Senin, 23 Desember 2019

Helen dan Sukanta

Sumber: www.goodreads.com

Selalu menyenangkan untuk membaca tulisan-tulisan Pidi Baiq yang mengaku sebagai imigran dari surga. Setelah serial Dilan dan Milea-yang dengan gagahnya menghancurkan imaji saya tentang mereka usai difilmkan, Helen dan Sukanta agaknya menjadi sebuah pengecualian untuk cinta yang mendayu-dayu khas anak remaja.

Entah, saya sudah lupa kapan, saya pernah berkunjung ke blog Pidi Baiq dan membaca beberapa paragraf awal dari Helen dan Sukanta. Begitu pula dengan Dilan, yang catatan awalnya dapat dibaca dalam blog sang penulis. Harapan saya satu per satu menjadi kenyataan. Dilan sudah terbit-sekaligus difilmkan. Kemudian, menyusul Helen dan Sukanta. Sebuah novel romantis dengan ending yang tragis.

 
Membaca Helen dan Sukanta berarti mengembalikan ingatan kepada Bumi Priangan-utamanya Tjiwidei, masa kolonial pasca politik etis. Kisah romantis antara seorang Noni belanda dengan anak pribumi saat itu adalah hal yang tabu. Demikian pula dengan Helen dan Sukanta. Terlalu banyak perbedaan untuk menjadi hambatan kisah cinta mereka.

Saya tidak akan menyoroti bagaimana kisah cinta mereka, darimana Helen bisa kenal dengan Sukanta, dan segenap perjalanan yang mengasah cinta mereka. Helen dan Sukanta adalah sebuah kisah tragis, walaupun hanya baru bisa ditemukan pada seperempat terakhir buku.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pendudukan Jepang atas koloni Hindia Belanda membawa banyak perubahan. Tidak hanya bagi kaum kolonial tetapi juga pada kaum pribumi yang mendambakan kemerdekaan. Kisah Helen dan Sukanta berada pada tengah masa peralihan itu.

Helen yang pulang ke Tjiwidei untuk menemui ibunya yang sakit dan kemudian meninggal tidak pernah menyangka bahwa perpisahan dengan Ukan (panggilan untuk Sukanta) itu adalah perpisahan untuk selamanya. Pasukan Jepang berhasil menduduki Kalijati, kemudian menyeberang ke Lembang. Ukan, entahlah dimana. Helen kemudian masuk kamp tawanan Jepang dimana ia harus kehilangan buah hati yang sedang dikandungnya. Pernah sekali Helen kembali untuk mencari Ukan ke Lembang. Hasilnya sia-sia saja. Bahkan, kalau tidak karena kenalannya di perkebunan dulu, Helen tidak akan tahu nasibnya.

Saya mendapatkan kesan bahwa novel ini sangat humanis. Penulisnya berhasil membawa ingatan tentang masa kolonial beradu dengan masa pendudukan ditambah konflik antara dua hati yang saling mencinta. Tetapi, adalah tragis ketika kita tidak pernah tahu nasib tentang orang-orang yang kita cintai. Begitulah, Helen dan Sukanta dalam pergulatan takdirnya masing-masing.

Judul            : Helen dan Sukanta
Penulis        : Pidi Baiq
Penerbit       : The Panasdalam Publishing
Tahun          : 2019
Tebal           : 364 hal.
Genre           : Novel-Sejarah
 
Ciputat-Cengkareng, 23 Desember 2019.
Ulasan penuh pertama usai Bapak tidak ada.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...