Minggu, 30 September 2012

Masa Kecil Kurang Bahagia (atau belum selesai?)

Suatu malam, saya pernah berdoa dalam hati. Bukan doa tulus tetapi lebih merupakan rangkaian kata yang bermuatan sinis. Kenapa? Saya tahu bahwa saya tidak berhasil mendekati hatinya. Saya tahu sudah ada orang lain mengisi hatinya. Dengan congkaknya saya berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, semoga ada bagian dari masa lalu lelaki itu yang belum selesai." Apapun itu, saya berharap bahwa masa lalu lelaki itu akan menghalanginya dari perempuan yang namanya selalu ada di hati. (Even now when she had gone).

You might think, someday mantan-mantan lelaki itu muncul satu persatu lengkap dengan segudang permasalahannya. Saya tidak munafik. Justru itu hal yang paling memungkinkan, yang paling mungkin bisa terjadi. Atau malah, lebih parah. Trauma masa lalu soal relationship membuat lelaki itu tidak yakin dengan perempuan pilihannya (yang juga saya pilih, damn!). Pokoknya, malam itu saya berharap semoga doa saya itu menjadi nyata. Egois sekali. Padahal, saya tidak punya kuasa apapun supaya lelaki itu menyerah mendekati "Cinta Gue" (ngikutin gaya @harrisrisjad di #AntologiRasa by @ikanatassa).

Tadi malam, it's all coming back to me now kalau kata Celine Dion. Maksudnya, saya malah menemukan ada bagian masa lalu saya yang belum selesai. Bagian masa lalu yang selalu membayangi. Mengendap dalam dasar khayal imajinasi pikiran terluar. Merasuk dalam angan.



Pernah tahu Noah Izumi? atau tahu ceritanya sedikit. Well, sebelum heboh Noah dengan tur 2 benua 5 negara, saya sudah duluan kenal Noah. Noah Izumi, pilot Alphonse AV-98 Ingram, Patlabor Mobile Unit. Kalau pembaca termasuk @generasi90 dan sempat mengalami jaman #90an pasti tahu soal serial kartun anime yang satu ini. Walau saya tidak pernah tahu bagaimana cerita Patlabor dari awal, ada satu hal yang paling membenam di benak saya. Apalagi kalau bukan robot AV-98 Ingram. Tidak pernah terbayangkan kalau ternyata robot AV-98 dibuatkan juga replikanya sebagai model kit. Dan yang lebih mengganggu, keinginan itu muncul saat iseng browsing di FJB @kaskus *sigh.


Ternyata oh ternyata, saya baru sadar bahwa ada juga bagian dari masa lalu yang belum selesai. You may say that saya mengalami "masa kecil kurang bahagia". Bagaimana tidak, mengikuti serialnya saja hanya sepotong-sepotong, masih didera keinginan untuk punya replika robotnya pula. Sudah satu dekade lebih sejak keinginan itu pertama muncul. Kini, saya hanya berharap-harap cemas semoga saya bisa menemukan Alphonse dengan harga yang worth buying. Kalau bisa, sebelum mas kawin disematkan, one of the most wanted thing in my life sudah nongkrong dengan gantengnya di lemari khusus koleksi. Mengapa? Karena hobi model kit ini rawan menguras isi kantong dan sangat berpengaruh terhadap kondisi reliabilitas pembiayaan  hidup (ngomongin apaan sih? *diprospek Financial Planner : D ).

Sekarang aku tersadar.... Ya, better realize than never know and found it.


Paninggilan, 30 September 2012.

Surat Untuk Jokowi


Tangerang, 30 April 2012
Kepada:
Bapak Joko Widodo
di
Tempat

Dengan hormat,

Jika negeri ini membutuhkan seorang pemimpin yang mau bekerja tanpa banyak kata, sudah jelas ingatan kita akan menjurus pada sedikit nama. Tidak banyak nama yang memiliki kemampuan tersebut. Nama Bapak adalah pengecualian, eksepsi untuk hal tersebut. Ibarat label, Bapak telah menjadi suatu trademark yang meneguhkan reputasi, kapabilitas, dan kredibilitas di tengah heterogenitas masyarakat. Suatu esensi yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin.

Setiap pemimpin terlahir bukan atas kehendak dan bakat semata. Lebih dari itu, seorang pemimpin telah melewati segenap proses yang menjadikannya layak untuk memimpin. Melihat relevansinya dengan keadaan sosio-politik saat ini, pemimpin tidak terlahir dan dibesarkan dengan sistem yang mapan. Banyak pemimpin kita saat ini muncul bukan sebagai pemimpin yang benar-benar pemimpin melainkan pemimpin bermental “pimpinan”. Pemimpin semacam itu sudah jelas kehadirannya disebabkan oleh suatu sistem yang instan. Betapa proses pemilihan seorang pemimpin saat ini tidak mencerminkan kehendak rakyat. Sistem pemilhan langsung yang menjadi legitimasi seorang pemimpin begitu rawan manipulasi. Apalagi, jika harus melihat lebih dalam pada kecakapan dalam hal memimpin.

Masih segar dalam ingatan kita ketika Bapak menjadi headline berita dimana-mana, entah itu media cetak atau media elektronik. Segala tindak-tanduk Bapak waktu itu seakan tidak luput dari liputan media. Misalnya saja, keberhasilan Bapak mengatasi permasalahan PKL (Pedagang Kaki Lima), yang juga mengantarkan segenap cerita lainnya seperti gaji yang tidak pernah Bapak ambil sejak menjabat Walikota Solo dan penggunaan mobil dinas lama. Seakan menyindir kelakuan pejabat-pejabat kita di Pemerintahan Pusat yang tidak pernah puas dengan fasilitas yang ada.

Pun, ketika Bapak menyatakan dukungan penuh kepada usaha mobil Esemka untuk mendapatkan rekognisi sebagai mobil nasional. Bapak satu-satunya pemimpin yang tidak ragu-ragu untuk menggunakan mobil karya anak-anak muda harapan bangsa itu. Bapak tidak segan-segan memberikan dukungan penuh agar mobil Kiat Esemka itu mendapatkan sertifikasi dari otoritas yang berwenang di negeri yang kita cintai ini. Bapak telah membuktikan bahwa jargon “100% Cinta Produk Indonesia” itu bukan sekedar jargon dan formalitas belaka untuk bangsa sebesar bangsa Indonesia.




Bapak tidak gentar menghadapi cibiran dan kritik dari berbagai pihak yang masih terlalu pesimis untuk melihat kemajuan yang dicapai bangsanya sendiri. Kita tidak perlu jadi munafik untuk mengakui bahwa bangsa kita ini masih memliki potensi besar untuk mencapai kemajuan yang yang selalu dicita-citakan. Kita tidak perlu mengkhianati cita-cita anak bangsa yang mendambakan kemajuan dengan segala pencapaian di berbagai bidang untuk Indonesia.

Indonesia butuh pemimpin yang mau berbuat. Bekerja sepenuh hati untuk turun sendiri ke lapangan, ke tengah-tengah masyarakat, dan menemukan kenyataan yang tidak pernah menyenangkan. Bahwa angka kemiskinan itu masih tinggi, rapuhnya sistem jaminan kesehatan bagi kaum marjinal, dan akses terhadap pendidikan murah yang masih sebatas wacana belaka. Indonesia tidak butuh pemimpin yang banyak bicara, pamer kepintaran dengan dialog-dialog terkutuk di media. Indonesia butuh pemimpin yang mau melihat sendiri kenyataan di kalangan masyarakat bawah. Sejatinya, negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini masih menyimpan luka karena masih mbanyak rakyatnya yang tidak bisa menikmati kekayaan bangsanya sendiri.

Indonesia tidak butuh pemimpin yang bercitra baik, positif, dan populer. Rakyat tidak butuh pencitraan, rakyat butuh pemimpin pekerja. Rakyat butuh pemimpin yang mampu dan bisa bersikap atas segala kenyataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia butuh pemimpin yang mampu mengambil keputusan sekalipun itu sulit dan sangat tidak populer. Indonesia butuh pemimpin yang mampu menumbuhkan kembali harga diri bangsa, bukan pemimpin berkedok pahlawan yang akhirnya menggadaikan negeri ini demi kepentingan diri dan golongannya sendiri.

Indonesia butuh pemimpin yang mau menemui rakyatnya. Indonesia butuh pemimpin yang tahu masalah warganya. Termasuk ikut merasakan kemacetan Jakarta yang bagai dosa tiada akhir. Jakarta adalah miniatur dari Indonesia yang sesungguhnya selain perannya sebagai Ibukota negara. Sebuah kota metropolitan yang selalu digugat warganya sendiri karena gagal menjadi tempat yang lebih baik untuk tinggal.

Jakarta seakan mewakili karakter negara dunia ketiga. Lingkungan yang semakin semrawut, peraturan yang tumpang tindih, pemerintahan yang korup dan kebijakan yang tidak pro rakyat, pelayanan sosial yang buruk, penyelenggara pemerintahan bermental priyayi, kualitas pendidikan yang rendah, dan tidak ada akses struktural bagi warga miskin.

Akibatnya, jurang kesenjangan sosial menjadi semakin lebar. Migrasi kasta sosial yang terjadi pada warga kelas menegah menyebabkan segregasi sosial yang semakin memperparah kehidupan sosial warga Jakarta. Segregasi sosial tersebut telah mempengaruhi tingkat interaksi sosial warga Jakarta. Kecurigaan dan pretensi telah menimbulkan rasa aman yang sangat mahal harganya.

Jakarta kini semakin individualis. Ruang khalayak menjadi semakin menciut. Jakarta kini adalah Jakarta yang semakin tua dan semakin kesulitan bernafas. Tidak ada lagi taman yang indah. Jakarta kehilangan warna kotanya. Jakarta juga seolah akan berhenti menjadi sumber ilham, sebab kedudukannya di dalam ruang kebudayaan dan kesenian makin menurun di antara kota-kota lainnya. Transformasi kultural mandek sebagai akibat semakin sempitnya ruang untuk berkesenian. Namun, sebagai sebuah peradaban metropolis yang menawarkan kesempatan kosmopolitan, Jakarta tetap saja menarik mereka yang berani untuk menabur harapan dalam ruang kota yang semakin menyempit.

Meskipun kritik atas Jakarta selalu menghujam, apalagi saat-saat seperti ini dimana Jakarta akan menentukan pemimpinnya, Jakarta masih punya secercah harapan untuk menjadi tempat yang benar-benar layak bagi kehidupan warganya. Jakarta sebenarnya kaya raya dan penuh potensi. Atas dasar harapan itulah imajinasi tentang Jakarta yang lebih baik dimungkinkan dan bisa diwujudkan.

Akulturasi budaya yang terjadi di dalam keseharian warga kota Jakarta adalah suatu esensi tersendiri yang menarik untuk diwujudkan. Jakarta yang multietnik dan multikultural memiliki nilai tersendiri dalam pergaulannya dengan kota metropolitan lainnya di dunia. Jakarta masih memiliki pesonanya sendiri untuk kemudian menjadi entitas baru dengan latar belakang sejarah yang kuat.

Dengan demikian, sudah jelas tugas bagi seorang pemimpin Jakarta untuk berusaha mewujudkan Jakarta yang layak untuk ditinggali serta mempertahankannya sebagai bagian dari pergaulan dengan kota metropolitan lainnya. Seorang pemimpin Jakarta tidak harus memiliki legacy atau heritage sebagai pribumi. Jakarta milik kita bersama. Maka, siapapun yang dikehendaki warga Jakarta dialah sosok yang benar-benar mampu untuk mengatasi segenap permasalahan yang kini sedang mendera Jakarta.

Bapak telah mengajarkan sisi kepemimpinan kepada bangsa ini dimana pemimpin itu memberi contoh. Bukan hanya sekedar mengucap kata lalu menghimbau warga agar mematuhinya. Saya merasa optimis bahwa Bapak akan mampu untuk menata kembali segala persoalan yang dialami oleh warga Jakarta. Sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti. Bukankah perubahan besar selalu dimulai dari perubahan-perubahan kecil?

Deru kehidupan yang semakin cepat menuntut Jakarta untuk lebih adaptif terhadap segala macam perubahan tanpa harus mengorbankan kepentingan warganya. Pembangunan di Jakarta kelak harus lebih berpihak dan bermanfaat langsung bagi warga Jakarta. Penyediaan kebutuhan dasar yang lebih merata, akses yang lebih mudah terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan, adalah pritoritas utama yang harus segera diwujudkan bila Jakarta tidak ingin kehilangan entitasnya.
  
Munculnya Bapak menjadi calon gubernur DKI Jakarta adalah suatu bentuk harapan dari masyarakat Jakarta. Harapan warga Jakarta untuk tidak sekedar menelan kata perubahan agaknya harus jadi motivasi utama agar roda pemerintahan yang Bapak jalankan nanti benar-benar mencapai target dan sasaran yang telah ditetapkan. Optimisme dalam membangun kembali Jakarta dan menempatkannya kembali dalam konteks sosio-budaya-spasial adalah satu keharusan bagi siapapun pemimpin Jakarta terpilih. Cepat atau lambat, dengan segenap kemampuan dan track record yang Bapak miliki, saya yakin Bapak akan membuat langkah awal yang akan membangun kesadaran kolektif warga Jakarta. Untuk bersama-sama membangun Jakarta dan mewujudkan Jakarta yang lebih baik untuk ditinggali.


    
Hormat saya,


Anggi Hafiz Al Hakam


Paninggilan, 30 April 2012.

* tulisan ini pernah dilombakan dalam Lomba Menulis Surat Jokowi-Dahlan Iskan yang diadakan oleh penerbit Leutikaprio.

Sabtu, 29 September 2012

Grafologi, Membaca Tulisan Tangan

Barangkali, penasaran sama tulisan tangan sendiri, penasaran sama muatan psikologis dibalik coretan tangan. Ada baiknya simak penjelasan berikut. Compiled from @cosmopolitanFM #HappyHour tweets.





Grafologi adalah ilmu yang mempelajari karakter seseorang dengan cara menganalisa tulisan tangannya.

Sifat yang bisa dilihat dari tulisan seseorang adalah dari kemiringan huruf. Ke kanan = ekspresif, emosional, Tegak = menahan diri, emosi sedang. Arah tulisan Ke kiri = menutup diri. Arah tulisan ke segala arah dalam 1 kalimat = tidak konsisten. Arah tulisan ke segala arah dalam 1 kata = ada masalah dengan kepribadiannya.
 
Bentuk umum huruf-huruf: Bulat atau melingkar = alami, easygoing. Bersudut tajam = agresif, to the point, energi kuat. Bentuk huruf Bujursangkar = realistis, praktek berdasar pengalaman. Sedangkan coretan tak beraturan = artistik, tidak punya standar"

Huruf-huruf bersambung atau tidak. Bersambung seluruhnya = sosial, suka bicara dan bertemu dengan orang banyak. Sebagian bersambung sebagian lepas = pemalu, idealis yang agak sulit membina hubungan (terlebih hubungan spesial). Huruf lepas seluruhnya = berpikir sebelum bertindak, cerdas, seksama.

Tulisan tangan kita berubah-rubah? karena tulisan merupakan outer self. Tulisan keluar dg pribadi kita saat menulis. Dari tulisan kita, bisa terlihat apa yg dicitrakan, dan apa yg sebenarnya dirasakan. Jenis tandatangan yg semakin tidak terbaca, semakin ada yg disembunyikan dari diri Anda dan tidak ingin diketahui orang lain.

So, masih penasaran? Let me see you write some things about me. :)

 

Paninggilan, 27 September 2012.

Minggu, 23 September 2012

The Girl Whom You Should Tied

1. If you find a girl who reads, keep her close. When you find her up at 2AM clutching a book & weeping, make her a cup of tea & hold her.

2. You may lose her for a couple of hours but she will always come back to you.

3. She’ll talk as if the characters in the book re real, because for a while, they always are. Date a girl who reads because you deserve it.




4. You deserve a girl who can give you the most colorful life imaginable.

5. If you can only give her monotony, and stale hours and half-baked proposals, then you’re better off alone.

6. If you want the world and the worlds beyond it, date a girl who reads. ☺


Self titled, adapted from @clara_ng 's tweets.


Pharmindo, September 2012.

Kamis, 20 September 2012

Guru-Guru Kehidupan

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

(Hymne Guru)


Sebagaimana telah kita ketahui, masyarakat Jepang termasuk golongan yang konsumtif terhadap produk hasil laut terutama ikan. Nilai konsumsi ikan masyarakat Jepang termasuk salah satu yang terbesar di dunia. Pada suatu masa, nelayan Jepang seringkali mengalami kerugian akibat ikan-ikan hasil tangkapan yang tidak segar saat tiba di pelelangan ikan. Hanya sedikit ikan yang bisa ditangkap di perairan dekat pantai sehingga nelayan harus pergi melaut ke tempat yang agak jauh. Akibatnya semakin jauhnya jarak tempuh, ikan yang tiba di pantai diterima pelanggan dalam keadaan yang sudah tidak segar lagi. Keadaan tersebut berlangsung lama sehingga mereka kehilangan pelanggan. Masyarakat semakin kesulitan mendapatkan ikan segar hingga harga ikan pun jatuh.

Untuk mengatasi hal ini, perkumpulan nelayan disana mengupayakan untuk membawa freezer (lemari pendingin) dalam perahu yang mereka gunakan. Cara ini dimaksudkan agar sekalipun ikan yang ditangkap telah mati, namun tetap beku dan tidak membusuk. Upaya ini ternyata tidak juga memuaskan pelanggan penikmat ikan segar. Mereka mengeluhkan cita rasa ikan yang telah berkurang karena sudah mati dan dibekukan. Harga ikan pun tetap merosot tajam karena tidak dalam keadaan hidup.

Mengetahui sebab kegagalan sebelumnya, para nelayan pun mencoba mengakali kembali dengan membawa tangki-tangki penampungan ikan yang agak besar ketika melaut. Ikan-ikan hasil tangkapan mereka dimasukkan ke dalam tangki-tangki tersebut. Mereka dijejalkan ke dalam tangki sehingga saling berdesak-desakkan dan saling bertabrakan. Setelah melaut, ikan-ikan yang berada di dalam tangki tetap hidup namun berada dalam keadaan lemas. Masyarakat Jepang tetap tidak suka menikmati ikan lemas karena cita rasanya tetap saja berbeda dibandingkan dengan ikan segar yang tetap hidup.

Untuk mensiasati keadaan tersebut, mereka mencoba suatu cara baru agar ikan hasil tangkapan mereka di laut lepas bisa tetap segar sekembalinya ke daratan. Mereka tetap membawa tangki penampungan dan mengisinya dengan jumlah ikan yang lebih sedikit. Uniknya, mereka juga memasukkan ikan hiu kecil dalam tangki-tangki penampungan ikan di kapalnya tersebut. Ikan hiu kecil itu memang memakan ikan-ikan yang ada di dalam tangki, namun tidak banyak. Sementara, ikan-ikan lain berlarian dikejar ikan hiu kecil yang ada di dalam tangki-tangki tersebut. Dengan upaya tersebut, ikan-ikan hasil tangkapan mereka tetap berada dalam keadaan siaga setibanya di pantai. Pelanggan pun akhirnya kembali terpuaskan dengan ikan yang tetap hidup dan segar. Mereka bisa menikmati kembali cita rasa yang telah lama hilang.

Kisah ikan hiu dan keberhasilan nelayan itu dengan cepat menyebar pada nelayan lainnya. Mengetahui hal tersebut ternyata membawa manfaat maka para nelayan di  Jepang memanfaatkan trik tersebut untuk menjaga kesegaran ikan hasil tangkapannya. Sejak saat itu, para konsumen langganan nelayan pun tidak lagi kesulitan dalam memperoleh ikan segar.

Kisah diatas hanyalah sebuah cerita tentang bagaimana mensiasati kehidupan. Manusia dengan segala yang ada pada dirinya selalu berusaha untuk mencari jalan keluar atas segala permasalahan yang menimpanya. Tantangan dan masalah membuat seseorang semakin matang dan dewasa dalam perkembangan mentalnya. Perpaduan kedua hal tersebut merupakan pembelajaran yang paling berharga dari kehidupan ini.

Dalam hidup sendiri dibutuhkan figur-figur semacam ikan hiu kecil seperti dalam cerita diatas. Kita membutuhkan figur yang bisa membuat kita terus bergerak untuk menimba ilmu pengetahuan yang terejawantahkan dalam bermacam pelajaran hidup. Kita membutuhkan figur yang mampu membuat kita tetap waspada untuk mengantisipasi setiap kemungkinan yang menghambat segala daya dan upaya dalam usaha pencarian pengetahuan.

Figur semacam itu tak pelak lagi dapat kita temukan dalam lingkungan pergaulan kita sehari-hari. Baik itu di rumah, di sekolah, atau pun di lingkungan pekerjaan. Bila di rumah, orang tua adalah guru utama dalam kehidupan anak-anaknya. Orang tua menjadi guru pertama yang membuka wawasan seorang anak terhadap dunia yang akan dijalaninya. Orang tua memberikan beberapa pelajaran dasar tentang bagaimana menjalani hidup dalam relasinya dengan orang lain dan lingkungan sekitar.

Pelajaran-pelajaran dasar kehidupan tersebut adalah faktor utama yang membentuk kepribadian seorang anak. Dari lingkungan keluarga, seorang anak akan mempelajari fondasi dan nilai-nilai kehidupan. Pelajaran yang didapat seorang anak dari orang tua di rumah pun lantas tidak mutlak menentukan tingkat keberhasilan dalam babak-babak kehidupan selanjutnya. Faktor-faktor lain seperti lingkungan sekolah juga ikut berpengaruh dalam proses pendidikan seorang anak.

Melalui lingkungan sekolah, seorang anak akan belajar untuk menerapkan apa yang telah didapatnya di rumah. Ia akan belajar untuk mempraktekkan sendiri pengetahuan yang telah diajarkan oleh orang tuanya dalam konteks yang lebih luas. Seorang anak akan belajar memahami tentang proses-proses kehidupan yang lebih beragam dan kompleks dalam kaitannya dengan proses belajar.

Kemunculan program-program sekolah yang mengadaptasi nilai modernitas dan standar kompetensi tertentu menjadi faktor lain yang berkontribusi dalam pembentukan karakter. Kurikulum yang lebih adaptif dengan bakat dan kemampuan anak terus dikembangkan demi terciptanya long-life learning generation.

Terlepas dari semua itu, figur utama dalam suatu proses pendidikan adalah guru. Bagaimanapun, kita tidak bisa mengesampingkan peran guru dalam siklus pembelajaran. Guru adalah faktor utama yang menajdi peluru sekaligus cambuk bagi muridnya untuk terus menimba sumur pengetahuan. Guru sebagai elemen penting dalam sistem pendidikan memiliki peran yang sangat besar dalam penyampaian materi belajar. Guru merupakan subyek utama yang menghubungkan murid dengan sesuatu diluar mereka, yaitu ilmu pengetahuan.
Guru adalah entitas yang mendorong terwujudnya rasa ingin tahu sehingga setiap pembelajar merasakan kebutuhan untuk menggali berbagai pengetahuan itu lebih dalam.

Sebagai figur dalam pembentukan karakter seorang pembelajar, guru juga tampil sebagai figur “biji kopi” yang memberi keharuman dan mewarnai lingkungan sekitarnya. Guru direpresentasikan tidak sebagai wortel atau telur yang cenderung lembek dan mengeras ketika dipanaskan. Guru mewakili karakter biji kopi yang mampu memberikan perubahan tanpa harus kehilangan wujud aslinya.



Lebih jauh, guru adalah figur pembawa perubahan. Kita semua tentu masih ingat pertanyaan pertama Kaisar Jepang usai negerinya dibom atom oleh Sekutu pada Perang Dunia II, “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Pertanyaan Kaisar itu menunjukkan bahwa guru adalah elemen utama yang dibutuhkan oleh bangsa Jepang untuk membangun kembali bangsanya. Kemajuan di segala bidang akan lebih mudah diraih bila masyarakat mendapatkan pendidikan yang cukup. Dalam kasus tersebut, guru berperan sebagai tokoh sentral dalam kemajuan pesat yang diraih oleh Jepang.

Cerita Saya


Selama bersekolah, ada beberapa figur guru yang melekat dalam ingatan. Kesan tersebut timbul bukan karena apa yang mereka ajarkan tetapi lebih kepada bagaimana mereka memberikan dan menyajikan pelajaran. Betapa menyenangkannya bila wujud pengetahuan yang implisit itu disajikan dalam bentuk yang berbeda dengan analogi-analogi sederhana sehingga lebih mudah untuk dipahami dan dipelajari.

Terlebih lagi, mereka mampu menjadi sosok ikan hiu kecil dan biji kopi seperti dalam ilustrasi diatas. Mereka menjelma menjadi ikan hiu kecil yang tetap mendorong para murid untuk terus belajar tanpa harus bersikap menggurui.

Masa SD, ada beberapa figur guru yang berkesan. Keduanya merupakan guru yang berpengalaman. Pertama, Ibu Dedeh Djubaedah. Kedua, Pak Wahyu Amijaya. Pengalaman dengan Ibu Dedeh berlangsung di kelas V. Untuk teman-teman di kelas, Ibu Dedeh ini dianggap sebagai guru yang judes dan tidak bisa diajak ngobrol. Waktu itu, kami belum bisa membedakan apa itu tegas dan apa itu judes. Kebetulan juga, Ibu Dedeh ini adalah guru yang baru dipindahkan ke sekolah kami. Jadi, kami harus beradaptasi dengan guru yang baru ini.

Buat saya, adanya Ibu Dedeh ini memberikan suatu nuansa baru dalam suasana belajar di kelas. Dengan ketegasan dan disiplin yang tinggi Ibu Dedeh mendorong kami agar lebih berani tampil untuk berpendapat. Kami dibekali untuk tidak menjadi pribadi yang pemalu. Kami juga diajarkan untuk berani berbuat dan tidak takut salah. Suatu hal yang baru saya rasakan sejak awal bersekolah di SD ini.

Begitupun dengan Pak Wahyu. Seperti Ibu Dedeh, beliau juga guru baru sekaligus wali kelas VI. Baru di kelas VI ini kami diberi seorang guru pria. Pak Wahyu sudah cukup berumur waktu bergabung dan menangani kami, murid kelas VI. Pak Wahyu menjadi sosok inspiratif karena beliau mampu menghadirkan suasana belajar yang fun dan berbeda. Beliau benar-benar memancing kami untuk lebih aktif. Kami dirangsang untuk selalu penasaran.

Contohnya, kami sering disuruh untuk membuat pertanyaan mengenai mata pelajaran tertentu untuk saling ditukar di kelas. Mungkin, waktu itu beliau punya definisi sendiri mengenai pengertian CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Sehingga, kami menjadi lebih terpacu untuk bersaing. Pun dengan reward and punishment yang beliau terapkan secara adil, semua itu membuat kami lebih kerasan dalam mempersiapkan ujian EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional).

Memasuki masa SMP, beberapa nama muncul sebagai sosok guru yang tak hanya inspiratif namun juga berdedikasi. Sebut saja Pak Karsa Sudirman, guru olahraga yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip kedisiplinan. Beliau tidak segan-segan menampar muridnya bila melakukan kesalahan, utamanya melanggar peraturan sekolah. Memang tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan begitu saja, namun bila dilihat dari sisi yang berbeda tindakan Pak Karsa itu ada benarnya-untuk mendisiplinkan kami. Suatu bekal yang kelak dibutuhkan dalam setiap fase kehidupan kami selanjutnya. Kami sangat berduka ketika mengetahui kabar wafatnya beliau medio 2007 lalu.

Sosok lainnya adalah duet guru Bahasa Sunda, Ibu Yos dan Ibu Sylvani. Ibu Yos, belakangan lebih dikenal sebagai guru Bahasa Sunda walaupun waktu saya masih duduk di kelas I beliau mengajar Bahasa Inggris. Waktu itu, Ibu Yos mengajar dengan cara yang sama sekali berbeda. Metode belajar yang beliau berikan lebih banyak bersifat interaktif. Tidak jarang beliau memberikan pertanyaan dalam bentuk kuis atau tes singkat yang justru harus diselesaikan dengan berbicara. Maksudnya, kami harus berlomba untuk mengacungkan tangan dan menjawab pertanyaan. Untuk itu, beliau punya catatan tersendiri untuk nilai kami. Untuk saya pribadi, hal itu menjadi suatu tonggak bersejarah karena tampil sebagai juara selama tiga caturwulan berturut-turut. Sebuah rekognisi yang kemudian menjadikan saya mendapat julukan baru sebagai “Kamus Berjalan”.

Ibu Sylvani, guru kelas III yang lebih dari mampu untuk menebak isi hati muridnya. Metode belajar yang beliau terapkan tidaklah berbeda dengan guru kebanyakan. Justru, yang membedakannya adalah sisipan dalam setiap jam pelajaran. Usai memberikan tugas untuk dikerjakan, Ibu Sylvani akan memanggil nama kami satu per satu untuk menghadap ke meja guru. Beliau kemudian menanyakan masalah yang sedang kami hadapi. Saya selalu heran karena beliau bisa mendapatkan informasi yang benar-benar akurat. Beliau seakan menjadi Guru Konseling yang mengerti semua masalah kami dan memberikan solusi untuk mengatasinya. Terutama, masalah klasik khas remaja: percintaan, dan hambatan selama persiapan EBTANAS tingkat SLTP.

Keadaan menjadi lebih semarak di SMA. Sebut saja, Pak Wuryanta yang tidak pernah lelah memberikan kami visualisasi dari aplikasi Fisika dalam kehidupan sehari-hari. Ibu Nina Dewi, guru bahasa Inggris yang kebetulan “meneruskan” kebiasaan Ibu Yos untuk melatih dan menambah vocabulary. Lalu, Ibu Sri Lelly, guru Matematika yang lebih dari sabar untuk menghadapi kebengalan kami selama Kelas Pemantapan untuk persiapan Ujian Nasional. Untuk saya pribadi, Ibu Enny Suartini dan Pak Hartono adalah dua figur yang berpengaruh besar dalam “karir” saya di SMA.

Sebagai bagian dari Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Pelajaran Sejarah kami harus membuat film mengenai persiapan kemerdekaan Republik Indonesia dengan mengacu pada sumber-sumber sejarah yang reliable. Ibu Enny mempercayakan saya sebagai sutradara. Suatu keputusan yang tidak akan pernah saya sesali karena selain belajar tentang Sejarah itu sendiri, saya mendapatkan pelajaran tentang banyak hal lainnya. Mulai dari bagaimana memimpin 20 orang yang punya banyak ide, menjembatani setiap perbedaan tafsiran atas teks dalam Buku Sejarah, proses shooting, editing, hingga presentasi di hadapan Bapak Kepala Sekolah. Suatu pengalaman tak ternilai yang tidak akan pernah saya lupakan.

Selama duduk di bangku SMA, saya tidak pernah punya pengalaman apa-apa dengan Pak Hartono. Saya belum pernah mengalami rasanya belajar Matematika dengan beliau. Hanya saja, pesan beliau itu benar-benar saya alami. Menjelang kepindahannya, beliau berpesan “Kalau pengen lulus SPMB, gak usah ikut bimbel (bimbingan belajar), beli buku kumpulan soal lima tahun terakhir, pelajari sendiri di rumah!”. Pesan yang saya yakini betul dan saya lakukan. Hingga akhirnya, saya melihat nama saya sendiri di pengumuman kelulusan SPMB dalam koran pagi itu.

Sebuah Konklusi


Berbekal pengalaman-pengalaman diatas, saya semakin memahami peran sentral seorang guru dalam proses pendidikan. Mereka tidak hanya dituntut untuk memberikan pengetahuan kepada muridnya namun terlebih lagi harus mampu menjadi panutan. Semua guru yang telah saya ceritakan mewakili karakter seorang guru yang mampu jadi sosok teladan, inspiratif, sekaligus berdedikasi terhadap pekerjaannya. Maka benarlah ketika Ki Hajar Dewantara berkata, “Ing ngarso sing tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.” Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru.


Paninggilan, 21 Mei 2012.

Selasa, 11 September 2012

The Battle for Skripsi: Sebuah Kontemplasi

Awal Desember 2007. Saya heran kenapa saya selalu pulang dari kampus sendirian. Biasanya, ada saja kawan yang menemani. Saya selalu ingin cepat pulang. Padahal, tidak ada yang saya kerjakan di rumah. Tugas kuliah pun sudah tidak terlalu banyak di ujung semester 7. Seminggu itu rasa heran saya akhirnya terjawab. Beberapa sahabat mencoba mengingatkan saya bahwa kami harus segera menyiapkan bahan penelitian untuk mata kuliah Seminar. Tidak sampai disitu saja, bahan untuk mata kuliah itu juga nanti akan dijadikan bahasan untuk skripsi.

Saya sangat kanget mendengar kabar itu. Saya bertanya pada diri sendiri, “Halo, kemana aja sih?” Saya tambah kaget ketika menemui sahabat-sahabat saya itu sedang serius mencari dan menuliskan materi yang akan mereka tampilkan di seminar nanti. Akhir Desember ini, paling lambat semua mahasiswa di kelas kami harus sudah selesai seminar semua. Begitu yang saya dengar dari pihak Jurusan.

Saya tidak menyangka bahwa teman-teman saya ini tiba-tiba menjadi lebih aware dan rajin-tidak seperti biasanya. Mereka lebih serius untuk menggarap mata kuliah yang satu ini. Buat mereka yang punya niat lulus cepat tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyiapkan bahan sebanyak-banyaknya dan tak lupa rajin berkonsultasi pada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Seminar.

Saya terus terang tidak punya ide mengenai hal yang akan saya tampilkan nanti. Saya buka kembali catatan-catatan semester yang lalu. Ada beberapa hal menarik yang bisa saya ajukan kembali. Masing-masing berasal dari mata kuliah Metode Penelitian Kuantitatif dan Metode Penelitian Kualitatif. Namun, rasanya tidak kreatif kalau masih mengangkat isu lama menjadi sesuatu yang baru dan hanya berbeda kemasannya saja. Saya jadikan keduanya sebagai cadangan saja, bila nanti tidak juga mendapatkan ide.

Hari-hari berjalan semakin cepat menjelang Seminar. Setiap harinya saya hanya bisa langsung pulang ke rumah setiap selesai kuliah. Sampai di rumah, bukannya buka buku mencari bahan, saya malah tidur. Saya menjuluki diri saya “Kupu-kupu” untuk pertama kalinya. Artinya, “kuliah pulang, kuliah pulang.” Itulah julukan saya pada diri sendiri waktu itu. Saya mencoba lari dari kenyataan. Saya menutupi ketidakmampuan saya dengan melarikan diri dari kenyataan yang saya hadapi.

Sampai suatu hari di tengah bulan Desember, saat akan berjalan pulang, saya melihat kerumunan teman-teman keluar dari Perpustakaan Skripsi. Mereka tampak puas karena persiapan bahan penelitian untuk diajukan di seminar nanti sudah selesai. Sedangkan saya? Oh My God. Where have you been, Nggi?

Saya mengunjungi pondokan kost tempat kami biasa berkumpul. Untuk kesekian kalinya saya kaget lagi. Ternyata, dari semua orang disitu hanya saya yang masih belum menyelesaikan tugas ini. Saya pulang dengan perasaan gondok karena tidak menyangka mereka berhasil mengalahkan saya, dan saya tidak suka itu. Kenyataan memang sulit untuk diterima.

Malamnya, entah dapat ide darimana, saya mengajukan sebuah judul sederhana. Judul yang saya coba hubung-hubungkan dengan contoh skripsi Paman saya. Saya buat outline lalu saya mulai menyusun kerangka usulan penelitian. Lengkap seperti BAB I skripsi betulan.

Saya memang ketinggalan jadwal seminar yang pertama. Sungguh malu sekali rasanya. Nilai A yang bertebaran di transkrip semua jadi omong kosong belaka. Hanya karena saya tidak sanggup memenuhi batas akhir seminar yang pertama ini. Saya merasakan beban dan tekanan yang semakin meningkat.

Dengan sedikit usaha “pendekatan” kepada Dosen akhirnya saya dan lima orang kawan lainnya diizinkan untuk ikut seminar tambahan jilid dua. Seminar yang khusus diadakan untuk kami itu berlangsung menjelang liburan Natal 2007. Saya menjadi peserta terakhir seminar karena saya juga harus menyelesaikan presentasi Praktik Kerja Lapangan (PKL) dengan Dosen Penguji yang sama. Untuk yang terakhir disebutkan tadi, saya juga jadi peserta terakhir. Saya mahasiswa terakhir di kelas yang melaporkan hasil PKL.



Setelah mendapatkan “ACC” dari seminar kemarin, Dosen Penguji menyarankan kami agar bahan seminar itu dijadikan embrio skripsi. Dengan demikian, terhitung sejak Januari 2008 kami mulai penyusunan skripsi. Awal tahun yang dibuka dengan optimisme untuk tidak mengulangi kesalahan kemarin. Pelajaran dari mata kuliah Seminar kemarin sudah cukup membuat saya belajar untuk tidak lagi menganggap enteng tugas apapun.

Ternyata, meraih kesempatan itu tidak semudah yang saya duga. Dua minggu pertama bulan Januari itu saya tidak mendapat kemajuan apa-apa untuk pengerjaan skripsi ini. Saya memang bertemu dan berkonsultasi dengan Dosen Pembimbing. Kadang-kadang juga dengan Dosen Wali. Tapi tetap saja tidak ada hasilnya karena saya sendiri tidak tahu apa yang harus saya tuliskan.

Dua minggu itu jadi minggu yang paling memuakkan sepanjang perjalanan kuliah saya. Saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Saya dilanda frustasi dan kejenuhan. Saya tahu bahwa saya tidak bisa berhenti karena hal itu. Tetapi, saya juga harus segera menemukan solusi agar masalah ini tidak kian larut dan jadi masalah yang baru.

Mau tak mau ku harus
Melanjutkan yang tersisa*

Pada suatu malam, lagu itu mengalun pelan di radio. Saya yang sedang melamun jadi tersentak. Lagu itu membuka hati, jiwa, dan pikiran saya untuk kembali fokus pada apa yang telah saya kerjakan: skripsi. Saya tidak bisa mundur begitu saja. Mau tak mau saya memang harus melanjutkan yang tersisa. Saya akan melakukan sesuatu untuk diri saya sendiri. For the love of the game, for the love of my life.

Dengan rasa percaya diri level 10, saya temui lagi Dosen Pembimbing. Paparan saya untuk penelitian ditolak lagi. Ini sudah penolakan ketiga. Artinya, sebenarnya saya sudah kehabisan kesempatan. Tetapi, saya rasa Dosen Pembimbing pun punya pertimbangan sendiri untuk tidak meloloskan usulan saya. Saya masih terus berusaha walau memang tidak menyenangkan sekali rasanya.

Tidak terasa, Februari tiba-tiba datang begitu saja. 14 Februari, hari dimana tiga sahabat saya dinyatakan lulus membuat saya tergugah untuk tidak menyerah. Seminggu kemudian, setelah mengalami lima kali ganti judul, usulan penelitian saya diterima untuk dilanjutkan ke Bab selanjutnya.

Saya terpacu untuk menyelesaikan bab-bab selanjutnya. Saya jadi tidak takut lagi akan kegagalan. Skripsi hanyalah sebuah proses belajar agar kita tahu dimana letak kesalahan kita. Saya tidak perlu takut lagi menghadapi segala macam kritikan, justru itulah yang akan membangun skripsi ini menjadi lebih baik. Seminggu sejak itu, saya berhasil meloloskan dua bab sekaligus. Jam 11, saya ajukan Bab II: ACC. Jam 12, saya ajukan lagi Bab III: ACC. Saya juga tambah heran karena Dosen Pembimbing tidak memberikan argumen apa-apa.

Saya mengulangi hal yang sama tiga minggu kemudian. Agak sedikit lebih lama karena saya harus menganalisa hasil penelitian dan menuliskan kesimpulannya. Entah karena keberuntungan atau memang karena kasihan, kedua Dosen Pembimbing tidak berkomentar apa-apa ketika menyetujui nama saya untuk ikut sidang.

Hari itu, Kamis 27 Maret 2008, saya dinyatakan lulus dengan nilai IPK yang tidak terlalu mengecewakan. Hal ini menjadi pertanda bahwa apa yang telah saya lakukan kemarin itu tidaklah terlalu salah. Saya berhasil mendahului kawan-kawan yang lebih dulu punya ide soal seminar kemarin. Saya berhasil mempertahankan determinasi untuk menyelesaikan apa yang telah saya mulai.

Setelah apa yang saya lalui kemarin, saya belajar banyak hal. Skripsi bukanlah sesuatu yang harus dijadikan beban. Skripsi hanyalah sarana latihan sejauh mana pemahaman seorang mahasiswa dalam menempuh masa perkuliahan. Skripsi pun tidak perlu dianggap jadi momok yang menakutkan karena masih bisa direvisi usai dibantai habis di dalam ruang sidang oleh para Dosen Penguji. Bukankah kesalahan diciptakan agar kita tahu dimana letak kekurangan kita?

Dalam kasus ini, setidaknya saya sedikit belajar juga dari kisah-kisah kebangkitan para CEO dalam memimpin bisnisnya dalam buku “Change”. Ada gunanya juga buku “Change” yang ditulis begawan manajemen kita, Rhenald Kasali. Dari buku itu, saya tahu bagaimana menciptakan perubahan dari dalam diri sendiri. Plus, sedikit wawasan tambahan dari Jack Welch yang berhasil mentransformasikan General Electric untuk kembali ke bisnis inti mereka. Pun, turnaround management yang dilakukan oleh Robby Djohan untuk meletakkan dasar-dasar fondasi manajemen korporasi yang lebih tangguh bagi Garuda Indonesia. Pengalaman memang guru yang paling baik.

Kegagalan bukanlah suatu tragedi kecuali bila memang kita masih terjebak dalam penyangkalan semu. Menerima kegagalan memang tidak pernah menyenangkan. Sama halnya dengan mengakui sebuah kegagalan. Dibutuhkan lebih dari sekedar keluasan jiwa dan hati yang lapang untuk melakukannya. Apalagi mengingat harga yang ditimbulkan dari suatu kegagalan yang sama mahalnya dengan harga sebuah pengalaman. Bangkit dari kegagalan adalah sebuah cermin jujur yang menampakkan kekuatan sejati untuk tetap bertahan dan berjalan. It’s not about the failure but it’s all about how you manage the corrective action and move on after all that happened.


Jakarta, 14 Mei 2012.

* lirik lagu "Mau Tak Mau" dari Jagostu

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...