Jumat, 12 Februari 2010

The Books

“Jadi begini ceritanya. Ada konflik perebutan kekuasaan di jajaran kepresidenan Filipina. Yang satu berhaluan komunis dan pihak lainnya menganut demokrasi turunan Amerika. Suatu waktu, kapal patrol China diserang oleh Patroli AL Filipina, di dekat Spratlys Island, di daerah yang terlarang menurut versi masing-masing. Kejadian itu memaksa AL China untuk menembakkan misil berhulu ledak nuklirnya. Kebetulan waktu itu AS sedang dalam persiapan untuk meninggalkan Filipina dengan meninggalkan semua fasilitas pangkalan militernya. Karena, isu nuklir dikhawatirkan membuat panik dunia dengan World War Versi Tiga maka AS harus segera bertindak untuk memastikan apa yang terjadi disana.”

“Lalu?”

“Dengan bantuan satelit terbaru punya mereka yang dibeli dari Sky Masters Inc., Angkatan Udara AS berusaha untuk menemukan sumber ledakan nuklir tersebut. Ketika diperoleh konfirmasi bahwa nuklir tersebut berasal dari misil milik China maka AS memutuskan untuk bertindak. Ditambah lagi ketika ada coup di internal pemerintahan Filipina dengan dibunuhnya Presiden Filipina. Pengkudeta yang berhaluan komunis meminta bantuan China untuk menjadikan negaranya sebagai aneksasi dari China. Sedangkan, pemimpin pemerintahan yang legal meminta bantuan dan dukungan dari AS untuk menangkal setiap kemungkinan serangan dari China. Seperti yang anda duga, AS dan China terlibat dalam konfrontasi militer. Angkatan Udara AS menurunkan bomber-bombernya untuk menghadang serbuan dari Angkatan Laut China. Namun, jangan kaget kalau ternyata ceritanya jadi begini, setelah diplomat-diplomat Gedung Putih berhasil meyakinkan Beijing dan mencapai kesepakatan maka perang pun dihentikan. Republik Filipina kembali sebagai Negara yang berdaulat, tidak sebagai aneksasi dari China maupun sekutu AS.”

“Kira-kira, apa kata kunci yang tepat untuk buku itu?”

“Politik, Kekuasaan, Ekonomi, Bisnis, Militer, Hubungan Diplomatik-Multilateral, Patriotisme, Nuklir, dan Perdamaian.”

“Kesan yang anda dapat dari The Sky Masters ini?”

“Bahwa dalam suatu konflik apalagi yang melibatkan kepentingan-kepentingan banyak Negara atau multilateral diperlukan suatu cara dan formulasi khusus untuk menangkal segala bentuk kerusakan yang mungkin ditimbulkan. Diplomasi tetap memegang peranan yang penting dalam usaha untuk mengakhiri konflik. Militer diperlukan hanya ketika diplomasi sudah mentok, namun itupun lantas tidak jadi satu legitimasi untuk agresi atau serangan militer.”

“Sebelum selesai baca buku ini, buku apa saja yang anda baca sebelumnya, yang bahasa Inggris?”

“Sudah beberapa, tapi kalau untuk novel dan yang halamannya lebih dari 300 halaman sejauh ini sudah empat buku termasuk yang sekarang ini. Ada The Enemy dari Lee Child, Soft Target punyanya Stephen Leather, lalu Plan of Attack dari penulis yang sama. Yang The Enemy masuknya best-seller versi New York Times lho.”

“Apakah ada kesan-kesan khusus dari buku-buku tersebut?”

“Tentu saja ada. Kalau tidak ada kenapa harus ada cerita yang panjang dan njelimet seperti itu. Semuanya ada hubungannya dengan militer. Mereka memberi pelajaran untuk lebih aware dan lebih fleksibel dalam menghadapi setiap kejutan dari hidup ini. Mulai dari menghandle masalah, menyakinkan diri sendiri, sampai menyelesaikan masalah atau malah konflik.”

“Apakah ada korelasinya dengan fiksi-fiksi yang telah anda baca dengan realita saat ini?”

“Ada, beberapa. Terutama menyangkut hubungan bilateral AS-China yang hingga hari ini masih tetap panas dan bergejolak. Mulai dari kesepakatan tariff ekspor, serangan hacker China terhadap Google China, sampai penjualan senjata AS ke Taiwan yang menyulut reaksi pemutusan hubungan bisnis dengan para pedagang senjata legal AS. Belum lagi, keadaan diperparah dengan Obama yang dikabarkan akan menerima Dalai Lama di Washington, yang kontan membuat China makin berang saja. Selebihnya, fiksi yang bercerita tentang hubungan kedua Negara pasca kejatuhan komunis dan perang dingin masih memiliki hibungan yang faktual dengan kondisi mereka saat ini.”

“Berarti, sebuah karya sastra adalah cerminan atas realita?”

“Bisa saja, seperti unsur-unsur realitas-fiksional dalam novel Olenka dari Budi Darma yang tentunya masih bisa diperdebatkan sampai hari ini. Sebagai perbandingan untuk hal ini anda bisa menambahkan Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara dari Seno Gumira Ajidarma. Di bukunya Seno yang itu banyak sekali pembahasan tentang cerminan fakta terhadap fiksi maupun sebaliknya.”

“Buku lainnya yang sedang anda baca?”

“Two Japanese Novelists dari David McClellan. Sebuah minibiografi singkat tentang dua penulis asal Jepang, Natsumi Sosuke dan Shimazaki Toson, baik tentang kehidupan pribadinya maupun proses penciptaan karya-karyanya. Satu buku tentang Kajian Budaya Feminis dari Aquarini, lalu A Countess Below Stairs, novel karya Eva Ibbotson, penulis Inggris.”

“Menarik sekali bahwa pada akhirnya anda membaca juga satu buku yang menafsirkan kehidupan sastra Timur. Apa urgensinya?”

“Waktu saya beli buku itu, saya sedang mencari sesuatu tentang sastra Jepang dan ingin mendapatkan gambaran yang lebih real dari penulisnya. Kebetulan, ada buku itu walau hanya bahas dua orang saja. Saya memang berharap buku ini minimal sama dengan bukunya Korrie Layun Rampan, Tokoh-tokoh Cerita Pendek Indonesia, karena keduanya memang berisi biografi singkat dari penulis beserta satu karyanya.

Analisis tentang buku Jepang ini juga saya rasa harus dibandingkan dengan buku Proses Kreatif yang sampai empat jilid itu, bila kita memang mau membahas proses kreatif penulis Jepang dengan penulis Indonesia. Diluar alasan-alasan itu, saya kadang bermimpi suatu saat turun dari pesawat di Narita sambil memegang buku itu sambil menghirup wangi sakura. Sakura di Narita.

Tetapi, menurut saya yang paling penting adalah bahwa dalam buku itu kita diajak untuk menatap kembali pada keadaan Jepang pasca Restorasi Meiji, tentang bagaimana perkembangan novel Jepang modern yang ditandai dengan karya-karya dari Soseki dan Toson itu sendiri, karena bagaimana pun karya-karya dari mereka berdua mencirikan satu peradaban baru dalam bercerita, yang pada akhirnya mempengaruhi sejarah penulisan novel di Jepang sana.”

“Saya melihat di rak buku, anda juga memiliki buku-buku dari sastrawan Indonesia seperti Kumpulan Sajak Sitor Situmorang, Antologi Lengkap Cerpen A.A Navis, dan Kumpulan Essainya Iwan Simatupang. Anda bisa jelaskan mengapa?”

“Ketiga buku itu bisa disebut sebagai monumen-monumen sastra Indonesia. Ketiganya punya ciri khas masing-masing dalam setiap karyanya. Sitor sering menulis dan bercerita tentang pengembaraannya di Leiden, Amsterdam, hingga ke Lembah Sungai Yang Tze di China sana. A.A Navis dengan cerpennya yang penuh dengan nada sindiran, mengejek, dan sinis, kadang-kadang dengan ironi yang tajam. Iwan Simatupang menjadi sangat menarik tidak hanya karena banyak cerpennya yang inkonvensional dan isinya memberi pencerahan karena bobot pikiran yang sangat berharga bagi kehidupan. Beliau juga sering menambahkan bumbu-bumbu filsafat eksistensialisme dari Kierkegaard dan tokoh-tokoh lainnya yang ia anut selama tinggal di Eropa sana sehingga setiap karyanya menjadi menarik untuk dipelajari.”

“ Terakhir, tiga judul buku yang ingin anda baca saat ini?”

“Tea for Two dari Clara Ng, satu buku dengan judul yang cukup menggoda. Rekayasa Fiksi punyanya Fariz R.M, si pelantun tembang Barcelona itu yang bercerita tentang penciptaan karya-karyanya. Terakhir, Goenawan Muhammad dengan Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai, yang versi bahasa maupun yang bahasa Inggris.”



Pharmindo, 5 Februari 2010
diterbitkan di Ciledug, Tangerang, 12 Februari 2010




Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...