Kamis, 27 November 2014

Surat dari Sanur (3)




My Dearest Ella,

Today must be a long long day for you. Saya tidak tahu apakah engkau sudah sampai ke Jakarta ketika surat ini mulai ditulis. Sejak kereta rel listrik Jakarta - Bogor selalu menyanyikan lagu yang sama. Kereta tiba pukul berapa...

Saya terbangun pagi ini dengan kalender yang menunjukkan tanggal 27 November. Tidak ada apa-apa memang dengan tanggal ini. Hanya saja, ketika saya terduduk lesu penuh kantuk di kloset, tiba-tiba saya teringat pada rencana kita satu bulan lagi sejak hari ini. Hari pernikahan kita semakin menjelang. Bagai gelombang yang menghantam karang.

Siang tadi hujan deras mengguyur Bedugul. Saya tidak mendapatkan apa-apa disana selain basah. Kami hanya menemani rekan kami dari Bhutan itu. Mereka ingin pergi ke tempat eksotis seperti itu. Saya melihat rona bahagia dari pancaran sinar mata mereka. Mereka nampak berbahagia walau hujan deras enggan berhenti sejenak. Keindahan danau yang dikelilingi Pura ini tertutup kabut pula. Mirip Situ Patenggang di Ciwidey sana.

Menjelang sore, kami pergi lagi ke Tanah Lot. Tanah Lot jadi satu tempat lagi yang ingin mereka kunjungi. Dawa menunjukkan foto-foto Tanah Lot hasil Googling kemarin. Ia minta tolong agar saya dan Pak Bambang bicara pada panitia agar diberikan waktu untuk berkunjung kesana. Akhirnya, kami pun pergi kesana. Hujan sudah reda. Namun senja seperti di Sanur kemarin memang langka adanya. Awan tebal yang entah kumolonimbus atau stratokumulus menghalangi keindahan senja. 

Malam ini, bulan sabit bersinar terang. Seperti menggantung di atas lautan tenang. Saya tidak tahu apakah engkau disana memandangi bulan sabit yang sama di langit yang sudah terlalu tua. Saya berjalan-jalan sebentar di tepi pantai usai makan malam. Saya harus mengakui bahwa saya pun mengalami tekanan untuk menyiapkan hari pernikahan kita. 

Dolly Parton pernah bilang, "If you want the rainbow, you gotta put up with the rain." Tidak ada sesuatu yang instan di dunia ini kecuali lautan yang membelah ketika Musa menyeberanginya atas izin Tuhan. Jika kita ingin melihat pelangi di ujung sana, kita harus melalui dan membiarkan hujan berlalu terlebih dahulu. Saya berharap, apapun yang kita usahakan-dengan segala kekhawatiran-akan menjadi pengantar yang sempurna bagi pelangi di ujung senja. Nanti, satu putaran purnama lagi.

Seperti biasa, bersama surat ini juga saya kirimkan riak debur ombak yang menghantam karang di Tanah Lot. Rinduku, lebih dari itu.

Selamat malam kekasihku, semoga malam indah temani nyenyaknya tidurmu.

Penuh rindu,


Affectionately yours.


Tanah Lot-Sanur, 27 November 2014.
H-30

Rabu, 26 November 2014

Surat dari Sanur (2): Episode Senja



Selamat malam kekasihku,

Akhirnya, saya menjumpai senja pertama di Sanur. Tadi pagi hujan deras dan siang begitu panas. Usai kelas sore tadi, saya berlari seperti biasa. Kemudian, masih dengan keringat yang bercampur asin laut, senja tiba perlahan. Mendekatkan cahayanya yang selalu menimbulkan perasaan ajaib. 

Rasanya, saya tidak perlu jadi seorang Sukab. Menggunting sepotong senja untuk kemudian mengirimkannya pada satu yang terkasih, Alina. Saya rasa saya tidak akan melakukannya untukmu. Bahaya besar akan menimpa umat manusia bila sampai senja di Sanur saya gunting dan paketkan supaya engkau bisa memajangnya di meja kerjamu. 

Cintaku,

Hari ini semua modul sudah selesai disampaikan. Artinya, tugas instruktur sudah selesai walau masih harus memeriksa ujian Jum'at esok. Percayalah, bahwa aku pun sebenarnya ingin pulang saja dan segera menemuimu. Berbincang santai denganmu seraya menyelesaikan semua persiapan untuk pernikahan kita nanti yang tinggal menghitung satu purnama lagi. 

Senja ini menuntun pada lamunan tentangmu. Sejauh mana pun saya berlari, ia akan selalu menuntun kepadamu. Saya memang terlalu angkuh untuk mampu menuturkan kata lewat jaringan Indosat. Tapi jangan sekali-kali engkau pikir aku tidak pernah ingin berusaha ada di dekatmu. Membenarkan letak kerudungmu sambil menemanimu minum teh. Ya, kalimat itu tadi sengaja saya adaptasi dari puisi Soe Hok Gie. Beruntung kita masih diberkahi dua jemari yang sehat untuk memijat layar sentuh yang juga ajaib itu. 

Ella yang baik,

Sejenak saya termenung di hadapan laut yang membentang. Langit masih berwarna keunguan. Laut yang terhampar dan bergelora itu mengajari saya bercermin. Tubuh kita ini hanya perahu pada dunia dan angin waktu. Entah, suasana senja yang selalu menghadirkan perasaan menakjubkan ini membuat diri saya terkesiap dan tiba pada pikiran seperti itu. Entah apa maknanya, saya harap Ella mengerti, satu saat nanti. 

Disini, saya kirimkan juga potret senja sore tadi. Kiranya, engkau mampu menafsirkan sendiri senja macam apa yang mampu menenangkan dalam riak gelisah berulang. Apakah senja serupa dengan kesedihan yang sama, bila hanya untuk dinikmati sendirian?

Penuh cinta dan peluk hangat,


Afrectionately yours. 



Sanur, 26 November 2014. 
Teringat pada cerpen "Sepotong Senja Untuk Pacarku"

Selasa, 25 November 2014

Surat dari Sanur




Dear Ella,

Belahan jiwaku, apa kabarnya engkau disana? Apa ada bedanya satu purnama di langit Jakarta dengan di Sanur? Walaupun bulan belum purnama, bayangkan saja pertemuan Cinta dan Rangga yang ternyata tidak lagi shooting di Soekarno-Hatta. Seperti halnya demam Korea,  mereka juga shooting di Incheon Airport. Satu airport hebat di benua kita ini. Saya mengalaminya sendiri. Engkau pun tahu itu.

Denting waktu rupanya berjalan merambat cepat di Sanur. Matahari terbit lebih awal. The sunrise always reminds me of you. Merekah seolah senyum yang menyapa pagi saya disini. 

Saya belum mencoba lari pagi disini. Tapi kemarin sore, saya sudah berlari di sekitar pantai. Tak perlu repot, saya hanya perlu pergi berlari lewat belakang hotel. 

Perlu Ella tahu, keringat saya disini bercampur dengan angin laut. Radanya sedikit asin. Bila engkau disini, pasti tahu macam apa aroma badan saya ini. 

Hari ini saya dibuat percaya lagi bahwa hukum tabur tuai itu ada. Dua tahun lalu, saya dengan gagahnya menjadi seorang perwakilan untuk mengikuti training SMS di Medan. Tinggal di kamar deluxe hotel bintang lima selama seminggu. Saya tidak pernah menyangka bahwa setahun kemudian saya menjadi seorang fasilitator di training serupa. 

Tahun ini, saya dipercaya untuk menjadi instruktur. Saya diberi tanggung jawab untuk menyampaikan tiga modul materi. Hazards, SMS Introduction, dan SMS Regulations. Seorang rekan sekelas alumni Medan dua tahun lalu juga ikut jadi instruktur. Kami bertiga berusaha memberi apa yang kami tahu sekaligus menambah jam terbang. 

Malam ini, diiringi nyanyian desir lembut ombak di pantai, saya merenungi hal ini. Kita memang tidak pernah benar-benar tahu apa nasib waktu. Kita tidak pernah tahu kemana angin berhembus. Persimpangan takdir telah membawa saya pada sebuah pengalaman. Seperti yang sedang saya alami saat ini. 

Ella yang baik,

Usai percakapan kita malam ini, ada sesuatu yang tidak pernah bisa saya bendung. Rindu. Rindu pada binar mata juga hangat senyummu. Kelak, itulah yang akan selalu membawa saya pulang. 

Seperti kata seorang penyair, rindu adalah belajar memeluk, sekalipun tak nampak di pelupuk. Izinkanlah saya mengakhiri surat ini dengan sebuah pelukan paling hangat. Semoga mampu menghangatkan malam di peraduanmu usai hujan di langit Jakarta yang tak pernah tua. 


Peluk rindu,



Affectionately yours. 



Sanur, 25 November 2014. 
dihujam rindu, di pinggir pantai. padamu

Kamis, 13 November 2014

The Joseon Shooter


Satu drama lagi setelah Emergency Couple yang menemani malam saya di Incheon adalah The Joseon Shooter. Drama ini juga dikenal dengan judul Gunman in Joseon. Selama di Incheon saya menghabiskan dua episode awal drama sepanjang 22 episode ini. Yang saya ingat pada akhir episode kedua, Park Yoon Kang tertembak pasukan kerajaan yang mengejarnya. Dari preview episode ketiga, Park Yoon Kang kembali ke tanah airnya dengan penampilan dan identitas yang berbeda. Ia terlihat mahir menggunakan pistol.

Park Yoon Kang diperankan oleh Lee Joon Ki, yang sebelumnya juga bermain dalam drama romantis bercorak kolosal “Ahrang and The Magistrate” bersama Shin Min Ah. Sedangkan, Nam Sang Mi yang jadi lawan main Lee Joon Ki, memerankan Jeong Soo In.

Pada konferensi pers saat drama ini dirilis, Lee Joon Ki mengaku tidak mengalami kesulitan berarti selama proses pengambilan gambar. Ia mengaku tidak dibebani karena harus mengenakan hanbok selama waktu shooting. Berbeda dengan Nam Sang Mi yang agak kesulitan karena harus menggunakan hanbok setiap saat. “Ahrang and The Magistrate” kiranya membuat Lee Joon Ki lebih mudah beradaptasi. Apalagi, tempat shooting yang sama dengan The Joseon Shooter semakin membuatnya leluasa.   


The Joseon Shooter mengangkat cerita pada satu linimasa di Korea (Joseon) dimana penggunaan pedang sebagai alat peperangan dan pertahanan diri sudah mulai ditinggalkan. Pengaruh masuknya Amerika Serikat ke Jepang turut mendorong penggunaan pistol dan senapan laras panjang sebagai senjata. Pengaruh penggunaan senjata di ketentaraan Dinasti Qing (China) juga turut mendorong Joseon untuk mulai meninggalkan pedang sebagai senjata utama.

Pada masa itu,  Joseon mengalami masa pancaroba dalam bidang pemerintahan dimana kaum reformis bersengketa dengan kaum konservatif yang berkuasa di parlemen. Hubungan kelompok konservatif juga mendapat dukungan dari para pedagang untuk melancarkan jalan mereka dalam menguasai perdagangan di seluruh negeri. Ketegangan ini menyebabkan terbunuhnya beberapa pemuka kaum reformis yang ditembak oleh penembak gelap. Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran di kubu reformis. Kerajaan pun segera bertindak untuk menemukan pelaku penembakan.

Ayah Park Yoon Kang, Park Jin Ha sebagai Kepala Pengawal Kerajaan mendapatkan tugas dari Raja untuk memburu penembak misterius. Dalam perjalanannya, ia sempat berhadapan langsung dengan si penembak misterius. Ia juga mendapat beberapa kali kesempatan untuk membunuh si penembak. Karena jalan cerita drama ini masih panjang, maka Park Jin Ha terbunuh dalam duel dengan si penembak.

Kematian ayahnya membuat Park Yoon Kang ingin membalas dendam pada si penembak misterius. Belum sempat bertindak, kubu konservatif berhasil mempengaruhi Raja dan menganggap Park Jin Ha sebagai pengkhianat kerajaan. Hal itu menyebabkan Park Yoon Kang sekeluarga mendapat hukuman. Dalam pelariannya bersama Soo In, Yoon Kang tertembak ketika berusaha kabur melalui jalur laut.

Nam Sang Mi <3 br="">

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan Soo In yang mulai menumbuhkan perasaan pada Yoon Kang. Begitu juga dengan Yoon Kang. Usai tertembak, tidak ada yang tahu kemana Yoon Kang pergi. Hingga suatu saat satu kapal Jepang berlabuh di Joseon. Nampak seorang yang mirip Yoon Kang menembak pelaku kerusuhan di pelabuhan. Sebuah comeback yang dramatis, IMO.

Yoon Kang kembali ke Joseon dengan identitas sebagai Hasegawa Hanjo, pedagang dari Jepang yang bertugas menjalin hubungan dengan pedagang dari Joseon. Kesempatan ini sengaja ia manfaatkan untuk mencari tahu siapa penembak yang membunuh ayahnya. Agenda lainnya, ia harus menemukan adiknya yang dijual menjadi budak.

Choi Won Sin VS Hasegawa Hanjo

Selama masa tinggal di Joseon, Hanjo banyak berinteraksi dengan kepala kelompok pedagang terkemuka, Choi Won Sin. Keduanya saling curiga. Hanjo menaruh curiga karena Choi Won Sin mempunyai luka di tangan kirinya seperti yang diceritakan ayahnya usai bertarung dengan si penembak. Choi Won Sin pun mencurigai Hanjo sebagai Yoon Kang yang menyamar.

Soo In dan adik Yoon Kang merasa kaget ketika menemui Hanjo. Keduanya menganggap Hanjo adalah Yoon Kang. Pergolakan dalam batin Yoon Kang tidak tertahankan. Tapi demi membalas dendam atas kematian ayahnya, ia menguatkan dirinya sendiri agar tidak terbawa emosi. Soo In pun meyakinkan dirinya sendiri bahwa suatu saat Yoon Kang akan kembali dan kelak mereka akan bisa hidup bersama tanpa ada rasa khawatir seperti saat ini.

Hanjo sendiri merancang beberapa skenario dalam usahanya untuk menemukan si penembak misterius yang tak lain adalah Choi Won Sin. Kubu konservatif yang berada di belakang Won Sin selalu mendesaknya untuk segera menghabisi siapa saja yang menghalangi langkah mereka. Namun, revolusi selalu menelan anaknya sendiri. Sang pemimpin konservatif akhirnya mati ditangan Won Sin karena ia sudah tidak tahan atas perintahnya.

Choi Won Sin & Choi Hye Won

Won Sin sendiri mendapat dukungan dari Wakil Perdana Menteri untuk membuat Departemen Perdagangan. Dengan begitu, ia dapat menguasai perdagangan di seluruh negeri. Intrik-intrik politik dan kekuasaan semakin merajalela karena Raja pun tidak mampu berbuat apa-apa. Raja sendiri merasa berhutang budi pada Won Sin dan anaknya, Choi Hye Won, yang menyelamatkan Raja ketika terjadi pemberontakan yang didalangi kaum reformis.

Setelah melalui berbagai usaha, akhirnya identitas Yoon Kang terungkap. Ia kembali jadi buronan kerajaan. Puncaknya, Yoon Kang berhadapan langsung dengan Won Sin, si pembunuh ayahnya. Keduanya sengaja bertemu untuk duel. Yoon Kang berhasil melumpuhkan Won Sin dan punya kesempatan untuk membunuhnya. Park Yoon Kang tidak membunuh Choi Won Sin. Ia merasa tidak ada gunanya. Ayahnya pun tidak akan kembali dengan kematian Choi Won Sin. Choi Won Sin pun bunuh diri. Seperti dapat ditebak, Park Yoon Kang dan Jeong Soo In kembali bersatu.

Catatan Seorang Penulis Dadakan



Drama sepanjang 22 episode ini berhasil dalam membangun karakter tokoh-tokoh pemerannya. Hanya saja, plot menjadi bercabang ketika intrik politik dan kekuasaan menjadi sentral jalan cerita. Walau begitu, benang merah yang terjalin antar konflik balas dendam dengan intrik-intrik tersebut kembali mewujud dalam rangkaian cerita yang happy ending, sebagaimana drama romantis pada umumnya.

Walaupun kecenderungan untuk menumbuhkan perasaan ‘heartwarming’ tidak begitu kuat kiranya pelajaran utama dari The Joseon Shooter adalah cinta kasih dan pengorbanan. Tak terhitung berapa kali sudah Yoon Kang membahayakan dirinya demi menyelamatkan orang-orang terdekatnya. Pun, Choi Won Sin yang sangat menyayangi Hye Won dan tidak ingin nasib buruk mereka di masa lalu terulang.

Sulit untuk memilih scene mana yang jadi pilihan favorit saya. Seperti Shin Min Ah, Nam Sang Mi berhasil merebut perhatian saya (karena sepenuh hati ini sudah jadi milik @farida_ella :D ). Aktris berusia 30 tahun ini mempunyai karakter yang kuat, terlihat pada adegan dimana Soo In dan ayahnya diinterogasi oleh Mahkamah Kerajaan. Soo In yang kesakitan terlihat tegar menghadapi dera dan siksa.

Personally, drama ini sukses membuat perasaan penonton seperti saya turun naik. Saya suka dengan intensitas cerita dalam drama yang saya tamatkan selama kurang lebih dua minggu. Naik turunnya cerita ini adalah buah dari pengembangan karakter masing-masing tokoh. Ceritanya pun tidak selalu bertutur tentang bagaimana sebuah revolusi berlangsung dan bagaimana dendam yang berhasil dibalaskan.

The Joseon Shooter punya ending yang tidak terlalu sulit ditebak. Pada akhirnya, kebaikan akan selalu menang. Revolusi selalu memakan anaknya sendiri, begitulah yang terjadi dengan kaum konservatif yang berusaha mempertahankan status quo. Dari sisi sejarah, drama kolosal ini memberikan wawasan tentang kondisi geopolitik di poros semenanjung China-Korea-Jepang saat itu serta implikasi masuknya pengaruh Barat dalam kehidupan masyarakat mereka.

Akhirul kalam, The Joseon Shooter layak dinikmati oleh kalangan remaja hingga dewasa. Banyak hikmah dan pelajaran tata negara yang bisa diambil dari drama ini. Tuntutlah ilmu walau hanya dari sepenggal drama Korea, kiranya tidak terlalu salah.

 
Judul         : The Joseon Shooter
Pemeran   : Lee Joon Ki – Park Yoon Kang; Nam Sang Mi – Jeong Soo In; 
                   Jeon Hye Bin – Choi Hye Won; Yoo Oh Seong – Choi Won Sin; 
                   Han Juwan – Kim Ho Kyeong
Durasi        : 22 Eps
Produksi    : KBS

 
Medan Merdeka Barat, 13 November 2014.

Rabu, 12 November 2014

12 Tahun AADC

Adalah cinta yang mengubah jalannya waktu
Karena cinta, waktu terbagi dua
Denganmu dan rindu, untuk membalik masa


Dua tahun lalu, saya menemukan sebuah jawaban atas sebuah pertanyaan dua belas tahun lalu. Finally, tahun ini Rangga dan Cinta mengalaminya. Dua belas tahun jarak waktu dan ruang membentang akhirnya kembali tayang. Apa hubungannya? Abaikan. Apapun itu, kita harus berterimakasih pada perusahaan developer aplikasi chatting yang sengaja mengumpulkan The Signature of 2002. Minus Dennis Adhiswara.


Ada Apa Dengan Cinta akhirnya kembali tayang. Meski dalam format mini drama yang habis ditonton sekali duduk. Biarpun begitu, AADC versi 2014 ini membuat para muda-mudi yang mengalami masa-masa bangkitnya perfilman Indonesia medio 2002 silam,  kembali mengenang masa keemasan paling indah dalam hidup mereka (Saya sih iya. Kamu?). Mini drama ini seakan ingin menjawab pertanyaan atas segenap rasa penasaran kita, “12 tahun ini Rangga dan Cinta ngapain aja?”.

Rangga terlalu sibuk, mana sempat ingat sama Cinta.
Dimulai dengan Rangga yang disela kesibukannya harus menyempatkan diri pulang ke Jakarta demi urusan pekerjaan. Well said. Rangga kini sudah jadi pekerja kreatif yang (nampaknya) sukses di New York sana. Ukurannya apa? Rangga bisa dapat penugasan ke luar negeri dari kantornya.

Sambil menyiapkan bekal perjalanan tugasnya, tak sengaja Rangga menjatuhkan buku “Aku” karya Sjuman Djaya. Ini pasti sebuah konspirasi besar alam semesta untuk mengembalikan ingatan Rangga pada Cinta.

The Gang: Friendship never ends
Cinta sendiri (barangkali) menjalani pekerjaan impiannya. Sambil sesekali berkumpul bersama geng SMA, Alya, Maura, Milly, dan Carmen; yang tentunya sudah punya hidup masing-masing juga. Saat itu juga, Rangga menemukan kembali Cinta lewat fitur aplikasi chatting yang terkenal gara-gara stikernya itu. Rangga yang terkenang masa lalu bersama Cinta, mengirim pesan langsung ke ponsel  Cinta. Sejenak, Cinta merasa aneh karena ia tidak mengenal Rangga yang lain. Alhasil, pesan Rangga itu berhasil mengoyak jala memori dalam ingatan Cinta.


Rangga berusaha menemui Cinta dalam perjalanannya ke Jakarta. OK, sampai disini barangkali juga pembaca sudah mafhum bahwa beredar kabar hoax yang menyatakan bahwa Cinta sudah tidak lagi tinggal di Jakarta tapi di Bekasi, lalu Rangga mencoba menyamar menjadi agen MLM untuk mendekati kembali Cinta. Prelude yang bagus untuk rehat sejenak dari kebosanan rutinitas :p.


Rangga terus menerus mengirimi pesan pada Cinta. Pesan yang percuma saja karena tidak terbalas. Cinta sendiri bukannya tak ada usaha.  Ia mencoba meyakinkan perasaannya kembali pada Rangga. Satu sisi, ia tidak ingin memberikan harapan apa-apa untuk Rangga. Namun, sisi lain hatinya pun merasa ingin melangkah dan melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu (baca: Rangga).

Rangga dan Cinta bakal ciuman lagi?

Memang dasarnya sekuel mini ini berbasis drama, selalu ada kejutan menjelang akhir cerita. Lupakan sejenak pesan sponsor. Cinta memutuskan untuk tidak menjawab pesan-pesan Rangga. Rangga pun sudah patah harapan untuk bertemu Cinta. Keajaiban itu nyata bagi mereka yang meyakininya. Sepertinya doa Rangga didengar Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Maha Pembulakbalik Hati, yang akhirnya mengirim Cinta untuk menemui Rangga. Lagi-lagi, menjelang waktu keberangkatan Rangga.

Detik tidak pernah melangkah mundur,
Tapi kertas putih itu selalu ada.
Waktu tidak pernah berjalan mundur,
Dan hari tidak pernah terulang.
Tetapi, pagi selalu menawarkan cerita yang baru.
Untuk semua pertanyaan, yang belum sempat terjawab.


“Jadi, beda satu purnama di New York dan di Jakarta?” Pertanyaan akhir yang menutup cerita. Kiranya, penonton harus kembali menunggu jawaban apa yang akan Rangga berikan pada Cinta.

Gugatan Seorang Penulis Dadakan

Saya termasuk dalam generasi emas yang ikut mengalami fenomena Ada Apa Dengan Cinta jilid pertama. Saya juga termasuk dalam golongan pembaca yang ikut penasaran dengan buku “Aku” tulisan Sjuman Djaya namun batal membelinya di toko buku. Saya masih kelas 1 SMA ketika Cinta memberikan ciuman perpisahan pada Rangga. Film ini seakan mewakili keberadaan entitas kami di dunia yang tak pernah selebar daun kelor ini.

Kembalinya kisah Rangga dan Cinta ini sempat saya ketahui dari judul headline sebuah portal berita online. Katanya, pemeran AADC-minus Dennis Adhiswara @omdennis- kembali reuni untuk promosi sebuah produk. Saya tidak lantas membaca berita itu lebih lanjut karena tidak menyangka bahwa reuni mereka akan berakhir dengan sebuah rilis mini drama.

Weekend minggu lalu, saat Persib bersiap merayakan keberhasilannya menjuarai Liga Indonesia, saya dikejutkan dengan rilis sekuel AADC yang bisa ditonton di Youtube. Saya tidak menyangka bahwa akan ada konspirasi besar antara pemilik modal (sebut saja perusahaan pengembang aplikasi chatting berwarna hijau) dengan reuni pemeran AADC.


Saya bersyukur karena akhirnya tidak lagi penasaran, apakah Rangga berhasil melalui satu purnama tanpa Cinta nun jauh disana. Buktinya, keduanya baik-baik saja tanpa harus saling mengingat, hanya dengan menjalani hidup masing-masing saja. Tetapi, kita memang tidak pernah tahu apa nasib waktu. Kita tidak pernah benar-benar paham bagaimana persinggungan takdir mempertemukan kita dengan seseorang, lantas akrab lengket seperti ketan, kemudian kembali berpisah atas nama takdir pula.

Melalui mini drama ini, kita kembali dihadapkan pada Cinta yang masih mengalami peer pressure dari keempat sahabatnya. Lupakan Rangga, cari yang lain saja. Begitu kata mereka *kecuali Alya*  yang merasakan kegundahan Cinta. *peluk Ladya Cheril*. Cinta terlihat seperti yang tidak mau cari ‘gara-gara’ dengan Rangga namun akhirnya mengalah pada perasaannya dan menemui Rangga di saat-saat terakhir langkah Rangga di Jakarta. Pelajarannya, barangkali Dian Sastro dan Nicholas Saputra ingin berpesan bahwa tidak baik memberikan harapan palsu pada seseorang kecuali kamu sudah seganteng dan secantik mereka berdua. #justsaying

Alya, aku juga pengen kita mulai dari awal lagi *digetok Mira Lesmana*

12 tahun waktu berlalu dan mereka berdua asyik dengan hidup masing-masing dan hanya dihabiskan dengan pertemuan singkat di akhir cerita. Keduanya tidak sama-sama berusaha untuk menjalin kembali apa yang telah mereka mulai. Kalau saat itu umur mereka 18 tahun, berarti mereka sekarang sudah berumur 30 tahun. Waktu yang cukup dari ideal untuk mempersatukan tali cinta abadi. Hal ini menandai satu fenomena bahwa kaum muda di Ibukota baru memulai untuk menjalin hubungan serius di penghujung umur 20-an mereka. Tentu, perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hipotesis dadakan saya ini.

Kemasan mini drama sekuel ini rasanya cukup baik dengan polesan scoring yang tepat. Dibuka dengan puisi Rangga, diiringi instrumen lagu-lagu official soundtrack, dan ditutup dengan puisi Rangga dan Cinta. Perlu ada analisis tersendiri pula mengapa lagu ‘Demikianlah’ menjadi dominan di akhir cerita. Apa karena ada liriknya yang berkata: “kata orang rindu itu indah”, sehingga Rangga dan Cinta butuh waktu lagu untuk menikmati kebersamaan mereka dalam bentangan jarak dan waktu? Semoga kita tidak perlu menunggu hingga 12 tahun lagi untuk mendapatkan jawaban.

Terakhir, andai saya jadi Rangga saya akan menjawab pertanyaan Cinta.

“Jadi, beda satu purnama di New York dan di Jakarta?”

Saya akan menjawab:

“Cinta, percayalah, bahwa ketika engkau menatap purnama di langit Jakarta, aku pun menatap purnama yang sama di langit New York” *keselek duren*



Paninggilan, 12 November 2014.
menatap nanar pada gerimis, rindu

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...