Minggu, 30 September 2012
Surat Untuk Jokowi
Tangerang, 30 April 2012
Kepada:
Bapak Joko Widodo
di
Tempat
Dengan hormat,
Jika negeri ini membutuhkan seorang pemimpin yang mau bekerja tanpa banyak kata, sudah jelas ingatan kita akan menjurus pada sedikit nama. Tidak banyak nama yang memiliki kemampuan tersebut. Nama Bapak adalah pengecualian, eksepsi untuk hal tersebut. Ibarat label, Bapak telah menjadi suatu trademark yang meneguhkan reputasi, kapabilitas, dan kredibilitas di tengah heterogenitas masyarakat. Suatu esensi yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin.
Setiap pemimpin terlahir bukan atas kehendak dan bakat semata. Lebih dari itu, seorang pemimpin telah melewati segenap proses yang menjadikannya layak untuk memimpin. Melihat relevansinya dengan keadaan sosio-politik saat ini, pemimpin tidak terlahir dan dibesarkan dengan sistem yang mapan. Banyak pemimpin kita saat ini muncul bukan sebagai pemimpin yang benar-benar pemimpin melainkan pemimpin bermental “pimpinan”. Pemimpin semacam itu sudah jelas kehadirannya disebabkan oleh suatu sistem yang instan. Betapa proses pemilihan seorang pemimpin saat ini tidak mencerminkan kehendak rakyat. Sistem pemilhan langsung yang menjadi legitimasi seorang pemimpin begitu rawan manipulasi. Apalagi, jika harus melihat lebih dalam pada kecakapan dalam hal memimpin.
Masih segar dalam ingatan kita ketika Bapak menjadi headline berita dimana-mana, entah itu media cetak atau media elektronik. Segala tindak-tanduk Bapak waktu itu seakan tidak luput dari liputan media. Misalnya saja, keberhasilan Bapak mengatasi permasalahan PKL (Pedagang Kaki Lima), yang juga mengantarkan segenap cerita lainnya seperti gaji yang tidak pernah Bapak ambil sejak menjabat Walikota Solo dan penggunaan mobil dinas lama. Seakan menyindir kelakuan pejabat-pejabat kita di Pemerintahan Pusat yang tidak pernah puas dengan fasilitas yang ada.
Pun, ketika Bapak menyatakan dukungan penuh kepada usaha mobil Esemka untuk mendapatkan rekognisi sebagai mobil nasional. Bapak satu-satunya pemimpin yang tidak ragu-ragu untuk menggunakan mobil karya anak-anak muda harapan bangsa itu. Bapak tidak segan-segan memberikan dukungan penuh agar mobil Kiat Esemka itu mendapatkan sertifikasi dari otoritas yang berwenang di negeri yang kita cintai ini. Bapak telah membuktikan bahwa jargon “100% Cinta Produk Indonesia” itu bukan sekedar jargon dan formalitas belaka untuk bangsa sebesar bangsa Indonesia.
Bapak tidak gentar menghadapi cibiran dan kritik dari berbagai pihak yang masih terlalu pesimis untuk melihat kemajuan yang dicapai bangsanya sendiri. Kita tidak perlu jadi munafik untuk mengakui bahwa bangsa kita ini masih memliki potensi besar untuk mencapai kemajuan yang yang selalu dicita-citakan. Kita tidak perlu mengkhianati cita-cita anak bangsa yang mendambakan kemajuan dengan segala pencapaian di berbagai bidang untuk Indonesia.
Indonesia butuh pemimpin yang mau berbuat. Bekerja sepenuh hati untuk turun sendiri ke lapangan, ke tengah-tengah masyarakat, dan menemukan kenyataan yang tidak pernah menyenangkan. Bahwa angka kemiskinan itu masih tinggi, rapuhnya sistem jaminan kesehatan bagi kaum marjinal, dan akses terhadap pendidikan murah yang masih sebatas wacana belaka. Indonesia tidak butuh pemimpin yang banyak bicara, pamer kepintaran dengan dialog-dialog terkutuk di media. Indonesia butuh pemimpin yang mau melihat sendiri kenyataan di kalangan masyarakat bawah. Sejatinya, negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini masih menyimpan luka karena masih mbanyak rakyatnya yang tidak bisa menikmati kekayaan bangsanya sendiri.
Indonesia tidak butuh pemimpin yang bercitra baik, positif, dan populer. Rakyat tidak butuh pencitraan, rakyat butuh pemimpin pekerja. Rakyat butuh pemimpin yang mampu dan bisa bersikap atas segala kenyataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia butuh pemimpin yang mampu mengambil keputusan sekalipun itu sulit dan sangat tidak populer. Indonesia butuh pemimpin yang mampu menumbuhkan kembali harga diri bangsa, bukan pemimpin berkedok pahlawan yang akhirnya menggadaikan negeri ini demi kepentingan diri dan golongannya sendiri.
Indonesia butuh pemimpin yang mau menemui rakyatnya. Indonesia butuh pemimpin yang tahu masalah warganya. Termasuk ikut merasakan kemacetan Jakarta yang bagai dosa tiada akhir. Jakarta adalah miniatur dari Indonesia yang sesungguhnya selain perannya sebagai Ibukota negara. Sebuah kota metropolitan yang selalu digugat warganya sendiri karena gagal menjadi tempat yang lebih baik untuk tinggal.
Jakarta seakan mewakili karakter negara dunia ketiga. Lingkungan yang semakin semrawut, peraturan yang tumpang tindih, pemerintahan yang korup dan kebijakan yang tidak pro rakyat, pelayanan sosial yang buruk, penyelenggara pemerintahan bermental priyayi, kualitas pendidikan yang rendah, dan tidak ada akses struktural bagi warga miskin.
Akibatnya, jurang kesenjangan sosial menjadi semakin lebar. Migrasi kasta sosial yang terjadi pada warga kelas menegah menyebabkan segregasi sosial yang semakin memperparah kehidupan sosial warga Jakarta. Segregasi sosial tersebut telah mempengaruhi tingkat interaksi sosial warga Jakarta. Kecurigaan dan pretensi telah menimbulkan rasa aman yang sangat mahal harganya.
Jakarta kini semakin individualis. Ruang khalayak menjadi semakin menciut. Jakarta kini adalah Jakarta yang semakin tua dan semakin kesulitan bernafas. Tidak ada lagi taman yang indah. Jakarta kehilangan warna kotanya. Jakarta juga seolah akan berhenti menjadi sumber ilham, sebab kedudukannya di dalam ruang kebudayaan dan kesenian makin menurun di antara kota-kota lainnya. Transformasi kultural mandek sebagai akibat semakin sempitnya ruang untuk berkesenian. Namun, sebagai sebuah peradaban metropolis yang menawarkan kesempatan kosmopolitan, Jakarta tetap saja menarik mereka yang berani untuk menabur harapan dalam ruang kota yang semakin menyempit.
Meskipun kritik atas Jakarta selalu menghujam, apalagi saat-saat seperti ini dimana Jakarta akan menentukan pemimpinnya, Jakarta masih punya secercah harapan untuk menjadi tempat yang benar-benar layak bagi kehidupan warganya. Jakarta sebenarnya kaya raya dan penuh potensi. Atas dasar harapan itulah imajinasi tentang Jakarta yang lebih baik dimungkinkan dan bisa diwujudkan.
Akulturasi budaya yang terjadi di dalam keseharian warga kota Jakarta adalah suatu esensi tersendiri yang menarik untuk diwujudkan. Jakarta yang multietnik dan multikultural memiliki nilai tersendiri dalam pergaulannya dengan kota metropolitan lainnya di dunia. Jakarta masih memiliki pesonanya sendiri untuk kemudian menjadi entitas baru dengan latar belakang sejarah yang kuat.
Dengan demikian, sudah jelas tugas bagi seorang pemimpin Jakarta untuk berusaha mewujudkan Jakarta yang layak untuk ditinggali serta mempertahankannya sebagai bagian dari pergaulan dengan kota metropolitan lainnya. Seorang pemimpin Jakarta tidak harus memiliki legacy atau heritage sebagai pribumi. Jakarta milik kita bersama. Maka, siapapun yang dikehendaki warga Jakarta dialah sosok yang benar-benar mampu untuk mengatasi segenap permasalahan yang kini sedang mendera Jakarta.
Bapak telah mengajarkan sisi kepemimpinan kepada bangsa ini dimana pemimpin itu memberi contoh. Bukan hanya sekedar mengucap kata lalu menghimbau warga agar mematuhinya. Saya merasa optimis bahwa Bapak akan mampu untuk menata kembali segala persoalan yang dialami oleh warga Jakarta. Sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti. Bukankah perubahan besar selalu dimulai dari perubahan-perubahan kecil?
Deru kehidupan yang semakin cepat menuntut Jakarta untuk lebih adaptif terhadap segala macam perubahan tanpa harus mengorbankan kepentingan warganya. Pembangunan di Jakarta kelak harus lebih berpihak dan bermanfaat langsung bagi warga Jakarta. Penyediaan kebutuhan dasar yang lebih merata, akses yang lebih mudah terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan, adalah pritoritas utama yang harus segera diwujudkan bila Jakarta tidak ingin kehilangan entitasnya.
Munculnya Bapak menjadi calon gubernur DKI Jakarta adalah suatu bentuk harapan dari masyarakat Jakarta. Harapan warga Jakarta untuk tidak sekedar menelan kata perubahan agaknya harus jadi motivasi utama agar roda pemerintahan yang Bapak jalankan nanti benar-benar mencapai target dan sasaran yang telah ditetapkan. Optimisme dalam membangun kembali Jakarta dan menempatkannya kembali dalam konteks sosio-budaya-spasial adalah satu keharusan bagi siapapun pemimpin Jakarta terpilih. Cepat atau lambat, dengan segenap kemampuan dan track record yang Bapak miliki, saya yakin Bapak akan membuat langkah awal yang akan membangun kesadaran kolektif warga Jakarta. Untuk bersama-sama membangun Jakarta dan mewujudkan Jakarta yang lebih baik untuk ditinggali.
Hormat saya,
Anggi Hafiz Al Hakam
Paninggilan, 30 April 2012.
* tulisan ini pernah dilombakan dalam Lomba Menulis Surat Jokowi-Dahlan Iskan yang diadakan oleh penerbit Leutikaprio.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar