Senin, 26 Maret 2012

I Don’t Know How She Does It, I Don’t Know How I Do It

Awalnya, saya secara tidak sengaja membeli buku I Dont Know How She Does It ini di sebuah bookfair. Dari awal, saya rasa tidak mungkin untuk menamatkan buku ini dalam waktu dekat. Dengan jumlah halaman setebal itu rasanya dibutuhkan lebih dari sebulan. Sekalipun, tiap hari saya menamatkan 10 halaman.

Alasan mengapa saya tertarik membaca buku ini adalah karena mengangkat isu yang umum diperbincangkan dan diperdebatkan di kota-kota besar. Jakarta kota besar bukan? Isu-isu mengenai working parents dan hubungan orang tua-anak yang semakin tergantikan dengan peran asisten rumah tangga adalah suatu hal yang umum dan mudah ditemui sehari-hari. Realita ini adalah gambaran sehari-hari masyarakat urban perkotaan. Tantangan pekerjaan, tuntutan kehidupan, dan beberapa alasan materialis lainnya menjadi latar utama dalam denyut nadi kehidupan masyarakat perkotaan.


I Dont Know How She Does It, menjabarkan kepada pembaca bagaimana seorang Ibu yang bekerja dan menjalankan dua fungsi: Ibu dan Wanita Karir, mampu secara sekaligus memantapkan eksistensinya. Baik di lingkungan keluarga dan pekerjaan. Isu gender sangat terkait dalam hal ini. Berbahagialah kaum feminis karena bertambah satu lagi refleksi kesuksesan kaum perempuan untuk memenuhi kodratnya dengan menjalani berbagai peran dalam kehidupan.

Mustahil. Satu kata yang sempat terucap. Bagaimana seorang perempuan melakukannya? Sendirian. Allison Pearson cukup cerdik dengan menggambarkan berbagai detail kejadian dari setiap hari yang dilaluinya. Mengasuh Ben, bocah berumur 2 tahun; menjadi Ibu sekaligus teman bagi Emily, termasuk mendapatkan kepercayaannya kembali, mengembalikan gairah kehidupan yang hilang bersama suaminya, Richard; menghadapi bos dan partner kerja di Edwin Morgan Forster (EMF), salah satu firma keuangan terbesar di Amerika, termasuk bekerjasama dengan pihak diluar EMF, Jack Abelhammer.

Detail alur cerita yang disajikan Allison Pearson adalah kekuatan dari buku ini. Allison secara jeli mengungkapkan bagaimana Kate Reddy menjalani hari demi hari. Berkutat dengan deadline yang semakin ketat, perjalanan bisnis kota ke kota yang tidak bisa ditebak kapan waktunya, catatan to-do list setiap sebelum tidur, hingga janji-janji yang terlewati untuk keluarganya. Semuanya terangkum dalam sebuah cerita yang utuh dan runut. Memudahkan kita untuk mengikuti setiap detail alur cerita sambil membayangkan seandainya kita mengalami hal yang demikian itu.

*

Personally, saya memang belum menyelesaikan buku ini. Kalau tidak salah, saya berhenti tak jauh dari halaman 98, dimana saya menemukan sebuah kalimat:

“Namun, masa kanak-kanak yang bahagia bukan modal yang baik untuk berjuang dan meraih sukses; hidup serba kekurangan, dikucilkan, dan harus berdiri dalam hujan di halte bus merupakan bahan bakar yang lebih terandal.” 

Sebuah kalimat yang membuat saya berhenti membaca saat itu juga.

Tiba-tiba fiksi seakan kehilangan esensinya dan menyublim dalam kenyataan. Ada suatu latar yang membuat cerita ini terkesan nyata. Saya membawa ingatan kembali ke masa-masa itu. Bersekolah dengan bekal seadanya yang akan habis begitu saja kalau saya tidak berjalan kaki melewati tanah perkuburan, hingga seringkali kehujanan setiap musim hujan tiba. Saya mengamini apa yang dikatakan Kate Reddy. Bahan bakar dari kenyataan masa lalu itu sangat teruji dan sangat dapat diandalkan. Tidak ada lagi batasan fiksi yang fiktif dengan kenyataan pengalaman yang paling nyata.

Setelahnya, tidak banyak halaman yang saya baca. Saya sudah lupa berhenti membaca di halaman berapa. Saya mencoba untuk membaca 2-3 halaman setiap pagi sebelum mulai bekerja, tapi tetap saja tidak berarti banyak dan buku ini tetap belum ditamatkan. Yang jelas, pengalaman membaca halaman 98 itu masih sangat terasa hingga saat ini. Setahun kemudian dimana saya belum juga menamatkan pembacaan buku tetapi sudah menamatkan versi filmnya.

Saya berharap bahwa apa yang dituliskan dalam catatan akhir buku ini benar-benar menjadi kenyataan. Bahwa, buku ini akan segera difilmkan. Kabar baik yang sangat saya tunggu karena seingat saya sudah setahun ini saya belum membuka lagi atau setidaknya mencoba menamatkan buku ini. Medio November 2011, ingatan saya tersentak karena saya melihat iklan film ini di sebuah harian ibukota. Dibintangi oleh Sarah Jessica Parker yang memerankan Kate Reddy dan Pierce Brosnan sebagai Jack Abelhammer, yang sudah terkenal duluan sebagai “Agent 007”.

Apa yang saya harapkan itu benar-benar menjadi kenyataan. Dan seperti biasa, atas nama alibi kesibukan, saya tidak bisa menyempatkan diri untuk sekedar mampir ke bioskop. Tiba-tiba, iklan film itu sudah tidak ada lagi. Artinya, film sudah tidak ditayangkan. Namun, apa yang telah tiada bukanlah sesuatu untuk disesali. Masih ada toko DVD di Bandung yang (mungkin) masih akan menjualnya. Ya, saya akan menonton via DVD saja.


Weekend kemarin, saya pun membeli film ini di toko DVD langganan. Tadinya, saya berharap menemukan film lain “The Vow” yang trailernya sudah direview di sebuah acara radio. Karena belum ada, saya pun membeli DVD konser David Foster: The Hitman Returns. DVD David Foster kedua setelah David Foster and Friends. Lagi-lagi, saya tidak punya waktu untuk sekedar menonton barang se-chapter-dua chapter film. Semalam, baru saya menamatkannya.

Memang ada sedikit perbedaan antara film dan buku. Ini adalah hal yang lumrah dan bukan pertama kalinya. Setiap buku yang difilmkan tentu memiliki karakteristik dan jalan ceritanya sendiri. Supaya lebih memahami perbedaan diantara keduanya, saya sarankan agar membaca dulu bukunya baru menonton filmnya.

Saya cukup puas dengan detail yang ditampilkan dalam film. Setidaknya, tidak terlalu banyak missing points dari cerita versi buku. Inti muatan pesan pun tersampaikan. Keluarga adalah segalanya. Bahkan, hanya dengan lima menit saja itu sudah cukup berarti. Problema kehidupan berumah tangga seperti ini bisa dijadikan pelajaran bagi kaum muda yang baru mulai berkeluarga. Dibutuhkan lebih dari sekedar komitmen dan kesabaran untuk tetap konsisten menjalani peran kehidupan yang memang tidak mudah dan kadang telalu banyak tuntutan.


Pharmindo, 25 Maret 2012.




Sumber bacaan dan tontonan:

I Don’t Know How She Does It (Sibuk Berat) by Allison Pearson. Diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama, Februari 2005.

I Don’t Know How She Does It, directed by Douglas McGrath. The Weinstein Company, 2011.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...