Senin, 28 April 2014

Capital Market Run 2014

Good things come slow - especially in distance running
Bill Dellinger

Akhirnya, saya dapat menamatkan lari 10K pertama sepanjang mulai aktif mengikuti lomba lari. Capital Market Run ini saya jadikan benchmark menguji kemampuan saya. Keputusan ini saya ambil dengan sadar dan sengaja. Maksudnya, saya memang ingin tahu apakah saya cukup mampu untuk finish di kategori 10K dan tidak berpuas diri hanya race di kelas 5K saja.
 
Persiapan yang saya lakukan adalah terus memacu dan memotivasi diri sendiri untuk terus berlari. Selain 5K rutin setiap Jum’at-Sabtu-Minggu, saya juga melakukan test drive pre-race sepanjang 9 dan 10 km awal bulan April ini. Tujuannya jelas, saya ingin melihat sejauh mana kemampuan saya untuk race 10K. Target utama saya adalah finish dengan catatan waktu tidak lebih dari 1 jam 12 menit, seperti catatan waktu Susan Bachtiar di 10K Jakarta Heart Run.

Long run sepanjang masa latihan ini cukup menjadi patokan awal. Saya jadi tahu berapa pace rata-rata per kilometer dan juga obstacle/hambatan apa saja yang jadi faktor x dalam berlari. Saya terus menerus meyakinkan diri bahwa your body is stronger than you think. Lalu, saya mengubah mindset dari ‘wah, baru sekian kilometer nih, kurang sekian’ menjadi “Alhamdulillah, sudah sekian kilometer, mari lanjut” seperti saran dari @akiniaki. Dari catatan waktu selama masa persiapan, saya cukup yakin bahwa saya bisa menembus catatan waktu dibawah 1 jam 12 menit.



The Race

Melintasi garis start, saya merasakan sebuah sensasi yang lain, tidak seperti lari 5K yang sudah biasa saya ikuti. Sesuatu menahan saya untuk memacu kecepatan. It’s all about endurance dan saya tidak akan menghabiskan tenaga di awal lomba. Kilometer demi kilometer crowd sekitar Sudirman-Thamrin mulai terlihat. Pengendara sepeda juga mulai memadati area Car Free Day. Pelari harus lebih berhati-hati memilih jalur. Marshal yang berada di lintasan pun masih kurang sigap dalam mengamankan jalur pelari.

Personally, rute lari 10K ini agak sedikit membosankan karena pelari mengambil start dari SCBD mengikuti rute menuju Bunderan Senayan untuk kemudian mengambil jalur lurus menuju Bunderan HI kemudian berputar kembali menuju SCBD. Satu tantangan tersendiri memang. Sayangnya, sepanjang rute lari 10K tidak disediakan minuman isotonik di water station. Tapi, beberapa penyelenggara acara yang bertempat di sekitar area Car Free Day ada yang membagikan air mineral botol secara gratis.

Dalam lari 10K pertama ini saya juga mengalami sebuah pengalaman yang takkan pernah saya lupakan. Pada kilometer 8 menuju kilometer 9 saya mulai merasa kebelet. Fokus saya kini tidak lagi soal endurance, tapi cepat-cepat finish dan cari toilet. Alhasil, saya harus terus berlari walaupun sudah mulai kelelahan, berhenti sebentar-sebentar hingga akhirnya finish dengan catatan waktu dibawah target semula \^_^/. Usai menerima medali, saya langsung menuju toilet.

Overall, dengan segala kekurangannya (mulai dari race pack collecting hingga tertukarnya peserta 5K dan 10K), Capital Market Run adalah satu milestone bagi saya pribadi. Bukan hanya 10K race pertama sejak mulai aktif berlomba Juni 2013, tetapi juga sebuah pencapaian dari life stepping. Medali 10K hari ini pun adalah pembuktian bahwa apa yang saya lakukan tidaklah terlalu salah.

FINAL RESULT



Paninggilan, 27 April 2014.

* Trademarks mentioned on this post belong to their respective owners

Minggu, 20 April 2014

Sang Pelopor, Anak Bangsa dalam Pusaran Sejarah

Buku jilid terakhir dari serial Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia dari Rosihan Anwar ini merupakan kelanjutan buku jilid 5 yang berjudul ‘Sang Pelopor: Tokoh-tokoh Sepanjang Perjalanan Bangsa'. Buku ini mengisahkan anak-anak bangsa yang turut mengisi sejarah perjalanan bangsa. Bisa dipahami bahwa mereka terdiri dari golongan aparatur birokrasi/pemerintahan, penggiat budaya, pengusaha, ilmuwan, dan pekerja pers. Khusus untuk yang disebut terakhir, dapat digolongkan sebagai pencerah pada zamannya dengan berbagai sisi kemanusiaannya.



Seperti jilid nomor sebelumnya, buku ini juga merupakan kelanjutan revisi dari buku 'In Memoriam: Mengenang yang Wafat', yang juga diterbitkan pada tahun 2002 oleh Penerbit Buku Kompas. Terdapat pula beberapa tambahan tulisan yang belum termuat pada edisi sebelumnya. Oleh karena itu, pembaca dapat mengenang kembali jasa dan peninggalan (legacy) tokoh-tokoh yang berdedikasi sesuai bidangnya masing-masing sepanjang sejarah Republik hingga meninggalnya mendiang Rosihan Anwar pada tahun 2011 lalu.

Beberapa nama yang ada dalam buku ini diantaranya sudah dikenal karena reputasinya. Sebut saja, Wiweko Supeno; Des Alwi; Sarbini Sumawinata; Sumitro Djojohadikusumo, bapak dan begawan ekonomi Indonesia; Buya HAMKA, ulama legendaris yang juga menghasilkan beberapa karya sastra monumental; Y. B. Mangunwijaya; A. H. Nasution; Maria Ulfah Soebadio, perintis perjuangan membela kaum perempuan; B.M Diah, politisi yang juga pelopor di bidang pers nasional; Hoegeng Iman Santoso yang selalu dikenang sebagai polisi yang jujur dan lurus; hingga Miriam Budiardjo, perempuan ilmuwan perintis disiplin ilmu politik Indonesia. Tak pelak, mereka pun dianugerahi titel ‘Sang Pencerah’ oleh editor.

Banyak nama yang mengisi buku ini. Tak semua nama bersinar terang meski jasa dan pengabdian pada nusa dan bangsa tidak lagi diragukan bahkan sebagian tidak lagi dikenal generasi muda. Lebih jauh, bila pembaca mengikuti serial Sejarah Kecil Indonesia ini sejak awal maka pembaca dapat menemukan keterkaitan antara beberapa peristiwa dalam perjalanan sejarah bangsa. Lebih jauh, pembaca dapat menilai sendiri konsistensi dari pernyataan Rosihan Anwar dari edisi yang satu ke edisi yang lain.

Personally, edisi jilid terakhir ini cukup berkesan. Rosihan Anwar menempatkan para tokoh penggiat budaya dalam satu bagian tersendiri. Budaya dalam hal ini tidak melulu sastra. Perlu diingat bahwa Rosihan Anwar juga menyukai film sehingga konteks budaya yang ditulisnya mempunyai arti budaya dalam konteks yang lebih luas. 

Cerita tentang para tokoh pelopor dalam sejarah pusaran bangsa ini ditulis apa adanya, dengan penekanan pada sisi-sisi kemanusiaan yang menyentuh dan tetap memukau khas gaya tulisan Rosihan Anwar. Lewat buku ini, penulisnya ingin menyampaikan pesan sekaligus menginspirasi khalayak untuk menebalkan kembali rasa kebangsaan yang tengah dilanda erosi dan distorsi.

Judul           : Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia, Jilid 6: Sang Pelopor, Anak Bangsa dalam 
                      Pusaran Sejarah
Penulis        : Rosihan Anwar
Penerbit       : Penerbit Buku Kompas
Tahun           : 2012
Tebal            : x + 334 hal.
Genre           : Sejarah-Memoar

Pharmindo, 20 April 2014.

Sabtu, 19 April 2014

Dua Kelamin Untuk Midin

Ada sebuah pertanyaan ketika membaca ulang “Dua Kelamin Untuk Midin: Cerpen KOMPAS Pilihan 1970-1980” dimana Seno Gumira Ajidarma menjadi editornya. Pertanyaan saya adalah bagaimana seorang Seno Gumira Ajidarma melakukan tugas editorialnya. Saya penasaran bagaimana cara SGA untuk menentukan cerpen mana saja yang layak masuk kumpulan terbaik periode 1970-1980. Pada rentang waktu tersebut sudah tentu banyak sekali cerpen yang dimuat oleh KOMPAS. Namun, bagaimana SGA mampu menentukan hanya 50 cerpen terbaik saja yang masuk kumpulan ini tentu dibutuhkan satu siasat tertentu.

SGA sendiri mengajukan sebuah pertanyaan agar cerpen pilihannya tidak didasari spektrum estetik dengan formasi diskursif yang terbatas. Bagaimana cerpen-cerpen ini menggambarkan perbincangan budaya yang berlaku di masa itu, dengan membuka kemungkinan untuk melibatkannya dalam perbincangan sepanjang masa, adalah satu pertanyaan SGA yang kemudian ia gunakan dalam tugasnya sebagai editor. SGA menggunakan pendekatan spectrum oriented dalam memilih karya penulis yang sudah dikenalnya. Untuk urusan ini, ia sengaja mengesampingkan terlebih dahulu cerpen-cerpen yang ditulis atas namanya.

SGA menganggap antologi cerpen adalah juga sebentuk kritik. Memilih dan tidak memilih sudah merupakan kerja kritik, artinya sebuah antologi memperlihatkan juga formasi diskursif tertentu. SGA cenderung memberi keseimbangan antara yang mainstream dan sidestream, antara yang stereotip dan yang kreatif, antara yang “umum” dan yang “ajaib”, antara yang teknik menulisnya “masih jujur” dan yang “sudah bisa ngibul”.



Terlepas dari segenap pro dan kontra yang timbul atas penerbitan buku ini, baik menyangkut pendekatan maupun karya-karya yang terpilih, penerbitan kembali cerpen-cerpen ini tetap bertujuan untuk meramaikan khazanah sastra Indonesia. Karya-karya yang mungkin sudah terlupakan, atau nama-nama pengarang yang belum pernah dikenal oleh khalayak penikmat sastra Indonesia masa kini, rasanya masih pantas untuk diketengahkan disini.

Sebagai catatan personal, saya tambahkan disini bahwa SGA turut memasukkan cerpen berjudul “Perasaan Yang Sangat Ajaib Kosongnya” dari Muhammad Diponegoro. Bila pembaca catatan ini adalah Pembaca SGA, saya yakin tuan dan puan masih ingat kalimat yang disitir SGA dari cerpen tertanggal 3 Februari 1976 itu. SGA menuliskan kembali judul cerpen itu sebagai kalimat akhir dari cerpennya yang berjudul “ Seorang Wanita Dengan Tato Kupu-Kupu di Dadanya” dalam kumpulan cerpen “Negeri Kabut” (Grasindo, 2003).

Dalam kesempatan lain, pada sebuah talkshow dalam rangkaian acara ASEAN Literary Festival di TIM, bulan Maret lalu, secara personal saya pun menyampaikan kesan atas pembacaan saya terhadap cerpen tulisan Arswendo Atmowiloto yang juga jadi judul buku ini “Dua Kelamin Untuk Midin”.

Sumber bacaan:
Seno Gumira Ajidarma. 2003. Dua Kelamin Untuk Midin: Cerpen KOMPAS Pilihan 1970-1980. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

 
Pharmindo, 19 April 2014.


Minggu, 13 April 2014

Scarlet Preludium

"The loneliest moment in someone’s life is when they are watching their whole world fall apart, and all they can do is stare blankly" 
Francis Scott Fitzgerald - Hal. 47

Scarlet, pianis lounge yang sedang menjalani serangkaian kejadian hidupnya dengan monoton bertemu dengan seorang Devon. Pria bertipe playboy yang kemudian menggeser jadwal tetapnya. Pertemuannya dengan Devon malam itu adalah satu momen yang paling tidak menyenangkan sepanjang karirnya di lounge. Mantan pacar Devon menghancurkan mobil putih kesayangannya malam itu. Wanita itu tidak tahu kalau ada dua mobil berwarna putih di parkiran. Satu milik Scarlet, satu milik Devon.


Cerita terus berlanjut ketika Scarlet menyadari bahwa ia mulai jatuh cinta pada sosok Devon. Pada hari ulang tahunnya, Scarlet mendapat kejutan yang sangat spesial dari Devon. Sebuah perayaan kecil sengaja dibuat oleh Devon untuk Scarlet. Devon beralasan, barangkali dengan kejutan kecil darinya Scarlet bisa mulai memaafkan Devon atas insiden yang melibatkan mobilnya.

Scarlet sebenarnya tahu bahwa Devon adalah kekasih sahabatnya, Aira, yang juga manajer lounge. Bila memang benar cinta itu buta, maka cinta telah membutakan Scarlet hingga akhirnya Scarlet tersadar bahwa ia tidak mungkin mencintai kekasih sahabatnya sendiri. Setelah bergulat dengan segenap penyesalan di masa lalu, Scarlet kembali melawan penyangkalan terbesarnya, jatuh cinta kepada Devon.

Keadaan menjadi semakin tidak mudah ketika Scarlet datang ke resepsi pernikahan sahabatnya semasa SMA. Segenap ingatan tentang kesalahan terindah di masa lalu menguasainya. Tekanan itu Scarlet alami kembali karena teman-temannya yang juga hadir di pesta pernikahan itu masih menganggap dirinya sebagai seorang pemadat dan pembunuh. Scarlet kembali teringat pada kelam semasa menjadi pecandu narkotika, satu momen yang mengakibatkan kepergian seseorang yang dikasihinya, Ibu.

Devon yang datang bersama Scarlet mampu meyakinkan Scarlet bahwa ia sudah berubah dan memintanya untuk tidak terlalu serius menanggapi celotehan semacam itu. Pertemuan kembali dengan mantan kekasihnya, membuat luka lama Scarlet kembali menganga. Sejenak, Scarlet mulai memvonis dirinya sendiri bahwa ia memang tidak layak bahagia.

Ketegangan demi ketegangan mulai mengalir dalam jiwa Scarlet hingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti bermain di lounge. Scarlet menerima ajakan mantan kekasihnya untuk bergabung bersama band terbarunya. Scarlet merasa harus melanjutkan hidupnya dengan jalan yang baru ia pilih ini. Terlebih, dengan kenyataan HIV yang diderita mantan kekasihnya itu. Scarlet menjalani hidup barunya sebagai penulis dan pencipta lagu untuk band itu.

Scarlet baru saja menyelesaikan sebuah lagu sebelum ia akhirnya ditemukan pingsan. Tekanan bertubi-tubi membuat ia overdosis obat tidur. Beruntung, nyawanya masih bisa diselamatkan. Tidak. Scarlet tidak mati hari ini. Kenyataan semakin memburuk ketika Aira membuka percakapan dengan Scarlet usai tidur panjangnya. Aira kecewa pada sikap Scarlet yang tidak mau bercerita masalahnya dengan Devon. Aira meninggalkan Scarlet yang masih penuh tanya. Scarlet kini benar-benar sendirian.

Usai tragedi yang hampir mencabut nyawanya, Scarlet kembali pada guru musiknya. Scarlet kembali memainkan musiknya sekaligus mulai belajar membuat komposisi. Hingga tiba waktunya untuk melakukan resital piano pertamanya. 

Kisah Scarlet tidak lantas berhenti disitu. Devon tiba-tiba muncul sesaat sebelum Scarlet tampil. Devon memaksa untuk menjelaskan sesuatu pada Scarlet. Scarlet tetap tidak bergeming. Devon lantas naik panggung dan memperkenalkan dirinya sebagai pianis pembuka. Devon memainkan lagu yang Scarlet tulis pada malam ia kehilangan kesadarannya. Lagu berjudul ‘Penantian’ ia membius Scarlet.  Scarlet tidak pernah tahu bahwa Devon menemukan lagu ciptaannya itu hingga memainkannya dengan sangat indah. Scarlet hanya tahu bahwa malam resitalnya ini adalah malam yang paling indah.

Catatan Personal

Personally, saya jatuh cinta sejak pertama kali bertemu buku ini apalagi desain sampulnya. Sangat mewakili emosi yang menjiwai seluruh cerita. Silvia Arnie berhasil membangun sebuah karakter Scarlet yang tangguh dan kuat (and i love it!). Penulisnya sukses membuat sebuah kisah hidup yang kelam. Cerita yang menggebrak sejak awal mampu membuat penasaran dan menggiring pembaca untuk terus mengikuti kisah Scarlet dan Devon.

Dari sampulnya, saya berharap bahwa saya akan mendapat cerita tentang sebuah resital piano dalam pembacaan buku ini. Scarlet Preludium sedikit menyinggung hal ini ketika Scarlet memainkan resital pianonya di bagian akhir cerita. Walau tidak menjadi satu bab tersendiri, saya rasa sudah cukup sebagai pembuktian bagi Scarlet. Bukankah resital piano adalah mimpi setiap pianis?

Overall, Scarlet Preludium adalah metropop terbaru yang saya baca setelah Blackjack (Clara Ng & Felice Cahyadi). Remarkable point dari keduanya adalah bahwa hidup ini tidak selalu penuh dengan kisah-kisah cinta paling indah sepasang kekasih atau persahabatan yang everlasting. Bahwa cinta adalah entitas yang mampu mempercepat kelam. Betapa pun cinta menjatuhkanmu, kelak cinta pula yang membangunkanmu.

Judul         : Scarlet Preludium   
Penulis      : Silvia Arnie
Penerbit    : Gramedia Pustaka Utama
Tahun        : 2014
Tebal         : 296 hal.
Genre        : Novel Dewasa-Metropop

Paninggilan, 13 April 2014.

Kamis, 10 April 2014

Membaca Kembali Kisah Cinta Gege

Pembacaan pertama atas Gege Mengejar Cinta saya selesaikan pada awal tahun 2005, usai meminjam dari seorang teman. Saya menghabiskannya sekali duduk. Saya tidak akan pernah lupa bagaimana seorang Geladi Garnida a.k.a Gege berhasil membius saya untuk tidak berhenti tersenyum hingga tertawa sekaligus tertegun dengan beberapa perumpamaannya.


Pembacaan kedua ini melibatkan edisi cetak ulang kedua dengan covernya yang sederhana namun cukup menohok. Buku bersampul warna putih polos ini dihiasi pertanyaan yang agak sedikit ‘menyentak’ (or it just me who feels that?). Mana yang seseorang akan pilih? Mereka yang dia cintai? Atau mereka yang mencintainya?

Saya sempat mencatat beberapa magic words dari Gege yang juga entah sebuah pepatah tua. Satu yang selalu saya ingat adalah: “Sebuah pohon tumbang ditengah hutan... Siapa yang peduli? Yang mendengar saja tidak ada.” Maklum, waktu itu saya sedang berada dalam posisi Gege. Bedanya, saya hanya tinggal menyatakan perasaan pada si Nina (bukan nama sebenarnya), sedangkan si Gege masih harus kenalan (mengulang kenalan, tepatnya) dengan Caca.

Pelajaran lain dari Gege adalah jangan sampai salah menyebut nama sang pujaan hati  ketika akan mengatakan cinta kepadanya. Gege salah menyebut nama Caca dengan nama Tia sehingga Caca semakin meyakini keputusannya untuk pindah kerja ke Singapura dan meninggalkan seorang Geladi Garnida dengan segumpal rasa penyesalan.

At the otherside, saya sangat menikmati kembali script siaran sandiwara radio buatan Gege. Plus, adegan kejar-kejaran menuju Bandara. Gege mengejar Caca. Tia mengejar Gege. Joko tanpa D mengejar Caca. Sayang, Gege tidak bisa meyakinkan Caca seperti Jusuf a.k.a Ucup mampu meyakinkan Farah bahwa tidak ada bajaj di Barcelona. Sila baca kembali ‘Travelers’ Tale – Belok Kanan: Barcelona’ masih dari @adhityamulya dan kawan-kawan seperjalanannya. Apa mungkin juga ending kejar-kejaran lainnya di Travelers’ Tale diilhami dari kejadian Gege tadi.

FYI, sepanjang pembacaan kedua ini, imaji atas Caca yang ada dalam pikiran saya menunjuk kepada satu nama: Marsha Timothy. Why? Kenapa? Ya, Caca adalah panggilan untuk Marsha Timothy. Selanjutnya, deskripsi fisik apalagi soal rambut panjang yang....sila tanya Gege for more info, semakin membuat saya sulit untuk membuang imaji itu. Buku ini lebih nyaman dibaca sambil mendengarkan lagu-lagu yang jadi pengiring setiap bab baru didalamnya. Entah itu ‘Dancing Queen’ punya ABBA, ‘You Can’t Hurry Love’ by Diana Ross/Phil Collins atau ‘Stay’ dari Lisa Loeb.

Sekali lagi, Gege Mencari Cinta menjadi contoh bagaimana menghadapi cinta yang tak berbalas. Mau tak mau, kita harus berani menghadapi. Berani mengejar cinta atau hanya mampu menunggunya.



Pharmindo, 9 April 2014.

Rabu, 09 April 2014

Today, I Vote!

Pemilihan umum telah memanggil kita
Seluruh rakyat menyambut gembira


Seperti mars Pemilu masa orde baru, akhirnya hari Rabu, 9 April 2014 ini benar-benar tiba. Hari penentuan bagi kelanjutan fungsi legislatif sebagai bagian dari tias politica dianut Republik ini. Segala macam dan rupa pencitraan demi meraih dukungan dan menggaet suara pemilih telah tiba pada muaranya.  Suara anda menentukan masa depan bangsa. Kira-kira begitulah simpulan halus himbauan negara agar seluruh warga negara mau ikut berpartisipasi.


Sebagai warga negara yang bertanggungjawab, sudah menjadi kewajiban saya untuk memberikan suara pada hajatan rutin lima tahunan ini. Saya masih ingat pada hari Pemilu pertama saya tahun 2004 lalu ketika kami, para pemuda komplek, mencoblos partai yang kami yakini sebagai ‘Messiah’, juru selamat dari zaman kalabendhu, zaman penuh kekacauan dalam cerita Panji Koming. Saya cukup optimis dengan apa yang saya pilih walau kemudian saya dibuat kecewa juga.

Keadaan yang kurang lebih sama masih dialami hingga hari ini. Kekecewaan atas segala ketidakberesan di negeri ini menjadi hesitansi sendiri bagi pemilih, terutama dari kalangan menengah baru (growing middle class). Ancaman golput masih terus membayangi dan akan selalu ada dalam setiap Pemilu. Keengganan juga muncul kala pemilihan langsung caleg kali ini karena pemilih ‘dipaksa’ mengenali calon yang akan mewakilinya. Tidak jarang saya mendengar celoteh kawan-kawan yang memilih untuk tidak memilih karena tidak ingin bertanggungjawab atas tindakan caleg-caleg yang nantinya bobrok-bobrok juga saat duduk di kursi legislatif.

Saya pun sepenuhnya sadar, bahwa tidak ada jaminan bahwa partai atau caleg yang kita pilih hari ini akan membawa perubahan berarti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sama dengan tidak adanya jaminan atas sholat, puasa, dan ibadah lainnya yang saya lakukan diterima Allah SWT, jaminan apakah saya masih bernafas pada detik yang ke-75.241 hari ini. Tidak ada jaminan juga  apakah pilihan saya nanti membawa manfaat atau mudharat.

Bukankah dalam agama pun kita telah dididik untuk selalu berpikiran positif dan berprasangka baik. Apa yang kita pikirkan, apa yang kita lihat, belum tentu seperti yang ada di pikiran kita. Tugas saya adalah memilih calon legislatif yang memang sudah siap lahir-batin untuk duduk mewakili konstituennya. Apabila nanti mereka bertindak diluar apa yang diamanahkan, itu sudah bukan urusan saya lagi. Biar itu jadi urusan mereka dengan Tuhannya saja.

Yang jelas, saya punya hak untuk ikut bersuara bila para wakil rakyat itu mulai bertingkah karena saya ikut memilih. Lebih baik mana, kecewa karena ikut memilih, atau sama-sama kecewa padahal tidak ikut memilih. Saya lebih memilih opsi pertama karena saya bertanggungjawab atas pilihan saya.


Pharmindo, 9 April 2014.

Jumat, 04 April 2014

Untitled (6)

“Selamat pagi, Pak Bagus. Ada titipan pesan dari Mbak Gloria.”

“Pagi, Ci.... “

“Citra, Pak.”

“Dia datang hari ini kan?”

“Mbak Glo barusan telepon, ada urusan mendadak. Belum tahu mau kesini apa nggak.”

“Oh. Terus yang di dalam ini siapa? Asisten baru lagi?”

“Namanya Renata Martadinata. Biasa kami panggil Mbak Rena. Pengganti Mbak Glo, khusus hari ini.”

“Saya masuk dulu. Mari. Anyway, makasih.”

Damn. Where are you, Gloria? Why you didn’t tell me this. Main ganti seenaknya. Are you getting enough of me? But, hey. Who is the angel inside here?

“Ah, selamat pagi. Mas atau Pak Bagus?”

“Bagus. Cukup Bagus saja. Aku nggak keberatan lho pake ‘aku’ ‘kamu’.”

“Saya Renata. Saya menggantikan Gloria hari ini.”

“Oke, saya tahu. Nice to meet you, by the way.”

“Sebelum kita mulai, perlu saya jelaskan dulu bahwa saya akan meneruskan sesi konseling seperti apa yang sudah dibuat oleh Gloria. Termasuk segala daftar pertanyaan untuk...kamu.”

“Sebentar. Do you really know our problems?

“I’m here because i’m on it now. Ada alasan saya untuk tidak tahu masalah kamu?”

“Well, good then. Baik. Saya sudah siap.”

“Do you feel comfort enough?”

“Sure.”

“Selama ini, bagaimana weekend yang sempurna itu, untuk kamu?”

“Hah. Gloria bikin pertanyaan ini. How come..?”

“Begitulah. So, mau jawab atau..?”

“Begini. Weekend yang sempurna itu saat saya bisa melakukan hobi saya, tentunya. I mean, sehabis olahraga pagi, jalan pagi atau jogging bersama, kita minum teh sebentar lalu...bercinta..perhaps. Kemudian, saya membersihkan koleksi die-cast dan model robot sambil mendengarkan lagu-lagu favorit dan Gloria membaca buku dari penulis kesayangannya.”


“Ada lagi?”

“Sedikit variasi mungkin malamnya kita akan dinner di sebuah tempat romantis. You know lah, mengenang sedikit masa lalu.”

“Sudah?”

“At least, kami melakukan apa yang ingin kami lakukan. Itu sudah cukup, buat saya.”

“Karena tadi kamu sedikit menyinggung masa lalu, masih ingat lagu-lagu di pernikahan kalian?”

“Tentu saja. Bagaimana saya bisa lupa. Saya yang membuat playlist itu, dengan sedikit tambahan Danita tentunya.”

“Tiga lagu yang paling berkesan?”

“Hah? Do you really have to ask me those?”

“It’s on you. Give a shot on me.”

“I Finally Found Someone, After All by Cher and Peter Cetera, Beautiful in White...”

“The most favorite?”

“Come on?”

“The one you love most?”

“Gloria, what are you doing to me?”

“Saya Renata. Bukan Gloria. Mau jawab? It’s too early for a break.”

“After All!”

“Kenapa?”

“Do you married, Ren?”

“Sure, i am.”

“Udah pernah denger lagunya?”

“Belum. Saya nggak datang di pernikahan kalian.”

“Open up your smartphone and find it on Youtube. Hear the song, feel the lyric.”

“Would you sing it for me?”

“Wow. Wow. Setelah saya mengulang semua yang tidak ingin saya ceritakan, kamu masih nyuruh saya buat nyanyi. Halo?”

“Halo juga.”

Aku tidak ingin mengatakan ini pada Bagus. Aku tahu aku punya masalahku sendiri. Aku punya batasanku sendiri.

“Gus, saya mengerti perasaan kamu? Kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa. Tolong diri kamu sendiri ya. Kamu mau kan?”

“Persis seperti apa kata Glo.”

“Saya juga berada dalam posisi seperti kamu Gus.”

Apa aku tidak salah dengar. Begitu mudahnya Renata mengaku, dihadapanku pula. Apakah ini satu trik supaya aku mau mendengarkannya? Aku harap bukan.
“Maksud kamu?”

“Aku nggak perlu jelasin apa-apa. Kamu tentu sudah bisa tahu apa yang sedang sama-sama kita alami.”

“.......”

“Kamu mau istirahat sebentar?”

“A small cup of tea, please.”

“Well, 10 minutes then.”

“Saya keluar sebentar, Ren.”

“Sure. Silakan. Saya disini.”

Baru sepuluh menit berlalu sejak perkenalan pertama dengan Renata. Tiba-tiba perasaanku berubah usai mendengar pengakuan singkatnya. Aku tidak tahu apakah aku menyimpan simpati atau hanya terenyuh dengan semua itu. Naluri bajinganku selalu mendesakku untuk melakukan apa yang biasa aku lakukan pada Gloria. Menggenggam tangannya lalu melakukan semua yang bisa kami lakukan saat itu juga.

Aku menyalakan rokok. Aku benar-benar tidak tahu apakah harus melanjutkan sesi ini dengan Renata atau tidak. Danita saat ini dimana pun aku tidak tahu. Danita sudah tiga bulan ini tidak pulang. Aku pun tidak mencarinya. Kami sama-sama dewasa. Suatu hari, Danita pasti pulang.

“Shall we move?”

“Lanjut, Ren. I’m listening.”

“Now. You didn’t. It’s end here, Gus.”

“Lha, kok?”

“I can see it in your eyes.”

“Ren...”

“Gus...”

“..........”

“Pulanglah, Gus.”

*

Aku keluar dengan perasaan yang aneh. Belum pernah aku mengalami hal seperti ini dengan Gloria. Aku heran dengan apa yang baru saja Renata lakukan. Aku tidak mengerti mengapa harus jadi seperti ini. Jujur, aku malah khawatir ini jadi pertimbangan Gloria untuk terus mengembalikanku kesini.

Aku menunggu Renata keluar dari ruangan. Lima belas menit menanti rasanya sia-sia. Barangkali, Renata benar-benar sedang membereskan laporannya untuk Gloria nanti. Aku melangkah pulang. Aku merasa lelah dan ingin sendiri.

Aku tiba di rumah dengan malas. Aku mengantuk sepanjang jalan. Gerimis mempercepat kelam, kata Chairil Anwar. Aku tidak merasakan ada hal yang aneh sejak kedatanganku tadi. Aku masuk ke dalam rumah seperti biasa. Hingga aku bertatapan mata dengan Danita.

“Gus, kita harus bicara.”

“Danita...”



Jakarta, 2 April 2014.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...