Minggu, 25 April 2010

An Ode to Parahyangan: The Legend has Landed (I’ll be Missing You)

Ada semacam perasaan yang mengganggu kala mendengar kabar bahwa KA Parahyangan jurusan Bandung – Jakarta harus diberhentikan dengan alasan merugi. Kalau benar 27 April nanti KA Parahyangan harus berhenti beroperasi berarti itu memang sudah takdirnya. Itu juga merupakan satu konsekuensi dari pembangunan atas nama bisnis. Sejak Tol Cipularang diresmikan dan digunakan pertama kalinya tepat pada selebrasi 50 tahun Konferensi Asia Afrika bulan April 2005 mulai dirasakan kekhawatiran akan keberlangsungan moda transportasi kereta api.

Bukan hanya itu saja. Persaingan dalam bisnis transportasi pun semakin sengit kala jasa travel mulai bermunculan. Tak pelak lagi, atas berbagai alasan tadi KA Parahyangan terpaksa harus mengalah karena loading rationya tidak mencapai 80% atau dengan kata lain merugi terus dalam lima tahun belakangan ini. Konon, kerugiannya mencapai Rp. 36 Milyar per tahun, jumlah yang sedikit lebih besar dari uang yang dipertaruhkan Gayus Tambunan untuk mengakali Negara.

Penurunan harga sebagai imbas dari bersaingnya harga tiket KA dengan travel dan moda transportasi darat lain memang jadi alternatif. Dengan harga tiket sempat mengalami penurunan baik untuk KA Argo Gede dan KA Parahyangan ternyata belum cukup untuk menutupi kerugian biaya operasional. Lagipula, peak season untuk KA jurusan Bandung – Jakarta (selain mudik) adalah setiap liburan akhir pekan, sejak Jum’at sore sampai Senin dini hari dengan KA Parahyangan yang berangkat pukul 04.00.




Saya menjadi penumpang tetap KA Parahyangan sejak November 2008 hingga Maret 2009, setiap dua minggu sekali untuk kembali ke Jakarta. Alasan saya waktu itu karena perhitungan waktu yang ideal. Saya benci bila harus meninggalkan Bandung sesegera mungkin untuk memulai aktivitas awal pekan di Jakarta. Makanya, KA Parahyangan yang berangkat setiap pukul 14.55 di hari Minggu selalu jadi favorit. Selidik punya selidik, ternyata kereta yang selalu saya tumpangi itu hanya tersedia setiap akhir pekan saja.

Kalau diingat lagi, saya selalu benci bila harus menceritakan ini semua. Saya selalu benci pada bunyi lonceng keberangkatan kereta yang berbunyi 5 menit sebelum kereta berangkat. Belum lagi ketika mendengar pesan dari MC lewat corong speaker, “Kami beritahukan kepada para penumpang KA Parahyangan tujuan Jakarta, berhenti Bekasi, Jatinegara, Gambir, kami persilahkan untuk segera menaiki kereta yang tersedia di jalur 4 karena kereta akan segera diberangkatkan.” Lebih baik mendengarkan khotbah Jum’at yang paling membosankan sekalipun dibandingkan dengan harus mendengarkan lonceng dan kalimat itu lagi. Biasanya, tak lama kemudian masinis akan membunyikan klakson kereta yang berbarengan dengan suara decitan dari gesekan logam roda kereta dengan rel. Rasanya, waktu perpisahan telahtiba dan saya selalu mendadak jadi sentimentil.

Saya lebih memilih KA Parahyangan karena ada kelas bisnisnya. Kelas bisnis yang tidak pernah membuat saya miris karena tidak bisa merokok. Sayangnya, saya belum pernah duduk di kelas bisnis dengan seorang gadis*. Alasan lainnya, karena harga tiketnya yang murah dan waktu keberangkatan yang match dengan jadwal hidup saya. Dibandingkan dengan adiknya, KA Argo Gede, KA Parahyangan memberikan saya kenyamanan yang luar biasa walau dengan bangku yang keras tanpa reclining seat dan pijakan kaki, dan juga kipas angin rumahan yang tidak pernah berhenti. Bagi saya, rasanya terlalu mewah dan terlalu singkat untuk sekedar pergi ke Bandung dengan KA Argo Gede. Memang rasanya jelas berbeda, seperti jadi raja yang kedinginan (pengaruh AC). Tentu akan berbeda bila tujuannya ke Yogyakarta atau Surabaya. Saya tentu akan memilih KA level Argo.

Ada beberapa momen yang tidak terlupakan dengan KA Parahyangan. Seperti waktu kehabisan tiket duduk sehingga harus berdiri dalam gerbong yang penuh sepanjang perjalanan Jatinegara - Bandung. Kadang-kadang, baru bisa “ngampar” beralaskan koran setelah Stasiun Purwakarta. What a boring trip, tapi disitulah seninya naik kereta. Kita bisa lebih akrab dengan penumpang lainnya. Lha wong sama-sama pulang ke Bandung jadi obrolan-obrolan yang lebih personal dan seputar Kota Bandung akan lebih terasa.

Berbeda dengan KA Argo Gede, dimana penumpangnya lebih banyak memilih untuk diam dalam kenyamanan dan sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan, dengan teman sebangku pun bisa saling cuek bebek. Sungguh suasana yang berbeda dan seperti ada sesuatu yang hilang. Kalau sudah begitu, kadang saya tersadar bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu tidak selalu tetap dan ajeg. Ada kalanya kita ini merasa menjadi manusia dan ada pula waktunya kita merasa tidak jadi manusia, walau berwujud manusia.

Saya terakhir kali naik KA Parahyangan tanggal 30 November 2009, hari Senin, pukul 13.30 dari Gambir. Sampai saat ini saya tidak menyangka bahwa itu adalah perjalanan terakhir saya. Kalau ada yang bisa saya kenang dari perjalanan terakhir saya itu hanyalah tiket kereta yang tersimpan rapi bersama tumpukan tiket bis Primajasa. Saya juga tidak akan pernah lupa pada pemandangan sepanjang perjalanan. Pemandangan yang menyadarkan dan membuka mata bahwa memang ada kehidupan seperti yang saya lihat. Sejak dari Monas yang terlihat tetap tegak di belantara skyscrapers Jakarta, kumuhnya Manggarai, hamparan sawah dan ladang di Karawang hingga gelapnya terowongan di Purwakarta yang kalau seandainya perjalanan akan berlangsung seperti itu terus rasanya mungkin seperti perjalanan menuju ketiadaan.

Akhirul Kalam, untuk saya pribadi KA Parahyangan telah memberikan kesan khusus sehingga maknanya akan lebih dari sekedar alat transportasi. Saya memang bukan pelanggan tetap KA Parahyangan, yang lebih memilih Hino Primajasa dibandingkan dengan Sang Legenda yang mulai beroperasi sejak 31 Juli 1971. Begitulah hidup dengan setiap episodenya. Ada yang datang, ada yang pergi,musim selalu berganti but memories will linger forever. Menirukan Anita Tourisia, tiket kereta itu akan kusimpan selalu sebagai pengingat rindu**.



Paninggilan, 25 April 2010, 15.29


*dari lirik lagu “Antrilah di Loket” dipopulerkan oleh Padhyangan Project
**dari lirik lagu “Selendang Merah” dinyanyikan oleh Anita Tourisia


Sabtu, 24 April 2010

Pesan Kebahagiaan

Suatu hari datang seorang kawan mengetuk pintu kamarku. Aku pikir itu tukang pos karena aku sedang menantikan kiriman surat dari kekasihku. Tetapi, dugaanku salah karena kawanku itu sudah berdiri tegak menunggu pintu dibuka. Setelah mengucap salam dan berjabat tangan aku menyuruhnya masuk ke dalam kamar.

Aku pikir ia datang tadi untuk meneruskan diskusi kemarin, tentang kenapa Herman van Rompuy-Presiden Uni Eropa yang pertama asal Jerman- menulis haiku, tentang kenapa pesawat kepresidenan Polandia masih menggunakan Antonov bukan Boeing atau Airbus yang menyebabkan mendiang Presiden Polandia, Lech Kaczynski meninggal, dan juga tentang sisa-sisa peninggalan komunisme di Republik Czech. Waktu itu, diskusi terhenti ketika sampai pada pembahasan sebuah quote “freedom is one thing, while the free market is just another term for dictatorship of the dollar”. Kami yang memang sama-sama lelah walau memakai kopi dan rokok untuk doping tetap saja kalah oleh rasa kantuk yang luar biasa.

Tanpa basa-basi, kawanku itu minta aku bercerita tentang kebahagiaan. Aku heran kenapa kali ini ia begitu ingin mendapatkan sesuatu tentang kebahagiaan. Aku memang bukan tukang cerita tetapi aku selalu senang bila ada seseorang yang memintaku melakukannya. Karena ia bukan malaikat yang sedang menyamar dan sedikit memaksa akhirnya aku ceritakan juga.

*

Tanzilal azizir rahim....

Kebahagiaan ada dimana-mana bagi mereka yang menghendakinya. Entah disadari atau tidak kebahagian selalu bersama kita dan ada dalam setiap detak jantung. Kebahagiaan selalu mengisi setiap aliran darah. Makanya, aku tidak percaya waktu seorang kawan mengirim SMS berisi penggalan ayat dari Surat Yasin diatas dan juga berpesan untuk menyebarkannya ke 10 nomor lainnya dan hebatnya lagi setelah melakukan itu akan mendapat kebahagiaan. Nonsense.

Itu bukan kali pertama aku mendapatkan pesan-pesan yang seperti itu. Dulu, waktu masih SD, seseorang pernah memberiku selembaran yang berisi petuah dan nasihat penjaga makam Nabi Muhammad SAW. Petuah dan nasihatnya itu memang ada benarnya secara syariat walaupun standar saja. Yang mengherankan adalah ketika itu, aku lihat ayahku langsung merobek-robek dan membuang begitu saja lembaran itu. Aku pikir tindakannya salah tetapi kemudian ayahku bilang kalau itu hanyalah “hoax” yang menguji keimanan.

Kalau memang kebahagiaan akan didapatkan setelah menyebarkan isi pesan tersebut kepada beberapa penerima tentu saja telah terjadi ketidakadilan di dunia yang semakin tua ini. Kebahagiaan adalah milik semua orang tanpa terkecuali bahkan koruptor sekalipun. Rasanya diskriminatif sekali kalau hanya kebahagiaan itu milik orang yang punya handphone saja.

Masalah kebahagiaan sebenarnya ada dalam pikiran masing-masing. Kebahagiaan tidak hanya terletak pada rasa senang atas suatu pencapaian. Kebahagiaan bisa ditemukan dimana saja bahkan dalam lorong gelap sekalipun. Apakah ada yang salah dengan kebahagiaan sehingga untuk memperolehnya saja kita harus bersusah-susah mengirimi kawan-kawan kita SMS satu per satu supaya kebahagiaan itu benar adanya? Aku kira tidak. Kebahagiaan ada dalam diri setiap manusia dan pikiran lah yang membuatnya benar-benar ada.

Aku memang bahagia dengan apa yang aku punyai saat ini. Aku selalu berusaha untuk selalu merasakan kebahagiaan bahkan dalam kepahitan sekalipun. Kepahitan yang rasanya mungkin lebih pahit dari Kopi Aceh atau Teh Hijau asli Tiongkok tanpa gula. Kadang terlintas dalam pikiranku bahwa hidup yang selalu berada dalam kebahagiaan pun kadang membosankan. Justru, dengan adanya kesusahan, kepahitan, kesialan, dan ketidakberuntungan itulah yang membuat kita semakin menyadari arti kebahagiaan.

Kalau memang aku ingin mendapatkan kebahagiaan tidak cukup hanya dengan menyebarkan pesan-pesan yang diklaim akan mendatangkan kebahagiaan. Perlu ada usaha lebih dengan terus berusaha. Itu terdengar lebih masuk akal dibandingkan dengan bersembunyi dibalik kedok agama apalagi sampai membawa-bawa ayat dalam Kitab Suci. Sama saja dengan para Ulama yang mengharamkan rokok padahal mereka juga merokok.

Kalau engkau sampai bertanya padaku apakah aku melakukan sesuai yang diperintahkan isi SMS itu, maka dengan senang hati aku jawab tidak. Tetapi, barangkali kalau kau sampai ingin mencobanya silakan. Itu tergantung pikiranmu. Pikiranlah yang ikut memberi makna pada kebahagiaan dan karena itu bisa jadi sangat berarti.

*

Aku tidak bisa bercerita lebih banyak karena aku takut disangka sok tahu. Tapi, lebih baik sok tahu daripada tidak tahu sama sekali. Begitu kawanku menimpali perkataanku. Kebahagiaan tidak akan pernah berhenti pada satu titik. Ia akan selalu menjelma dan menyublim dalam bentuk lain di kehidupan ini.

Rasanya, kawanku ini masih ingin tetap bersamaku. Belum ada komentar darinya tentang kebahagiaan. Sementara, aku masih berpikir bahwa kawanku ini sedang mencari kebahagiaan atau malah mencari pembenaran tentang kebahagiaan yang mungkin baru saja didapatkannya. Kalau ia masih berkenan barangkali kami berdua akan meneruskan diskusi kemarin dengan sedikit topik tambahan, tentang kenapa jersey Timnas Jerman masih bergaya konvensional dan konservatif serta hubungan sejarah Piala Dunia dengan Unifikasi Jerman. Barangkali saja.



Paninggilan, 24 April 2010, 18.17

Sesaat Sebelum Berpisah

“Kenapa datang kemari?”

“Aku merasa harus menemuimu sekarang.”

“Untuk?”

“I dont know exactly but i have to see you now.”

“For what reason?”

Aku menemuinya di suatu sore yang biasa bahkan hampir mendung ketika cahaya matahari mulai terbenam. Akhir-akhir ini aku merasa harus menemuinya. Ada yang ingin aku bicarakan tetapi aku tidak yakin apakah aku dapat mengungkapkannya. Harus kuakui lelaki ini memang pandai membuatku jatuh hati. Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan untuk menemuinya. Aku selalu bisa menemuinya kapanpun aku mau tanpa harus membuat janji lebih dulu. Aku selalu tahu dimana lelaki itu berada. Ia pun tidak pernah merasa kaget bila tiba-tiba bertemu denganku. Aku hanya khawatir akan ada sesuatu yang terjadi. Apakah itu, aku belum tahu.


“Dia sudah cerita?”

“Tidak, tapi aku sudah tahu.”

“So, what do you think?”

“I dont want to discuss on that things right now.”

“Terus, kamu mau ngapain? Seharian menunggu gelap?”

“Aku harus pergi.”

“Kemana?”

“Bukan urusanmu.”

“Katakan kemana?”

“Apa itu penting buatmu?”

“Aku pergi untuk diriku sendiri saja, tak perlu ada orang lain yang tahu apalagi sampai peduli.”

“Kamu selalu begitu.”

“Ya, beginilah aku.”

“Kamu memang tidak pernah peduli.”

“Peduli apa lagi? Perasaanmu?”

“...............”

Benar saja. Aku mengalami kegugupan luar biasa saat menghadapinya. Lelaki itu terlihat tidak seperti biasanya. Seperti ia sudah tahu semuanya. Barangkali juga ia sudah tahu aku menyimpan perasaan untuknya. Seperti yang aku kenal, lelaki ini akan pergi begitu saja. Entah karena tidak mampu meredam perasaannya sendiri atau karena hal lain tetapi aku merasa berhak untuk suatu penjelasan. Walau pada akhirnya, mungkin ia akan meninggalkanku lagi.

Aku memang berhak untuk mendapatkan penjelasannya. Aku juga ingin tahu apa alasannya. Apakah setelah pertemuan dengan kekasihnya kemarin lantas ia memutuskan untuk pergi? Aku rasa masih banyak kemungkinan.

“Jawab, Mbak. Apakah itu?”

“...............”

“Kalau Mbak nggak mau bilang sekarang juga tidak apa-apa. Aku akan tetap pergi.”

“Kenapa harus pergi?”

“Aku harus pergi. Mungkin untuk mencari sebatang rumput di padang ilalalang.”

“Aku ikut denganmu.”

“Tidak, Mbak. Untuk apa?”

“Aku ikut denganmu.”

“Tidak. Tidak, Mbak.”

“Aku harus menemukan hidupku sendiri.”

“Bukankah kita bisa mencarinya bersama-sama.”

“Kita?”

“Ya. Kita. Kamu dan aku.”

“Mbak, sudah terlanjur punya hidup sendiri disini. Mengapa harus menyiakannya untuk orang seperti aku ini?”

“Aku percaya padamu.”

“Mbak, tolong mengerti.”
“Aku harus ikut denganmu.”

“Tidak, Mbak. Tidak.”

“Kenapa kamu selalu menolak? Kamu memang tidak peduli!”

“Ya, aku memang tidak pernah peduli. Aku hanya peduli diriku sendiri saja.”

Tiba-tiba aku menjadi orang yang paling bodoh sedunia. Aku kehilangan kontrol atas perkataanku. Aku datang menemuinya hanya untuk sekedar bicara tetapi yang terjadi malah jauh dari itu. Bahkan, aku hampir terlibat dalam konfrontasi dengannya. Aku terus mendesaknya. Aku terlalu memaksanya untuk sebuah penjelasan yang kuinginkan. Aku pikir, ketika seseorang ingin meninggalkanmu kau tentu berharap sebuah penjelasan walau kadang tak adil untukmu. Aku merasa berhak untuk mendapatkan penjelasan itu sebelum lelaki itu benar-benar pergi.

“Sekarang katakan kenapa kamu harus pergi?”

“Aku merasa sudah saatnya.”


“Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, kepadanya, kepadaku?”
“Maksud, Mbak?”

“Ya, kamu telah meninggalkan kesan yang dalam, tidak hanya padanya tetapi juga kepadaku. Alangkah bodohnya aku karena ternyata kamu sama saja.”

“Itu karena aku lelaki.”

“Seperti teko!”

“Dia juga bilang begitu.”

“Kenapa kamu harus pergi? Kamu ingin menjauh dariku?”

“Bukan begitu.”

“Lalu?”

“Ada sesuatu yang mengganggu.”

“Aku harap itu bukan aku.”

“Memang, Mbak. Itu bukan Mbak.”

“Lalu apa?”

“Aku tidak bisa ceritakan sekarang.”

“Apakah mimpi-mimpimu mengejarmu lagi?”

“Kurang lebih begitu.”

“Mimpi macam apa?”

“Kenapa Mbak harus tahu?”

“Karena aku ingin mengetahuinya.”

“Percuma, tidak akan ada artinya Mbak.”

“Pasti ada. Setidaknya aku tidak akan terlalu penasaran kalau kamu jadi pergi.”

“Percayalah, Mbak. Aku tidak akan melupakan apa yang telah terjadi.”

“Gampang sekali kamu bilang begitu.”

“Itulah gunanya mulut dan lidah yang tak bertulang.”

“Katakan kenapa?”

“Kamu tidak akan mengerti, Mbak”

“Katakan kenapa?”

“Percuma saja, Mbak. Tidak ada lagi yang harus diceritakan. Selamat tinggal.”

Aku mencoba untuk menahannya. Dekapan tangannya membuatku tak kuasa untuk menahannya lagi. Ia tidak mungkin berlaku kasar kepadaku. Aku mendengar ia membisikkan sesuatu.

“You always know where i am.”

Aku berteriak memanggil namanya. Lelaki itu terus berlalu menjauh tidak menghiraukanku. Aku mulai menangis namun masih memanggil namanya. Aku tidak bisa mengejarnya. Aku mematung di sisi jalanan yang mulai sepi. Aku mencoba untuk menerima kenyataan ini. Bahwa, betapa kini aku rasakan perasaan yang sangat kosongnya. Aku mungkin telah kehilangan lelaki itu. Tetapi bisa saja tidak, kalau barangkali pesan terakhirnya itu memang benar.




Paninggilan, 24 April 2010, 16.49

Minggu, 18 April 2010

Last Impression

I saw her standing there
With a full glass of rain
The night was singing
Solitude of jazzy midnight

By the time she stood there
Autumn wind passing me by
Leaving a bitter sad fragrance
What can be said by trembling heart?


Paninggilan, 18 April 2010, 02.18

Jumat, 16 April 2010

She Wasn’ t The One (Who Made Me Promise)

“Kenapa teh hitam?”

“Teh hijau mahal.”

“Tapi kan khasiatnya beda.”

“Kata siapa? Sama saja.”

(Aneh sekali. Baru kali ini perempuan itu bicara dengan gayanya yang seperti ini. Apalagi, mengajak berdebat tentang suatu hal yang remeh. Apakah yang sedang dipikirkannya? Apakah ia hanya sedang ingin membuat cair suasana? Aku rasa tidak. Seperti ada sesuatu yang harus ia katakan.)

“Masih ngerokok?”

“Seperti yang kamu lihat, kenapa?”

“Haram.”

“Haram versinya siapa? Rokok itu haram untuk yang gak mampu beli!”

“Tetap saja haram!”

(Sampai disini, perempuan itu kelihatan agak kesal. Ia membuang tatapannya keluar dan tidak menatapku lagi. Tapi justru itulah yang membuatnya terlihat semakin mengagumkan. Lesung pipinya dan lentik bulu mata dengan kacamata frameless tampak lebih indah dari biasanya dalam buaian matahari senja.)

“Kalau sampai rokok itu haram, haramkan juga petai dan jengkol sekalian.”

“Lho, itu kan beda. Gak bisa gitu dong!”

“Harusnya sih begitu.”

“Rokok kan beda dengan petai dan jengkol.”

“Mereka semua sama. Sama-sama memberikan kenikmatan bahkan kebahagiaan bagi yang menyukainya.”

“Itu pembenaran kamu saja.”

“Tapi kamu masih suka jengkol kan?”

“Itu bukan urusanmu. Lagipula, belum ada fatwa jengkol itu haram!”

“Memang belum ada, tapi tetap masih suka jengkol kan?”

“Sudah. Jangan tanya lagi. Kamu setia?”

(Aku tidak senang dengan situasi seperti ini. Tanpa undangan tiba-tiba ia tanyakan itu padaku. Apa yang sempat aku khawatirkan memang benar terjadi. Perempuan itu bertanya tentang kesetiaanku. Satu hal yang pernah aku coba untuk buktikan namun aku tetap tidak tahu apakah aku berhasil untuk membuktikannya. Dan sekarang ia menanyakannya. Aku tahu ini pasti terjadi. Sialan.)

“Kenapa diam?”

“................................”

(Aku memang belum bisa menjawabnya. Rasanya seperti menghadapi soal Ujian Nasional matematika SMA. Aku memang pernah mempelajarinya tapi tetap tidak tahu jawabannya.)

“Kalau kamu mau tahu artinya setia, tanya saja sama Del Piero, kenapa dia tidak mau pindah dari Juventus"

“Itu bukan jawaban.”

(Hanya itu jawaban yang terlintas di pikiranku. Aku rasa dia mulai tahu dan mengendus sesuatu dari diamku tadi.)

“Kenapa kamu baru pulang sekarang?”

“Karena aku baru bisa pulang sekarang. Selain itu juga karena aku ingat kamu.”

“Gombal. Jangan coba untuk merayuku.”

“Aku tidak sedang menggombal.”

“Bohong. Kelihatannya itu biasa, hanya untuk menutupi salahmu.”

“.....................................................”

(Apakah aku memang bersalah? Berlalu meninggalkannya tanpa pesan untuk sebuah alasan. Aku memang merasa bersalah tetapi aku tidak tahu dimana kesalahanku. Kalau kepergianku yang jadi masalah seharusnya aku sudah tahu. Tetapi, aku rasa bukan itu.)

“Aku pulang karena aku merasa harus ketemu kamu.”

“Hanya untuk itu saja? Bertemu untuk berlalu?”

“Mungkin....”

“Tentu saja, karena Mbakmu itu! Kenapa selalu harus Mbakmu itu yang datang kepadaku?”

“Karena aku percaya padanya. Lagipula, kamu kenal dia juga kan?”

“Kamu nggak ngerti. Kamu nggak ngerti.”

(Ada nada kecewa dari suaranya. Aku semakin bingung. Kalau begitu, berarti aku telah membuatnya kecewa. Masalahnya sekarang, sumber penyebab kekecewaan itu belum kutemukan. Aku semakin merasa bersalah karena ia mulai menangis. Damn, it’s a puzzling situation.)

“Kenapa harus Mbak? Kenapa bukan kamu? Kenapa bukan kamu?”

“Apa yang harus kulakukan?”

“Kenapa harus Mbak yang selalu datang. Dia yang selalu cerita tentang kamu.”

“Kamu cemburu?”

“Cemburu menguras hati.”

“Vidi Aldiano. Aku rasa bukan itu, bagaimana kalau cinta dua hati?”

“Itu Afghan.”

“Kamu cemburu?”

“Aku nggak cemburu. Aku pikir hanya aku saja yang punya perasaan. Hanya aku saja.”

“.................................................”

“Aku pikir tadinya akulah Komako.”

(Sialan. Rupanya ia juga membaca Kawabata dan ia pikir akulah yang jadi Shimamura, yang tidak pernah peduli dengan perasaan Komako. Hebat sekali. Ia bisa menempatkanku sebagai Shimamura. ia pikir dirinya Komako yang punya keteguhan untuk tetap mencintai Shimamura walau cinta mereka telah gagal sejak pertama bertemu.)

“Kamu memang nggak pernah peduli.”

“Kalau dalam posisi Shimamura, aku memang tidak pernah peduli.”

“Kamu masih nggak ngerti?”

“Tentang perasaanmu?”

“..............................................”

(Melihat diamnya, aku ingin sekali meneriakkan kalimat yang pernah ditulis Wan Anwar dalam cerpennya. Ingin aku teriakkan kalimat ini, “Aku memang tak pernah bisa memahamimu, tetapi jangan sekali-kali kau tuduh aku tak pernah mencintaimu.” Sekali saja tepat didepan matanya. Tetapi, aku sadar aku tidak akan pernah melakukannya.)

“Aku memang tidak pernah tahu perasaanmu.”

“Ya, tentu saja. Mudah bagimu untuk mengatakannya begitu saja padahal kamu tidak pernah tahu betapa sakitnya aku.”

“..............................................”

“Kamu mencintainya?”

(Kenapa harus pertanyaan itu lagi? Sudah dua kali aku menghadapi situasi dengan pertanyaan seperti itu. Dengannya kali ini adalah yang kedua. Sedang yang pertama, waktu itu Mbak yang bertanya. Bagaimana perasaanku waktu itu? Sama-sama tidak menyenangkan. Jawabanku waktu itu? Aku sudah lupa. Ia mulai menangis lagi.)

“Kamu mencintainya?”

“........................................”

“Katakan, apakah kamu mencintainya juga?”

“.... Aku tidak tahu. Lagipula,...”

“Katakan, kamu mencintainya?”

“...........................................”

“Kamu mencintainya?”

“Tidak. Aku tidak mencin...”

“Kamu mencintaiku?”

(Apa lagi ini?. Ia menginginkan sebuah kepastian atau hanya pengakuan saja. Aku memang mencintainya dan anehnya aku masih tidak mau mengakuinya. Sekarang, ia menginginkan jawabanku. Sedang aku sendiri masih belum mau mengatakannya. Aku pikir situasinya tidak akan begini. Perempuan itu terus menatapku. Aku kira dia akan mengancamku sambil menodongkan pisau ke mukaku. Lalu, bermain-main dengannya kearah leherku. Tapi, ia hanya diam saja. Menatapku dalam-dalam seakan tahu semuanya.)

“Kamu mencintaiku?”

“........................................”

“Kamu cinta padaku?”

“Ya, aku...”

“Katakan, kamu mencintaiku?”

“Aku memang mencintaimu.”

(Mendengar jawabanku, ia kembali menangis. Aku coba untuk membantu melepaskan kacamatanya namun ia menolak. Ia menangis. Benar-benar menangis. Aku tidak tahan dengan situasi seperti ini. Aku pikir tidak akan pernah ada perempuan yang menangis hanya gara-gara seorang lelaki sepertiku. Nyatanya, perempuan itu menangis terus dihadapanku. Aku semakin bingung. Tidak ada yang dapat kulakukan untuk membuatnya berhenti menangis. Aku tatapi dirinya. Entah sudah berapa lama akhirnya ia berhenti juga. Setelah menenangkan dirinya dan membetulkan letak kacamatanya aku coba untuk mengusap air matanya dengan selendang merah yang sengaja ia kenakan. Tetap saja, ia menolaknya. Masih terisak, ia seperti ingin berkata sesuatu.)

“Kamu sama saja dengan teko air.”

“Teko air?”

“Teko air yang isinya berceceran kemana-mana tapi tetap tekonya akan kembali ke dapur.”

(Setelah menyamakan aku dengan Shimamura kini ia membuat perumpamaan lainnya. Seperti yang sudah kau baca, ia menganggapku sama dengan teko air yang isinya boleh berceceran kemana-mana namun tetap kembali ke dapur juga. Aku tidak merasa dihina oleh perlakuannya. Aku rasa itu wajar saja. Lagipula, dalam keadaannya yang seperti itu ia masih punya selera humor.)

“Teko air, aku tidak mengerti.”

“Kamu tidak harus mengerti. Itu bukan untuk dimengerti”

“..............................................”

“Kalau begitu, jangan pergi dariku lagi.”

(Setelahnya, ia pegang kedua tanganku. Kami saling berhadapan. Kepalaku pusing karena terlalu banyak ingatan yang tidak seragam. Memori dan kenangan saling berpacu. Aku, dia, dan dirinya. Aku tatapi juga wajahnya yang masih mengagumkan walau habis menangis. Ia masih menatapku dengan tajam. Seakan memintaku untuk berjanji. Menjelang senja penghabisan, lagu Rida Sita Dewi mengalun dikepalaku, “Bukan aku meragukanmu tapi sungguh ku tak ingin engkau jauh dari diriku...”)



Paninggilan, 16 April 2010, 17.37

Sabtu, 10 April 2010

Yukiguni dan Ingatan yang Tidak Seragam

Kawabata

Ketika membaca kembali nama penulis buku ini, ingatan saya langsung mengacu pada kalimat pembuka dalam satu cerpen SGA, “Seperti Kawabata, aku mencintai seorang perempuan yang tidak pernah ada.” Kalimat ini juga pernah mendapat sorotan dari Prof. Sapardi Joko Damono, dalam sebuah diskusi buku karya Seno Gumira Ajidarma “Linguae” di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, pada Maret 2008 silam.

Kalimat tersebut berasal dari cerpen berjudul Kyoto Monogatari yang terdapat dalam kumpulan cerpen dari Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang berjudul “Aku Kesepian Sayang, Datanglah Menjelang Kematian” Cerpen ini bercerita tentang pemandangan bersalju dari dalam kereta shinkansen. Namun, sebelum saya baca kembali cerpen itu ternyata ingatan saya tentang pembahasan dari Prof. Sapardi Djoko Damono kembali menyeruak dan memang kalimat itu tidak pernah tersebutkan dalam cerpen Kyoto Monogatari tetapi ada di dalam cerpen Senja di Pulau Tanpa Nama yang justru terdapat dalam kumpulan cerpen lainnya yaitu “Linguae”.

Saya pikir, Kawabata itu adalah tokoh fiktif yang hanya ada dalam pikiran Seno saja. Kawabata saya asumsikan sebagai tokoh yang biasa menjalani plot dan alur cerita sehingga saya tidak terlalu concern untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan Kawabata itu. Dalam pembahasan Prof. Sapardi juga menyebutkan bahwa itu adalah kebiasaan dan ciri khas Seno dalam pemilihan kata dan penokohan. Bahkan, Prof. Sapardi membandingkannya dengan judul dari cerpen lainnya yaitu Cintaku Jauh di Komodo, yang juga terdapat dalam kumpulan cerpen Linguae. Judul cerpen yang juga mengadaptasi judul puisi Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau.

Ada kesamaan antara Snow Country dengan Kyoto Monogatari. Keduanya berlatarbelakang salju dan sama-sama mengambil latar cerita dari dalam kereta. Tetapi, belum bisa dipastikan apakah SGA menulis Kyoto Monogatari setelah membaca Snow Country atau malah tidak pernah sama sekali sebelumnya. Masih diperlukan studi khusus mengenai hal ini.

Demikianlah, ingatan saya yang terus berpacu sehingga mempengaruhi keputusan untuk mencari tahu siapa ‘Kawabata’ itu. Kemudian, ketika sedang jalan-jalan di suatu Toko Buku, saya menemukan buku berjudul Snow Country ini. Lengkap dengan cap Nobel Prize Winner. Terlebih lagi ketika melihat nama Yasunari Kawabata sebagai penulisnya. Rasa penasaran terus muncul untuk membuktikan apakah ada hubungan antara ‘Kawabata’ yang pernah dituliskan SGA dengan Kawabata yang menulis Snow Country ini.

Yukiguni (Snow Country)

Membaca Snow Country ibarat berjalan-jalan menapaki alam pegunungan di musim dingin yang bersalju. Bahasa yang digunakan Kawabata dalam bercerita ibarat angin dari gunung yang turun perlahan. Sebuah bahasa seperti puisi haiku yang mengalir. Imaji tentang suatu keindahan alam pegunungan di musim dingin tercipta dalam setiap detail cerita.




Shimamura, yang sering melakukan perjalanan ke daerah pegunungan bertemu dengan Komako, seorang geisha yang jatuh cinta padanya sejak pertama bertemu. Shimamura yang telah menikah tahu bahwa Komako memang mencintainya. Tetapi, ia tidak begitu yakin atas hal itu. Apalagi, sejak Shimamura bertemu dengan Yoko. Yoko telah memberinya suatu perasaan yang tidak biasa sejak Shimamura menatap kedua matanya. Shimamura dan Komako mencoba mencari pembenaran atas cinta mereka. Sayangnya, hal itu telah gagal sejak mereka pertama kali bertemu.

Pembawaan cerita yang mengangkat kehidupan tradisional masyarakat Jepang pasca Restorasi Meiji menjadikan novel ini memiliki kelebihan tersendiri. Bahasa penyampaian (secara terjemahan) lebih merupakan rangkaian kata-kata serupa yang menyusun keindahan bahasa haiku. Secara tidak langsung, keindahan bahasa ini ikut memberikan ragam tersendiri kepada penceritaan. Bagi beberapa kalangan pembaca justru hal seperti ini malah memberikan kesan yang kurang baik. Ada yang beranggapan bahwa dengan ditampilkannya keindahan semacam ini rasanya seperti menonton film tahun 1950-an. Ditambah lagi dengan ending yang menggantung dengan tidak adanya deskripsi tentang hidup Yoko apakah akan berakhir dengan tragis.

Hal lainnya dari buku ini adalah Kawabata berhasil mengangkat isu tentang keteguhan seorang perempuan. Keteguhan seorang Komako untuk mencintai Shimamura yang telah beristri tapi juga punya sedikit perasaan untuknya. Betapa pun Komako mencintai Shimamura, Komako berhasil untuk tidak memaksakan cintanya pada Shimamura. Ini sebagai bukti bahwa kekuatan cinta kaum perempuan memang mengagumkan seperti kuku manusia, yang berkali-kali terpatahkan namun perlahan selalu tumbuh kembali.

Hadiah Nobel Sastra

Perdebatan mengenai ketentuan dalam penilaian karya-karya sastra masih mengemuka ketika Yukiguni ditetapkan sebagai pemenang. Seringkali, terjadi batasan dalam hal “continental literatures” atau karya-karya sastra dari belahan benua dan negara tertentu sehingga menghilangkan karakter “The Literature of The Whole World”. Bagaimanapun, bila hal itu sampai terjadi maka dikhawatirkan Hadiah Nobel Sastra akan dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu saja.

Dari sisi linguistik, yang menjadi satu kriteria penilaian Nobel Prize for Literature, Snow Country yang judul aslinya ini Yukiguni memang layak mendapat tempat kehormatan. Hadiah Nobel Sastra tahun 1968 yang diberikan pada Yasunari Kawabata menggambarkan pengecualian dalam beberapa kesulitan atau hambatan untuk melakukan penilaian terhadap karya sastra yang berbahasa Non-Eropa. Perlu 7 tahun dan empat orang ahli linguistik internasional untuk melakukan penilaian terhadap Yukiguni. Demi untuk mencapai “a global distribution” hal itu perlu dilakukan pada ukuran-ukuran yang memperkuat kompetensi dalam penilaian sastra secara internasional.


Sekedar Bacaan

"Aku Ini Binatang Jalang”, Chairil Anwar, Gramedia Pustaka Utama, 2005
“Aku Kesepian Sayang, Datanglah Menjelang Kematian”, Seno Gumira Ajidarma, Gramedia Pustaka Utama, 2004
“Linguae”, Seno Gumira Ajidarma, Gramedia Pustaka Utama, 2007
“Snow Country”, Yasunari Kawabata, Gagasmedia, 2009


Paninggilan, 10 April 2010, 13.05

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...