Minggu, 21 Februari 2010

The Culture of the Days and the Agenda

“Apa pendapat anda tentang hari Valentine dan Imlek yang jatuh bersamaan?”

“Saya rasa itu semua Cuma hari biasa dan mungkin saja kebetulan jatuh di tanggal yang sama sesuai kaidah penanggalan yang digunakan masing-masing. Selebihnya tidak jauh berbeda, mereka hanya jadi hari-hari biasa yang mengisi kalender tahunan. Yang membuat berbeda adalah makna dari masing-masing hari itu. Kalau sudah menyangkut makna, saya rasa hanya pikiran yang mampu menafsirkannya.”

“Jadi menurut anda tidak ada yang spesial?”

“Bukan begitu. Dulu juga kita pernah mengalami Idul Fitri yang bersamaan dengan hari Natal. Tentu saja ada makna khususnya, seperti kita menganggap hari ulang tahun kita sendiri yang selalu jadi momen paling spesial.”

“Kalau Valentine semua orang rasanya teringat pada bunga atau coklat, kalau yang membuat anda teringat akan Imlek?”

“Bagi saya kalau mendengar Imlek yang terbayang adalah lampion merahnya yang selalu menghadirkan perasaan rawan sekaligus menawan. Lalu, sudah tentu barongsai. Saya tidak akan pernah lupa sensasi waktu pertama kali melihat langsung penampilannya. Sungguh menghadirkan suatu perasaan yang semarak dan membahagiakan.”

“Pernah punya memori tentang hari Valentine dan Imlek?”

“Ada. Dalam ajaran Agama saya merayakan Valentine dan Imlek sudah tentu haram hukumnya, tanpa menunggu fatwa MUI karena secara eksplisit sudah ada aturannya di Al Qur’an dan Hadis. Walau begitu, namanya juga orang yang pernah muda, dulu waktu SMP saya pernah sengaja beli coklat tapi belum tahu untuk siapa, saya tunggu sampai ada yang minta sama saya, kebetulan temen sekelas yang duduk di belakang saya minta coklat, ya sudah saya kasihkan, lha wong niat awalnya buat dikasihin, kebetulan saja pas hari Valentine itu. Kalau Imlek, beda lagi, saya memang tidak punya kenangan apa-apa selain menonton barongsai secara langsung untuk pertama kalinya dalam hidup saya yang juga telah membuka pandangan saya terhadap Imlek itu sendiri, dalam konteks atau pemahaman kultural.”

“Pemahaman kultural apa yang anda maksud?”

“Begini, Imlek selain sebagai penanda tahun baru dalam sistem kalendar lunar juga telah menjadi suatu pemaknaan atas diri sendiri, Tuhan, dan lingkungan dengan cara tersendiri bagi mereka yang merayakannya. Nah, cara perayaannya ini yang kemudian berkembang menjadi budaya yang kemudian terdiferensiasi lagi menjadi tradisi . Seperti, kalau Lebaran identik dengan ketupat maka Imlek pun selalu identik dengan barongsai atau ang pao misalnya. Pemahaman kultural atas budaya dan tradisi inilah yang perlu dijaga dan dikembangkan agar masyarakat bisa menjadi lebih toleran dan bisa saling menghargai dalam lingkungan yang heterogen dan plural seperti di Indonesia ini. Saya belum bisa bicara lebih jauh karena saya juga masih dalam tahapan belajar memaknainya.”

“Kaitannya dengan kondisi dan keadaan berbangsa kita saat ini?”

“Masyarakat Indonesia ini masih dalam tahap belajar untuk bisa saling menghargai dan lebih toleran antar sesama. Untuk beberapa hal, kita bisa berkata bahwa masyarakat kita ini sudah terlalu paham dengan makhluk yang namanya demokrasi. Dalam demokrasi juga diajarkan bagaimana untuk bisa dan mampu menghargai aspek-aspek keberagaman yang ada dalam masyarakat yang serba heterogen ini walau koridor nilai-nilai masih harus dijadikan patokan dasar sehingga tidak kehilangan arah. Beberapa kasus penistaan agama misalnya, harus ditanggapi dan diselesaikan secara berbeda dengan pendekatan nilai-nilai keagamaan bukan asal beda lalu dianggap biasa dan dibela untuk dibiarkan. Saya rasa kita masih dan harus lebih banyak belajar agar tidak terjebak dalam satu pemahaman yang semu tentang demokrasi. Dalam hal ini saya hanya menyampaikan pandangan saya saja dan masih belum layak dijadikan satu patokan atau gambaran umum tentang kondisi sebenarnya. Tentunya masih diperlukan suatu penelitian dan studi khusus tentang pemahaman kultural masyarakat Indonesia terhadap budaya dan tradisi Imlek ini. Mungkin, dengan disertasi doktoral yang tidak mungkin terbantahkan.”

“Menurut anda, bila masyarakat kita sudah mencapai tahap pemahaman kultural seperti yang anda maksudkan tadi lalu apa implikasinya terhadap masyarakat itu sendiri?”

“Implikasi lebih jauh tentu akan tampak dalam zaman yang serba globalisasi ini. C-AFTA (China-Asean Free Trade Area) sudah didepan mata. Apabila masyarakat Indonesia sudah mempunyai pemahaman kultural yang baik dan berhasil di negerinya sendiri, sudah barang tentu dalam pergaulan tanpa batas di dunia ini masyarakat Indonesia dapat melakukan hal yang sama terhadap bangsa-bangsa lainnya dengan interaksi antar-kultural sehingga dalam globalisasi ini kita tidak hanya jadi penonton tapi sudah harus bisa jadi pemain yang punya perannya sendiri dalam pergaulan antar bangsa. Intinya adalah membangun kepercayaan bahwa kita ini layak diperhitungkan sebagai warga dunia. Jadi, jangan sampai masyarakat internasional itu hanya tahu ramahnya orang Indonesia itu seperti ramahnya orang Bali atau Jogja saja, walau kadang kenyataannya masih menunjukkan demikian.”

“Kita beralih topik, apa tanggapan anda tentang rencana kedatangan Obama ke Indonesia?”

“Saya anggap itu hanya kunjungan dinas biasa tentunya dengan berbagai misi dan kepentingan AS di Indonesia. Dan kebetulan memang Presiden SBY pernah sekolah militer di Fort Ranger, AS dan Obama pernah juga sekolah di Menteng, ada nuansa sentimental tersisip didalamnya selain urusan-urusan diplomatik. Saya kira Obama sengaja datang ke Indonesia untuk sekedar melihat Patungnya di Taman Menteng. Mungkin ia heran kenapa patungnya bisa sampai sebab musabab class action masyarakat yang sedang disidangkan di pengadilan. Mungkin juga ia merasa bangga karena patungnya ditempatkan di sebuah taman yang cukup representatif dan memorial bukan di tengah jalan raya seperti patungnya Jenderal Sudirman yang nongkrong dengan hebatnya sambil hormat kepada kapitalisme global yang ditandai dengan macam-macam skyscrapers dihadapannya. Sungguh menarik sekaligus gemas juga melihat bagaimana bangsa kita memperlakukan sejarahnya.”


bersambung...


Ciledug 15 Februari 2010
diterbitkan di Ciledug 21 Februari 2010

Jawaban untuk Sahabat

Dear Sahabatku yang Budiman, (ini juga bukan karena saya teringat Bis Cepat jurusan Tasik itu)

Entah kenapa saya merasa ingin dan harus membalas catatan yang sengaja kamu buat ini. Terima kasih karena telah menghadiri pernikahan saya. Terus terang, saya merasa terusik dengan beberapa pernyataan dan pertanyaan yang ada di catatanmu itu. Tadinya saya pikir kamu Cuma ingin bernostalgia mengingat catatan sejarah kita yang mengagumkan itu. Tapi, setelah saya coba pikirkan kembali, ternyata bukan itu maksudnya. Saya kagum karena kamu menulis catatan tentang saya dan menempatkannya di blog pribadimu.

Saya memang sedikit merasa tidak nyaman karena siapa tahu ada kawan kita yang tahu tendensi dari catatan yang kamu buat ini ditujukan kepada saya. Kalau sudah begitu rasanya saya cukup tega untuk melaporkan kamu ke Mabes Polri atau Polres Cimahi atas perilaku tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik. Kamu akan saya jerat dengan UU ITE. Syukur pada Tuhan, Presiden kita belum sempat mengkaji dan akhirnya membatalkan RPM UU Konten Multimedia. Kalau ternyata RPM itu benar telah jadi UU maka bertambah banyak pula tuduhan yang dikenakan padamu. Beruntung juga Menkominfo kita itu orangnya plin-plan walau kadang suka sembarangan buka-tutup blog punya orang. Sudah tentu kamu akan saya jadikan The Next Prita Mulyasari to be defamed by internet behavior karena saya tahu kamu tidak punya modal apa-apa untuk meraih simpati publik.

Jangankan mengumpulkan koin, rasanya kalau sampai ada Cause di Facebook yang mendukungmu, saya rasa tidak akan banyak facebookers yang peduli dan menggalang dukungan yang lebih besar buat kamu. Kalaupun sampai ada yang peduli pasti hanya kuli tinta dari koran sokpas dan koran-koran medioker lainnya walau mungkin bisa juga jadi santapan reporter TV untuk kumpulan berita-berita kriminal.

Tapi, kalau teringat lagi lagu-lagu yang pernah jadi soundtrack zaman kita masih kuliah dulu rasanya saya tidak tega untuk membiarkan kamu menderita. Tapi atas nama harga diri saya tentunya ingin agar kamu mendapat pelajaran bahwa bermain-main dengan orang politik itu memang tidak menyenangkan dan sebaiknya tidak pernah dilakukan. Salah-salah saya bisa membunuh karaktermu dan sengaja menjebakmu terlibat dalam sebuah konspirasi besar untuk menjatuhkan parlemen dengan mosi tidak percaya.

Jadi, tolong lupakan saja momen-momen yang pernah kita lewati bersama. Lupakan pula setiap memori tentang saya. Lupakan pula tentang Dji Sam Soe yang dulu sering kita nikmati sambil cengengesan di bis kota. Apapun pretensi anda tentang saya bisa jadi salah terhitung mulai detik ini. Things are never be the same again. Semua tak sama, tak pernah sama.* Saya memang terlalu sibuk dengan diri saya sendiri. Sibuk dengan proyek-proyek yang mengalir tanpa henti. Terlalu banyak kalau saya ceritakan. Lagipula, kamu belum tentu mengerti tentang semua itu, tentang kenapa Negara ini masih bobrok. Karenanya, saya memang tidak punya waktu untuk sekedar menjawab SMS darimu. Untuk apa? Rasanya tidak ada artinya. Pun ketika saya lihat corat-coret di wall, saya tidak pernah mau membalasnya karena kalau saya tanggapi saya hanya akan terlihat sebagai seorang politisi asongan. Kau tahu maksudku kan?

Begini, bangsa kita ini masih belajar berpolitik. Bangsa kita ini terlalu dipaksakan untuk menenggak banyak-banyak pil dan racun paham-paham politik dalam waktu yang singkat. Akibatnya, bangsa kita juga mabuk politik berkepanjangan. Indikasinya bisa dilihat dari kekuasaan. Kekuasaan telah menjadi racun yang mendarah daging di kehidupan bangsa kita ini. Kamu tentu paham dengan feodalisme peninggalan kerajaan-kerajaan di Nusantara ini yang kemudian dimanfaatkan oleh Penjajah Belanda untuk bekerjasama dengan pribumi dan priyayi lokal.

Demokrasi bukan lagi jadi suatu cara untuk menggapai kekuasaan yang adil dan bermartabat. Demokrasi hanya jadi alat saja sebagai legitimasi kekuasaan. Pemilu, pilkada dan apapun namanya hanyalah rekayasa segilintir pihak atas nama demokrasi untuk mencapai kekuasaan. Padahal esensinya tetap saja perebutan kekuasaan. Ada yang kalah ada yang menang. Supaya menang butuh modal. Untuk itulah kenapa politik harus dipelajari.

Demokrasi kita itu sedikit banyak dipengaruhi ilmuwan-ilmuwan dan doktor-doktor politik made in USA. Pada suatu masa yang disebut era lepas landas banyak dari mereka menimba ilmu di negerinya Ford itu dan setelah pulang atas dasar perjanjian beasiswanya harus mengaplikasikan ilmu dan pemikirannya di ranah perpolitikan negeri ini. Jadi tidak heran bila kemudian demokrasi yang kita anut mengarah pada demokrasi liberal. Demokrasi liberal telah mendahului kelahiran demokrasi parlementer sebelum akhirnya demokrasi terpimpin bercokol di tampuk kekuasaan.

Untuk menelaah lebih jauh tentang demokrasi saya sarankan kamu membaca jurnal-jurnal penelitian terbaru keluaran universitas-universitas top dunia. Selain kamu bisa membaca perkembangan demokrasi dan politik di berbagai belahan dunia pasti kamu juga dapat pemahaman yang menyeluruh tentang makna demokrasi dalam Negara yang berdaulat serta bagaimana demokrasi turut berperan dalam pembentukan karakter bangsa. Perhatikan, ini sekedar saran saja.

Hubungan antara korupsi, politik dan kekuasaan katamu, memang ada kaitannya terutama setelah beberapa peristiwa menghebohkan yang banyak diliput media. Korupsi sudah tentu harus dijauhi karena perilaku korupsi yang terlanjur membudaya akan membawa kehancuran dalam setiap sendi kehidupan bangsa ini. Sedangkan, politik dan kekuasaan adalah hal yang bisa jadi mendatangkan manfaat asal tidak terkontaminasi dengan pemikiran yang korup.

Hubungannya, karena dengan kekuasaan kamu bisa mendapatkan semua yang mungkin kamu dapatkan maka dengan sedikit bantuan dari elit politik demi sebuah kepentingan bersama. Nah, korupsi digunakan apabila dalam mencapai kekuasaan itu diperlukan juga suatu konvensi dan kompromi untuk membagi bersama semua atau beberapa keuntungan dari kekuasaan. Sebenarnya korupsi bisa masuk dimana saja. Intinya, kalau ada yang mengganggu kekuasaan, maka penguasa harus berpolitik dengan sedikit kompromi supaya sama-sama untung tidak peduli siapa yang dirugikan. Biasanya yang dirugikan ya rakyat. Rakyat seperti kamu.

Kalau benar Golkar jadi mundur dari koalisi tentu ini adalah sebuah langkah baru dalam kehidupan berpolitik Golkar. Sepert pendapatmu yang menyebutkan bahwa Golkar memang identik dengan kekuasaan dan tidak pernah lepas daripadanya. Keluarnya Golkar dari koalisi tentu akan menjadikan kekuatan politik yang semula berimbang akan berubah walaupun tidak terlalu signifikan. Terlepas dari isu re-shuffle yang memungkinkan presiden mencabut mandate menteri-menteri dari Golkar. Masalahnya, akankah Golkar jadi oposisi? Kalau Golkar jadi oposisi, Pemerintah dalam hal ini Koalisi akan mendapatkan tekanan berat. Namun, menurut saya menilai kondisi ini saya tidak yakin bila Golkar benar-benar keluar dari koalisi. Titik berat masalahnya selama ini ada di Pansus Century dan Golkar termasuk fraksi yang vokal dalam menyuarakan dugaan pelanggaran oleh pemerintah. Setelah badai Pansus ini berlalu saya kira semua akan kembali pada tempat yang semestinya selama tidak ada isu-isu yang menggoyang pemerintah.

Sistem kabinet parlementer yang masih banyak digunakan oleh beberapa Negara di Eropa sana membuktikan bahwa setiap region punya kekhasan masing-masing dalam menafsirkan dan mengimplementasikan demokrasi. Dengan sistem yang menggunakan banyak partai (tapi tidak terlalu banyak seperti disini) tentu kekuatan politiknya masih berimbang antara koalisi pro pemerintah atau sayap kanan dengan opisisi atau sayap kiri. Biasanya ada juga yang disebut garis keras yang netral dan punya suara, pandangan, dan sikapnya sendiri.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya suatu kabinet. Seperti yang dulu kita pelajari waktu SMP, biasanya faktor-faktor itu adalah menyangkut hak-hak dasar manusia yang tidak terpenuhi. Adanya kesenjangan antara pemerintahan pusat dan daerah masih jadi isu yang sangat kuat saat itu. Biasanya, adalah masalah kesejahteraan yang berhubungan langsung dengan stabilitas ekonomi. Dalam bahasa orang awam, kalau cari nasi saja sulit lebih baik turunkan pemimpinnya. Itu dulu di Indonesia.

Belanda dituntut untuk menarik mundur pasukannya dari Afghanistan karena masyarakatnya mulai sadar bahwa adalah suatu kesalahan untuk mengirim pasukan tambahan atau sekedar memperpanjang misi militer di Afghanistan. Sudah banyak korban berjatuhan akibat perjuangan gerilya dan teror-teror dari Taliban Inc. (biar keren aja nyebutnya) Pasukan koalisi pimpinan AS pun sekarang sudah Nampak kelelahan dengan perang yang tak kunjung usai. Dengan kondisi semacam itu maka sebagai sesama manusia yang seharusnya berpartisipasi dalam perdamaian dunia maka mereka menggoyang pemerintahan untuk menyuarakan pendapatnya. Dan bahwa kemudian kabinet jatuh sudah tentu menjadi titik terang akan keinginan masyarakat.

Faktor lainnya menyangkut krisis politik negerinya Van Basten itu saya rasa masih seputar isu ekonomi dimana dampak krisis 2008 semakin terasa tahun 2010 ini di Eropa. Kemudian, perdagangan juga ikut berperan dalam ini terutama setelah AS lebih condong melakukan banyak pendekatan ke Negara-negara di Asia dan Uni Eropa mulai merasa terancam atau lebih halusnya terusik karena hubungan mereka yang selalu eksklusif dengan AS. Itu secara globalnya.

Kita ini belajar pemakzulan sejak zaman demokrasi parlementer dan sempat vakum saat Soeharto menjabat presiden dengan Demokrasi Pancasilanya. Rasanya terlalu jauh kalau kita memang belajar pemakzulan dari zamannya penjajahan kompeni. Lagipula, masyarakat kita kan tidak peduli sejarah bangsanya jadi mana mau mereka belajar dari kompeni. Contoh yang paling dekat adalah waktu Gus Dur dikasih kado impeachment oleh DPR akibat Bruneigate dan Buloggate. Untung waktu itu DPR bertindak cepat sebelum mereka dibubarkan. Kamu juga tahu waktu itu Gus Dur mengancam untuk membubarkan DPR. Celakanya, sekarang ini yang demikian itu diasosiasikan lagi pada SBY yang tersandung Centurygate. Pokoknya, makzul tak gentar, membela yang bayar. Itu hanya gurauan saja. Jangan anggap serius apalagi dijadikan status facebook.

Saya rasa terlalu jauh bagi kita bila harus kembali lagi ke sistem parlementer. Lha wong konstitusi kita ini kan presidensial jadi tidak mungkin untuk mengulang kembali. Kecuali terjadi sesuatu dengan konstitusi kita. Misalnya, UUD 1945 dicederai oleh Mahyadi Panggabean, stopper Persik Kediri kebanggaanmu itu. Kalau sudah begitu maka lain soal. MPR lah yang nantinya memutuskan.

Masuk ke topik Obama. Saya tidak rela kedatangannya kemari disangkutpautkan dengan perayaan hari kelulusanmu. Tidak ada hubungannya sama sekali jadi jangan merasa ge-er dulu. Lagipula anggota CIA mana yang mau membeberkan rahasia negaranya. Jangan kira CIA sama dengan intel kita yang intel melayu itu: intel teriak intel.

Secara fundamental mungkin tidak akan ada yang berubah dalam struktur kehidupan masyarakat kita hanya saja Obama ini lebih meningkatkan pemahaman antara dunia barat dengan Islam yang sempat ternoda pada masa pemerintahan George W. Bush. Intinya kembali lagi pada pencitraan. Ingat, Obama menang pemilu karena politik pencitraannya yang berhasil. Itu juga yang kemudian berhasil ditiru oleh Presiden kita saat ini. Kembali lagi, budaya politik dan demokrasi kita sedikit banyak mengadopsi tata kelola yang sudah berjalan mantap di AS. Niatan Obama untuk merevitalisasi hubungan AS dengan Islam perlu kita hargai dan kita jadikan sebagai langkah awal untuk membersihkan citra Islam sendiri. Bahwa Islam bukan teroris. Yang teroris itu adalah penjahat yang kebetulan entah sengaja atau tidak mengatasnamakan atau malah beragama islam. Peran OKI tentu akan lebih dituntut karena ini menyangkut isu global. Mungkin, Obama menurunkan Hillary Clinton untuk menangani hal ini.

Masalah patung memang perlu dikaji kembali. Saya juga heran kenapa gugatan Class Action terhadap patung Obama dicabut. Saya belum dapat informasi apakah ada campur tangan Advance Team atau CIA disana, karena semua ini terjadi kurang lebih sebulan sebelum Obama landing di Halim. Memang bangsa ini juga mengalami krisis identitas. Bangsa kita baru merasa punya identitas kalau batik diklaim sama Malaysia. Tapi untuk menghargai pahlawannya sendiri bangsa kita kerap kehilangan identitasnya. Memalukan memang. Tapi begitulah faktanya. Kita terlanjur bangga dengan apa yang tidak ada pada diri kita sehingga kita kehilangan identitas sendiri.

Kamu bisa saja bergurau. Dapat ide darimana kalau POLRI diminta membantu FBI, CIA, Kepolisian AS untuk menangkap Osama? Belum lagi Obama yang bakal dolanan ke tempat batik, Kotagede, dan makan lesehan di Malioboro. Ngawur. Tidak ada hubungannya dan sangat tidak relevan sekali. Tapi kalau untuk misi dagang saya rasa ada benarnya bahwa AS merasa marketnya terusik dengan C-AFTA. Obama sepertinya hanya ingin mempertanyakan kembali komitmen perdagangan Indonesia dengan AS, dan pendapat saya barangkali ini ada hubungannya dengan TNI yang berencana untuk memodernisasi Alutsistanya dan inilah santapan besar AS: bisnis senjata. Legal pastinya. Kalau kamu masih penasaran kenapa bisnis senjata adalah bisnis yang menggiurkan dan sangat menguntungkan tonton lagi filmnya Nicholas Cage yang judulnya “Lord of War”.

Demikianlah yang mampu saya sampaikan. Untuk diingat ini belum semua. Saya rasa pertanyaan-pertanyaanmu cukup menantang dan layak dijadikan script siaran atau wawancara. Masih ada beberapa penjelasan detail yang akan saya simpan sebagai “senjata” saya sendiri nantinya. Sayang sekali kamu belum boleh tahu. Tapi saya yakin suatu saat nanti kau akan tahu, kau akan mengerti, dan kau akan pahami.

Pesan saya, ajukanlah pertanyaan-pertanyaan kamu di media atau channel yang tepat. Kamu kan lulusan komunikasi, setidaknya belajar paradigma Lasswell, jadi jangan sampai melakukan tindakkan yang memalukan. Perlu diingat juga, saya tidak memberikan ataupun membuat jawaban ini atas asumsi-asumsi. Ini murni output pikiran saya.

Saya harap ini cukup membantu kamu untuk menanggulangi segala keresahan atas semua pertanyaan yang ada di kepalamu. Saya tentu sangat berharap agar kamu tidak kehilangan daya imaji dan kritismu. Tidak banyak orang di dunia ini yang sepertimu. Setidaknya, dari yang pernah saya temui. Teruslah hidup dalam kebahagiaan. Takdir tidak dipilih, tetapi ia memilih.



Ciledug, 21 Feb 2010


*dengan ingatan kepada lirik lagu “Semua Tak Sama”, dinyanyikan oleh Padi

Surat untuk Sahabat

Sahabat,

Harusnya catatan ini dibuat sambil mendengarkan lagu Sahabat dari KLa Project atau You’ve Got a Friend ciptaannya Dianne Warren. Supaya ada satu perasaan saling memiliki yang mengiringi kelahiran catatan ini. Tetapi kalaupun sampai terdengar lagunya Iwan Fals yang liriknya ‘pernah kita sama-sama susah, terperangkap di dingin malam’* rasanya terlalu sentimental untuk mengenang kembali masa-masa itu. Masa-masa sama-sama susah. Masa-masa terjerumus dalam lubang jalanan.

Perlu diingat, catatan ini juga saya buat bukan karena terbayang-bayang pada bis AKDP-AKAP Sahabat yang semburat knalpotnya selalu membuat debu-debu cinta bertebaran antara Bandung - Cirebon. Tidak. Catatan ini juga bukan sekedar catatan pengisi waktu di sela-sela kesibukan dan deru jalanan ibukota. Bukan. Bukan itu sahabat.

Saya masih ingat waktu kita baru mau lulus. Kita sering berbincang tentang mimpi-mimpi malam. Tentang impian kehidupan yang kelak akan kita miliki dan sekarang memang sedang kita jalani masing-masing. Ditemani temaram lampu teras dan dua batang Dji Sam Soe bibir kita tak henti-hentinya berpacu dengan segala macam hal yang mampu dirasakan oleh jiwa dan dipikirkan oleh pikiran sehingga kita tak henti-hentinya juga saling terpekur dalam diam sunyi malam.

Kelak malam semakin meninggi dan rasa lelah itu makin menjadi. Esok masih tak pasti namun bukan pula sebuah kepastian. Begitu katamu. Rasanya setiap malam adalah malam-malam panjang dalam penantian. Entah tentang mimpi atau hidup itu sendiri. Itulah yang saya tangkap dari kerut di keningmu yang tampak selalu basah oleh keringat. Masih ingatkah engkau sahabat?

Setelah apa yang terjadi pada takdir kita masing-masing, jalan semakin terbuka untuk masa depan kita. Kau putuskan untuk menikah dan membangun keluargamu sendiri. Saya pun turut berbahagia untukmu karena engkau berhasil menambatkan jangkar cinta dan hidupmu pada perempuan itu. Hingga lama jarak membentang antara kita. Ruang dan waktu pun jadi sekat dalam dunia kita yang semakin tua ini. Lama tak kudengar kabar darimu. Sudah sering aku kirimkan pesan lewat SMS namun semua tanpa jawaban. Kadang saya tulis hal-hal yang selalu kita tertawakan di wall facebookmu. Tapi, hasilnya nihil. Masih tanpa jawaban. Apa yang sedang terjadi padamu sahabat?

Saya harap engkau tidak membalas setiap SMS itu hanya karena sekarang lebih sering bermain dengan trackball Blackberry untuk sekedar mengintip dan mengupdate status facebook. Saya tentunya bersyukur bila melihat statusmu yang terbaru dan paling up to date. Rasanya jarak, ruang, dan waktu tidak lagi jadi hambatan untuk kita.

Kabar yang sampai pada saya di akhir bulan itu sedikit membuat saya heran. Saya tahu anda adalah seorang petualang jadi rasanya aneh kalau saya merasa sedikit heran tentang pilihanmu. Kau telah putuskan untuk turun dalam bidang politik. Tentunya bukan sebagai praktisi politikus dadakan namun sebagai murid. Kau lanjutkan studimu di bidang politik. Sebuah bidang yang saya tahu benar bukan hal yang baru buatmu. Politik adalah makananmu sehari-hari. Mulai dari caramu mendekati perempuan itu hingga meyakinkan ayah dan ibu perempuan itu yang kini jadi mertuamu.

Tak ada yang aneh memang. Tadinya aku pikir kau sedang mencoba jadi seorang politikus seperti Eep Saifullah Fatah atau Yudi Latief yang opininya laku dibeli oleh media. Tentunya kau punya alasan sendiri mengapa politik telah jadi jalan hidupmu yang sekarang. Saya tidak tahu apakah kau memang berniat juga untuk ikutan maju di Pilkada. Tapi yang saya tahu kau tidak pernah mau jadi aktor politik tapi malah memilih jadi sutradaranya. Dengan negosiasi dan lobi-lobi yang sudah jadi remeh temeh bagimu tentu akan lebih mudah bagimu untuk tidak jadi pihak yang punya kepentingan. Kepentingan itu hanya milik mereka yang menginginkan kekuasaan dan kau sendiri tahu dan sadar benar bahwa kau tidak pernah ingin berkuasa-kecuali untuk istrimu sendiri. Saya tahu itu karena begitulah sifatmu.

*

Apa yang terjadi dengan alam politik bangsa ini? Apakah ada hubungan antara korupsi, politik, dan kekuasaan? Apakah ada hubungan antara Kasus BLBI, Bail-out Century dengan Pemilu kita yang kemarin? Kenapa Golkar ingin menarik diri dari koalisi padahal kita sama-sama tahu Golkar itu partainya pemerintah. Dari zaman anda sekolah dulu pun memang sudah begitu. Golkar adalah partai pemerintah yang selalu berada dalam lingkungan kekuasaan. Sehingga sulit sekali membayangkan langkahnya untuk mundur dari koalisi kekuasaan negeri ini. Menurut anda, apakah ini sebuah manuver politik belaka agar sesama partai koalisi yang punya pandangan sama dengan Golkar di Pansus Century untuk lebih kritis sekalipun berhadapan dengan partainya penguasa yang jadi induk koalisi dengan resiko dikeluarkan dari koalisi? Akankah keseimbangan iklim politik koalisi VS oposisi terganggu seandainya Golkar memutuskan untuk benar-benar keluar dari koalisi?

Lalu, apa tanggapanmu tentang kejatuhan Kabinet Belanda untuk keempat kalinya dibawah pimpinan Jan Belekenende, apakah ada hubungannya dengan isu-isu seputar demokrasi parlementer di Indonesia medio 1950-an? Apakah perilaku politik parlemen Belanda juga berlaku di Indonesia mengingat latar belakang sejarah kedua Negara? Barangkali anda lupa, kita Indonesia ini pernah mengalami peristiwa saling menjatuhkan parlemen. Dari zamannya Sjahrir bangsa kita sudah mengenal yang demikian, pun ketika Soekarno ingin membubarkan parlemen yang kemudian ditiru Gus Dur pada masa kekuasaannya.

Nah, yang perlu anda analisis adalah apakah bangsa kita juga belajar hal pemakzulan kabinet dari Belanda sebagai imbas penjajahan yang konon lamanya 3,5 abad? Apakah kita akan kembali pada demokrasi parlementer mengingat kelakuan beberapa anggota DPR yang merasa dirinya pahlawan dengan membentuk pansus, yang semakin menegaskan posisi dan power-legitimate Parlemen dalam konstelasi perpolitikan di jagad negeri ini?

Bagaimana dengan isu kedatangan Obama ke Indonesia bulan depan? Awalnya, saya pikir Obama sengaja datang ke Indonesia di bulan Maret untuk bersama-sama dengan saya merayakan 2 tahun hari kelulusan saya. Ternyata saya salah. Bukan itu agendanya. Menurut sumber CIA yang enggan disebut namanya, beliau ke Indonesia untuk beberapa alasan dan yang paling menonjol adalah alasan sentimental. Obama ingin bernostalgia dengan masa 4 tahunnya di Indonesia sekalian pelesir ke Yogyakarta untuk melepaskan penat sejenak dari urusan-urusan negaranya. Mungkin dengan belajar membatik di pusat kerajinan batik, belanja souvenir perak di Kotagede, dan menikmati malam sambil lesehan makan gudeg dan tempe penyet di Malioboro akan jadi obat yang ampuh untuk kebosanannya memimpin Negara superpower.

Menurut pendapat anda, apakah kedatangan Obama akan membawa perubahan yang signifikan bagi tatanan hidup masyarakat kita? Bila anda simak kembali janji kampanyenya, Obama ingin mempererat kembali hubungan USA dengan dunia islam yang ternoda akibat Perang Irak 2003, dan kita sadar bahwa Negara kita ini katanya yang jumlah umat islamnya paling banyak di dunia, sehingga memungkinkan adanya korelasi isu antara hubungan diplomatik dengan dunia islam. Mungkinkah itu terjadi? Apakah fundamentalisme dan radikalisme yang mengatasnamakan islam di berbagai belahan dunia akan jadi batu sandungan? Apakah peran OKI (Organisasi Konferensi Islam) akan berpengaruh dalam menjembatani isu-isu seputar hubungan islam dengan dunia barat?

Apakah mungkin Obama meminta Bambang Hendarso Danuri, yang mantan atasannya Susno Duadji itu untuk memberikan pelatihan cara menangkap teroris, karena seperti kita tahu dari jamannya George Bush (bukan George W. Bush), AS kesulitan untuk menangkap biang kerok terorisme dunia yang ditujukan pada Osama bin Laden? Atau juga Obama hanya ingin mengucapkan rasa terima kasihnya atas patungnya yang sempat ditempatkan di Taman Menteng, satu tempat yang saya rasa lebih layak untuk patung tokoh pahlawan sekelas Panglima Besar Soedirman. Satu lagi, apakah kedatangan Obama ini juga membawa misi perdagangan guna mempererat hubungan dagang RI-AS, mengingat Rini Suwandi (mantan Menperindag, menjabat zaman Mega) sudah terlebih dahulu menandatangani nota perjanjian China-ASEAN Free Trade Area pada 2003 dan AS berupaya agar tidak kehilangan potential marketnya?

Ingin sekali saya ajukan pertanyaan-pertanyaan itu dan meminta anda untuk menganalisisnya. Analisis yang menggunakan metode kualitatif-metode favorit anda, sehingga dapat ditemukan hubungan yang signifikan dari segi triangulasi fakta dan data bukan dengan angka-angka keparat statistik. Sebagai calon master yang menguasai bidang politik tentu anda harus mampu membuat pandangan dan teori sendiri untuk memahami, memecahkan, dan memberi solusi yang cerdas untuk kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Tapi, sebelum anda melangkah kesana saya hanya minta anda menjawab pertanyaan saya lengkap dengan penjelasannya dibayar tunai.

Ada beberapa pertanyaan lainnya yang ingin saya ajukan. Mungkin saya tulis lagi di wall facebookmu atau sekedar jadi twit di twitter. Namun kekhawatiran saya masih sama seperti yang sudah saya tulis tadi, tidak ada jawaban. Kenapa, Bung? Apakah anda sudah tidak punya lagi daya analisis ilmiah lantaran kesibukanmu dengan proyek-proyek itu? Apakah anda sudah lelah untuk berpikir hal yang demikian dengan alasan terlalu sibuk?

Rasanya, saya yakin anda mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Anggaplah saya ini hanya seorang anak kecil yang sedang bertanya pada bapaknya. Jadi, sebagai bapak yang bertanggung jawab tentu anda akan menjawab dengan jawaban dengan analisis yang tajam dan mendalam serta tidak penuh asumsi-asumsi politik yang biasanya (selalu) menyesatkan.

Barangkali, anda bisa menuliskan pandangan anda tentang hal yang demikian ini, mungkin pada satu kolom kecil di satu harian terkenal ibukota, supaya kawan-kawan kita yang lain dan masyarakat tahu bahwa anda memang tidak sia-sia menjalani pilihan anda. Mungkin kami tidak akan heran lagi bila nanti anda diundang jadi analis untuk isu-isu politik yang sedang berkembang oleh stasiun televisi yang selalu bangga dengan predikatnya sebagai yang nomor satu. Dan yang paling penting, biarkan semua orang tahu bahwa anda memiliki kontribusi dan dedikasi pada bidang politik yang kadang-kadang menggelitik.



Salam dari Ciledug,

Ciledug, 19 Februari 2010


*dari lagu Iwan Fals, “Belum Ada Judul”



Jumat, 12 Februari 2010

The Lies We Live In

Waktu dan jarak adalah penyembuh luka yang paling baik.


Entah bagaimana tiba-tiba aku ingat kembali pada ucapan sahabatku yang mendadak jadi Begawan yang sangat bijak. Begitulah yang kuingat, ketika perempuan ini meninggalkanku sendirian usai melepas kepergiannya. Gerimis selalu turun tanpa pesan. Senja murung pada mendung yang rawan. Hujan kemudian mengukir gelisah pada dinding senja. Waktu maghrib jatuh, buluh cintaku rapuh*)

*

Kata-kata itu masih terngiang bagai bisikan cinta yang begitu lembut dan mesranya sehingga aku terlena. Hah, tiba-tiba lamunanku ikut terbawa lagu dangdut dari kamar sebelah. Waktu dan jarak bukanlah obat untuk mereka yang terpisah. Bukan pula jadi semacam dimensi penawar luka. Waktu dan jarak adalah pemisah, hijab yang membuat luka ini semakin dalam. Barangkali, aku lupa aku luka.**)

Aku tetap merasa ucapan sahabatku itu benar adanya. Mungkin, yang jadi masalah adalah aku masih saja menyangkalnya. Tidak mudah melupakan seseorang. Apalagi kalau sudah tenggelam dan akhirnya karam di palung hati. Tidak mudah walau mungkin saja satu saat waktu dan jarak menunjukkan kuasanya.

Aku pikir melupakan sesorang itu hanya butuh semalam saja-seperti yang sudah-sudah. Semalam saja, sudah itu tutup buku. Tidak perlu ada lagi catatan atau cerita tentang kenangan yang perlu dibuka kalau hanya membuka luka lama saja.***) Setidaknya, begitu yang aku pikirkan. Sama seperti pesan di inbox Facebook dari cintaku yang jauh di Kangguru****) sana. Sebenarnya, aku lebih suka memanggil nama aslinya namun “Cinta” sepertinya terdengar lebih syahdu untuk dia yang memang lugu. Kami hanya berteman saja. Hampir tidak ada perasaan. Tidak seperti perempuan yang pergi di maghrib itu. Terlalu banyak perasaan untuknya.

*

Who do you need?
Who do you love?
When you come undone,
(Duran-Duran, Come Undone)

Aku kira hidup akan lebih mudah bila aku benar-benar telah melupakannya. Pekerjaan yang semakin menjemukan dan memuakkan sehingga menyita seluruh waktuku ternyata masih cukup ampuh untuk jadi pelarian. Diam-diam ,aku mulai menjalin hubungan dengan hidupku lagi ketika aku mengenal seorang perempuan lainnya. Perempuan yang ini ternyata lebih wanita dari perempuan. Aku jalani hubungan ini dengan biasa saja hampir tanpa perasaan walau kadang ada getar-getar asmara terasa. Semua berjalan biasa saja lagipula aku juga sudah lupa rasanya yang begitu.

Lupakanlah, kita pernah saling cinta
(Atiek C. B., Maafkanlah)

Melupakan dirinya yang pernah melupakanku di maghrib itu memang tidak mudah. Rasanya sama tidak menyenangkannya dengan mengucapkan selamat tinggal pada Jakarta. Aku memang terus berkata tidak mudah pada diriku sendiri. Aku terus menutup kemungkinan-kemungkinan terbaik untuk sampai pada takdirku yang lain.

40 hari setelahnya hidupku berantakan. Aku jadi lebih sensitif dan emosional. Seperti tokoh Retno di Travelers’ Tale. I’m fine. FINE. Frustatic Insecure Neurotic Emotional. Aku nyaris kehilangan pekerjaanku. Aku rupanya cukup pintar untuk menyerang atasanku yang selalu mengejek dengan sindiran halusnya untuk setiap kesalahan yang ia buat-buat sendiri. Tahu apa dia soal pekerjaanku? Untungnya, aku juga tidak cukup bodoh untuk meminta maaf sehingga atasanku mau damai tanpa syarat.

Kalau dalam hari-hari yang empat puluh itu aku menulis sajak mungkin aku bakal jadi saingan Pablo Neruda yang punya karya 20 Love Poems and a Song of Despair. Aku punya dua kali lebih banyak darinya. Seandainya saja itu terjadi, kau tentu bisa membacanya saat ini dan kau tentu pahami juga galaunya hatiku.

*

It takes some times; God knows how long, I know that I can’t forget you,
As soon as my heart stop breathing, anticipating,
As soon as forever is through, I’ll be over you
(TOTO, I’ll be Over You)

Semua telah berubah. Rupanya waktu dan jarak mulai memainkan perannya masing-masing. Menjelma dalam ruang dan waktu hidupku yang tak lagi semu. Aku telah menata kembali perasaanku. Aku mungkin telah kehilangan perasaan itu, entah hilang kemana, dicuri siapa, aku tidak peduli.

Aku sedang tidak melakukan apa-apa sampai ada panggilan masuk di handphoneku.

“Halo…”

Suara perempuan itu lagi. Alunan suara terindah yang pernah kukenal melebihi nikmatnya alunan simfoni no.9 Beethoven. Kami bicara tidak terlalu lama namun entah mengapa hanya mengulang kebiasaan kami dahulu. Seketika perasaan itu mendadak memenuhi dadaku. Apalagi saat dia janjikan bertemu weekend besok. Lebih-lebih lagi ketika akhirnya aku bersepakat dengannya untuk saling menghubungi. Sometimes, it just came naturally that you can’t avoid.

Aku tidak bisa menghindar dari serangan dadakan ini. Aku memang terkejut. Kita memang seharusnya tidak saling bertemu dulu. Hampir setengah tahun dan aku mulai menemukan kembali hidupku. Namun, waktu dan jarak bukan jadi penyembuh luka tapi hanya jadi penimbun luka. Lukanya masih menganga, nanar, dan belum sembuh benar.

Tidak ada perasaan senang ketika aku menemuinya. Hanya senyum kecil dan sedikit rasa tidak percaya kalau akhirnya aku benar-benar bisa melihatnya lagi dekat denganku. Satu sisi, memang aku merasa senang dengan kehadirannya tapi di sisi lain aku menyangkal pertemuan ini karena aku memang sangat ingin melupakannya.

Sejauh yang telah kami lalui hanyalah tentang kenangan dan keceriaan yang dulu sudah lama hilang. Binar matanya memang terlihat lebih jernih saat ini. Tidak ada rasa khawatir menggelayut pada setiap kerutan di keningnya. Dia terlihat begitu senang. Tapi apa mungkin dia bahagia? Aku rasa aku tidak perlu menjawabnya.

Sementara dia mulai bercerita tentang perasaannya, aku mencoba mengalihkan perhatianku pada imajinasiku sendiri. Aku membayangkan sedang berjalan dengannya di La Rambla, Barcelona. Sejauh aku menatap yang kubayangkan hanyalah deretan rumah bergaya mediteran di Lienza, pesisir Mediterania. Anginnya pun kubuat mirip dengan angin musim gugur di Wina.

*

Aku masih dengar ceritanya. Tentang pekerjaan, hidupnya, dan yang terpenting perasaannya kepadaku. Memang sangat tidak menyenangkan untuk melawan perasaan ini. Setidaknya aku tahu bagaimana perasaannya. Aku pun mulai berpikir untuk melupakannya saja. Lagipula, untuk apa dia datang sejauh ini kalau cuma untuk bahas yang beginian. Dia memang tidak tahu bagaimana hidupku di periode empat puluh hari yang itu.

Memang dia menyesali perpisahan kemarin. Menurutku, lebih baik kita anggap saja ini semua sebagai satu kemestian. Tapi dia tidak mau menganggapnya demikian. Perempuan dengan lesung pipi yang merona merah itu masih terus bercerita tentang perasaannya, persis setelah aku tidak lagi dihatinya. Ada banyak lelaki yang bersedia menunggu untuknya. Lihat saja wallnya yang selalu berisi komentar dari lelaki-lelaki itu setiap dia berhasil mengupdate statusnya.

Pernah aku cemburu dan aku menyesalinya sekarang. Perempuan itu masih menyimpan sedikit rasa dihatinya. Aku pun demikian. Namun, sebesar apa? Aku tidak pernah tahu. Lebih tepatnya, tidak mau tahu. Aku tahu bahwa kami berdua memang menyimpan satu kebohongan yang masih kami pendam dan enggan untuk diceritakan.

Kami pasti berbohong bila kami berkata bahwa hidup kami masing-masing akan lebih baik bila dijalani sendiri-sendiri. Kami pasti berbohong bila kami berkata bahwa sudah bisa saling melupakan. Kami memang berbohong bila kami tidak saling membutuhkan. The lies we live in.

Dan kau tahu, rasanya menyimpan kebohongan ini seperti waktu menonton Persib Bandung lawan Persik Kediri. Aku memang senang Persib bisa menang tapi aku juga sakit karena aku juga mendukung Persik. Begitu juga ketika sebelumnya Persib menang lawan Persebaya.

*

Sampai hari ini, sampai senja turun di Bukit Dago yang tidak lagi hijau dengan gerimis yang masih tanpa pesan. Dalam diam, kami saling menyadari kalau kami berdua, aku dan dia, masih menyimpan satu atau banyak kebohongan lainnya.



Pharmindo, 3 Februari 2010
diterbitkan dari Ciledug, Tangerang, 12 Februari 2010


*) dari puisi “Magrib Jatuh”, Esha Tegar Putra. Majalah Horison, Juli 2009, hal.8
**) dari judul lagu “Aku Lupa Aku Luka” dinyanyikan oleh Koil
***) dengan ingatan pada lirik lagu “Memori” dari Ruth Sahanaya. Memori, kau membuka, luka lama
****) mengacu pada judul sajak Chairil Anwar “Cintaku Jauh di Pulau” dan judul cerpen Seno Gumira Ajidarma “Cintaku Jauh di Komodo”

The Books

“Jadi begini ceritanya. Ada konflik perebutan kekuasaan di jajaran kepresidenan Filipina. Yang satu berhaluan komunis dan pihak lainnya menganut demokrasi turunan Amerika. Suatu waktu, kapal patrol China diserang oleh Patroli AL Filipina, di dekat Spratlys Island, di daerah yang terlarang menurut versi masing-masing. Kejadian itu memaksa AL China untuk menembakkan misil berhulu ledak nuklirnya. Kebetulan waktu itu AS sedang dalam persiapan untuk meninggalkan Filipina dengan meninggalkan semua fasilitas pangkalan militernya. Karena, isu nuklir dikhawatirkan membuat panik dunia dengan World War Versi Tiga maka AS harus segera bertindak untuk memastikan apa yang terjadi disana.”

“Lalu?”

“Dengan bantuan satelit terbaru punya mereka yang dibeli dari Sky Masters Inc., Angkatan Udara AS berusaha untuk menemukan sumber ledakan nuklir tersebut. Ketika diperoleh konfirmasi bahwa nuklir tersebut berasal dari misil milik China maka AS memutuskan untuk bertindak. Ditambah lagi ketika ada coup di internal pemerintahan Filipina dengan dibunuhnya Presiden Filipina. Pengkudeta yang berhaluan komunis meminta bantuan China untuk menjadikan negaranya sebagai aneksasi dari China. Sedangkan, pemimpin pemerintahan yang legal meminta bantuan dan dukungan dari AS untuk menangkal setiap kemungkinan serangan dari China. Seperti yang anda duga, AS dan China terlibat dalam konfrontasi militer. Angkatan Udara AS menurunkan bomber-bombernya untuk menghadang serbuan dari Angkatan Laut China. Namun, jangan kaget kalau ternyata ceritanya jadi begini, setelah diplomat-diplomat Gedung Putih berhasil meyakinkan Beijing dan mencapai kesepakatan maka perang pun dihentikan. Republik Filipina kembali sebagai Negara yang berdaulat, tidak sebagai aneksasi dari China maupun sekutu AS.”

“Kira-kira, apa kata kunci yang tepat untuk buku itu?”

“Politik, Kekuasaan, Ekonomi, Bisnis, Militer, Hubungan Diplomatik-Multilateral, Patriotisme, Nuklir, dan Perdamaian.”

“Kesan yang anda dapat dari The Sky Masters ini?”

“Bahwa dalam suatu konflik apalagi yang melibatkan kepentingan-kepentingan banyak Negara atau multilateral diperlukan suatu cara dan formulasi khusus untuk menangkal segala bentuk kerusakan yang mungkin ditimbulkan. Diplomasi tetap memegang peranan yang penting dalam usaha untuk mengakhiri konflik. Militer diperlukan hanya ketika diplomasi sudah mentok, namun itupun lantas tidak jadi satu legitimasi untuk agresi atau serangan militer.”

“Sebelum selesai baca buku ini, buku apa saja yang anda baca sebelumnya, yang bahasa Inggris?”

“Sudah beberapa, tapi kalau untuk novel dan yang halamannya lebih dari 300 halaman sejauh ini sudah empat buku termasuk yang sekarang ini. Ada The Enemy dari Lee Child, Soft Target punyanya Stephen Leather, lalu Plan of Attack dari penulis yang sama. Yang The Enemy masuknya best-seller versi New York Times lho.”

“Apakah ada kesan-kesan khusus dari buku-buku tersebut?”

“Tentu saja ada. Kalau tidak ada kenapa harus ada cerita yang panjang dan njelimet seperti itu. Semuanya ada hubungannya dengan militer. Mereka memberi pelajaran untuk lebih aware dan lebih fleksibel dalam menghadapi setiap kejutan dari hidup ini. Mulai dari menghandle masalah, menyakinkan diri sendiri, sampai menyelesaikan masalah atau malah konflik.”

“Apakah ada korelasinya dengan fiksi-fiksi yang telah anda baca dengan realita saat ini?”

“Ada, beberapa. Terutama menyangkut hubungan bilateral AS-China yang hingga hari ini masih tetap panas dan bergejolak. Mulai dari kesepakatan tariff ekspor, serangan hacker China terhadap Google China, sampai penjualan senjata AS ke Taiwan yang menyulut reaksi pemutusan hubungan bisnis dengan para pedagang senjata legal AS. Belum lagi, keadaan diperparah dengan Obama yang dikabarkan akan menerima Dalai Lama di Washington, yang kontan membuat China makin berang saja. Selebihnya, fiksi yang bercerita tentang hubungan kedua Negara pasca kejatuhan komunis dan perang dingin masih memiliki hibungan yang faktual dengan kondisi mereka saat ini.”

“Berarti, sebuah karya sastra adalah cerminan atas realita?”

“Bisa saja, seperti unsur-unsur realitas-fiksional dalam novel Olenka dari Budi Darma yang tentunya masih bisa diperdebatkan sampai hari ini. Sebagai perbandingan untuk hal ini anda bisa menambahkan Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara dari Seno Gumira Ajidarma. Di bukunya Seno yang itu banyak sekali pembahasan tentang cerminan fakta terhadap fiksi maupun sebaliknya.”

“Buku lainnya yang sedang anda baca?”

“Two Japanese Novelists dari David McClellan. Sebuah minibiografi singkat tentang dua penulis asal Jepang, Natsumi Sosuke dan Shimazaki Toson, baik tentang kehidupan pribadinya maupun proses penciptaan karya-karyanya. Satu buku tentang Kajian Budaya Feminis dari Aquarini, lalu A Countess Below Stairs, novel karya Eva Ibbotson, penulis Inggris.”

“Menarik sekali bahwa pada akhirnya anda membaca juga satu buku yang menafsirkan kehidupan sastra Timur. Apa urgensinya?”

“Waktu saya beli buku itu, saya sedang mencari sesuatu tentang sastra Jepang dan ingin mendapatkan gambaran yang lebih real dari penulisnya. Kebetulan, ada buku itu walau hanya bahas dua orang saja. Saya memang berharap buku ini minimal sama dengan bukunya Korrie Layun Rampan, Tokoh-tokoh Cerita Pendek Indonesia, karena keduanya memang berisi biografi singkat dari penulis beserta satu karyanya.

Analisis tentang buku Jepang ini juga saya rasa harus dibandingkan dengan buku Proses Kreatif yang sampai empat jilid itu, bila kita memang mau membahas proses kreatif penulis Jepang dengan penulis Indonesia. Diluar alasan-alasan itu, saya kadang bermimpi suatu saat turun dari pesawat di Narita sambil memegang buku itu sambil menghirup wangi sakura. Sakura di Narita.

Tetapi, menurut saya yang paling penting adalah bahwa dalam buku itu kita diajak untuk menatap kembali pada keadaan Jepang pasca Restorasi Meiji, tentang bagaimana perkembangan novel Jepang modern yang ditandai dengan karya-karya dari Soseki dan Toson itu sendiri, karena bagaimana pun karya-karya dari mereka berdua mencirikan satu peradaban baru dalam bercerita, yang pada akhirnya mempengaruhi sejarah penulisan novel di Jepang sana.”

“Saya melihat di rak buku, anda juga memiliki buku-buku dari sastrawan Indonesia seperti Kumpulan Sajak Sitor Situmorang, Antologi Lengkap Cerpen A.A Navis, dan Kumpulan Essainya Iwan Simatupang. Anda bisa jelaskan mengapa?”

“Ketiga buku itu bisa disebut sebagai monumen-monumen sastra Indonesia. Ketiganya punya ciri khas masing-masing dalam setiap karyanya. Sitor sering menulis dan bercerita tentang pengembaraannya di Leiden, Amsterdam, hingga ke Lembah Sungai Yang Tze di China sana. A.A Navis dengan cerpennya yang penuh dengan nada sindiran, mengejek, dan sinis, kadang-kadang dengan ironi yang tajam. Iwan Simatupang menjadi sangat menarik tidak hanya karena banyak cerpennya yang inkonvensional dan isinya memberi pencerahan karena bobot pikiran yang sangat berharga bagi kehidupan. Beliau juga sering menambahkan bumbu-bumbu filsafat eksistensialisme dari Kierkegaard dan tokoh-tokoh lainnya yang ia anut selama tinggal di Eropa sana sehingga setiap karyanya menjadi menarik untuk dipelajari.”

“ Terakhir, tiga judul buku yang ingin anda baca saat ini?”

“Tea for Two dari Clara Ng, satu buku dengan judul yang cukup menggoda. Rekayasa Fiksi punyanya Fariz R.M, si pelantun tembang Barcelona itu yang bercerita tentang penciptaan karya-karyanya. Terakhir, Goenawan Muhammad dengan Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai, yang versi bahasa maupun yang bahasa Inggris.”



Pharmindo, 5 Februari 2010
diterbitkan di Ciledug, Tangerang, 12 Februari 2010




Selasa, 02 Februari 2010

The Interview

“Bisa ceritakan awal perjalanan karir anda?”

“Saya merintis catatan karir saya dari seorang project officer di sebuah non-profit organization. Suatu pengalaman yang kelak memberikan saya pelajaran berharga untuk lebih menghargai hidup ini. Lalu, saya bergabung dalam satu organisasi internasional dalam bidang advokasi hukum dan hak azasi manusia.”

“Apakah anda pernah bertanya mengapa saya harus memilih pekerjaan itu?”

“Kadang-kadang saya melakukannya. Tapi, ada banyak hal yang kadang tidak perlu bertanya dua kali untuk melakukannya. It just came naturally.”

“Apakah anda sering menemui masalah dalam pekerjaan sebelumnya?”

“Semua orang punya masalahnya masing-masing. Entah yang berhubungan dengan pekerjaannya atau pun yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya. Saya juga punya masalah, namun saya harus tetap menghadapinya dan menyelesaikannya.”

“Bagaimana pendapat anda tentang masalah yang tidak dapat diselesaikan?”

“Semua ada jalan keluarnya. Lihat dan amati faktor penyebab masalah itu lalu segera tentukan solusinya. Bila belum bisa selesai juga berarti ada masalah dalam sistem.”

“Mengapa anda begitu yakin dengan hal tersebut?”

“Sebuah sistem yang berjalan baik tentu tidak akan menjadi penghalang bagi sistem pendukung lainnya maupun output dari sistem itu sendiri. Mereka bergerak sebagai satu kesatuan yang saling berkaitan”

“Anda kelihatan selalu optimistis apapun yang terjadi. Apa rahasianya?”

“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Maka, lakukan saja yang terbaik semampunya, jaga komitmen, tetap fokus, dan selalu berdoa.”


**


“Apakah anda pernah mengalami suatu masa yang penuh kesulitan, dalam kehidupan pribadi, pekerjaan, maupun secara sosial?”

“Ya, tentu saja. Saya rasa anda juga pernah mengalaminya. Semua itu tergantung pada sejauh mana kemampuan kita untuk mengatasi hal-hal tersebut. Tetap tenang itu kuncinya.”

“Bagaimana anda bisa tetap tenang di saat-saat sulit?”

“Itu adalah saat yang berat, tetapi jika kita mampu untuk tetap berpandangan positif dan yakin bahwa masa-masa sulit ini akan terlewati, maka anda akan bisa tenang sambil tetap melakukan perubahan-perubahan agar tidak menemui kesulitan seperti itu lagi.”

“Apakah anda cenderung membandingkan diri dengan kawan-kawan yang lain, untuk mengukur sejauh mana kesuksesan anda?”

“Tentunya definisi sukses itu relatif dan berbeda bagi setiap orang. Saya tidak membanding-bandingkan diri saya hanya untuk mengukur sesuatu yang ukurannya masih relatif walaupun kadang untuk beberapa hal tindakan seperti itu diperlukan. Lagipula, saya cukup puas dengan keadaan saya sekarang sehingga tidak perlu melihat orang lain lagi.”


**


“Apakah rasa optimisme anda masih dengan tahun-tahun sebelumnya?”

“Ya, tentu saja. Bila tahun 2009 kemarin kita semua dibayangi oleh resesi ekonomi global kini memasuki 2010 rasanya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak optimis apalagi dengan AFTA yang sudah didepan mata. Optimisme adalah sebuah perasaan yang patut dijaga agar mampu memotivasi diri.”

“Apakah anda terkejut dengan loncatan karir anda?”

“Saya memulai karir profesional sejak masih kuliah. Itupun kadang-kadang dengan bayaran yang tidak sebanding. Namun, pengalaman telah mengajarkan saya bahwa ada jenjang-jenjang atau tingkatan yang harus dilewati untuk mencapai suatu tujuan. Saya tidak pernah terkejut dengan hal itu. Pun, ketika saya harus jadi pengangguran.”

“Apakah anda pernah punya masalah dengan partner kerja?”

“Pernah, beberapa kali. Saya pernah dicap sebagai pembangkang oleh atasan saya hanya karena saya tidak mau mengikuti perintahnya untuk sesuatu yang tidak masuk akal. Kadang perintahnya hanya menyiratkan ketidakmampuan atasan saya untuk mencari solusi atas semua permasalahan yang dia hadapi.”

“Selanjutnya, apakah semua itu berpengaruh terhadap anda dan pekerjaan anda?”

“Tentunya itu berpengaruh seputar relasional dalam profesionalitas saja. Selebihnya tidak ada pengaruh yang berarti. Saya pikir lebih baik kita saling menghargai komitmen dan tanggung jawab masing-masing.”

“What is the biggest fear for your career?”

“I’m afraid if there would be no one to trust me anymore. So, I always do my best and keep reliable to rely on.”


***


Gadis yang mengenakan blazer merah dipadu dengan celana panjang Editor Series dari The Executive itu masih menatap pada lembaran-lembaran kertas kerjanya. Catatan-catatan yang ia kumpulkan untuk menganalisa setiap jawaban yang meluncur dari mulut si calon pegawai. Lembaran itu kini bertambah banyak. Maka, bertambah pulalah tugasnya. Satu per satu ia amati kembali lembaran yang dipenuhi coretan tinta merahnya. Ada banyak yang memberi kesan bagus untuknya. Namun, ia masih bingung untuk memutuskan.

Senja kemerahan telah mengisyaratkan untuk menutup hari. Sungguh hari yang melelahkan baginya. Tapi ia tidak dapat mengeluh karena itu memang sudah jadi pekerjaannya. Bergulat dengan kiasan-kiasan manis yang kadang terdengar begitu merdu memanjakan telinganya. Beberapa terdengar klise dan terkesan normatif baginya. Kadang ia terbayang pada kekasihnya yang telah memberikan suatu kenikmatan terindah seperti senja diluar sana. Sementara mega berarak menemani matahari yang cahayanya mulai pudar, ia masih duduk disitu memeriksa kembali setiap catatannya sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya.

Tidak ada waktu untuk menunda pekerjaannya. Ia tahu, esok hari akan lebih banyak lagi yang akan ia kerjakan. Ia pun belum merasa bosan. Secangkir espresso latte menemaninya dan telah membasahi kerongkongannya yang mulai terasa kering. Malam sudah turun menyibakkan layarnya. Ia telah tiba pada lembaran terakhirnya. Ia tuliskan sebuah catatan kecil di ujung kanan atas dengan tinta merahnya: They're all not recommended.



Cimahi, 2 Februari 2010

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...