Rabu, 28 Maret 2012

For Whom The Bell Tolls (The Nightsong #2)

Saya selalu merindukan saat-saat berkumpul dengan keluarga. Terutama dengan Paman, adik bungsu dari Ibu. Petang itu, selepas maghrib jatuh kami berkumpul lagi di rumah yang sudah dua tahun ini saya tempati. Saya selalu senang setiap Paman datang. Biasanya, sambil merenungi laptop masing-masing kami akan mulai memainkan lagu. Saya selalu rindu pada musik dan lagu yang nanti akan Paman mainkan. “Sepi kieu euy, euweuh kesenian.” Begitu kata Paman setiap kami bekerja dalam sepi tanpa iringan musik.

Kedatangan Paman saya kali ini cukup istimewa. Paman adik bungsu Ibu ini tidak membawa oleh-oleh dari Bandung. Tidak ada yang beliau bawa kecuali luka dalam hatinya. Mendung sedang enggan pergi dari pikirannya. Saya tahu ada sesuatu yang salah dari raut muka yang biasanya berseri itu. Kenyataan dalam kehidupan rumah tangga telah merubah semuanya.

Dalam diam, tiba-tiba Paman mulai mencari lagu-lagu di folder komputer kerja yang tersambung dengan perangkat audio. Disana sudah ada lagu-lagu dari Iwan Fals, Doel Sumbang, Classic Slow Rock, P Project, hingga koleksi Bee Gees: Their Greatest Hits. Paman saya ini dulunya pemain band, drummer. Dia sangat mengagumi Metallica. Tetapi tidak keberatan untuk menyanyikan Isabella sambil setengah teriak setiap kami pergi ke tempat karaoke.

Tiba-tiba mengalun pelan irama sebuah lagu yang pernah saya kenal. Saya tidak benar-benar tahu judulnya apa. Tapi dari nadanya mungkin itu dari Bee Gess. Tepat sekali. Paman saya ini memilih lagu “For Whom The Bell Tolls”. Lagu yang dirilis tahun 1993, tahun yang sama dengan tahun Paman masuk kuliah. Satu judul lagu yang sama dengan lagu milik Metallica. Sambil nyengir sedikit, dia hanya bilang, “Gak apa apa, mirip Metallica judulnya”.


Saya rasa ada alasan lain dibalik itu. Bukan lantas karena mirip dengan Metallica semata. Ada sesuatu yang mengharuskan dia memutar lagu itu. Karena penasaran, saya mencoba untuk memperhatikan dan mendalami lirik lagu ini. Tanpa mengurangi rasa hormat saya, rasanya ada sesuatu yang memang berkaitan dengan suasana hati Paman Sejuta Umat (julukan khas keluarga kami) ini. Keadaan rumah tangga yang sedang ditimpa ujian telah memaksanya untuk sejenak menjauh agar mampu membuka hati kembali.

Lagu ini terus diputar berulang-ulang. Ingatan saya merujuk pada buku The Song Reader, kisah seorang pembaca lagu (Huge thanks to @taqi_qisthi for giving me this book exactly before Westlife's concert last October). Barangkali benar adanya bahwa lagu ini jadi penanda untuk suasana hati yang gelisah. Sama gelisahnya seperti saya yang mencoba untuk move on namun tersandung untuk kembali pada suatu nama.

Waktu itu, saya pikir tidaklah terlalu salah untuk membuka diri dan memulai kembali hubungan dengan Lia. Setelah apa yang terjadi dan berkali-kali awkward moments diantara kami yang seakan tidak pernah saling mengenal, tidak pernah saling melekat lengket bagai ketan. Saya rasa sudah cukup untuk mengakhiri denying period atau masa penyangkalan ini. Tidak bisakah kita berteman kembali layaknya sahabat seperti kemarin? If it’s meant to be, it’s gonna be us. Us like yesterday, with all the laughs we shared.

Petang itu, dua anak manusia, Paman dan seorang keponakannya sedang berlomba dalam pikirannya masing-masing. Mencoba menaklukkan tantangan terhebat yang muncul dalam pertempuran hebat antara logika dan hati. Demi satu rasa, satu hati, satu cinta.

*

For Whom The Bell Tolls

I stumble in the night
Never really knew what it would've been like
You're no longer there to break my fall
The heartache over you
I gave it everything but I couldn’t get through
I never saw the signs
You're the last to know when love is blind

Through the tears and the turbulant years
When I would not wait for no one
Didn’t stop take a look at myself
See me losing you

When a lonely heart breaks
It's the one that forsakes
It's the dream that we stole
And i’m missing you more
And the fire that will roar
There’s a hole in my soul
for you it’s goodbye
for me it’s to cry
for whom the bell tolls

i’ve seen you in a magazine
a picture at a party where you shouldn’t have been
hanging on the arm of someone else

I'm still in love with you
Won't you come back to you're little boy blue
I've come to feel inside
This precious love was never mine

Now I know but a little to late that I could not live without you
In the dark or the broad daylight
I promise I'll be there

When a lonely heart breaks
It's the one that forsakes
It's the dream that we stole
And I'm missing you more
And the fire that will roar
Theres a hole in my soul
For you it's goodbye
For me it's to cry
For whom the bell tolls

Never knew ther'd be times like this
When I couldnt reach out to know one
Am I never gonna find someone that knows me like you do
Are you leaving me a helpless child
When it took so long to save me
Fight the devil and the deep blue sea
I'll follow you anywhere
I promise I'll be there

When a lonely heart breaks
Its the one that forsakes
Its the dream that we stole
And I'm missing you more
And the fire that will roar
Theres a hole in my soul
For you its goodbye
For me its to cry
For whom the bell tolls


Paninggilan, 28 Maret 2012. 20.03

Selasa, 27 Maret 2012

27 Maret 2008 – 27 Maret 2012: Memoar 4 Tahun

And life is a road that i want to keep going
Love is a river, i wanna keep flowing
Life is a road, now and forever, wonderful journey*


Awalnya


Kamis, 27 Maret 2008. Satu lagi hari bersejarah dalam hidup saya yang cuma begini ini. Satu hari dimana seluruh daya upaya doa ikhtiar melebur dalam kecemasan atas satu keyakinan. Satu hari yang tiba sebagai pembuktian pencapaian bahwa apa yang telah saya lakukan kemarin tidaklah terlalu salah. Kembali mengingat hari-hari itu adalah sebuah kemestian. Ketika waktu terus berputar dan hari berganti. Membawa masa lalu yang akan segera berganti menjadi masa depan yang terulang lagi.


Flashback
 
Membaca kembali hasil bimbingan selama kurang lebih dua bulan plus menyelaraskannya dengan revisi dari pembimbing adalah sesuatu yang cukup membingungkan. Fokus pada penelitian itu sendiri kadang bisa jadi bias bila kita tidak teliti. Saya begadang semalaman untuk menyelesaikannya. Kadang-kadang sambil ‘nyengir’.

Saya butuh waktu lebih dari sebulan untuk menemukan judul yang fix untuk skripsi ini. Itu sudah termasuk lima kali ganti judul, puluhan kali bimbingan tanpa hasil selain penolakan, puluhan batang rokok lengkap dengan bergelas-gelas kopi Aceh (huge thanks to Mbak Annisa Fatmawati), dan malam-malam panjang bergelut dengan kata dan kantuk. Tahu-tahu, sudah 14 Februari dimana sahabat saya, Waluyo, berhasil dengan gantengnya untuk lulus duluan. Laki-laki pertama dari kelas kami yang jadi sarjana.
 
Peristiwa 14 Februari itu terus mengganggu. Saya harus melakukan sesuatu karena saat itu Bab I punya saya belum di-ACC alias disetujui para pembimbing yang terhormat, Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan. Atas dasar itulah saya berusaha fokus terhadap masalah penelitian. Bahkan, saya melibatkan Dosen Wali dalam hal ini, untuk sekedar membantu. Buat apa punya Dosen Wali kalau tidak bisa jadi wali yang baik di kampus.

20 Februari 2008, Bab I resmi diapprove. Artinya saya harus segera melangkah untuk Bab II dan Bab III. Itu kata saya, bukan kata pembimbing. Saya harus berlari cepat. Entah, seperti ada sesuatu yang mengharuskan saya melakukannya. For the love of my life, for the love of the game! Padahal, sebelum tanggal 20 itu, angket penelitian sudah saya sebar ke responden. Sedikit ilegal memang tetapi saya harus melakukannya karena hidup memang tidak memberi banyak pilihan saat itu.

Benar saja, seminggu kemudian Bab II dan Bab III akhirnya selesai. Tidak banyak halangan berarti. Jam 11.00 waktu negara bagian Jatinangor, Bapak Ketua Jurusan selaku Pembimbing I menyetujui Bab II . saya tidak bisa menunggu lebih lama. Bab II sudah ditangan dan harus segera mendapatkan approval. Jam 12.00 menjelang adzan Dzuhur, saya kembali menghadap Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan yang merangkap jadi Pembimbing. Bab III disetujui. Untungnya, mereka berdua tidak sadar bahwa mereka baru saja menandatangani Bab II. Tangan Tuhan memang bekerja dengan caraNya sendiri.

Apapun pekerjaannya, kebosanan selalu menghampiri. Kalau sudah begitu, biasanya saya segera bertanya pada diri sendiri: Kok nggak beres-beres ya? Sebuah pertanyaan eksistensial yang sangat sangat sangat mengganggu. Beruntung sekali, saya punya teman seperti Mita. Saya sangat berterima kasih karena sudah mengizinkan saya beberapa kali datang ke rumahnya di Arcamanik. Hanya untuk tukar pikiran soal metode penelitian dan analisis data sambil sedikit curhat. That’s what friends are for! Membaca buku saja ternyata tidak cukup. Melihat dari sudut pandang lain ada manfaatnya. Percayalah itu kawan!

Belum lagi perasaan lelah. Semua itu terjadi saat analisis data hasil observasi lapangan. Cikal bakal Bab IV dan Bab V.  Saya masih harus menemui beberapa narasumber untuk diwawancara. Terima kasih banyak kepada Mas Agung Hujatnikajennong, kurator Selasar Sunaryo Art Space, yang telah ‘membuka jalan’ untuk menghubungi kritikus komik, Hikmat Darmawan yang akhirnya saya wawancarai di Garut. Terima kasih juga untuk Tember Susena, untuk mp3 recorder. Without you all it’s all gone to waste. Untung saja, Fakultas Sastra mengadakan acara bedah buku terbaru Seno Gumira Ajidarma “Linguae” esok harinya. Seno Gumira Ajidarma benar-benar nyata dihadapan saya. Begitu juga Prof. Sapardi Djoko Damono, si pemilik Hujan Bulan Juni. Rasanya, jadi obat mujarab untuk semua ‘kekacauan’ dalam pikiran.

Seminggu sebelum D-Day, 26-27 Maret, Bab IV dan Bab V selesai. Seperti apa yang sudah saya lakukan, keduanya saya ajukan bersamaan. Tentunya, setelah konsultasi yang kesekian kalinya dengan Pak Agus, Sang Dosen Wali tercinta. Lagi-lagi, tanpa hambatan. Para pembimbing sepakat agar draft naik sidang. Dengan catatan, minggu depan masih harus dibahas. Ada beberapa poin yang masih harus disesuaikan.

Ada pameo yang berlaku di Jurusan. Siapa yang bimbingan lancar, pasti habis dibantai waktu sidang. Saya tahu itu Cuma sekedar pameo. Mungkin, pencetus pameo itu merasakan hal yang demikian sehingga butuh pembenaran dari yang lainnya. Agak sedikit khawatir memang. Lagipula, kalau memang skripsi itu dibuat sendiri bahkan kita sendiri hafal letak penamaan sub judul dan masalah yang dibahas harusnya bukan jadi suatu malah untuk menghadapi yang namanya Penguji.

Senin, 24 Maret 2008. Revisi draft akhir ‘skripsi komik’ yang saya buat. Ada banyak coretan dosen pembimbing disitu. Siang itu, yang ada dalam pikiran saya hanya satu: Bagaimana caranya supaya bisa tetap ikut sidang hari Rabu dan Kamis besok. Terlebih ketika petugas di Jurusan merilis pengumuman bahwa kemungkinan sidang akan dilaksanakan mulai besok Selasa dan Rabu.

Terus terang, kabar itu membuat langkah ini sedikit surut. Tapi saya tetap yakin, kalau saya mau saya pasti bisa. Kalau Tuhan mau kasih saya sidang, Tuhan pasti kasih. Bismillah, saya masuk ruang Jurusan untuk menanyakan jadwal sekaligus memastikan bahwa saya bisa memasukkan 5 salinan draft skripsi betulan untuk bahan sidang. And you know what? Oleh staf Admin Jurusan bagian pendaftaran sidang, saya disuruh untuk mengumpulkan kelima draft itu besok sebelum jam 12 siang. See! Itu belum termasuk bonus, bahwa nama saya dimasukkan daftar peserta sidang skripsi. Alhamdulillah.

Perjuangan belum berakhir. Besok adalah penentuan, apakah saya mampu datang sebelum jam 12 siang. Itu memang belum pasti. Masih ada 1001 kemungkinan. Saya hanya bisa pasrah sambil berharap malam ini tidak ada gangguan. Misalnya, listrik yang mati, CPU yang ngadat, printer yang tintanya tidak mau keluar, dan macam-macam cobaan lainnya. Mungkin, Tuhan mau menguji sejauh mana kesabaran saya sekaligus menetukan layak tidaknya saya untuk menghadapi sidang besok. Siapa tahu.

Selasa, 25 Maret 2008. 07.15. Saya hanya tidur 3 jam dan pagi itu saya mencetak draft master skripsi lalu bergegas ke tukang fotokopi. Baru jam 10.00 saya berangkat menuju bumi Jatinangor tercinta, tempat pelabuhan impian selama tiga tahun lebih ini. Saya harus tiba sebelum pukul 12.00 siang. Sementara, ada SMS dari Mita bahwa saya harus secepatnya mendaftarkan draft kalau memang masih ingin ikut sidang komprehensif Rabu besok. Bis DAMRI yang saya naiki tiba di Jatinangor jam 11.55, saya rasa masih cukup untuk sampai ke kampus pakai ojek. Ngeeeenggggg.

Tiba di kampus, setengah berlari menuju Jurusan disambut dengan sekian pasang mata yang tampak bingung. Saya mencari petugas pendaftaran sidang, sudah jam 12.03. Saya mendesak masuk loket dan si Ibu itu melambai ke arah saya, tandanya menyuruh masuk ruangan. Nama saya ada dalam daftar paling bawah dari enam peserta dan satu-satunya yang ditulis dengan tulisan tangan. Tidak masalah, yang jelas saya sudah terdaftar dan daftar itu akan segera diajukan ke Dekanat beserta draft skripsi yang lima buku itu.

D-Day Part 1

26 Maret 2008. 06.00. Pagi itu, bis DAMRI yang saya naiki mengalami pecah ban di pertigaan Holis. Bukan sesuatu yang bagus untuk mengawali hari. Saya khawatir tidak bisa tepat waktu untuk datang menemui Pembimbing pukul 07.00. untung, bis bantuan segera datang. Saya optimis mampu menghadapi sidang komprehensif ini. Kalau saya bisa dapat nilai A dan B untuk setiap mata kuliah yang saya ambil, kenapa masih harus takut. Saya malu sekali sama selembar transkrip yang isinya huruf-huruf nilai itu.

Benar, saya bisa hadir pukul 07.00 tepat. Setelah bertemu dengan pembimbing saya segera mendapatkan nama penguji sidang. Ada lima nama dosen. Tiga dari mereka mungkin jadi penguji sidang skripsi besok. Saya harus mendatangi mereka satu per satu. Menghadapi sekian pertanyaan di meja mereka masing-masing. Hasil undian pun keluar. Saya dapat urutan pertama. Tidak mudah memang menjadi orang yang pertama dipanggil sidang. Saya akan jadi tolak ukur untuk 5 orang lainnya, termasuk Mita. Saya telah cukup mengalami sekian ketakutan dan pagi tiu saya tidak punya alasan untuk merasa takut. Ketakutan telah mengajari saya untuk berani menghadapi kenyataan (yang memang tidak pernah mudah).

Pukul 11.00, 4 meja dosen penguji sudah saya datangi dan saya berhasil menjawab pertanyaan mereka. Saya kira mereka akan bertanya soal materi-materi kuliah. Ternyata tidak, yang jadi fokus penguji waktu itu hanya korelasi antara mata kuliah dan tema skripsi yang saya pilih. Kalaupun menyangkut materi kuliah, pertanyaan mereka tidak lebih dari sekedar pengembangan dan penerapan keilmuan. Mirip-mirip soal ujian esai semester 6. Tiga dari penguji tadi akan menemui saya kembali esok hari. Dari sorot matanya, saya bisa lihat bahwa mereka mengharapkan sesuatu terjadi besok.

Saya pulang usai tidak sengaja mengintip nilai yudisium saya untuk sidang komprehensif. Saya sengaja mengintip untuk memastikan bahwa total kumulatif IPK saya tidak akan turun hanya karena nilai sidang. Setelah memastikan nilai saya aman, maksudnya dalam batas yang tidak terlalu mengecewakan saya bergegas pulang. Bersiap untuk besok. Tidak ada lagi yang harus saya lakukan selain memastikan bahwa skripsi itu memang tulisan saya sendiri. Buah karya pikiran selama kurang lebih tiga bulan ini.

D-Day Part 2


Kamis, 27 Maret 2008. Nama saya kembali berada di urutan pertama. 08.00. Setelah semua peserta sidang dibriefing oleh Ketua Jurusan, saya kembali berhadapan dengan tiga penguji sidang kemarin ditambah dua orang pembimbing. Saya hanya butuh waktu 45 menit di ruang sidang. Seorang dosen penguji, Pak Rohanda, meminta draft itu untuk dijadikan referensi penelitian yang sedang beliau lakukan. Memang masih ada yang perlu diperbaiki dari skripsi ini. Tetapi saya merasa lega karena tidak ada kesalahan dalam hal metode. Walaupun sedikit khawatir tentang komentar-komentar itu berpengaruh terhadap penilaian. 45 menit, bukankah itu terlalu singkat untuk perjuangan selama 3 tahun 7 bulan?

Kekhawatiran dalam sidang itu sebenarnya bukan sempurna saat perform di depan dosen penguji, bukan karena faktor dosen penguji, bukan juga karena sekian bantahan-bantahan atas teori dan solusi masalah yang diajukan. Kekhawatiran muncul karena saya tidak pernah tahu apakah yang 45 menit itu tadi berhasil atau gagal. Pilihannya hanya tinggal itu. Berhasil meyakinkan dosen penguji sehingga mau meluluskan kita dengan nilai yang memuaskan atau gagal dalam menyajikan solusi atas suatu masalah.

14.30. Sidang selesai. Dilanjutkan dengan Yudisium. Momen inilah yang agaknya sedikit mengharukan. Ketika Ketua Jurusan mengumumkan satu per satu hasil sidang dan IPK terakhir yang akan selamanya melekat dan jadi milik kita. Pelukan dari kawan-kawan peserta sidang menyadarkan saya bahwa semua ini sudah berakhir. It’s all over, it will be pass soon.

Diluar ruang sidang, kawan-kawan sekelas menyambut kami yang enam orang ini. Bahagia sekali rasanya saat melihat hampir setengah kelas menyambut saya keluar dari ruang sidang. Saya pikir ini karena saya adalah Ketua Kelas mereka tapi ternyata saya salah. Lebih dari itu. Mereka datang sebagai sahabat yang setia dan saling mendukung satu sama lain. Seperti reuni pasukan perang yang berhasil mengalahkan  musuh di medan tempur. Pelukan dan jabat erat mereka sangat berarti untuk saya. Tak terasa air mata ini mengalir begitu saja. Saya tahu hal seperti ini akan segera berlalu.

Tak lama, kami pun membubarkan diri. Saya membereskan draft skripsi untuk dibawa pulang. Saat itu, kawan-kawan sedang tidak ada di kontrakan masing-masing. Tidak ada tempat untuk menitipkan tumpukan draft itu yang bertambah karena Mita menghibahkan semua draft miliknya pada saya. Barangkali nanti akan berguna pada saat revisi, minggu depan.

And life is a road that i want to keep going
Love is a river, i wanna keep flowing
Life is a road, now and forever, wonderful journey


Saya menapaki tangga keluar Gedung 3. Langit mendung. Angin kencang pertanda alam mulai gusar. Lagu itu mengalun dalam kepala. Life is a road, now and forever, wonderful journey. I’m done. Ya, saya lulus. Segera saya telepon Ibu.

“Assalammualaikum. Bu, Alhamdulillah. Anggi.... udah lulus barusan....”
“Waalaikumsalaam. Oh, ya udah cepet pulang., di rumah hujan...”

Konklusi

Setelah kelulusan dan sambil menunggu wisuda yang diundur jadi bulan Juni, banyak pertanyaan dalam kepala ini. What’s next? Apa lagi? Selanjutnya apa? Mau kemana? Where have you been? Udah kemana aja? Udah ngapain aja? Besok mau ngapain? Semua merajuk memenuhi pikiran yang jadi semakin sesak dan sempit ini. Yang saya tahu, saya harus melakukan sesuatu. Esok pasti tiba dan tak akan menunggu. Sebab hidup tak bisa menunggu, kata iklan sebuah produk shampo di TV.

Sebenarnya, tidak ada tuntutan bahwa saya harus cepat lulus. Saya sendiri tidak punya deadline yang pasti untuk lulus. Tidak seperti teman-teman lainnya yang punya target bulan anu, bulan ini, bulan kapan untuk lulus. Saya hanya mencamkan pada diri sendiri bahwa saya ingin lulus sebelum Piala Eropa 2008 bergulir, itu saja. Alasannya, siapa tahu saat itu ada orang yang lebih dari sekedar baik hati mengajak saya menonton pertandingan langsung di Austria atau Swiss. Sehingga saya tidak punya beban bernama skripsi lagi. Itu alasan yang sangat absurd tetapi kadang jadi penyemangat untuk segera menuntaskan skripsi.

Saya harus melakukan sesuatu. Ini bukanlah akhir segalanya. Justru, jadi gerbang pembuka atas segenap kemungkinan yang mampu ditawarkan hidup. Meniru kata Victor usai PDKT di hari Natal 2007: the end is my beginning.


Paninggilan, 27 Maret 2012. 22.17

*dari lagu "At The Beginning" dibawakan oleh Richard Marx dan Donna Lewis. OST Anastasia.

Senin, 26 Maret 2012

Cerita Dibalik Debu, Sebuah Catatan, dan Trilogi

Sudah lama sekali saya tidak membersihkan rak buku. Entah kapan terakhirnya saya tidak ingat persis. Kuas cat ukuran 2 inci pun masih ditempatnya. Bulunya masih halus tanda masih perawan. Sudah lama juga saya tidak membuka buku-buku dalam rak itu. Akhirnya, saya pun memberanikan diri untuk membersihkan debu-debu dengan resiko bersin-bersin. Perlu dicatat, hidung saya terlalu sensitif untuk debu dan pagi itu sedang kumat-kumatnya.

Selesai bermain dengan debu, sambil menata buku satu persatu ke tempatnya masing-masing, saya mulai membuka-buka kembali buku-buku itu. Sebuah perasaan menakjubkan tiba-tiba muncul. Saat menemukan penanda, baik itu pembatas buku ataupun kalimat yang digarisbawahi. Merujuk pada bagian paragraf yang entah saat itu terasa sangat ada maknanya. Lengkap dengan aroma lembap dan debu yang menempel pada setiap lembar halaman buku.

Saya seakan berada pada masa-masa itu. Pada banyak malam sunyi, berbaring membaca buku-buku Seno Gumira Ajidarma sebelum tidur sambil ditemani alunan lagu jadul dari K-Lite 107.1 FM. Percayalah, Atas Nama Malam akan lebih syahdu bila engkau membacanya saat malam menuju puncak gairahnya. Ada kejutan tersendiri bila mengingat saat itu. Saat yang telah terlewati dan hanya jadi kenangan dalam ingatan semata. Hanya menyisakan makna-makna yang tertinggal berceceran dalam pikiran. Sampai saya menemuka dua buku itu, Catatan Hati Seorang Istri dan Trilogi Kalbu-Nurani-Cahaya Pipiet Senja.

Kalau diingat lagi, ada korelasi antara kedua buku itu, Trilogi Pipiet Senja dan Catatan Asma Nadia. Saya memutuskan untuk membeli Trilogi Pipiet Senja dan Catatan Asma Nadia itu karena beberapa sebab. Selain rekomendasi seorang sahabat dan sebuah rasa penasaran tentang seluk beluk pernikahan. Entah kenapa, waktu itu dorongan untuk kembali memaknai kalam-kalam ayat Illahi menyeruak begitu hebat. Mungkin karena saat itu saya terlalu banyak mengkonsumsi buku-buku sastra yang begitu menalar pikiran. Pengaruh SGA begitu kuat sehingga saya tidak mampu untuk menjauh dari buku-buku sastra lainnya. Barangkali juga saya sedang jenuh. Saya butuh bacaan yang bisa mendekatkan kembali dengan tanda-tanda kebesaran Tuhan.


Beralih sejenak, saya sampai pada Catatan Hati Seorang Istri karya Asma Nadia. Buku yang dibeli tak lama sebelum keberangkatan saya ke Jakarta untuk sebuah wawancara kerja di bulan Oktober 2008. Buku berisi catatan-catatan singkat tentang perasaan dan suara hati kaum istri. Tentang bagaimana kaum istri memaknai peran mereka atas kehidupan ini. Sebagai seorang istri bagi suami mereka, seorang ibu bagi anak-anak mereka, dan kawan sekaligus lawan bagi diri mereka sendiri.

Buku ini sebenarnya jadi penanda atas suatu perasaan. Dalam suatu obrolan singkat pada suatu malam menjelang pernikahan seorang sahabat, terlintas ide untuk setidaknya ‘mempelajari’ hal-hal yang dimungkinkan terjadi pada saat pernikahan. Tak tahu kenapa pilihan untuk ‘belajar’ hal itu jatuh pada buku ini. Saya ambil logika sederhana. Jika kita mau mengetahui bagaimana isi dan suara hati seorang istri maka carilah dari mereka yang benar-benar menyuarakannya. Buku ini misalnya. Dikumpulkan dari beberapa kisah nyata yang benar-benar terjadi. Isu-isu tipikal macam perceraian, perselingkuhan, dan KDRT masih menjadi perdebatan hingga hari ini. Satu hal yang membuat kisah non-fiksi ini memiliki kesan yang kuat adalah pengaruhnya untuk membangkitkan semangat menulis di kalangan kaum istri di tanah air.

Selanjutnya, saya menemukan lagi buku-buku yang belum saya tamatkan sejak pertama kali membelinya kurang lebih 4 tahun yang lalu. Buku Trilogi Kalbu-Nurani-Cahaya dari Pipiet Senja. Ketiga buku kecil yang belum mampu saya tamatkan hingga hari ini. Saya sadari itu ketika mulai membaca buku terbaru Pipiet Senja “Menoreh Janji di Tanah Suci” seminggu yang lalu. Sebuah memoar pengalaman haji dan umroh yang dituturkan secara gamblang oleh penulisnya.

Saya sangat malu kepada diri sendiri untuk menyikapi keadaan ini. Saya merasakan suatu keadaan ‘imbalance’ atau ketidakseimbangan. Ada suatu perasaan yang kering. Sehingga, saya perlu menyeimbangkan kembali keadaan itu melalui bacaan sastra Islami sebagai bagian dari Sejarah Perkembangan Sastra Nusantara. Jangankan membaca kata per kata, lembar per lembar. Menyentuhnya pun saya tidak pernah.

Dulu, saya harap Trilogi ini bisa jadi alternatif bacaan sastra. Terutama sastra Indonesia dengan sentuhan Islami yang memang sedang menggeliat dan mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam dekade terakhir ini. Ada yang ingin saya pelajari dari fenomena itu. Bagaimana fiksi berbaur dalam realita sehingga menghadirkan realitas fiksi dalam pikiran pembaca. Someday, saya akan menamatkan pembacaan Trilogi ini. Entah kapan, tapi saya tahu waktu itu akan tiba.


Paninggilan, 25 Maret 2012. 20.09
hujan besar disini

I Don’t Know How She Does It, I Don’t Know How I Do It

Awalnya, saya secara tidak sengaja membeli buku I Dont Know How She Does It ini di sebuah bookfair. Dari awal, saya rasa tidak mungkin untuk menamatkan buku ini dalam waktu dekat. Dengan jumlah halaman setebal itu rasanya dibutuhkan lebih dari sebulan. Sekalipun, tiap hari saya menamatkan 10 halaman.

Alasan mengapa saya tertarik membaca buku ini adalah karena mengangkat isu yang umum diperbincangkan dan diperdebatkan di kota-kota besar. Jakarta kota besar bukan? Isu-isu mengenai working parents dan hubungan orang tua-anak yang semakin tergantikan dengan peran asisten rumah tangga adalah suatu hal yang umum dan mudah ditemui sehari-hari. Realita ini adalah gambaran sehari-hari masyarakat urban perkotaan. Tantangan pekerjaan, tuntutan kehidupan, dan beberapa alasan materialis lainnya menjadi latar utama dalam denyut nadi kehidupan masyarakat perkotaan.


I Dont Know How She Does It, menjabarkan kepada pembaca bagaimana seorang Ibu yang bekerja dan menjalankan dua fungsi: Ibu dan Wanita Karir, mampu secara sekaligus memantapkan eksistensinya. Baik di lingkungan keluarga dan pekerjaan. Isu gender sangat terkait dalam hal ini. Berbahagialah kaum feminis karena bertambah satu lagi refleksi kesuksesan kaum perempuan untuk memenuhi kodratnya dengan menjalani berbagai peran dalam kehidupan.

Mustahil. Satu kata yang sempat terucap. Bagaimana seorang perempuan melakukannya? Sendirian. Allison Pearson cukup cerdik dengan menggambarkan berbagai detail kejadian dari setiap hari yang dilaluinya. Mengasuh Ben, bocah berumur 2 tahun; menjadi Ibu sekaligus teman bagi Emily, termasuk mendapatkan kepercayaannya kembali, mengembalikan gairah kehidupan yang hilang bersama suaminya, Richard; menghadapi bos dan partner kerja di Edwin Morgan Forster (EMF), salah satu firma keuangan terbesar di Amerika, termasuk bekerjasama dengan pihak diluar EMF, Jack Abelhammer.

Detail alur cerita yang disajikan Allison Pearson adalah kekuatan dari buku ini. Allison secara jeli mengungkapkan bagaimana Kate Reddy menjalani hari demi hari. Berkutat dengan deadline yang semakin ketat, perjalanan bisnis kota ke kota yang tidak bisa ditebak kapan waktunya, catatan to-do list setiap sebelum tidur, hingga janji-janji yang terlewati untuk keluarganya. Semuanya terangkum dalam sebuah cerita yang utuh dan runut. Memudahkan kita untuk mengikuti setiap detail alur cerita sambil membayangkan seandainya kita mengalami hal yang demikian itu.

*

Personally, saya memang belum menyelesaikan buku ini. Kalau tidak salah, saya berhenti tak jauh dari halaman 98, dimana saya menemukan sebuah kalimat:

“Namun, masa kanak-kanak yang bahagia bukan modal yang baik untuk berjuang dan meraih sukses; hidup serba kekurangan, dikucilkan, dan harus berdiri dalam hujan di halte bus merupakan bahan bakar yang lebih terandal.” 

Sebuah kalimat yang membuat saya berhenti membaca saat itu juga.

Tiba-tiba fiksi seakan kehilangan esensinya dan menyublim dalam kenyataan. Ada suatu latar yang membuat cerita ini terkesan nyata. Saya membawa ingatan kembali ke masa-masa itu. Bersekolah dengan bekal seadanya yang akan habis begitu saja kalau saya tidak berjalan kaki melewati tanah perkuburan, hingga seringkali kehujanan setiap musim hujan tiba. Saya mengamini apa yang dikatakan Kate Reddy. Bahan bakar dari kenyataan masa lalu itu sangat teruji dan sangat dapat diandalkan. Tidak ada lagi batasan fiksi yang fiktif dengan kenyataan pengalaman yang paling nyata.

Setelahnya, tidak banyak halaman yang saya baca. Saya sudah lupa berhenti membaca di halaman berapa. Saya mencoba untuk membaca 2-3 halaman setiap pagi sebelum mulai bekerja, tapi tetap saja tidak berarti banyak dan buku ini tetap belum ditamatkan. Yang jelas, pengalaman membaca halaman 98 itu masih sangat terasa hingga saat ini. Setahun kemudian dimana saya belum juga menamatkan pembacaan buku tetapi sudah menamatkan versi filmnya.

Saya berharap bahwa apa yang dituliskan dalam catatan akhir buku ini benar-benar menjadi kenyataan. Bahwa, buku ini akan segera difilmkan. Kabar baik yang sangat saya tunggu karena seingat saya sudah setahun ini saya belum membuka lagi atau setidaknya mencoba menamatkan buku ini. Medio November 2011, ingatan saya tersentak karena saya melihat iklan film ini di sebuah harian ibukota. Dibintangi oleh Sarah Jessica Parker yang memerankan Kate Reddy dan Pierce Brosnan sebagai Jack Abelhammer, yang sudah terkenal duluan sebagai “Agent 007”.

Apa yang saya harapkan itu benar-benar menjadi kenyataan. Dan seperti biasa, atas nama alibi kesibukan, saya tidak bisa menyempatkan diri untuk sekedar mampir ke bioskop. Tiba-tiba, iklan film itu sudah tidak ada lagi. Artinya, film sudah tidak ditayangkan. Namun, apa yang telah tiada bukanlah sesuatu untuk disesali. Masih ada toko DVD di Bandung yang (mungkin) masih akan menjualnya. Ya, saya akan menonton via DVD saja.


Weekend kemarin, saya pun membeli film ini di toko DVD langganan. Tadinya, saya berharap menemukan film lain “The Vow” yang trailernya sudah direview di sebuah acara radio. Karena belum ada, saya pun membeli DVD konser David Foster: The Hitman Returns. DVD David Foster kedua setelah David Foster and Friends. Lagi-lagi, saya tidak punya waktu untuk sekedar menonton barang se-chapter-dua chapter film. Semalam, baru saya menamatkannya.

Memang ada sedikit perbedaan antara film dan buku. Ini adalah hal yang lumrah dan bukan pertama kalinya. Setiap buku yang difilmkan tentu memiliki karakteristik dan jalan ceritanya sendiri. Supaya lebih memahami perbedaan diantara keduanya, saya sarankan agar membaca dulu bukunya baru menonton filmnya.

Saya cukup puas dengan detail yang ditampilkan dalam film. Setidaknya, tidak terlalu banyak missing points dari cerita versi buku. Inti muatan pesan pun tersampaikan. Keluarga adalah segalanya. Bahkan, hanya dengan lima menit saja itu sudah cukup berarti. Problema kehidupan berumah tangga seperti ini bisa dijadikan pelajaran bagi kaum muda yang baru mulai berkeluarga. Dibutuhkan lebih dari sekedar komitmen dan kesabaran untuk tetap konsisten menjalani peran kehidupan yang memang tidak mudah dan kadang telalu banyak tuntutan.


Pharmindo, 25 Maret 2012.




Sumber bacaan dan tontonan:

I Don’t Know How She Does It (Sibuk Berat) by Allison Pearson. Diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama, Februari 2005.

I Don’t Know How She Does It, directed by Douglas McGrath. The Weinstein Company, 2011.

Minggu, 25 Maret 2012

Batik, Identitas, dan Nasionalisme

Merenungkan Indonesia adalah juga merenungkan identitas kebangsaan kita.*

Sekilas Sejarah Batik

Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan Kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.  Jadi, kesenian batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit. Meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920.

Kata "batik" sendiri secara etimologis berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna "titik". Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu, batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO sejak 2 Oktober 2009.

Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuno membuat batik. 

Identitas Bangsa

Batik telah resmi dan diakui keabsahannya secara internasional. Kita sebagai bangsa Indonesia boleh berbangga bahwa (akhirnya) batik Indonesia secara resmi telah mendapatkan klaim dari dunia internasional sebagai warisan budaya nusantara. Hal ini menandakan pengakuan dan pengukuhan terhadap batik sebagai warisan budaya asli Indonesia. Pengukuhan ini setidaknya membuat lega perasaan Bangsa Indonesia dari ancaman dan rongrongan negara tetangga Malaysia yang selalu tanpa malu mengklaim  beberapa jenis budaya asli Indonesia sebagai kepunyaannya.

Perdebatan pun selalu meruncing mengingat akulturasi dan asimiliasi budaya sesama bangsa rumpun Melayu. Kita ini bangsa Indonesia, bangsa yang punya identitas kuat baik secara sosiologis, historis, dan kultural walau memang masih ada keterkaitan hubungan dengan bangsa Melayu.  Bagaimana seandainya bila kemarin itu Malaysia tidak mengutak-atik batik? Bagaimana bila kemarin itu Malaysia tidak melakukan self-recognition atas segala sesuatu yang jadi milik bangsa Indonesia? Mengapa kita harus menunggu saat dimana identitas kita terancam oleh bangsa yang terjebak di persimpangan jalan dalam proses pencarian identitasnya?

Budaya bangsa direpresentasikan dalam berbagai bentuk kesenian di tiap daerah. Batik, hanyalah satu representasi dari sekian banyak elemen yang menyusun dan membentuk identitas kebangsaan. Batik kini telah mengalami pergeseran dalam nilai utilisasi atau penggunaannya. Batik tidak hanya digunakan dalam acara yang sifatnya resmi saja seperti undangan pernikahan maupun jamuan resmi lainnya. Bahkan sejak lama pun anak-anak sekolah sudah menggunakan batik sebagai seragam sekolah mereka. Kini, giliran orang-orang kantoran pun mengikuti tren tersebut. Batik kini telah jadi bagian dari keseharian kita.

Nasionalisme

Dalam pengamatan yang masih terbatas dan masih dapat terbantahkan oleh tesis doktoral studi kebudayaan, kenyataan yang ada saat ini menunjukkan bahwa kita masih terjebak dalam nasionalisme semu (pseudo-nationalism). Nasionalisme adalah perasaan sebangsa dan setanah air. Meliputi setiap pencapaian kebudayaan bangsa didalamnya. Segala kekayaan bangsa, mulai dari rangkaian sejarah pembentukan negara kesatuan hingga ragam budaya yang mengakar kuat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Rasa nasionalisme kita bukan lagi dibangun dan dipelihara dari peringatan Sumpah Pemuda dan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Nasionalisme kita kita ini terbentuk dari perasaan khawatir. Khawatir akan meledaknya bom akibat teroris pelarian dari Negeri Jiran. Khawatir akan dicaploknya Reog Ponorogo, Tari Pendet, dan Ambalat oleh negeri yang merasa dirinya menjadi pusat peradaban bangsa Melayu (dengan Kerajaan Melayu sebagai basisnya).

Perasaan khawatir ini seakan terus menggelora. Kita tentu khawatir bila perasaan seperti ini dibiarkan akan merusak sendi-sendi identitas kebangsaan. Maka kita pun mulai sadar bahwa kita ini cenderung memandang remeh dan lengah pada apa yang telah kita miliki dalam hal yang berhubungan dengan konteks sosiologis-historis-kultural. Nasionalisme yang berangkat dari kekhawatiran ini tentu akan sangat berbahaya bagi identitas bangsa sebesar Indonesia. Perlahan, hal ini akan menggerogoti makna eksistensial dari identitas bangsa itu sendiri.

Nasionalisme yang perlahan pudar ini telah meyadarkan kita sebagai bangsa Indonesia untuk lebih menghargai apa yang kita miliki. Sesuatu yang telah menjadi identitas bangsa sejak dahulu kala. Kita baru tersadar ketika identitas bangsa itu dipertanyakan. Atau lebih parah, diklaim oleh bangsa lain. Padahal, identitas memberikan makna eksistensial bagi suatu komunitas sekaligus menyadarkannya akan keberadaan komunitas lain di sisi mereka.

Penutup

Lupakan sejenak perdebatan tentang batik yang telah mendapatkan pengakuan internasional. Jelas itu bukan hal yang mudah untuk mempertahankan dan mempertanggungjawabkannya. Berapa banyak dari kita yang tahu jumlah motif dan corak batik di setiap daerah? Apa bedanya batik Pekalongan, batik Madura, dan batik Trusmi. Lalu, adakah hubungan pola batik dari batik Majalengka, Indramayu, Cirebon, dan Kuningan? Mari kita lupakan sejenak yang demikian itu.

Lebih jauh, batik sebagai warisan budaya asli Indonesia adalah satu dari sekian banyak kebudayaan peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia. Kebudayaan yang digali dari sumber-sumber tata kehidupan masyarakat Indonesia di masa lampau. Suatu entitas dalam perjalanan sejarah yang panjang dalam pencarian identitas bangsa untuk menambal kembali nasionalisme yang perlahan terkikis tergerus arus zaman.


Pharmindo, 25 Maret 2012

*)Jamal D. Rahman, dalam kolom Catatan Kebudayaaan Majalah Horison, Edisi September 2009
**)Sekilas tentang sejarah batik dikutip dari http://pesonabatik.site40.net/Sejarah_Batik.html dan http://www.museumbatik.com/page/Tentang_Batik.html



Disertakan pada lomba Blog Entry bertema Batik Indonesia, kerja sama Blogfam dan www.BatikIndonesia.com

Rabu, 14 Maret 2012

Dalam Antologi Rasa Itu



Persahabatan dan cinta adalah bumbu yang saling melengkapi. Dimana ada sahabat disana ada cinta. Kisah persahabatan empat orang sahabat karib, Keara, Harris, Ruly, dan Denise mengingatkan pada empat sahabat di Traveler's Tale. Farah, Retno, Francis, dan Jusuf. Kisah mereka pun tidak jauh berbeda. Hanya saja, empat sahabat di Antologi Rasa ini tidak mengalami cinta yang melingkar diantara sesama karakter. Keara mencintai Ruly, Ruly mencintai Denise, Harris mencintai Keara, Denise mencintai suaminya. Ada link yang putus disitu. Sedangkan, Traveler's Tale melibatkan perasaan yang saling bertautan antara tokoh-tokohnya. Farah mencintai Francis, Francis mencintai Retno, Jusuf mencintai Farah, Retno mencintai Francis tapi terhalang keyakinan.

Keara, Harris, Ruly, Denise, Panji, Dinda dan para pemeran pendukung lainnya terlibat dalam suatu kompleksitas manusia modern khas kaum urban metropolitan. Rutinitas pekerjaan dan rumitnya hubungan persahabatan ketika cinta mulai menancap pada rasa adalah sesuatu yang tidak bisa begitu saja dihindari dan selalu menuntut untuk dijalani.

Keara, mencintai seorang Rully Wilantaga. Lelaki sempurna yang hanya ada dalam pikirannya. Sama seperti Farah Babedan, Keara menyimpan perasaannya saja tanpa mampu mengungkap satu kalimat sederhana. Sesederhana, i love you. Itu adalah hal yang mustahil. Sayangnya, Rully hanya menyimpan cintanya pada Denise. Walau Denise telah menikah.

Begitupun, Haris Risjad. Sahabat Keara yang jatuh cinta juga pada sosok Keara, sahabatnya. Semua yang Harris lakukan untuk Keara tak lain karena perasaannya. Sebagai bentuk atau perwujudan rasa sayang pada Keara yang hanya dia tahu saja. Menemani Keara untuk pindah dari panggung ke panggung di sela-sela F1 Grand Prix di Singapore, membawakan sarapan bubur ayam dan menikmatinya di mobil bersama Keara sebelum bekerja. Itu hanyalah sedikit dari wujud perasaannya.

Siapa bilang persahabatan tidak menemukan ujian atas kesetiaan seorang sahabat. Harris melakukan sebuah kesalahan dalam persahabatan yang mereka bina selama ini. Ada semacam aturan. Sahabat tidak akan meniduri sahabatnya sendiri. But, Harris just did that to Keara. Satu scene yang cukup menaikkan tensi cerita.

Keara, yang mencoba bangkit setelah memutuskan persahabatan dengan Harris, mencoba bermain-main dengan perasaannya.  Bukan untuk serius. Hanya sebagai pelepasan dan sekedar lari dengan kenyataan. Bahwa dirinya masih bisa bermain dengan Panji adalah suatu kenikmatan tersendiri. Ketika Rully tidak lagi menjadi pilihan dan hanya jadi angan semu belaka. Terlebih, ketika sahabat terbaiknya, Harris Risjad telah mengecewakannya.

Setelah melalui berbagai peristiwa takdir, cinta memang akan selalu menemukan jalannya sendiri. Denise, akan selalu dicintai suaminya. Kegigihan Harris untuk mengembalikan kepercayaan Keara membuahkan hasil yang sempurna. Semua orang akan kembali pada takdirnya masing-masing. Seperti Rully, yang entah sadar atau tidak bahwa cintanya pada Denise sudah gagal sejak pertama kali bertemu. Seperti cinta Komako pada Shimamura*.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Membuka halaman awal Antologi Rasa, pikiran saya langsung merujuk buku Traveler's Tale karya kolaboratif empat penulis (@adhityamulya , @istribawel , Alaya Setya, Iman Hidajat). Kisah empat orang sahabat yang saling mencintai namun sama-sama terlalu takut untuk mengungkapkannya. Suatu kenyataan yang sangat realita pun ternyata mampu hadir dalam ranah fiksi. Suatu kenyataan yang justru menyimpan core values dari Antologi Rasa. Ika Natassa sangat berhasil menggambarkan tokoh-tokoh dalam ceritanya, sendirian. Pembaca tentu dapat membayangkan bagaimana rasanya seorang penulis menciptakan empat tokoh berbeda dalam satu kepalanya saja. Termasuk detail cerita menjadi nilai tambah dalam membangun kerangka dan konteks cerita dalam imajinasi pembaca.

Melalui latar cerita berbumbu gaya hidup dan tren kosmopolis urban metropolitan, Ika Natassa berhasil menggambarkan detail cerita menjadi lebih hidup dan meriah. Seakan kita semua mengalaminya sehari-hari. Tidak salah bila Antologi Rasa seakan selalu 'memaksa' pembacanya untuk membuka halaman demi halaman. Selalu penasaran untuk mengetahui kelanjutan cerita sampai akhir. Menikmati sketsa adegan-adegan cerita yang filmis ditambah iringan lagu-lagu dari The Cardigans dan John Mayer semakin menambah kemeriahan rasa.

Saya pribadi lebih menyukai detail-detail dalam cerita yang membuat buku ini layak mendapatkan tag sebagai 'page turner'. Diantaranya adalah pada saat Harris dan Keara berangkat ke Singapore saat berlangsungnya Singapore F1 Grand Prix. Maklum, sampai saat ini saya masih jadi Fans McLaren Mercedes. Semua detail disana cukup membuat saya tersenyum sendiri saat membaca kelakuan mereka berdua disana. Scene favorit saya adalah menjelang ending cerita. Ketika Harris memeluk Keara di mobil usai membuatnya menangis karena pertanyaannya pada Keara. tentang kenapa Keara tidak berterus terang pada Rully.

Persahabatan tetaplah suatu entitas sederhana yang kolektif, dimana individu yang terlibat didalamnya, dengan segenap kompleksitasnya, turut berbaur memberi warna dalam ikatan kebersamaan. Mungkin terselip cinta didalamnya. Tetapi, itu bukan sumber masalah utamanya. Jujur terhadap perasaan sendiri, hal sederhana lainnya yang justru sulit terungkap. Antologi Rasa, setidaknya mengajarkan kita bagaimana memaknai cinta dan berdamai dengan segenap perasaan lainnya dalam ikatan persahabatan.

Judul: Antologi Rasa
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2011
Tebal: 328 hal.
Genre: Novel Pop

Pharmindo-Paninggilan, 14 Maret 2012.

*baca novel "Snow Country" karya Yasunari Kawabata.

Tulisan ini disertakan dalam Lomba Estafet Review Buku @bookoopedia http://www.bookoopedia.com/id/berita/id-88/lomba-estafet-review-buku.html
Buku ini dapat dibeli di Bookoopedia

Selasa, 13 Maret 2012

Jalan Anggrek

Things happen for a reason. Entah kenapa dalam perjalanan dinas kemarin Tuhan mentakdirkan kami untuk menginap di hotel itu. Sebuah hotel yang lokasinya terletak persis di perempatan Jalan Riau dan Jalan Anggrek. Jalan Anggrek. Kembali lagi ke Jalan Anggrek berarti memutar roda waktu kembali ke bulan Februari-Maret 2003.

Waktu itu, kami kebagian tugas pelajaran Sejarah yang mengharuskan kami membuat film bertema persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah tugas yang bisa didefinisikan sebagai menerjemahkan naskah film dari salinan buku pelajaran Sejarah dengan fakta paling reliable ke dalam permainan akting. Dengan persiapan terbatas, naskah itu pun hanya saya buat jadi potongan-potongan adegan yang digarisbawahi pensil. Bukan membuat naskah baru yang terpisah. Saya hanya bisa membayangkan adegan dalam shooting nanti akan seperti apa sambil menyiapkan naskah dialog untuk si pemeran karakter. Kadang-kadang, improvisasi dadakan itu berhasil.

Setelah shooting selesai, video editing dilakukan di sebuah studio di Jalan Anggrek ini. Tidak ada alternatif lain karena cuma studio LasUt (Laras Utama) ini yang tampak meyakinkan di kolom iklan baris Pikiran Rakyat. Akhirnya, studio ini yang kami jadikan pilihan untuk editing film.

Sempat beberapa kali bolak-balik untuk editing. Dimana Tools dan perangkat video editing belum secanggih sekarang. PC Pentium 3 700 MHz yang tidak hanging selama rendering Adobe Premiere 6.0 rasanya sudah harus disyukuri. Ditambah lagi dengan kapasitas hard disk yang sempat jadi masalah sebelum pekerjaan editing dimulai. Semuanya harus disyukuri karena berjalan lancar.

Jalan Anggrek adalah tentang malam-malam itu. Mengedit scene demi scene, membuat subtitle (yang kadang-kadang diluar script), menentukan timing untuk scene title (sering kelebihan 0,5 detik), hingga menonton ulang seluruh hasil editing sebelum proses rendering dimulai (satu ronde 30 menit).Tak jarang sebagai aktor, scriptwriter, sutradara sekaligus produser film saya harus sering pulang malam diatas jam 9. Padahal, saya sudah di studio sejak pukul 3 sore.

Hari-hari itu memang melelahkan. Namun, untuk sebuah pencapaian perfeksi memang harus ada harga yang dibayar. Waktu, tenaga, dan pikiran benar-benar diuji. Termasuk nego-nego halus dengan guru mata pelajaran terakhir untuk mengizinkan saya pergi ke studio editing di Jalan Anggrek itu. Saya bersyukur bahwa waktu itu bisa menyelesaikan semuanya tanpa banyak ketinggalan les dan pelajaran tambahan diluar jam sekolah.

Jalan Anggrek adalah tentang kesendirian. Ketika hidup tak menyodorkan lagi pilihan kecuali menjalani apa yang ada di hadapan. Jalan Anggrek adalah malam-malam yang sepi itu, dalam hembusan asap rokok sambil menunggu angkot. Sambil menyenandungkan lagu 'Anyone of Us' yang memang lagi hits waktu itu. Sebuah momen yang berulang kali saya gunakan untuk mengaca diri. Sekaligus bertanya dalam hati, "Untuk apa saya lakukan semua ini?" "Untuk apa saya berjalan sejauh ini, untuk siapa, untuk apa?". Pertanyaan-pertanyaan esensial yang hanya bisa dirasakan saat saya hanya bergumul dengan diri sendiri. Tak ada teman, karena mereka telah mempercayakan urusan editing ini kepada saya.

Pertanyaan-pertanyaan yang segera terjawab dalam presentasi film yang dikemas dalam acara kecil nonton bareng Kepala Sekolah. Komentar Pak Said, tentang detail film yang sangat meghadirkan suasana pra-kemerdekaan adalah sesuatu yang membanggakan. Seketika, segenap sesal dan kesal itu hilang berganti dengan perasaan haru yang segera meliputi anggota tim kami. Bagaimana tidak, dengan segala keterbatasan, kami terpaksa mengulang semua adegan shooting yang 3 hari itu dalam sehari saja, karena kaset video yang terhapus. Belum lagi proses editing yang melelahkan karena ternyata menemukan titik temu dari ide-ide setiap orang adalah pekerjaan yang memakan waktu.

Tidak hanya sampai disitu. Setelah 'premier' di lab. Multimedia, saya masih harus bolak-balik ke Studio LasUt. Demi menyempurnakan screenplay dan subtitle karena film yang 'premier' ini adalah dummy atau prototype yang belum selesai benar. Artinya, masih diperlukan sedikit sentuhan akhir untuk membuatnya abadi.

Saya bisa katakan bahwa semua jerih payah kami terbayar lunas. Semua pengalaman kami dalam proses pengerjaan film ini mengajarkan banyak hal.Terutama, untuk tetap fokus pada proses demi hasil yang akan dicapai. Satu hal lagi yang membanggakan kami adalah bahwa film kami ini bertahan dari generasi ke generasi adik angkatan. Setiap angkatan dibawah kami selalu kebagian menonton film ilustrasi dokumenter itu sebagai bagian dari pembelajaran mata pelajaran Sejarah. Tidak hanya saya saja, teman-teman yang lain pun mengalami suatu pengalaman yang sama luar biasanya, ketika satu persatu mengetahui kabar itu dari kolega-kolega mereka yang bersekolah di sekolah kami.

Semua memori, pengalaman, dan segenap perasaan itu kini terangkum dalam sekeping cakram optik berjudul "Rengasdengklok 2003". Sekeping cakram optik yang sangat berarti dan telah dicatat dalam sejarah. Dan Jalan Anggrek, adalah bagian sejarah itu. Sejarah kami.

Bandung-Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 8-12 Maret 2012.


*dengan ingatan kepada seluruh Tim Kreatif kelompok 1 kelas 2D 2002-2003 SMAN 9 Bandung yang memberikan seluruh curahan waktu, tenaga, dan pikiran untuk keberhasilan film ilustrasi dokumenter "Rengasdengklok 2003". Tak lupa juga pada Guru Sejarah kami, Ibu Enny Suartiny, dimana film ini khusus kami dedikasikan untuk beliau.

Minggu, 11 Maret 2012

Kereta Tidur


"Aku lebih takut pada hidup yang seperti lotre. Hidup adalah beratus-ratus mungkin. Mati, itu sesuatu yang pasti." - Hal. 43


Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Membaca karya Avianti Armand untuk pertama kalinya sungguh menghadirkan pengalaman yang berbeda dalam memaknai sepuluh cerpen yang disajikan Kereta Tidur. Kumpulan cerpen yang habis dibaca sekali duduk ini mengandung kekayaan terpendam dalam setiap rangkaian kata. Sederhana, lugas, dan banyak mengandung unsur kejutan. Mengingatkan pada kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, dimana imajinasi menjadi bahan bakar utama cerita sehingga tidak pernah kehilangan kejutan yang menakar pengalaman pembaca.

Agaknya, imajinasi pula yang membuat Kereta Tidur menjadi lebih hidup. Cerita-cerita didalamnya dituliskan dengan kekuatan fiksi imajinatif sehingga mengundang pemaknaan baru atas sebuah cerita. Sekalipun cerita-cerita itu adalah kenyataan dan realitas yang biasa ditemui sehari-hari.

Hal-hal yang mudah dijumpai seperti konflik cinta, masalah keluarga, pencarian diri melalui pertanyaan atas eksistensi manusia tersaji unik, indah, dan mengusik. Nilai-nilai kehidupan yang sangat biasa hadir dalam kenyataan sehari-hari. Bahkan telah menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari yang biasa dialami.

Dari segi penceritaan, kejutan yang tak pernah bisa diduga adalah satu bagian lain yang akan menguji pengalaman pembaca. Unsur-unsur kejutan dalam cerpen ini mencirikan gelombang baru dalam kepenulisan di Indonesia. Ketika konteks berpadu dalam realitas kenyataan sehari-hari dan dituliskan kembali dengan proses fiksi yang fiktif dan imajinatif. Tanpa sedikit pun kehilangan muatan pesan dan kesan yang ingin ditampilkan si penulis dalam karyanya.

Cerita yang menjadi favorit saya adalah cerpen berjudul "Tentang Tak Ada". Ditulis dengan sketsa penggalan adegan-adegan terpisah tetapi masih dalam batas keutuhan cerita. Isu tentang cinta, romantisme, dan perselingkuhan masih jadi tren penulisan untuk menggugat realitas kaum urban. Lainnya, kutipan tembang Jawa "Ilir-ilir" yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga dan diselipkan dalam cerita ikut memperkuat konteks cerita. Lompatan pengalaman dan alur cerita dari konflik cinta hingga kebudayaan membawa suatu pemaknaan baru atas sebuah cerita pendek yang utuh.

Avianti Armand, peraih cerpen terbaik versi Kompas tahun 2009 dengan cerpen "Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian", dalam kumpulan cerpen kedua miliknya ini mampu mengolah rasa dalam horison imajinasi. Menakar pengalaman pembaca lewat interaksi cerita-cerita yang dituliskan dalam berbagai konteks dan dimensi. Sehingga, tidak pernah kehabisan ruang jelajah untuk menemukan makna-makna yang tersirat dalam sepuluh cerita yang saling berkejaran.

Judul: Kereta Tidur
Penulis: Avianti Armand
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2011
Tebal: 129 hal.
Genre: Kumpulan Cerpen

 
Pharmindo, 11 Maret 2012.
Ditemani semilir hawa dingin Bandung

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...