Kamis, 23 Februari 2012

To Forgive is To Forget

“Baru aja salaman sm orang yg bikin idup kita sekeluarga totally messed up 9 years ago. Time flies, isn’t it? To forgive is to forget.”

Twit yang dibuat pagi tadi itu adalah penanda. Sungguh suatu pertemuan yang tidak diduga. Sembari sarapan di hotel tempat kami biasa menginap secara tidak sengaja kami bertemu senior yang sudah pensiun duluan dan kebetulan sedang di Bandung untuk urusan pekerjaan. Sangat tidak disangka, bahwa pertemuan dengan senior kami ini justru menjadi pengantar pertemuan lainnya dengan seseorang yang namanya saya kenal sekali.

Betul, pagi tadi saya telah bersalaman dengan orang yang pernah saya benci 9 tahun yang lalu. Sebuah kebencian yang teramat sangat karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Kenapa demikian? Karena dibawah kepemimpinan beliau ini satu industri kebanggaan rakyat Indonesia dinyatakan kolaps! Jadi, pernyataan saya tadi tidak terlalu salah kan?

Back to 2003. Medio bulan Juli. Saya masih ingat ketika pengumuman itu tiba-tiba jadi headline media cetak di Bandung. Saya tidak menyangka bahwa hal ini terjadi begitu cepat disaat saya baru saja menyelesaikan kelas 2 SMA dan menandatangani kontrak setahun ke depan untuk duduk di kelas 3 IPA 2. (if I may add, saya baru pulang liburan dari Dufan and i didn’t need any crap like what happened at that time). Belum lagi,ketika membayangkan urusan setelah lulus sekolah. Masuk Universitas/Institut negeri adalah semacam “kewajiban” untuk manusia-manusia yang mengaku pernah masuk kelas IPA.

Hal ini sangat mengganggu. Bukan hanya saya dan adik saya, tetapi juga pada teman-teman yang orangtuanya senasib dengan saya. Saat itu, distraksi sosial akibat kejadian itu membuat segregasi-segregasi tertentu dalam lingkungan kehidupan bertetangga. Ah, tidak perlu saya ceritakan bagaimana Anjani harus menutup mukanya setiap melintasi kerumunan demonstran itu. Tidak perlu juga saya gambarkan bagaimana komunikasi antar tetangga yang tidak lagi sehangat dulu, bahkan tidak ada senyum sekalipun berpapasan.

Saya rasa, kalau memang kita hidup di waktu itu dan merasakan setiap gejolak disana, pasti bisa dengan mudah menebak siapa orang itu. Walaupun vonis PTUN menyatakan dia bersalah tetap saja hukum memiliki bahasanya sendiri. Bapak kita yang satu ini malah hilang tak tahu rimbanya. Entah, tidak ada yang tahu apakah dia pernah mendekam dibalik penjara selama 3 bulan itu atau malah dipenjara karena perasaan bersalahnya sendiri. Hanya Tuhan dan Hakim yang tahu.

Time flies. Saya tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi justru disaat kebencian saya tidak seperti dulu. Saya sadar bahwa ada alasan Tuhan dibalik pertemuan ini. Saya selalu ingat sosok Bapak setiap kali berurusan dengan hal ini. Setidaknya, ada beberapa pelajaran yang bisa saya ambil sebagai hikmah dari kasus ini. Saya jadi lebih paham bagaimana Bapak memaknai dan memegang teguh prinsip. Sejak saat itu, saya berjanji tidak akan mengecewakan Bapak lagi. Saya akan menjadi seperti apa yang Bapak inginkan walau pada akhirnya Bapak mengembalikan semua itu pada saya.

Saya menjadi lebih realistis tanpa mengesampingkan impian masuk Universitas atau Institut Teknik paling wahid se-Nusantara. Seiring waktu berjalan, setelah melewati momen perenungan yang tiba-tiba pada suatu malam. Saya mengambil suatu keputusan yang sulit namun saya yakini itu akan berhasil. Saya akan menuju kesana dengan cara saya sendiri. Saya menginisiasi perjudian atas nama nasib. Saya tidak punya banyak pilihan tapi saya harus terus melangkah kesana. Dengan segenap sumber daya yang semakin terbatas. Sementara langit masih tak berbatas.

Singkatnya, kejadian itu memaksa saya untuk berjudi dengan tiap kemungkinan yang mampu dihadirkan oleh nasib. Saya bersyukur untuk mengalami hal yang demikian. Suatu pembelajaran yang membuat saya merasa harus keluar dari comfort zone dan berusaha dengan segala keyakinan yang hanya dimiliki oleh saya. Bahwa mewujudkan impian itu adalah usaha yang dibarengi kerja keras, keringat, doa, dan sedikit keberuntungan.

Mungkin masih ada dendam yang tersisa. Suatu perasaan yang menggugah rasa sakit di masa lalu. But hey, time goes on. People touch and they gone. Sudah tidak pantas bila saya masih membawa pedih itu sampai hari ini. Karena yang ada di benak saya sekarang adalah: kalo dulu gak gitu, sekarang ya gak gini.


Bandung-Paninggilan, 22 Februari 2012.

Rabu, 22 Februari 2012

Satu Malam, Tiga Cerita

#1: Rumah

i'm just too far, from where you are, i wanna go home... (Michael Buble - Home)

Katanya, home is where your heart is. Harusnya memang begitu. Sebuah tempat untuk menentramkan hati dan bisa sembunyi sesaat dari penat beban dunia. Beberapa waktu lalu, saya sempat dilanda kejenuhan. Kejenuhan yang justru saya rasakan di rumah sendiri. Entah mengapa. Saya tidak tahu pasti sebabnya.

Sepulang dari Garut kemarin, setelah habis disiksa kenangan sepanjang jalur Garut-Bandung, baru saya rasa benar fungsi utama rumah sebagai tempat kembali, beristirahat sejenak dan menghela nafas panjang. Awalnya, kejenuhan itu melanda lagi. Namun, setelah membuka pintu kamar semua itu lenyap sudah.

Tumpukan buku-buku yang belum selesai dan masih akan terus dibaca seakan jadi penawar rindu. Lunch With Mussolini yang baru selesai 3 halaman, Slilit Sang Kiai dari Emha Ainun Nadjib dan Mangan Ora Mangan Kumpul dari Umar Kayam yang belum tamat setengah buku, tesis Andy Fuller berjudul Sastra dan Politik: Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma yang masih setengah terbuka. Belum lagi, 25 Cerpen Kahitna dan Kumpulan Sajak Cinta: Cinta, Kenangan, dan Hal-hal yang Tak Selesai, masih menanti untuk dibuatkan catatan.

Suatu perasaan yang melegakan untuk kembali ke rumah adalah ketika menjumpai dua model pesawat kebanggaan bangsa Nusantara, CN235 dan N250 skala 1:25, buatan Bapak ketika masih jadi bagian dari karyawan IPTN. Pun sama halnya dengan ketika menyalakan radio yang segera mendendangkan lagu-lagu kesayangan. Thanks to @RadioB_956fm for playing Crowded Houses's recycled song, Don't Dream It's Over.

Obat jenuh itu ternyata sederhana. Cukup lakukan apa yang harus kita lakukan agar perasaan itu segera hilang dan lenyap. Berkubang di kasur sambil mendengarkan radio tentu menjadi pilihan. Memang serba salah rasanya bila memang semua itu belum cukup jadi penawar. Tetapi, saya mencoba berdamai dengan situasi yang demikian. Nikmatilah apa yang ada hari ini, karena esok masih tanya bisu.

Pharmindo, 20 Februari 2012.


#2: Lampu Kamar
Satu alasan yang coba saya hindari setiap pulang ke rumah adalah sesuatu yang absurd. Saya kecewa karena lampu kamar sahabat saya yang tinggal persis di depan rumah itu selalu mati, sejak dia menikah. Sungguh satu alasan yang tidak menuntut pembenaran tetapi malah menghadirkan sejuta penyangkalan. Betapa  seorang sahabat yang seluruh hidupnya (sebelum menikah) adalah bagian dari cerita sejarah bersama tiba-tiba pergi menjadi bagian sejarah di tempat lain.

Agak sedikit cemburu rasanya bila hal kecil seperti itu bisa menjadi masalah besar untuk saya. Padahal, kalaupun dia belum menikah tentu kami pun hanya akan bertemu setiap akhir pekan. Pagi-pagi, sambil mencuci motor. Terlalu banyak absurd dalam hidup ini bahkan dalam hal kecil sekalipun. Ternyata, memang tak mudah untuk melepaskan segala ingatan tentang seseorang yang kurang lebih 25 tahun ini selalu ada dihadapan kita. Bahkan, ketika itu terjadi pada sahabat kita sendiri.

Setiap saya melihat lampu kamarnya mati ada perasaan kehilangan. Mungkin saya yang belum rela melepaskannya dan itu memang tidak adil buat dia. Seakan dia menjelma jadi bagian diri saya sehingga ketika ada orang lain mengambilnya saya tidak rela melepaskannya begitu saja. Padahal, itu sudah takdir Tuhan. Tuhan telah mengumpulkan segala yang berserakan diantara hidupnya, hatinya dan kekasihnya lantas menempatkan mereka dalam suatu ikatan pernikahan. Suatu bekal untuk menjalani proses pendewasaan.

Rasa tenang muncul kala mendengar suara motornya. Walau kadang hanya mampir sebentar lalu pergi. Tapi itu tetap tidak bisa mengganti perasaan cemburu dan kehilangan ini. Saya sadar bahwa ini baru awalnya saja. Sahabat-sahabat yang lain pun akan segera menuju takdirnya masing-masing. Suatu pertanda makna eksistensialitas individu. Seperti saya yang selalu merasa harus kembali ke Jakarta. That’s life. Life happens.
Pharmindo, 20 Februari 2012.

#3: Kenangan

Biarlah aku menyimpang bayangmu, dan biarkanlah semua menjadi kenangan... 
(Reza & Masaki Ueda - Biar Menjadi Kenangan)

Terbuat dari apakah kenangan itu sehingga kita selalu harus kembali teringat padanya? Terbuat dari apakah kenangan itu sehingga menyiksa kita kala rasa itu datang menghujam?

Kembali ke Garut artinya meretas kembali jala memori. Maret 2008, sengaja saya pergi kesana untuk mewawawancarai narasumber yang ucapannya bakal menjiwai seluruh isi skripsi. Skripsi saya waktu itu membahas komik. Kebetulan, narasumber ini juga adalah seorang peneliti komik, namanya Hikmat Darmawan. Search him on Google, and leave your comments here. Huge thanks to Mas Agung Jennong (kurator Selasar Sunaryo Art Space, Bandung), dan Mas Ade (aktivis ruangrupa, Jakarta) yang sudah mau bagi-bagi link untuk menghubungi Bang Hikmat. Hanya dalam waktu 1 jam 30 menit, wawancara di sebuah hotel di Cipanas ini selesai. 2 minggu setelah wawancara itu, saya dinyatakan lulus dan resmi bergelar Sarjana Komik (upss... kata teman-teman). It’s really amazing.

Januari 2010, boleh dibilang adalah bulan dimana seakan dunia menjauh dari kehidupan saya. Semuanya seakan tidak bersahabat dengan nasib saya yang waktu itu sudah 2 bulan jadi pengangguran. Kini, saya sadar bahwa semua yang saya rasakan waktu itu adalah berkah Tuhan untuk menguatkan saya. Meniru istilah pemilik blog Bintang Biru, taqisthi.wordpress.com, saya adalah busur panah yang sedang ditarik untuk kemudian dilepaskan mencapai sasaran dengan kecepatan penuh.

Anyway, ini semua bukan tentang busur panah tetapi pernikahan sahabat pada tanggal 14 Januari 2010 (masih ada hubungannya gak sih?). Saya datang bersama kawan-kawan lain dan yang terpenting, F (sengaja disingkat) ada disitu. Kenapa F jadi begitu spesial itu lain cerita. Sila baca diary bertanggal Desember 2007. Karena memang sudah lama tidak bertemu F,  sepanjang perjalanan Bandung-Garut-Bandung jadi kesempatan saya untuk menyelami dirinya lebih dalam. Saya tahu belum ada yang memilikinya namun saya cukup sadar bahwa saya tidak bisa memberikan harapan apa-apa. I’m now frustatically jobless and pathetically hopeless. Makanya, ada sedikit rasa sesal ketika melambaikan tangan pada F yang akan segera kembali ke Jakarta. Saya tidak punya apa-apa untuk meyakinkan F bahwa saya benar-benar menginginkannya untuk meraih dayung bahagia itu satu kayuh berdua.

Perjalanan kemarin itu sungguh “menyiksa”. Semua kenangan itu tiba-tiba menguak dari kesadaran jiwa yang paling dalam. Mungkin saya sudah berhasil melakukan apa yang pernah saya tulis untuk Cherika: I fail, I mearn, I move on. Tapi saya lupa satu hal. I’m not let it go. So, please from now on: look back, dont stare.*)

*) mengutip SMS sahabat di inbox ponsel

Pharmindo, 20 Februari 2012.

Jumat, 17 Februari 2012

Selamat Ulang Tahun, Ibu.

Ibu,

Ibu adalah sosok yang takkan bisa terganti oleh siapapun. Ibu adalah perempuan hebat yang lebih dari mampu untuk menanggung beban seberat apapun. Buat saya, Ibu adalah semuanya.

Ibu tidak berkata apa-apa ketika Bapak mengambil keputusan untuk berhenti kerja dan pensiun (lebih awal). Ibu tidak bertanya tentang keputusan Bapak. Termasuk segala kemungkinan yang mungkin muncul sebagai konsekuensi pilihan Bapak. Beliau tidak banyak menuntut dan tetap percaya pada keputusan Bapak, apapun itu.

Ibu pun tidak banyak bertanya mengenai masa depan saya. Beliau hanya titip pesan supaya saya memilih apapun yang benar-benar bisa membuat saya terpacu untuk jadi lebih baik. Waktu wisuda, Ibu dan Bapak menangis ketika saya masuk Top Ten Achiever dan menerima penghargaan khusus dalam acara seremonial. Itu hanya bagian kecil dari yang saya bisa lakukan. I still have another more for you.

Ibu pula yang pernah membuat saya menangis. Dalam suatu wawancara kerja di BPPT, pertanyaan tentang Ibu adalah pertanyaan yang paling dramatis dan melankolis. Mungkin itu sebabnya harus ada air mata sebagai penanda bahwa kasih Ibu sepanjang zaman.

Hari ini, 51 Tahun usia Ibu. Setengah abad terlampaui dengan curahan kasih yang tiada henti pada saya dan adik. Sampai saat ini, saya belum tahu apakah saya pernah membalas barang secuil kasih beliau. Hanya Tuhan dan Ibu yang tahu.

Selamat ulang tahun, Ibu. Doa kami selalu bersamamu. Dalam suka, duka, dan kenangan.


Medan Merdeka Barat, 17 Februari 2012.

Kamis, 16 Februari 2012

Penyesalan

“Rasa sesal di dalam hati diam tak mau pergi, haruskah aku lari dari kenyataan ini.”
(Iwan Fals – Yang Terlupakan)

 
Gerbang Tol Cikarang Utama. Senin, 04.43. I need you now, more than words can say*. Entah kenapa, saya merasa harus menaikkan volume suara radio dari tape mobil saat lagu itu mengalun. Entah kenapa pula, perasaan saat itu langsung menunjuk pada seseorang dan menyebut sebuah nama. Seseorang yang saya temui akhir pekan lalu, di toko buku pojokan sebuah jalan. Suatu pertemuan biasa yang sangat luar biasa. Saat-saat dimana rasa berpadu menyublim dalam kenangan.

Harusnya ada yang tersampaikan. Tersampaikan langsung pada dua bola mata itu. Entah kenapa, kalau ingat lagi saat itu malah jadi malu. Rasanya jadi manusia paling bodoh, pengecut, dan munafik sedunia. Ternyata meraih kesempatan, memang tak mudah. Penyesalan selalu datang terlambat. Tapi lebih baik menyadarinya sekarang sambil berharap dan mencoba untuk menemui dia kembali.

Terus terang, ada tanya yang mengganjal dalam pikiran. Apakah saya terlalu serius menanggapi isi fiksi itu. Ketika memendam rasa dinilai lebih baik dibandingkan dengan pengungkapan rasa yang justru malah menjauhkan. Lagipula itu hanya fiksi dan saya merasa salah sekali karena mempercayainya. Suatu hal yang absurd, tidak realistis.

Saya takut dia menjauh, itu pasti. Sangat takutnya hingga malah membuat saya terpenjara dalam kemunafikan paling agung: Mencintai tanpa mengungkap rasa. Saya memang salah. Saya tidak bisa adil pada perasaannya. Sudah seharusnya saya menanggung beban rindu yang berkejaran. Saling membaur dalam realita dan semu. Beban itu semakin bertambah ketika dia bilang sedang ingin sendiri. Walau ingatan saya waktu itu langsung merujuk lirik lagu Rinto Harahap: bila kau seorang diri, ku ingin menemani. Tetapi, saya hanya mampu diam tanpa kata. Mematung dalam lebat hujan Kota Kembang.

You only have one shot at everything**. Tulisan itu mengingatkan saya kembali bahwa tidak banyak orang beruntung yang memperoleh kesempatan kedua. Jika memang kesempatan itu belum ada, biar saya menciptakannya. Saya harus melakukannya. Seperti adegan closing film “For The Love of The Game.” Saya ingin mengatakan semua ini agar kelak tiada penyesalan lagi. Bila waktu itu datang. Saya akan ada disana. Demi sebuah pengakuan, tentang rasa.

 
Medan Merdeka Barat, 16 Februari 2012

*dari lirik lagu “(I Need You Now) More Than Words Can Say” dinyanyikan oleh Alias.
**dari teks dalam buku “Catatan Mahasiswa Gila” ditulis oleh Adhitya Mulya (@adhityamulya), Mahaka Media, 2011.

- dibuat sambil memutar lagu "I Have Nothing"dan Ï Will Always Love You", Live performance by Charice 2009, yang semakin membuat perasaan semangkin tidak karuan.

Rabu, 15 Februari 2012

Terapi

Pergilah kasih, kejarlah keinginanmu
Selagi masih ada waktu - (Chrisye - Pergilah Kasih)

Suatu hari, entah karena memang sudah jenuh dengan diri sendiri atau memang karena roda kehidupan sedang berjalan tak seirama saya mencoba suatu terapi. Saya tidak tahu pasti nama terapi itu apa. Saya mencoba untuk memberi terapi pada diri sendiri lewat musik. Sejenis music-therapy juga bukan. Bagaimana caranya? 

Saya  membuat playlist lagu-lagu yang jadi official soundtrack untuk setiap episode dalam hidup saya (Thanks to Circle of MusicDelta FM). Sengaja, 10 lagu pilihan itu saya share di milis kelas K1D-A 2004. Pesan saya waktu itu:

"Barangkali karena saya sedang menjalani terapi, saya mohon kiranya warga milis disini memilih satu judul lagu yang ada di playlist dibawah ini. Nanti saya akan buat cerita tentang momen-momen yang terlewati bersama lagu-lagu itu. Mudah-mudahan itu bisa jadi penyembuh dan saya segera bisa menyelesaikan terapi ini. Make your songs count, anyone! Selamat memilih. Semoga (saya) lekas sembuh. 11 Nov 2011"

Sejak membaca posting blog berjudul "Jurnal Syukur" di allaboutlelly.blogspot.com, saya tergerak untuk berpikir dan menata hidup kembali. Rasanya, bersyukur adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan sekalipun keadaan memang tidak mengharapkan demikian. Karena itu, saya mencoba untuk jujur pada diri sendiri agar bisa kembali berdamai bersamanya. Melalui musik saya mencoba menelusuri ruang hati terdalam dan mencoba menemukan semua jawaban atas segala tanya yang mengganggu.

Saya tergerak melakukan ini karena menurut beberapa sahabat (yang bisa dipegang omongannya) saya belum bisa berdamai dengan masa lalu dan melepaskannya pergi. Ah, terlalu sentimentil tetapi memang begitu adanya. Seperti saat saya melihat-lihat kembali semua postingan di blog ini. Sebelum akhirnya terhenti pada sebuah post berjudul "Penggalan Lirik di Atas Rel Kereta" tertanggal 24 Juli 2011.

Penggalan Lirik di Atas Rel Kereta

Postingan ini dibuat dengan segala kenangan yang deras mengalir tentang hari itu. 10 Juli 2011. Pernikahan Farah di Cirebon. Suatu momen yang semakin menyadarkan saya bahwa hidup tidak akan terhenti pada satu persimpangan. Hidup akan terus melaju. Mengalir sampai jauh. Hingga batas usia tak lagi mampu menahan segala keinginan.

Ide awal dari postingan ini adalah jawaban-jawaban atas pesan singkat dari seorang sahabat yang masuk ke ponsel beberapa detik sebelum KA Cirebon Ekspress bergerak meninggalkan Cirebon tepat sebelum adzan Isya berkumandang. 

Pesan darinya hanyalah singkat. Rara, begitu nama yang tercantum di phonebook, bertanya perihal perasaan saya hari ini. Rara memastikan saya memang siap menghadapi kenyataan bahwa esok akan tiba dengan sesuatu yang berbeda. 

Memang, menerima kenyataan kadang tak semudah mengharapkannya. Terlebih ketika harus melepas segenap perasaan dan kenangan yang tertinggal untuk sebuah nama yang pernah mengukir kisah dalam hati. Ya, Dia telah menikah dan menambatkan hatinya. 

Waktu terus berlalu, menuai usia kita
Biar dua hati bercanda, di padang yg kita bina

Bahagialah kasihku, abadilah cintaku

Biarlah dunia berlalu - (Java Jive-Menikah)

Penggalan lirik diatas adalah jawaban saya yang pertama untuk Rara. Saya lupa apa pertanyaan itu. Semua sudah terhapus tanpa sisa. Doa saya untuk mempelai, berbahagialah dan abadilah cinta mereka, biarkan dunia berlalu. Karena waktu, tak akan pernah menunggu.

It's painfully clear
There's a river of tears

Behind my eyes - (Paul Carrack - Behind Those Eyes)

Kalau lirik yang ini sengaja diadaptasi dari lirik aslinya, lalu jadi 'behind my eyes'. Terus terang, saat roda kereta perlahan beradu dengan rel saya hampir menitikkan air mata. Saya mengalami suatu momen pelepasan. Untung, 3 orang kawan lain duduk di gerbong terpisah. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan saya waktu itu. Saya tiba-tiba dipaksa untuk melepaskan segala asa, cita, dan kenangan yang melekat pada dirinya. It's over when it's over. I keep saying that.

Tak mudah untuk dihati, tak mudah untuk dihadapi
Saat harus mengucap: selamat tinggal

(Indra Lesmana & Gilang Ramadhan - Selamat Tinggal)

Memang hal ini tidak mudah untuk dihati, juga tak mudah untuk dihadapi. Saya telah mengalami suatu perjalanan jauh ini untuk hari bahagianya. Sebuah nama yang pernah ada dihati dan bersamaan dengan itu, saya juga harus melepas segalanya seraya mengucapkan: Selamat tinggal.

Selamat jalan kekasih...(Rita Effendi-Selamat Jalan Kekasih)
Selamat tinggal masa lalu

Aku 'kan melangkah

Maafkanlah segala yang pernah kulakukan padamu (Five Minutes - Selamat Tinggal)

Dua lirik diatas adalah penanda bahwa saya kembali pada kehidupan saya yang biasa. Tentu pembaca sudah lebih memahami maksud dari kedua lirik diatas tanpa perlu saya jelaskan lagi. Kereta bergerak semakin cepat menuju Jakarta. Tak ada lagi tanya dari Rara. Tak ada lagi pesan. Hanya tersisa harapan dan doa untuk mereka berdua yang sedang berbahagia.

Kereta terus melaju and life is very long.


Paninggilan, 15 Februari 2012.




Selasa, 14 Februari 2012

Note to God

If I wrote a note to God
I'd say please help us find a way
End all the bitterness, put some tenderness
in our hearts


I'd say

I'd say
I'd say

Give us the strength to make it through

Help us find love, cause love is overdue
And it looks like we haven't got a clue

Need some help from you





Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 14 Februari 2012.

* Song performed by Charice, another Dianne Warren lyrics.

Senin, 13 Februari 2012

Hari yang Aneh


03.07: Buka pager rumah TB17. B 18XX TKG take off. Pemandangan sepanjang jalan: Gerobak Tukang sayur
03.10: Gerbang Tol Pasteur. Heading Jakarta. Full throttle. Pikiran mulai tak tenang. Rentetan cerita sepanjang weekend terus menghujam.
03.59: Cikarang Timur. Aroma kenangan semakin semerbak.
04.10: Cikarang Barat. Kantuk menyerang tiba-tiba bagai rindu.
04.59: Gerbang Tol Halim.Cari sarapan. Warung langganan: TUTUP!
05.15: Landed safely at Komplek Perhubungan Udara Rawasari. Subuhan. Tidur lagi.
06.15: SMS dari Ibu, sent.
06.25: another SMS, unreplied.
07.29: Bangun pagi. Mata pedas. Ganti baju. Berangkat menerjang belantara kemacetan.
08.30: Busway. Penuh. Mirip lagu God Bless, “Bis Kota”. Bergantungan, berdesakan.
09.31: DKUPPU Lt.22. On Air!
10.21: Ketua PKPN finally find me! Hari ini Selasa? Kelabakan bikin surat dan nota dinas.
11.45: Can i meet with your director? Kata Kepala Sekolah Flying School dari Filipina. Nggak ada staf lain yang bisa jelasin ke doi ya? Why must me? Hari ini, saya termasuk kedalam golongan orang yang percaya bahwa sekecil apapun pengalaman akan tetap berguna walau harus menunggu seratus tahun lagi.
12.07: Makan siang. Nggak langsung dimakan. Bukan nggak selera. I’m loosing my appetite.
13.26: Naskah surat dan nota dinas beres. Ready to sign.
14.03: Officially signed!
14.29: The Headmaster wants to see me again. Ok, your letter is being sent to my director but please note that he is in Singapore to visit Singapore Air Show for one week. What? Me? DGCA contact person? Why? Is it really worth?
15.34: Go home! Sleeping in jemputan as always.
17.10: She text me. Again. x_x
17.25: At home, finally.
18.37: Muntah-muntah!
19.38: Berusaha tetap kuat (dan ganteng). Kirim-kirim email. Download dua lagu Whitney Houston pilihan. I Have Nothing and Didn’t We Almost Have It All.
20.49: Berencana untuk tidur cepat dan melupakan semua kejadian hari ini.


Paninggilan, 13 Februari 2012. 20.52

Minggu, 05 Februari 2012

Books That Have Shaped Your Life

Terinspirasi dari tulisan Rene Suhardono dalam pojok rubrik di sebuah harian nasional, ada beberapa buku yang secara tidak langsung ikut berpengaruh dan berkontribusi terhadap pembentukan kehidupan yang sekarang sedang saya jalani. Utamanya, dalam hal karir dan pekerjaan. Ada beberapa koleksi buku yang memang masuk dalam kriteria tersebut. Sebut saja, Komunikasi Organisasi misalnya. Buku wajib zaman kuliah di kampus Jatinangor tercinta, hanya untuk memahami bagaimana model dan implementasi komunikasi di lingkungan organisasi. Ada juga aneka buku manajemen ringkas yang membahas bagaimana memanage suatu pekerjaan di lingkungan lembaga/perusahaan. Misalkan, “Change!” karya Rhenald Kasali, Jack Welch on Management, What the Best CEOs Knows, Serial Buku Manajemen MarkPlus, dkk.
 
Buku lama berjudul “Manajemen Perusahaan” yang sudah lama sekali saya tidak sentuh lagi adalah buku pertama yang saya coba adopsi ke dalam manajemen diri, terutama dalam hal “leadership” atau kepemimpinan. Sampai kemudian saya menemukan buku lainnya, seperti “Setengah Isi, Setengah Kosong” dan “Kerja Oke, Hasil Santai”. Kedua buku itu, sejauh penilaian saya sampai saat ini cukup memberikan sudut pandang dalam membentuk perilaku kerja dalam karir pribadi.

Setengah Isi, Setengah Kosong
 

Terlepas dari pemaknaan judul, buku ini berisi kumpulan cerita (saya lebih suka menyebutnya hikmah) dimana pembaca diharapkan mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah yang dituturkan dalam buku. Ditulis oleh Parlindungan Marpaung, seorang psikolog yang telah berpengalaman dalam menangani berbagai macam kasus psikologi industri.

Buku ini dibaca pertama kali sekitar medio 2005, waktu masih berstatus mahasiswa sehingga dengan wawasan kemahasiswaan yang masih terbatas saya hanya mampu mempelajari beberapa hal yang dibutuhkan dalam hubungan inter-relasi di pekerjaan. Pun ketika sempat bergabung dalam organisasi kecil (maksudnya tidak punya banyak staf) ada beberapa pengalaman dalam buku itu yang saya alami. Barulah ketika saya bergabung dengan sebuah company yang melibatkan banyak kepala untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan meraih tujuan bersama, hampir semua hikmah dalam buku itu saya alami.
 
Saya rasakan sendiri manfaat dari buku itu. Saya mempunyai langkah-langkah preventif guna mengantisipasi hambatan dan menyiapkan langkah panjang karir yang saya rintis perlahan.

Kerja Santai, Hasil Oke
 
Kerja Santai, Hasil Oke versi bahasa Inggris
Berawal dari hadiah suatu kuis di radio, saya memilih buku ini. Karena memang tidak ada pilihan lain. Lagipula, judulnya tidak terlalu mengecewakan. Kerja Santai, Hasil Oke. Sepintas terdengar seperti kicauan para dedengkot multi-level marketing dan cukup mendemotivasi pekerja yang masih merangkak dalam karirnya.
 
Buku ini saya dapat sekitar medio 2007 (lagi-lagi masih berstatus sebagai mahasiswa). Dengan bekal pengalaman seadanya di organisasi kecil diatas, saya mulai membandingkan antara isi buku dengan realita pengalaman yang telah saya alami. Hasilnya, tidak terlalu mengecewakan.
 
Ditulis oleh Corinne Maier, seorang ekonom di PLN-nya Perancis, buku ini berhasil mengungkap mengapa pekerjaan berubah menjadi suatu hal yang membosankan dan tidak ada pengaruhnya terhadap kesejahteraan pribadi. Tentu, ini sangat bertentangan dengan buku-buku motivasi khas Amerika yang menekankan pada motivas untuk produktivitas. Sehingga, dianggap sebagai buku provokatif yang cukup menuai kontroversi.
 
Lebih jauh, diluar semua kontroversi, buku ini tetap mampu dijadikan acuan pengembangan diri karena menggambarkan realita yang sesungguhnya. Realita yang tak mampu diungkapkan secara gamblang oleh kaum pekerja yang selalu dituntut alasan produktivitas. Dengan begitu, kita dibuat mampu melihat persoalan dari sudut pandang yang berbeda tanpa kehilangan esensi.
 
Quote yang selalu saya ingat dari buku ini adalah: “Anda Hanyalah Pion Kecil.” Jadi, bila anda adalah pendatang baru dalam dunia kerja, mohon berhati-hati. Tanpa keluasan hati, anda hanya akan menerima pesan yang tidak hanya dekonstruktif untuk karir tetapi juga efek demotivasi yang yang perlahan menggerogoti jiwa dan semangat anda. Be positive.


 
Paninggilan-Medan Merdeka Barat, 5 Februari 2012.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...