Minggu, 31 Maret 2019

Surat dari Montreal (6)

Surat dari Montreal (5)

Surat dari Montreal (4)

Surat dari Montreal (2)

Baik semuanya. Ini cerita tentang malam pertama kami di Montreal, Quebec. Sebuah tempat yang sangat jauh dari Pharmindo.
 
Saya telah tiba di Montreal. Sebuah kota yang menamakan dirinya 'The Capital of World Aviation'. Acoording to sebuah monumen kecil di airport. Wajar saja, ada logo ICAO dan IATA disana. Belakangan saya ketahui juga bahwa kantor dua entitas ini saling berdekatan.

Apartemen kami ada di dekat sebuah perempatan. Jalan apa namanya, saya belum tentu paham. Usai menyimpan semua barang dan menunggu malam tiba, saya bersama seorang kawan mencoba mencari sensasi dingin di belahan bumi utara ini. Kami berdua berjalan kaki menuju sebuah kedai kopi terkenal (sebut saja Sbux). 
 
Ini minggu malam. Tidak terlalu sepi, bahkan banyak yang coba menghangatkan diri dengan secangkir minuman hangat. Kami berbeda, kami memesan dua gelas kopi dingin, with ice, dengan tegas tukas kami kepada sang pelayan. Tidak ada obrolan diantara kami. Kami hanya sibuk dengan diri masing-masing. Say mengamati lalu-lalang di trotoar sedangkan kawan saya sibuk dengan ponselnya. Terdengar suara gadis kecil di seberang sana.

Malam makin meninggi dan semakin dingin. Jaket saya nampaknya kurang cukup tebal untuk menahan angin sepoi-sepoi disini. Hampir sejam kami disana. Kami lanjut pulang sambil mampir sebuah toko kelontong. Alhamdulillah, ada telor ayam disana dan juga air mineral. Sesuatu yang sangat kami butuhkan, at least malam ini.

Malam merambat, jalanan mulai menyepi, dan kami semua berenam tidak bisa tidur. Saya hanya menatap langit-langit kamar. Membayangkan besok akan seperti apa. Dalam bayangan saya anak-anak yang berlarian ditemani Ibunya, Bapak yang kini entah sedang apa, dan sekian juta hal-hal lain yang kerap mengganggu.

Sudah jam 2 pagi. Ada suara di dapur. Tak lama, sebuah aroma yang sangat kami kenal masuk ke dalam kamar. Ya, kami makan mie instan saja daripada tidak bisa tidur. Ya, ini jam setengah tiga.

Montreal, 18 Maret 2019.

Surat dari Montreal (3)

Surat dari Montreal (1)

Bapak,

Apa kabar Bapak disana?

Tentu barangkali Bapak sudah tahu soal kepergian saya ke Kanada. Negara berbahasa Perancis di belahan Amerika Utara. Tidak ada yang saya tahu soal negara itu kecuali Celine Dion, Winter Olympic Calgary 1988, dan Toronto Maple Leafs. Yang terakhir itu, saya kenal dari game NHL di PlayStation, walau bukan tim unggulan tapi saya selalu menang ketika memainkannya.

Saya tidak tahu berapa lama perjalanan ke negara itu sampai saya merasakannya sendiri. Perjalanan Bapak tahun 1985 silam ke Sevilla, Spanyol, tentulah lebih singkat dibanding dengan perjalanan saya. Saya menghabiskan waktu kurang lebih 27 jam untuk tiba di ibukota provinsi negara bagian Quebec ini. 

Dari Jakarta menuju Doha, saya terbang 8 jam dengan pesawat 787, sebuah pesawat dengan teknologi paling efisien dikelasnya. Saya melanjutkan penerbangan ke Montreal setelah transit selama 2,5 jam (waktu efektif hanya 30 menit) dengan pesawat 777. Saya duduk selama 22 jam (according to flight computer di entertainment system). Untung, maskapai nasional Qatar ini punya wi-fi di pesawatnya, jadi saya tidak kesulitan menghubungi keluarga di rumah.

Saya masih menatap jendela di terminal kedatangan. Bahwa saya masih tidak percaya bisa berada disini. Entah nasib apa ini namanya. Yang jelas, keinginan saya untuk berada di satu tempat yang lebih jauh dari Bapak dulu di Sevilla, sudah tercapai. Saya disini untuk menuju ke satu tempat dimana semua orang penerbangan mendambakannya (looks lebay ya, Pak). Tetapi, tetap saja, ini semua tidak sempurna karena Bapak sudah tidak ada lagi bersama kami.

Semoga Bapak selalu tenang disana, kami akan selalu mendoakan engkau. Dimana pun, kapan pun.

Bonjour, salam dari Montreal.


Jakarta-Montreal, 17 Maret 2019.


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...