaat yang entah masih ada pahalanya atau malah nilainya tergerus kantuk itu sendiri.

Tuhanku, apalah yg sudah kulakukan untukmu di Ramadhan yang kesekian kalinya ini? Adakah setiap huruf dalam lantunan ayat-ayat itu bernilai pahala seperti yang telah kau janjikan?

Tuhanku, Ramadhanku kali hanya berisi keyakinan semu. Khattam pun tak mampu. Masih terhenti di deretan ayat An-Nisa. Masihkah ada nilainya bila semua itu menuju padaMu?

Tuhanku, aku berharap semua kelakuanku di RamadhanMu yang akan segera berlalu ini tidak lantas menambah dukaMu yang abadi. Entah harus berapa lafadz maaf harus terucap ke haribaanMu.

Tuhanku, RamadhanMu akan segera berlalu meninggalkan kami yang tertatih menuju ridhoMu. Tiada lain yang kami inginkan selain umur untuk kembali menyambut Ramadhan yang akan datang. Supaya kami bisa semakin menata diri dan berkaca atas segala kealpaan kami terhadapMu.

Tuhanku, diantara bulir-bulir hujan yang semisal dosa kami, kami serahkan kembali padaMu. Asalkan Engkau sedang tidak marah, apapun yang terjadi kami tidak peduli. Kami terimakan dan ridho atas segala keputusanMu.

Tuhanku, maafkan kami yang terlalu lancang untuk selalu mengemis dan meminta supaya doa-doa kami tidak menggantung di langitMu yang maha luas tak terkira. Maka, Ya Allah perkenankan kami (yang tak layak untuk surgaMu ini) untuk sekedar menikmati kesucian di awal bulan Syawal, yang sesungguhnya kami pun malu untuk menyambut hari kemenangan besok.

Tuhanku, di senja yang mendung ini, di ambang Syawal nan fitri, perkenankanlah kami untuk kembali pada kesucian. Seraya menyebut namaMu yang agung, mengumandangkan takbir penuh haru, sambil mengucap selamat jalan Ya Ramadhan. Mudah-mudahan, Engkau masih berbaik hati supaya kami bisa menyambutnya kembali. Barakallahi wa lakum.



Pharmindo, 09 September 2010. 17:55

Setiap Habis Ramadhan

Setiap habis Ramadhan, satu judul lagu dari Bimbo yang selalu terngiang menjelang akhir perpisahan dengan bulan Ramadhan penuh berkah. Dulu, biasanya di akhir bukan suci ini saya selalu minta diputarkan lagu Lebaran Sebentar Lagi. Hampir setiap menjelang lebaran, saya dan adik saya menunggu penuh harap 'uang THR' yang dihitung per hari tamat puasa dan juga jatah baju baru yang Ibu telah belikan.

Betapa kami sungguh gembira. Biarpun hanya untuk setahun sekali tetapi sungguh berarti rasanya. Singkat kata, hanya Lebaran lah yang mampu memberikan kenikmatan tersendiri seperti itu. Bagi kami, rasanya seperti baru terbebas dari suatu kewajiban dan kami harus menyambutnya dengan suka cita. Suatu hal yang kelak saya sadari bahwa hal itu kurang tepat.

Kini, beranjak dewasa saya tersadar bahwa momen-momen seperti bulan Ramadhan ini memang sangat jarang sekali sehingga sangat layak untuk mengisi dan menjalaninya dengan sepenuh hati dan melakukan semua amalan terbaik yang mampu dilakukan. Bukankah Rasulullah SAW pun telah mengingatkan bahwa seandainya kita tahu segala manfaat dan barokah di bulan Ramadhan niscaya kita pasti menginginkan setiap bulan adalah bukan Ramadhan.

Betapa bulan Ramadhan ini bukan hanya menjadi ritual tahunan semata demi memenuhi rukun Islam. Makna dibalik kehadiran Ramadhan sendiri semakin ditegaskan dengan adanya malam Lailatul Qadar. Suatu malam yang lebih baik dari 1000 bulan ibadah. Belum lagi, momen-momen seperti buka puasa bersama, sahur on the road (yang belakangan ini marak dan menjadii tren), i'tikaf bersama dll, yang semakin menguatkan tali silaturahmi dan kasih sayang dengan sesama.

Ramadhan memang telah dan akan segera berlalu. Ia akan datang kembali tanpa harus menunggu kepastian apakah kita bisa menemuinya kembali. Ia akan kembali dan pasti kembali. Adakah kerinduan kita untuk menyambutnya kembali? Menyambut Ramadhan bak seorang tamu agung yang datang dari jauh dan membawa sekian banyak hal-hal yang hanya bisa ditakar oleh timbangan Allah SWT yang Maha Sempurna. Mudah-mudahan Ramadhan kali ini membawa perubahan dan menjadi titik pangkal bagi suatu awal yang baru bagi kita semua. Uusikum wa nafsii bi taqwallah.


Pharmindo, 9 September 2010. 01:05

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...