Sabtu, 29 Desember 2012

Markesot Bertutur

Artikel dalam Markesot Bertutur ini hadir rutin seminggu sekali dan dimuat di harian Surabaya Post dari tanggal 26 Februari 1989 hingga 1 Januari 1992. Markesot Bertutur menangkap fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan yang terjadi saat itu. Misal saja, pembangunan waduk, hingga persoalan sosial lainnya seperti SDSB dan korupsi yang selalu jadi lagu lama. Markesot tidak hanya bertutur soal urusan dalam negeri saja. Urusan konstelasi politik di luar negeri turut menjadi sorotannya. Pembaca bisa ‘menikmati’ celoteh Markesot seputar persoalan Perang Teluk, George Bush, Saddam Hussein, hingga hubungan antara Kuwait dengan Irak. Dibagi ke dalam delapan bab, tuturan Markesot ini disusun sesuai konteks tertentu sejalan dengan bahan perbincangan yang menyorot berbagai problematika bangsa yang belum terpecahkan.



Dalam buku ini dapat dijumpai beberapa judul aneh, maksudnya diluar kelaziman. Namun justru itulah yang kemudian menjadi ciri khas guyonan ala Markesot serta memperkuat karakter Markesot, seperti:
- Man Rabbuka: Mercy, Rabbi (tulisan ini mengingatkan saya pada cerpen ‘Man Rabbuka’ karya AA Navis)
- Pangeran Samber Proyek
- Korupsi Struktural
- Undang-Undang Tidak Sama dengan Firman Tuhan
- Ilmu Tangan Kosong, Ilmu Kantong Bolong
- Diana yang Priayi, Charles yang Njawani

Markesot tidak selalu membahas hal-hal yang ‘berat’ saja. Sebagai lelaki ia juga tidak jarang membahas hal-hal yang berhubungan dengan sifat laki-laki. Seperti dicontohkan dalam potongan berikut:
“Makin malam biasanya mereka makin cantik. Terutama pada jam-jam mereka akan pulang, wah, cantiknya bukan main. Pokoknya ketika perempuan akan pergi dari kita, jadi cantik. Juga cantik tidaknya wanita itu tergantung situasi batin kita. Kalau pas gairah berumah tangga menggebu-gebu, memancar kecantikan kaum wanita. Apalagi pas punya uang lebihan yang kira-kira bisa untuk nonton, rasanya mereka cantik-cantik bukan main. Tapi anehnya, kalau sudah beberapa kali diajak nonton, cantiknya berkurang. Kalau sudah lama tidak diajak, kok cantik lagi...” (hal. 80)

Pada lain waktu, ketika sedang sangat serius merenungi sesuatu yang diluar jangkauan kemampuannya, Markesot pun piawai dalam menempatkan filsafat mbambung yang melingkupinya.
"Orang berhak hidup dengan pandangannya sendiri sepanjang dia sanggup menjaga jarak, tenggang rasa, dan toleran terhadap pandangan lain di sekitarnya. Kamu boleh beranggapan bahwa hidup ini tidak ada manfaatnya sehingga mati itu lebih baik. Akan tetapi, kamu mulai bersalah jika pendapatmu itu kamu paksakan umpamanya dengan cara membunuhi orang lain". (Hal. 94)

Markesot pun mampu mendeteksi dan membuat sebuah sintesis atas permasalahan korupsi yang tidak pernah selesai hingga saat ini ia dilahirkan kembali.
"Jadi ada tiga macam pendorong korupsi: keterpaksaan, hukum korupsi struktural, serta hedonisme, yakni keinginan untuk bermewah-mewah. Di Indonesia ini, ada ketimpangan yang sangat njomplang antara perolehan ekonomi normal dan iming-iming hidup mewah." (Hal. 162)


Menemukan kembali nilai-nilai kehidupan melalui sekumpulan tulisan tidak jarang kembali mengasah rasa. Mengasah kepekaan jiwa untuk istiroh sejenak, menata hati dan kembali menjiwai makna-makna illahiyah dalam setiap hikmah. Begitulah, Markesot Bertutur hadir kembali dalam wujud tata rupa yang baru ini.

Markesot Bertutur kaya akan nilai-nilai kehidupan sosial kemasyarakatan. Nilai-nilai itu adalah fondasi yang kuat bagi siapa saja yang mau memaknainya sebagai suatu ikhtiar menuju kesalehan sosial. Relevansi konteksnya dengan keadaan saat ini juga lantas menjadikan The Tale of Markesot ini panduan untuk kita dalam menata kembali konstruksi kehidupan sosial kemasyarakatan kita.

Walau tanpa disertai keterangan waktu dari setiap artikelnya, dengan delapan bab yang disajikan, Markesot Bertutur tetap menunjukkan relevansinya dengan konteks keadaan kekinian. Memang disayangkan, karena dengan keterangan waktu tersebut pembaca dapat lebih mudah menyesuaikan frame of reference dan field of experience mereka dengan konteks waktu saat artikel itu ditulis sehingga lebih mudah untuk melakukan pemaknaan kontekstual terhadap artikel-artikel Emha. Namun, hal itu tidak lantas menjadi cacat Markesot Bertutur. Penyusunan artikel dalam delapan bab dan korelasinya dengan subjek tertentu yang tertata dengan sistematis tetap menjamin kontekstualitas antar teks.

Suasana Diskusi Markesotan. Image courtesy: www.caknun.com
 
Emha Ainun Nadjib dalam diskusi Markesotan. Image courtesy: www.caknun.com

Penerbitan kembali Markesot Bertutur ini disambut dengan diskusi Markesotan yang digelar di Pendopo Kadipiro Yogyakarta pada 5 November 2012. Diskusi ini menampilkan Emha Ainun Nadjib sebagai penulis buku, Kuskridho Ambardi (Dosen Fisipol UGM) dan Andityas Prabantoro (Chief Editor Penerbit Mizan) dan diskusi dipandu oleh Toto Rahardjo (Progress).

Hadirnya Markesot Bertutur pada tahun 2012 ini untuk menyapa kembali para pembaca, karena obrolan Markesot dan kawan-kawan Konsorsium Para Mbambung (KPMb) ternyata tetap memiliki relevansi dengan berbagai peristiwa kekinian di negeri ini.

Judul        : Markesot Bertutur
Penulis        : Emha Ainun Nadjib
Penerbit    : Penerbit Mizan
Tahun        : 2012
Tebal        : 471 hal.
Genre        : Sosial-Politik-Budaya


Pharmindo, 29 Desember 2012.

Selasa, 25 Desember 2012

Anak Tanah Air: Sebuah Kronik Kebudayaan

“Karena itu, lebih baik jangan ikut-ikutan politik. Yang penting bagi seniman....”
“Mencipta!”


Tidak banyak roman yang berlatar sejarah perjalanan bangsa. Apalagi sampai harus menceritakan segala persoalan yang menyangkut kesenian. Perkembangan kesenian di Indonesia mengalami pasang surut pada masa-masa awal kemerdekaan. Pergolakan ideologis antara kaum nasionalis, agamis, dan komunis menjadikan kesenian sebagai peluru bagi perjuangan ideologis mereka.

Pergulatan antar wacana kesenian dari masing-masing golongan menyebabkan para seniman yang berkecimpung di dalamnya harus menentukan sikap. Sebuah pilihan atas keberpihakan pada tujuan kesenian itu sendiri. Tak pelak, kenyataan tersebut menjadi duduk persoalan yang menarik untuk dibahas.


Roman ini dengan jenius mengangkat problematika kesenian di masa itu. Lukisan sebagai objek dari kesenian yang menginduk pada seni lukis telah lebih dulu mendapat tempat bila dibandingkan dengan khazanah seni lainnya di negeri kita.

Tersebutlah, Ardi, seorang anak muda yang rela meninggalkan kampungnya untuk menempuh kehidupan barunya di kota bersama pamannya. Di kota itu, Ardi tumbuh sebagai pemuda yang mencintai seni terutama seni lukis. Dengan bakatnya itu, tidak terlalu sulit bagi kawan-kawan di sekelilingnya untuk menemukan mutiara yang terpendam. Kelak, Ardi pun mendapati jalannya sendiri untuk menjadi seorang pelukis.

Kehidupan sekolah yang dijalaninya tidak menghalangi upayanya. Bersama komunitas pelukis, Ardi mengembangkan bakatnya. Tahun demi tahun berlalu. Ardi telah mengalami metamorfosa. Impian untuk sekolah lebih tinggi ditinggalkannya. Ia hanya mau melukis dan jadi pelukis saja. Sebuah pilihan yang sampai saat ini masih dipandang sebelah mata.

Tekad kuatnya itu lantas menjadikannya seorang ilustrator handal. Walau begitu, Ardi tetap ingin mendapat pengakuan dan apresiasi terhadap dirinya sebagai pelukis. Lika-liku perjalanan hidup mengantarkan dirinya pada Hermin. Seorang gadis penikmat seni yang tahu betul menghargai sebuah karya seni lukis. Setelah mengenal beberapa lama, mereka menjalin suatu hubungan tanpa status (mengikuti istilah keren ABG saat ini). Pergumulan cinta dan perasaanya dengan Hermin tidak berlangsung lama. Hermin lantas mencampakkan Ardi karena ia sendiri telah terikat pada pria yang lain. Seseorang dari masa lalu yang tumbuh bersama Ardi, Asep Suwangsa.

Dalam kegamangannya, Ardi mulai surut langkah. Terlebih, usai menerima tawaran Suryo untuk bersama-sama menandatangani persetujuan atas Konsepsi Presiden. Ardi mulai berpolitik tanpa ia sadari. Keadaan ini menyebabkan berbagai kesulitan datang bertubi-tubi menghampirinya. Ardi masih tidak sadar bahwa sebagian kawannya menganggap ia bergabung dengan sayap organisasi partai politik yang saat itu didominasi partai komunis. Ardi kehilangan peluang untuk menyelenggarakan pameran tunggal karena sikap politiknya itu. Lantas, Ardi pun kehilangan pekerjaannya. Tidak ada lagi majalah, tabloid, atau penerbit buku yang meminta ilustrasinya.

Ketika harapan hampir padam, Suryo datang kembali padanya. Menawarinya untuk tetap mengadakan pameran tunggal sekaligus memberi pekerjaan pada suatu majalah bulanan.
Perhelatan pameran tunggal Ardi pun sukses. Pameran tunggalnya banyak mendapat apresiasi dari para seniman penggiat Lekra. Ardi merasa telah mendapat apresiasi yang sepantasnya. Ideologi kesenian yang harus berpihak pada rakyat telah menjadi ciri karya-karya lukisannya.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Tidaklah salah apabila karya Ajip Rosidi ini disebut sebuah roman. Anak Tanah Air dengan jelas menggambarkan detail-detail penceritaan Ajip Rosidi terhadap suatu fenomena tertentu. Masalah utama dari roman ini sudah jelas dapat ditemukan pada paragraf ini:
“Tetapi, apakah seniman harus tetap tak ambil peduli kepada keadaan tanah airnya? Keadaan bangsanya? Apakah seniman harus merasa cukup asal dia dapat mencipta dan mendapat tepuk tangan dari pengagumnya, padahal tanah airnya sendiri menuju jurang kehancuran?” (hal. 285)

Inilah yang menjadikan roman ini istimewa. Setidaknya, sampai menjelang setengah buku, belum nampak persoalan utama. Pembaca digiring untuk menerka-nerka apa yang menjadi subjek utama cerita dalam roman ini. Pengalaman pembaca akan diuji hingga tiga per empat buku terlampaui. Hingga menemukan berbagai persoalan tentang kesenian di masa revolusi pasca kemerdekaan.

Persoalan kebudayaan pada masa revolusi pasca kemerdekaan atau dengan kata lain pada saat Demokrasi Terpimpin mengerucut pada pertikaian dua kelompok besar: Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Mengacu pada MLBL, telah terjadi pembakaran dan pelarangan atas karya-karya seniman Manikebu dan juga penahanan terhadap mereka.

Kesenian pada saat itu hanya menjadi satu peluru bagi perjuangan ideologis belaka. Kesenian menjadi satu alat bagi Presiden Sukarno untuk tetap memantapkan kekuasaannya. Untuk itu, ia tentu membutuhkan segenap dukungan tak terkecuali dari kaum kiri/komunis. Termasuk para seniman yang sepaham dengan jalan perjuangannya yang dituangkan dalam Konsepsi Presiden. Keadaan ini menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan masyarakat yang menuntut Presiden untuk segera membenahi hal-hal mendasar soal kehidupan berbangsa

Relevansi sejarah pun mengatakan demikian. Sukarno yang dengan istilah-istilah besarnya malah tidak berhasil membuat satu kemajuan apapun. Tidak ada kemajuan dalam semua bidang kehidupan.   Laju inflasi tidak tertahankan sehingga rakyat pun sangat sulit untuk makan menyebabkan pergolakan-pergolakan paada semua bidang kehidupan. Mengenai hal ini agaknya pembaca yang budiman dapat membuka kembali memoar Mohammad Hatta yang terkumpul dalam buku “Demokrasi Kita”.

Karena saya terlebih dahulu menamatkan Kubah (Ahmad Tohari) dan Mochtar Lubis Bicara Lurus (Ramadhan KH-ed), saya menemukan suatu benang merah atas segala peristiwa yang terjadi saat itu. Bila Kubah membahas persoalan seorang tahanan politik yang ingin kembali ke tengah masyarakat usai komunis dimusnahkan dari bumi pertiwi maka relevansinya dengan MLBL dan roman ini menjadi satu substansi yang saling melengkapi. Latar belakang waktu dalam Kubah dan realitas yang disampaikan Mochtar Lubis dalam bukunya dapat menjadi narasi pendukung bagi roman Anak Tanah Air ini. Bahwa pada suatu tertentu dalam perjalanan sejarah bangsa kita telah terjadi hal yang demikian. Dan itu adalah persoalan kesenian.

Melalui roman ini, Ajip Rosidi mencoba mengungkapkan kembali segala peristiwa penting yang terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan. Ajip Rosidi mengangkat kembali persoalan kehidupan seniman-utamanya pelukis- serta hubungannya dengan situasi dan kondisi politik di Indonesia pada tahun-tahun itu. Ajip Rosidi meninggalkan penanda bagi kita, generasi penerus bangsa, untuk tetap membaca dan mengkaji sejarah republik demi masa depan kesatuan dan keutuhan bangsa.

Judul        : Anak Tanah Air
Penulis        : Ajip Rosidi
Penerbit    : Pustaka Jaya
Tahun        : 2008 (cet. 2)
Tebal        : 374 hal.
Genre        : Roman

 
Pharmindo, 24 Desember 2012.

Rabu, 19 Desember 2012

Markesot = Personifikasi Emha?

Markesot adalah sosok lugu nan cerdas, mbeling, dan terkadang misterius. Dalam kesehariannya dengan sahabat-sahabatnya, Markembloh, Markasan, Markemon, dan lain-lain yang tergabung dalam Konsorsium Para Mbambung (KPMb), memperbincangkan seabrek problem dalam masyarakat kita.

Markesot menampilkan dirinya sebagai anggota dari kaum yang termarjinalkan, entah oleh deru laju pembangunan, kemajuan zaman, kosmopolitanisme desa maupun globalisasi. Walau begitu, tidak lantas menjadikan Markesot sebagai warga negara ‘kelas dua’, Markesot pun bisa berwujud sebagai makhluk multidimensional. Markesot menempuh jalan sunyi yang hanya dimilikinya sendiri. Adapun, kalau Markesot berkumpul dengan Markebul, Markedul, dan para Mar-Mar- lainnya itu bukan semata karena ia merasa kesepian. Ada suatu dimensi pemikiran yang ingin dicapainya dari interaksi dengan kawan-kawan sekonsorsium mbambung itu.

Emha Ainun Nadjib di forum Bangbang Wetan. Image courtesy: @maiyahan


Emha Ainun Nadjib. Image courtesy: @maiyahan

Pembaca mungkin bertanya, apakah personifikasi identitas personal yang melekat dalam diri Markesot merupakan cerminan terhadap diri Emha Ainun Nadjib sebagai realitas? Pertanyaan itu tidak salah, malah sangat dimungkinkan sekali.

Saya mencoba menafsir soal ini dari beberapa hal yang saya tahu. Pada album KiaiKanjeng “Kado Muhammad” terdapat lagu yang isinya musikalisasi puisi berjudul “Jalan Sunyi”. Saya selalu ingat kalimat pembuka puisi itu: akhirnya kutempuh jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu. Kemudian, Emha juga menulis buku ‘Jalan Sunyi Emha’ yang diterbitkan Progress pada tahun 2009 silam. Saya belum pernah membaca bukunya. Namun, saya rasa isinya menggambarkan bagaimana perjalanan seorang Emha Ainun Nadjib menjalani dan menjiwai sepenuh hati jalan sunyi yang ditempuhnya, sejak dulu hingga kekinian.

Lalu, dalam Markesot Bertutur, ada sebuah artikel berjudul ‘Perjalanan Sunyi’ yang dapat dibaca pada halaman 430. Dalam artikel ini, Markesot dikisahkan melakukan suatu pengembaraan yang disebutnya ‘Perjalanan Sunyi’ sendirian. Secara diam-diam, ia mengunjungi berbagai tempat. Menghayati berbagai nuansa dan merasuki berbagai nilai. Kisah perjalanan ini, menceritakan identitas siapa itu Markesot walaupun tidak secara detail. Melalui ilustrasi jalan cerita yang demikian kiranya pembaca dapat menggali dan mengambil kesimpulan sendiri tentang figur seorang Markesot.

Lalu, apa hubungan diantara ketiganya? Dengan mengambil kata kunci yang sama: sunyi, ada hubungan yang tersirat antara realitas wujud Emha dengan seorang Markesot yang fiktif dan imajinatif.

Secara realitas, Emha memang terlihat seperti apa yang kita lihat sekarang. Emha tidak pernah tampil dalam panggung apapun secara nasional. Namun, Emha secara bergerilya mampu menghidupkan jamaah Maiyah Nusantara melalui Kenduri Cinta, Bangbang Wetan, Padhang Mbulan, yang memiliki pengajian rutin. Emha tidak lantang bersuara, berorasi di depan massa namun tulisannya menghiasi halaman-halaman media massa. Senantiasa mengingatkan kita akan sifat illahiyah dalam keIndonesiaan kita yang perlahan luntur. Pembaca tentu masih ingat ketika tahun 1998, beberapa hari menjelang jatuhnya Suharto, Emha termasuk satu dari beberapa tokoh nasional yang dipanggil ke Cendana. Itu merupakan suatu bukti bahwa betatapun Emha “sengaja” menarik diri dari konstelasi, cahayanya tidak pernah pudar.

Emha menempuh jalan sunyinya sendiri. Bersama KiaiKanjeng ia melintasi berbagai negara di dunia. Melantunkan tembang cinta pada Tuhannya. Membaur dengan kaum jemaah agama lain dari berbagai belahan dunia. Menyuarakan nilai-nilai universalitas kemanusiaan.

Markesot pun demikian. Ia memiliki waktu-waktu tertentu untuk berkumpul bersama jamaah Mar-Mar lainnya. Apa saja mereka bicarakan,mulai konflik politik internasional sampai soal celana. Dari tasawuf hingga filosofi urap. Tentu dengan gaya bertutur Jawa Timuran yang penuh canda dan sindiran. Markesot kadang menghilang tetapi kemudian ia muncul lagi. Kadang dengan raut wajah murung, gembiran, bahkan datar dan biasa-biasa saja padahal sedulurnya di konsorsium mbambung selalu berdebat membeicarakan kemana perginya Markesot. Diluar itu, Markesot senantiasa mengajak kita meneropong kehidupan secara arif dan menemukan hakikat dibalik nilai-nilai semu yang merajalela.

Akhirul kalam, personifikasi sosok Markesot terhadap figur seorang Emha Ainun Nadjib dimungkinkan sekali. Mengingat ada kesamaan-kesamaan antara dua tokoh itu. Hal ini mengingatkan saya pada hal yang sama, yang menimpa Sukab dan penciptanya, Seno Gumira Ajidarma. Permainan kontekstual dalam cerita membawa pembaca pada lingkaran metarealitas. Semuanya dikembalikan pada pikiran masing-masing pembaca. Tidak ada kesalahan dalam menafsirkan personifikasi dari hal yang fiktif ke hal yang denotatif. Karena, segenap pemaknaan atas Markesot dan Emha, hidup dalam alam pikiran kita masing-masing. Wallahu’alam bis shawab.


Paninggilan, 19 Desember 2012

Selasa, 18 Desember 2012

Mochtar Lubis Bicara Lurus: Konsistensi Seorang Idealis

"Sastrawan tak akan pernah ketinggalan bila dibanding wartawan! Karena sastrawan memang tidak berlomba dengan wartawan, dan sia-sialah usaha seorang wartawan, yang hendak berlomba dengan sastrawan." *)

Buku ini merangkum wawancara Mochtar Lubis dengan beberapa wartawan dari berbagai media cetak negeri ini. Kumpulan ini secara tidak langsung mendokumentasikan buah pikiran, ide, dan gagasan Mochtar Lubis dalam rentang waktu 20 tahun. Dimulai dengan artikel wawancara tertanggal 18 April 1975 dan berakhir dengan artikel tertanggal 23 November 1995.

Sampul Buku

Sesuai dengan judulnya, Mochtar Lubis benar-benar bicara lurus. Artinya, Mochtar bicara secara gamblang dengan gayanya, penuh dengan konsistensi atas segenap permasalahan yang dijadikan topik dan pertanyaan wawancara. Buku ini seakan membuka tabir Mochtar Lubis dalam perannya sebagai wartawan dan sastrawan.

Banyak hal disinggung dalam buku ini, mulai dari persoalan yang dihadapi bangsa ini sejak pra-kemerdekaan hingga masa kejayaan Orde Baru pada 80-90an. Dalam kesemuanya itu, sikap konsistensi Mochtar Lubis tidak pernah berubah. Sebagai contoh, simak tanggapan beliau soal kemerdekaan Indonesia yang tidak memerdekakan manusia Indonesia itu sendiri. Pernyataan beliau soal kemerdekaan itu selalu muncul berulang-ulang dalam berbagai judul artikel. Bagi Mochtar Lubis, pengejawantahan demokrasi Pancasila dan hak azasi manusia masih jadi isu retoris belaka dan tidak pernah benar-benar diamalkan.

Tidak hanya itu, Mochtar Lubis juga menyinggung soal kehidupan sastra di Indonesia. Terutama, beliau menyorot persoalan yang muncul antara Manikebu dan LEKRA. Tidak hanya sampai disitu, beliau membahas juga kontroversi yang muncul seputar dirinya dengan Pram (Pramoedya Ananta Toer), dan juga soal penganugerahan Magsaysay Award yang secara terang-terangan ditolaknya. Yang menarik, ada nama lain yang juga muncul selain penguasa Orde Lama dan Orde Baru, yaitu Budi Darma. 

Sebagai sesama sastrawan, Mochtar Lubis menganggap bahwa tidak sepantasnya Budi Darma melakukan kritik sastra. Dengan kata lain, Budi Darma tidak sepantasnya melakukan kritik atas karya sastra orang lain agar tidak kehilangan objektivitas dalam penilaian karya sastra tersebut. Alasan tersebut cukup masuk akal mengingat sikap Mochtar Lubis sendiri yang tidak pernah melakukan timbangan atau kritik sastra. Perlu dicatat juga bahwa mungkin saja alasan Budi Darma berperan sebagai kritikus dipengaruhi oleh latar belakang akademik yang mengharuskannya melakukan kajian-kajian sastra.

Buku ini setidaknya menggambarkan sikap seseorang yang teguh memegang prinsip dan setia pada amanat perjuangannya. Mochtar Lubis dengan 'lurus' bicara segala macam persoalan bangsa ini dengan konsistensi yang tidak tergoyahkan. Membacanya, justru akan menambah khazanah pengetahuan khalayak melalui penuturan seorang tokoh bangsa yang mengakhiri perjuangannya dengan paripurna.

Insert halaman buku: Foto-foto kenangan Mochtar Lubis
 
Insert halaman buku: Mochtar Lubis bersama anak angkat di Vietnam

Insert halaman buku: Mochtar Lubis di Vietnam

Insert halaman buku: Mochtar Lubis dengan anak angkat di Vietnam


Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Ada beberapa hal yang saya cermati dalam buku Mochtar Lubis ini. FYI, buku ini adalah buku Mohctar Lubis kesekian yang saya baca setelah Jalan Tak Ada Ujung, Senja di Jakarta, dan Harimau-Harimau (tidak tamat). 

Saya tidak tahu apakah Mochtar Lubis ini juga tergolong ke dalam 'kaum futuris' yang selalu memimpikan tatanan baru Indonesia dalam Demokrasi Pancasila. Hal ini tersirat dalam satu petikan wawancara soal suksesi kepemimpinan tahun 1998 lalu. Mochtar Lubis telah lama memprediksi bahwa akan ada suksesi setelah tahun 1998 karena konstelasi politik dan tuntutan rakyat. Nyatanya, seperti yang telah kita alami sendiri, Soeharto mengakhiri masa kekuasaannya pada tahun 1998 tersebut.

Dalam catatan yang saya selipkan selama membaca buku ini muncul beberapa topik yang relevansinya masih tinggi dengan keadaan negeri kita saat ini. Sudah dari zamannya Mochtar Lubis bahwa partai dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang seringkali mengaku sebagai penyambung lidah rakyat kehilangan kepercayaan dari rakyat itu sendiri. Kecenderungan tersebut menyebabkan keadaan politik yang tidak pernah stabil dan rawan KKN. Keadaan seperti itu masih berlangsung setidaknya sampai saat ini. Dengan demikian, sejarah telah menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang berulang. Entah bangsa kita yang gagal belajar darinya.

Soal kehidupan sastra di negeri ini, saya angkat topi pada sikap Mochtar Lubis yang 'menahan' dirinya untuk tidak tampil sebagai sastrawan sekaligus kritikus sastra. Sila simak beberapa wawancara, Mochtar Lubis beberapa kali menyatakan bahwa ia tidak akan mau untuk menulis suatu kritik atas suatu karya tertentu sesama sastrawan. Tentu saja, hal itu dilakukannya demi menjaga objektivitas.

Persoalan lain yang muncul soal sastra  adalah perseteruannya dengan Pram. Mochtar Lubis mengecam sikap Pram yang mengangkangi kebebasan berekspresi dalam sastra melalui segenap intimidasi pada harian Lentera yang dipimpin Pram. Menurut Mochtar Lubis, Pram telah melakukan kesalahan dalam sejarah sastra Indonesia dengan 'membakar' semua karya sastrawan anggota Manifest Kebudayaan. Harapannya hanya satu, agar mengingatkan kaum muda untuk tidak begitu saja melupakan sejarah yang terjadi pada masa itu.

Menurutnya, Pram tidak pernah mengakui kesalahannya itu. Mochtar Lubis dapat menerima karya-karya Pram tetapi tidak untuk sikapnya yang hanya diam ketika disinggung soal pembakaran tersebut. Mochtar Lubis tidak menuntut apa-apa kecuali Pram mau mengakui kesalahannya itu. Hingga saat Pram dianugerahi Ramon Magsaysay Award, sikap yang demikian itu tidak berubah. Sebagai protes atas penghargaan tersebut, Mochtar Lubis mengembalikan semua hadiah yang ia terima ketika mendapatkan penghargaan serupa yang diterimanya jauh sebelum Pram dinominasikan.

Entah pembaca mau menganggap Mochtar Lubis sebagai seorang utopis, idealis, sekaligus realis, yang jelas konsistensi sikapnya itu perlu jadi teladan. Mochtar Lubis tidak sembarang berkata. Semua yang diucapkannya dalam 'rekaman wawancara' ini menunjukkan konsekuen dan konsistensinya. Dan yang terpenting semua itu diungkapkannya sebagai sintesa sebuah pengalaman karena ia sendiri telah mengalami semua yang ia katakan itu. Kesesuaian tingkah laku dan ucapannya menjadi semacam 'trademark' yang sudah melekat bagi sebuah simbol atas nama: Mochtar Lubis.


Judul                     : Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan
Penulis                 : Ramadhan K. H (editor)
Penerbit                : Yayasan Obor Indonesia
Tahun                   : 1995
Tebal                     :315 hal.
Genre                   : Memoar-Tokoh


Paninggilan, 18 Desember 2012.


*) Petikan wawancara redaksi Memorandum, halaman 4.

Minggu, 09 Desember 2012

The Chronicles of Parlindungan Marpaung: Tiga Buku Motivasi

Perkenalan pertama saya dengan Parlindungan Marpaung berlangsung medio 2005. Saat itu, anak-anak Himpunan Mahasiswa menyelenggarakan sebuah bookfair. Pada satu stand, terdapat buku “Setengah Isi , Setengah Kosong”. Awalnya, saya mengira buku ini hanyalah sebuah buku motivasi yang memandang segala persoalan kehidupan dengan perspektif ‘looking through the glass’.

Kemudian, setelah membaca beberapa cerita dalam buku itu, ternyata ‘Setengah Isi, Setengah Kosong’ itu hanyalah satu bagian cerita saja dari sekian banyak cerita pendek motivasional. Mengertilah saya bahwa buku ini bukanlah buku motivasi yang straight. Tetapi terpilah menjadi tiga bagian diikuti dengan kumpulan cerita pendek yang menggugah sisi kemanusiaan kita untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan.

Sebetulnya, saya masih kurang paham makna cerita-cerita motivasional dalam buku “Setengah Isi, Setengah Kosong”. Entah karena waktu itu saya masih kuliah dan belum bersentuhan dengan lingkungan pekerjaan yang menuntut profesionalitas. Pengalaman itu akhirnya mengantarkan saya pada implementasi dari cerita-cerita itu sewaktu mendapat pekerjaan tiga bulanan di sebuah galeri seni di Bandung Utara medio 2006 dan magang di perusahaan telekomunikasi milik negara medio 2007.

Kebetulan, saya pernah mendapati seorang karyawan yang duduk di sebelah kubikel ikut membaca buku itu juga. Saya rasa beliau yang duduk di sebelah ini masih mau untuk belajar dan menemukan kembali hakikat dari pekerjaan yang dilakoninya. Melihat hal itu, dengan sok tahu, saya membuat kesimpulan bahwa siapapun dimana pun tentu membutuhkan guide atau panduan untuk menemukan kembali motivasi yang luntur, baik itu tergerus arus zaman, stagnansi korporat, atau faktor-faktor eksternal lainnya.

Setengah Isi, Setengah Kosong



Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia, tentu manusia itu sendiri memegang peran inti sebagai objek sekaligus subyek pelaksana perubahan. Kekuatan untuk selalu belajar dan mau berubah ke arah yang lebih baik tergantung pada sejauh mana kemampuan individu untuk melihat ke dalam dirinya sendiri untuk kemudian melakukan perubahan yang dimaksud. Dalam lingkup organisasi, baik yang kecil maupun yang besar, dinamika yang terjadi didalamnya tentu mempengaruhi motivasi indidivu. Naik turun, besar kecil gelombang dinamika tersebut menuntut kita untuk tidak kehilanga sedikitpun nilai integritas dan profesionalisme. Baru waktu itu, saya rasa ada manfaat dari buku “Setengah Isi, Setengah Kosong”.

Membaca kembali buku ini rasanya seperti menjalani recurrent training atau semacam refreshment. Untuk menyelaraskan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang behubungan dengan nilai-nilai integritas dan profesional. Sampai saat ini pun, saya masih merasa perlu untuk membuka kembali lembaran demi lembaran buku ini. “Setengah Isi, Setengah Kosong” masih memiliki nilai relevansi yang tinggi dengan keadaan saya sekarang, yang juga masih akan berkutat dengan lingkungan organisasi yang besar dengan segenap dinamikanya.

Nilai-nilai kearifan dari kehidupan tidak akan berubah hanya karena tuntutan zaman. Manusia akan selalu menyesuaikan diri dengan habitatnya. Oleh karena itu, dimanapun manusia itu berada, ia tentu akan selalu menggali nilai-nilai kemanusiaan sepanjang semua itu berkaitan dengan keadaan diri dan lingkungannya.

Fulfilling Life: Merayakan Hidup yang Bukan Main


Buku ini saya anjurkan untuk dibaca setelah “Setengah Isi, Setengah Kosong” walau tidak menutup kemungkinan bahwa pembaca lebih memilih untuk membaca buku ini terlebih dulu. Alasan saya, ada beberapa konteks tertentu yang bisa dicapai dengan membaca buku yang pertama. Buku ini sebagai kelanjutan “Setengah Isi, Setengah Kosong” membawa pembaca pada  tingkatan selanjutnya. Artinya, pengejawantahan “Setengah Isi, Setengah Kosong” akan nampak ketika pembaca sudah mulai bisa merayakan kehidupan.

Betul bahwa buku kedua Parlindungan Marpaung ini lebih banyak bercerita tentang aktualisasi nilai-nilai motivasional buku yang pertama. Fulfilling Life memberikan insight soal esensi dari kehidupan yang sedang kita jalani. Kecenderungan pengungkapan makna yang lebih kuat dalam buku ini tidak didapatkan dari cerita-cerita praktis seperti buku pertama. Eksplorasi makna hakiki kehidupan pada buku ini mendapat porsi lebih. Sehingga, tanpa berkesan menggurui penulis  mengungkap banya makna dan nilai-nilai kehidupan yang mampu mengaliri kembali jiwa yang gersang (baca: terdemotivasi/demotivated).


Buku ini terbit kembali dalam edisi revisi yang kemudian judulnya menjadi “Life is Choice: Hidup Adalah Pilihan” dan kembali diterbitkan oleh penerbit yang sama.

Setengah Pecah, Setengah Utuh


Sekilas terdengar mirip dengan judul buku sebelumnya: “Setengah Isi, Setengah Kosong”. Buku terbaru Parlindungan Marpaung ini mengambil konsep dari sebutir telur. Sebelum sebuah kue yang enak disajikan tentu sebutir telur ini tadi mengalami beberapa proses. Mulai dari dipecahkan, kemudian diaduk dalam adonan, untuk kemudian dibentuk sedemikian rupa menjadi sebuah kue yang menarik dan tentunya memiliki rasa yang enak.

Begitulah kehidupan ini sendiri. Kebahagiaan dan kesuksesan tidak datang dengan sendirinya. Tidak ada jalan pintas menuju kesuksesan. Tidak ada cara singkat menuju pintu kebahagiaan. Melainkan keduanya datang setelah kita ditempa seperti butiran telur tadi. Proses-proses dalam kehidupan membutuhkan kesabaran, kekuatan, dan keikhlasan. Melalui kehendak Yang Maha Kuasa, kita diberikan ujian, cobaan, dan godaan yang bukan tanpa maksud kecuali untuk menjadikan kita sebagai pribadi yang kuat, tangguh, dan hebat.

Buku ini melengkapi khazanah buku motivasional lainnya dari penulis. Untuk pembaca setia Parlindungan Marpaung, tentu akan memiliki pengalaman-pengalaman khusus yang berkaitan dengan buku-buku sebelumnya. Ibarat hubungan antarkonteks yang kembali menemukan benang merahnya.



Paninggilan, 9 Desember 2012

Jumat, 07 Desember 2012

Menemukan Cinta dalam Keheningan

"In silence, there is a story of miracles. In silence, you will find many things you won't find in searching..."


 
Pengalaman membaca buku ini (versi Bahasa tentunya) memberikan semacam insight baru bagi saya. Pengalaman long-range reading dengan Cerita Dalam Keheningan ini membawa saya pada pengalaman bertutur yang apik dan terstruktur dengan rapi. Tentu bukan suatu hal yang mudah untuk menghasilkan karya seperti ini. Saya bisa membayangkan bagaimana jalan pikiran sang penulis yang memang sudah terlatih sehingga menghasilkan karya yang demikian ini.

Cara penulisan yang semi-otobiografi membuat setiap paragraf selalu menarik untuk disimak. Setiap kalimat tersambung dengan rapi. Jalinan antara kata dengan kata, kalimat per kalimat, paragraf dan paragraf terstruktur dengan rapi dari awal cerita hingga Zaira mengakhiri ceritanya, dalam keheningan.

Personally, saya suka cara @ZaraZettiraZR menuturkan cerita dari sudut pandang seorang Zaira. Zaira kecil yang hanya tahu bahwa cinta sejatinya hanya ada pada kasih sayang ayahnya. Perjalanan hidup Zaira yang penuh gemerlap kesuksesan hingga akhirnya menepi pada satu cinta yang ditemukannya. Hanya dalam keheningan.


At the end, saya hanya bisa berkomentar: What a tough story!


Judul        : Cerita Dalam Keheningan – Every Silence Has a Story
Penulis        : Zara Zettira ZR
Penerbit    : Esensi
Tahun        : 2008
Tebal        : 648 hal.
Genre        : Novel


Paninggilan, 7 Desember 2012.

Jumat, 30 November 2012

Angklung: Sebuah Kritik Budaya

Heran. Katanya angklung sudah masuk ke dalam warisan dari budaya dunia. Tetapi mengapa masih sulit untuk menemukan pengejawantahan karya angklung tersebut.

Bukankah kita juga yang selalu out of mind setiap tahu kebudayaan kita akan dicaplok bangsa lain. So, saya kira wajar saja kalau kebudayaan kita selalu dicaplok orang-utamanya tetangga sendiri. Disaat negara tetangga bersedia melakukan apa saja dengan budget besar untuk mengumpulkan khazanah kebudayaan dunia, kita, bangsa Indonesia, bangsa yang mengklaim batik sebagai warisan budaya dunia, bangsa yang marah saat Reog Ponorogo dicaplok Malaysia, malah hanya bisa jadi penonton. 

Kita tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan, hanya untuk sekedar membuat CD berisi rekaman lagu-lagu daerah yang dimainkan dengan angklung.


Ribuan orang memainkan Angklung di halaman Gedung Sate, Bandung. Image courtesy: @thejakartapost

Maka tak heran bila nanti 10 atau 20 tahun lagi, kita harus pergi ke National Museum of Singapore hanya untuk menonton pagelaran wayang kulit, menyimak kembali film karya Usmar Ismail: Lewat Djam Malam, atau sekedar mendengar lagu Manuk Dadali yang dimainkan dengan komposisi angklung.

Sungguh sangat mengherankan bagi bangsa yang katanya punya aneka ragam kebudayaan tetapi malah sulit menemukan khazanah kebudayaan negeri sendiri.

Hari-hari ini kita terlalu sibuk dibuai mimpi. Kita terlalu sibuk untuk menyimak Sang Pahlawan yang rela blusukan demi membangun kotanya. Kita terlalu sibuk untuk memastikan koruptor-koruptor itu mendapat hukuman yang setimpal. Kita terlalu sibuk menggunjing soal artis yang itu-itu juga. Pun kita terlalu serius soal aksi buruh yang semakin mengancam pergerakan Homo Jakartensis dan harga daging sapi yang semakin menggila.

Agaknya, kita perlu juga mengoreksi atau malah mempertanyakan keindonesiaan kita ditengah himpitan arus modernitas yang menghadirkan sejuta impian artifisial. Manusia Indonesia sudah sepantasnya dewasa dan bersikap konsekuen terhadap apa yang sudah menjadi miliknya. Bukan lantas menikmati, lalu menangguk keuntungan dari komoditas budaya tersebut, hingga menjadikannya bagian dari fashion dan lifestyle semata.

Kita patut bertanya, apakah yang bisa Indonesia pamerkan dalam festival kebudayaan antar negara? Apakah kita hanya mau menampilkan batik yang itu-itu juga? Apakah kita tetap mau menyajikan tarian yang itu-itu juga? Atau kita mau menampilkan sisi keragaman budaya lainnya. Entah itu sekedar balas-membalas pantun ala Betawi, Karapan Sapi khas Madura taiyee.., atau hanya sebuah atraksi Lompat Batu ala Nias.

Indonesia pun masih menyimpan potensi budaya tulis yang amat mengakar. Sudah berapa kali penulis Indonesia mampu bersuara di ajang regional South East Asia Award? Banyak penulis negeri ini telah memubuktikan kepiawaiannya dalam merangkai suatu fenomena dalam bentuk tulisan yang dibukukan.

Jangan lantas keragaman budaya bangsa kita didominasi hegemoni budaya tertentu yang kemudian menyeragamkan identitas keindonesiaan kita. Kesusasteraan Indonesia pun masih menyimpan khazanah keindonesiaan yang erat melekat dengan keseharian kita.

Peran kebudayaan sebagai identitas eksistensial bagi Bangsa Indonesia sangatlah vital. Kita sesungguhnya mampu mewujudkan hegemoni budaya bangsa dihadapan masyarakatnya sendiri. Hanya perlu sedikit semangat. Semangat individu-individu didalamnya untuk mau berbuat dan mencari khazanah kebudayaan bangsa lain yang belum terekspos agar lantas tidak menjadi komoditas kapital semata.


Pancoran, 23 November 2012.

Minggu, 18 November 2012

Kubah

Karman, seorang tahanan politik yang dibebaskan setelah mengalami masa tahanan selama 12 tahun di Pulau Buru, harus menjalani kehidupan baru pasca kebebasannya. Betapa 12 tahun menjadi waktu yang terasa lama dalam penantiannya. Zaman telah berubah selama ia berada di pulau terasing itu. Tak pelak, Karman pun awalnya merasa tidak pantas menjadi orang yang merdeka. Suatu hal yang bertentangan dengan keinginan setiap tahanan manapun. Karman masih merasa asing bahkan dengan tempat yang ditinggalinya sejak lahir itu.


Kubah, edisi baru tahun 2012


Keraguan masih menggelayuti langkah Karman. 12 tahun lalu ia mengalami sendiri kejadian itu. Kejadian yang tidak akan pernah dilupakannya. Kejadian yang tidak akan pernah ia mau alami lagi. Sudah cukup dirinya merasakan penderitaan lahir batin. Dibuang selama 12 tahun dan meninggalkan fondasi kehidupannya yang belum tegak benar.

Karman pun mengatur langkahnya menuju satu tempat yang dikenalinya. Rumah Gono, adik iparnya. Disanalah segala kenyataan menghampirinya. Rudio, anak sulung Karman menyambut kedatangannya. Karman sadar betul bahwa Rudio kini telah memiliki seorang ayah tiri, Parta. Marni, istri Karman, meminta cerai lewat surat yang dikirimkannya pada Karman sewaktu masih menjalani masa hukuman di Pulau Buru.

Sejak itulah, cerita dimulai. Dengan runtutan lini masa yang mundur, Ahmad Tohari mengisahkan Karman sebagai korban permainan politik yang melanda bangsa ini medio 1960-an. Diceritakan bahwa Karman dijadikan martir sekaligus alat yang berperan sebagai mesin partai komunis yang berusaha untuk menguasai negeri melalui berbagai propaganda. Keadaan Karman yang mengalami beberapa kekecewaan usai penolakan atas cintanya kepada Rifah, anak Haji Bakir, pengusaha lokal yang pernah jadi induk semangnya. Karman menjadi seorang yang berbalik mengingkari Tuhan.

Ketidakpuasan yang dirasakan Karman dimanfaatkan oleh beberapa koleganya dengan alasan Karman harus tahu berterima kasih. Karman mendapatkan pekerjaan karena kawan-kawan partainya itu, Margo, Triman, serta seorang yang bergigi perak. Mereka semakin gencar mendoktrin Karman. Dengan dalih ujian, Karman dihadapkan pada menu bacaan khas kaum revolusionis Rusia. Segala bacaan tentang paham kapitalis, sosialis, dan perjuangan kelas dilahapnya.

Tiba saatnya pada geger Oktober 1965. Karman telah mendengar kabar bahwa kawan-kawan partainya telah menemui ajal masing-masing. Revolusi telah memakan anaknya sendiri. Karman pun semakin merasa bahwa giliran dia akan segera tiba. Menyadari itu, maka Karman tidak sempat berpikir lagi. Ia harus segera melarikan diri, termasuk meninggalkan Marni, istri yang sangat dicintainya bersama dengan Rudio, Tini, dan si bungsu.

Dalam pelariannya, Karman serasa diburu. Bayangan-bayangan masa lalu selalu menghantuinya. Agaknya, ia mulai merasa menyesal karena harus meninggalkan Tuhan yang dulu selalu taat disembahnya. Ia juga menyesal kenapa harus mengikuti semua yang diajarkan Margo dan Triman. Rapat-rapat itu, diskusi-diskusi itu, semua menghujam jantungnya. Suatu hari, ia bertemu dengan Kasta, pemburuh bambu yang selalu melintas sungai di sekitar Lubuk Waru, tempat persembunyian Karman. Karman seketika merasakan kembali keteduhan dalam dirinya. Ditemukannya kembali mutiara yang hilang. Namun, semua sudah terlambat. Ia kini jadi buronan yang paling dicari pihak berwajib.

Hari demi hari berlalu. Karman semakin tidak beruntung. Ia semakin sering sakit-sakitan dalam pelariannya. Tanpa Karman tahu, seseorang telah memperhatikannya selama berhari-hari. Ia pun ditangkap dalam keadaan hampir tidak sadar diri. Hari itu pun petualangan Karman berakhir. Ia tidak pernah kembali lagi ke Pegaten. Apalagi menemui Marni dan anak-anaknya tercinta.

Akhir cerita, Karman menemukan kembali kemanusiaannya. Ia memperbaiki hubungannya dengan Haji Bakir usai menikahkan Tini dengan cucu Haji Bakir. Karman telah menebus masa lalunya dengan membuatkan kubah baru bagi masjid Haji Bakir. Keterampilan yang dipelajarinya semasa dalam tahanan membantunya untuk membuat sebuah kubah baru yang nampak megah.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Kubah, edisi pertama terbitan Penerbit Pustaka Jaya

Membaca kembali karya Ahmad Tohari artinya sama dengan menelisik keindahan alam pedesaan yang asri nan rindang. Pengalaman seperti ini tidak pernah lepas dari tulisan Ahmad Tohari. Bahkan telah menjadi semacam trademark bagi masterpiece karya-karyanya yang gemilang. Nilai-nilai kehidupan dan kearifan lokal semakin hangat terasa dalam setiap rangkaian kalimat yang disusunnya.

Pengalaman seperti ini tidak jauh berbeda dengan membaca buku lainnya, yaitu Orang-Orang Proyek, Ronggeng Dukuh Paruk, Jantera Bianglala, Lintang Kemukus Dini Hari, Bekisar Merah, dan Belantik. Ahmad Tohari begitu detail dalam menceritakan latar belakang cerita. Bisa saja, hal ini didasari atas pengalaman hidup di lingkungan sekitar tempat tinggalnya

Prelude atau pembukaan cerita masih sama dengan cara Ahmad Tohari bercerita. Keindahan pemandangan pedesaan tertuang dalam kata-kata yang ditulisnya. Alur cerita pun dinamis. Maju-mundur dan mundur-maju untuk memberikan kekuatan  kesan pada jalan cerita.

Seperti Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (termasuk Jantera Bianglala dan Lintang Kemukus Dini Hari), Ahmad Tohari menempatkan tokoh-tokohnya sebagai rakyat biasa yang termakan arus zaman. Kisah tentang orang-orang kecil yang terlalu naif dan terlalu mudah diperalat demi kepentingan propaganda belaka.

Bila pada Ronggeng Dukuh Paruk, Srtintil dan rombongan ronggeng Dukuh Paruk termakan hasutan untuk “melawan” pada keadaan yang merepresi mereka yang ternyata dimanfaatkan partai komunis sebagai alat propaganda, pada Kubah, Karman digambarkan sebagai pegawai kantor kecamatan yang “cerdas” sebagai penggerak masyarakat Desa Pegaten untuk mendukung partai komunis. Pergolakan antara kaum agamis/kaum adat dengan kaum komunis menjadi unsur utama yang muncul sebagai satu bumbu khusus.

Agaknya, tidak ada perbedaan yang mendasar antara keduanya. Sama-sama bercerita tentang masa-masa penuh penderitaan usai perang kemerdekaan dan penegakan kedaulatan republik. Kedua karya Ahmad Tohari itu masih mempunyai relevansi yang tinggi dengan keadaan saat ini. Saat kajian-kajian pada peristiwa kelam sejarah bangsa tidak lagi diselenggarakan secara sembunyi-sembunyi.

Tulisan Ahmad Tohari yang terstruktur dengan baik, membuat kedua karyanya ini seakan kehilangan suspense pada jalan dan alur cerita. Memang Ahmad Tohari bukan seorang penulis yang pandai menulis buku thriller. Tetapi, walaupun saat Kubah ditulis ia termasuk masih orang baru dalam jagad susastera neger ini, perlu dicatat bahwa kemampuannya untuk mengolah cerita, memainkan tokoh-tokoh beserta linimasanya, serta kedekatan konteks antara buah karya dengan realitas sejarah yang benar nyata terjadi, adalah suatu nilai lebih yang mampu memperbanyak perbendaharaan referensi kita soal sejarah bangsa sendiri. Sedikit saran, sila lanjut baca roman Ajip Rosidi, “Anak Tanah Air”. Sila temukan relevansi antara karya Ahmad Tohari dan Ajip Rosidi yang sama-sama bercerita pada lini masa yang sama.


Tidak heran apabila kemudian novel Kubah ini menjadi novel terbaik tahun 1981 dari Yayasan Buku Utama Kementerian P & K dan juga sudah diterbitkan dalam bahasa Jepang. Sejarah, selalu hadir dalam bentuk apa saja yang selalu bisa mengingatkan kita. Bila film G30S/PKI yang terlanjur ngetrend itu sudah tidak hits lagi, maka kini diganti dengan “The Act of Killing”. Suatu penyajian sejarah melalui sudut pandang yang berbeda. Begitulah, dinamika sejarah menghiasi sejarah perjalanan bangsa kita. Sesekali kita perlu menoleh ke belakang, tanpa pretensi untuk menyalahkan, melainkan untuk mengambil sebanyak mungkin pelajaran.

Judul         : Kubah
Penulis      : Ahmad Tohari
Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama
Tahun        : 2012 (cet. 4, edisi baru).
Tebal          : 211 hal.
Genre         : Novel-Sejarah


Pharmindo, 18 November 2012.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...