Selasa, 25 Desember 2012

Anak Tanah Air: Sebuah Kronik Kebudayaan

“Karena itu, lebih baik jangan ikut-ikutan politik. Yang penting bagi seniman....”
“Mencipta!”


Tidak banyak roman yang berlatar sejarah perjalanan bangsa. Apalagi sampai harus menceritakan segala persoalan yang menyangkut kesenian. Perkembangan kesenian di Indonesia mengalami pasang surut pada masa-masa awal kemerdekaan. Pergolakan ideologis antara kaum nasionalis, agamis, dan komunis menjadikan kesenian sebagai peluru bagi perjuangan ideologis mereka.

Pergulatan antar wacana kesenian dari masing-masing golongan menyebabkan para seniman yang berkecimpung di dalamnya harus menentukan sikap. Sebuah pilihan atas keberpihakan pada tujuan kesenian itu sendiri. Tak pelak, kenyataan tersebut menjadi duduk persoalan yang menarik untuk dibahas.


Roman ini dengan jenius mengangkat problematika kesenian di masa itu. Lukisan sebagai objek dari kesenian yang menginduk pada seni lukis telah lebih dulu mendapat tempat bila dibandingkan dengan khazanah seni lainnya di negeri kita.

Tersebutlah, Ardi, seorang anak muda yang rela meninggalkan kampungnya untuk menempuh kehidupan barunya di kota bersama pamannya. Di kota itu, Ardi tumbuh sebagai pemuda yang mencintai seni terutama seni lukis. Dengan bakatnya itu, tidak terlalu sulit bagi kawan-kawan di sekelilingnya untuk menemukan mutiara yang terpendam. Kelak, Ardi pun mendapati jalannya sendiri untuk menjadi seorang pelukis.

Kehidupan sekolah yang dijalaninya tidak menghalangi upayanya. Bersama komunitas pelukis, Ardi mengembangkan bakatnya. Tahun demi tahun berlalu. Ardi telah mengalami metamorfosa. Impian untuk sekolah lebih tinggi ditinggalkannya. Ia hanya mau melukis dan jadi pelukis saja. Sebuah pilihan yang sampai saat ini masih dipandang sebelah mata.

Tekad kuatnya itu lantas menjadikannya seorang ilustrator handal. Walau begitu, Ardi tetap ingin mendapat pengakuan dan apresiasi terhadap dirinya sebagai pelukis. Lika-liku perjalanan hidup mengantarkan dirinya pada Hermin. Seorang gadis penikmat seni yang tahu betul menghargai sebuah karya seni lukis. Setelah mengenal beberapa lama, mereka menjalin suatu hubungan tanpa status (mengikuti istilah keren ABG saat ini). Pergumulan cinta dan perasaanya dengan Hermin tidak berlangsung lama. Hermin lantas mencampakkan Ardi karena ia sendiri telah terikat pada pria yang lain. Seseorang dari masa lalu yang tumbuh bersama Ardi, Asep Suwangsa.

Dalam kegamangannya, Ardi mulai surut langkah. Terlebih, usai menerima tawaran Suryo untuk bersama-sama menandatangani persetujuan atas Konsepsi Presiden. Ardi mulai berpolitik tanpa ia sadari. Keadaan ini menyebabkan berbagai kesulitan datang bertubi-tubi menghampirinya. Ardi masih tidak sadar bahwa sebagian kawannya menganggap ia bergabung dengan sayap organisasi partai politik yang saat itu didominasi partai komunis. Ardi kehilangan peluang untuk menyelenggarakan pameran tunggal karena sikap politiknya itu. Lantas, Ardi pun kehilangan pekerjaannya. Tidak ada lagi majalah, tabloid, atau penerbit buku yang meminta ilustrasinya.

Ketika harapan hampir padam, Suryo datang kembali padanya. Menawarinya untuk tetap mengadakan pameran tunggal sekaligus memberi pekerjaan pada suatu majalah bulanan.
Perhelatan pameran tunggal Ardi pun sukses. Pameran tunggalnya banyak mendapat apresiasi dari para seniman penggiat Lekra. Ardi merasa telah mendapat apresiasi yang sepantasnya. Ideologi kesenian yang harus berpihak pada rakyat telah menjadi ciri karya-karya lukisannya.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Tidaklah salah apabila karya Ajip Rosidi ini disebut sebuah roman. Anak Tanah Air dengan jelas menggambarkan detail-detail penceritaan Ajip Rosidi terhadap suatu fenomena tertentu. Masalah utama dari roman ini sudah jelas dapat ditemukan pada paragraf ini:
“Tetapi, apakah seniman harus tetap tak ambil peduli kepada keadaan tanah airnya? Keadaan bangsanya? Apakah seniman harus merasa cukup asal dia dapat mencipta dan mendapat tepuk tangan dari pengagumnya, padahal tanah airnya sendiri menuju jurang kehancuran?” (hal. 285)

Inilah yang menjadikan roman ini istimewa. Setidaknya, sampai menjelang setengah buku, belum nampak persoalan utama. Pembaca digiring untuk menerka-nerka apa yang menjadi subjek utama cerita dalam roman ini. Pengalaman pembaca akan diuji hingga tiga per empat buku terlampaui. Hingga menemukan berbagai persoalan tentang kesenian di masa revolusi pasca kemerdekaan.

Persoalan kebudayaan pada masa revolusi pasca kemerdekaan atau dengan kata lain pada saat Demokrasi Terpimpin mengerucut pada pertikaian dua kelompok besar: Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Mengacu pada MLBL, telah terjadi pembakaran dan pelarangan atas karya-karya seniman Manikebu dan juga penahanan terhadap mereka.

Kesenian pada saat itu hanya menjadi satu peluru bagi perjuangan ideologis belaka. Kesenian menjadi satu alat bagi Presiden Sukarno untuk tetap memantapkan kekuasaannya. Untuk itu, ia tentu membutuhkan segenap dukungan tak terkecuali dari kaum kiri/komunis. Termasuk para seniman yang sepaham dengan jalan perjuangannya yang dituangkan dalam Konsepsi Presiden. Keadaan ini menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan masyarakat yang menuntut Presiden untuk segera membenahi hal-hal mendasar soal kehidupan berbangsa

Relevansi sejarah pun mengatakan demikian. Sukarno yang dengan istilah-istilah besarnya malah tidak berhasil membuat satu kemajuan apapun. Tidak ada kemajuan dalam semua bidang kehidupan.   Laju inflasi tidak tertahankan sehingga rakyat pun sangat sulit untuk makan menyebabkan pergolakan-pergolakan paada semua bidang kehidupan. Mengenai hal ini agaknya pembaca yang budiman dapat membuka kembali memoar Mohammad Hatta yang terkumpul dalam buku “Demokrasi Kita”.

Karena saya terlebih dahulu menamatkan Kubah (Ahmad Tohari) dan Mochtar Lubis Bicara Lurus (Ramadhan KH-ed), saya menemukan suatu benang merah atas segala peristiwa yang terjadi saat itu. Bila Kubah membahas persoalan seorang tahanan politik yang ingin kembali ke tengah masyarakat usai komunis dimusnahkan dari bumi pertiwi maka relevansinya dengan MLBL dan roman ini menjadi satu substansi yang saling melengkapi. Latar belakang waktu dalam Kubah dan realitas yang disampaikan Mochtar Lubis dalam bukunya dapat menjadi narasi pendukung bagi roman Anak Tanah Air ini. Bahwa pada suatu tertentu dalam perjalanan sejarah bangsa kita telah terjadi hal yang demikian. Dan itu adalah persoalan kesenian.

Melalui roman ini, Ajip Rosidi mencoba mengungkapkan kembali segala peristiwa penting yang terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan. Ajip Rosidi mengangkat kembali persoalan kehidupan seniman-utamanya pelukis- serta hubungannya dengan situasi dan kondisi politik di Indonesia pada tahun-tahun itu. Ajip Rosidi meninggalkan penanda bagi kita, generasi penerus bangsa, untuk tetap membaca dan mengkaji sejarah republik demi masa depan kesatuan dan keutuhan bangsa.

Judul        : Anak Tanah Air
Penulis        : Ajip Rosidi
Penerbit    : Pustaka Jaya
Tahun        : 2008 (cet. 2)
Tebal        : 374 hal.
Genre        : Roman

 
Pharmindo, 24 Desember 2012.

1 komentar:

Adit Purana mengatakan...

enaknya sih.. TERUS BERKREASI.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...