Rabu, 03 September 2008

Catatan Seorang Penganggur



Ilustrasi "Pengangguran Pencari Kerja"

Bila digambarkan, beginilah keadaan si pencari kerja. Tuan dan Puan bisa melihatnya lengkap dengan berbagai keterangan. Tuan dan Puan bisa menjumpai yang seperti ini setiap habis wisuda universitas yang diteruskan dengan semacam acara job fair atau bursa kerja-untuk menyebutnya lebih halus saja.

Memang beginilah kondisinya. Tuan dan Puan tahu sendiri susahnya mencari kerja di zaman sekarang ini yang katanya menuju globalisasi. Mungkin Tuan dan Puan pernah membaca bahwa globalisasi merupakan suatu kemajuan yang tidak bisa ditahan atas kehendak dan kesepakatan kaum kapitalis dimana mereka juga akan mengokupasi seluruh bidang pekerjaan terutama di negara berkembang.

Gambar yang ada ini hanya sebagai pengantar bagi Tuan dan Puan agar tertarik membaca tulisan saya selanjutnya. Perlu Tuan dan Puan ketahui bahwa saya bukanlah penulis yang serba bisa dan serba tahu apalagi membahas soal ketenagakerjaan dan pengangguran. Saya hanya seorang penganggur yang bercita-cita menjadi Pustakawan yang masih sedang belajar menulis. Semoga Tuan dan Puan berkenan untuk terus membaca.

Pengangguran dan kesempatan kerja hanyalah sedikit dari sekian masalah yang kami hadapi sebagai bangsa. Apakah yang membedakan seorang penganggur dengan seorang direktur perusahaan multi-nasional? Apakah itu berupa status sosial? Atau cuma punya pekerjaan yang dibayar sedangkan penganggur tidak punya pekerjaan dan tidak punya uang. Apakah yang membedakannya kalau perbedaannya sangat tipis. Bukankah banyak diantara kita yang punya pekerjaan tapi tidak ada hasilnya? Masih banyak diantara kita yang bekerja tapi seolah pekerjaannya itu tidak nyata dan hampir tidak ada. Mereka dibayar tapi tidak untuk apa-apa.

Bila suatu saat Tuan dan Puan mendatangi bursa kerja, maka anda akan menemui mereka yang seperti pada gambar diatas. Mereka berdatangan lengkap dengan setelan kameja dan celana bahan, tak lupa sepatu pantopel, kemudian tas yang penuh dengan berkas fotokopian transkrip, ijazah, surat keterangan lulus, KTP, foto bermacam ukuran, dan tak lupa amplop coklat seukuran folio. Mereka akan berjalan-jalan sepanjang lorong penuh harapan. Sambil sebentar-sebentar melirik kiri dan kanan mencoba menemukan tempat ideal untuk bekerja. Walau kadang pilih-pilih, mereka tetap saja tidak berhenti berharap Dewi Fortuna melepaskan panahnya ke mereka itu.

Suatu saat saya pernah mengikuti test yang diadakan sebuah perusahaan multinasional yang jualan rokok. Seperti Tuan dan Puan duga memang kami semua yang ikutan test itu berusaha tampil sebaik mungkin. Soal menjawab pertanyaan itu urusan belakangan. Yang penting penampilan. Yang seperti ini namanya menjual harapan tanpa tahu harapan itu masih ada ujungnya atau malah jalan tidak ada ujung*)

Sejujurnya, saya lebih senang bila berdiam diri saja di kamar. Selonjoran sambil mendengarkan radio dan tidak melakukan apa pun bahkan berpikir sekalipun. Kalau pun ada barangkali cuma mengirim SMS ke radio itu untuk sekedar meminta lagu favorit. I'm nothing and better doing nothing. Sekali lagi, sejujurnya saya lebih suka melakukan itu. Tetapi, segera setelah itu berakhir dan pintu kembali terbuka terbentang kembali kenyataan. Entah untuk dihadapi atau dibiarkan begitu saja, atau malah lari saja dari kenyataan.

Setidaknya yang saya rasakan saat ini adalah kita telah kehilangan hak untuk tidak melakukan apa-apa.**) Untuk mereka yang telah meraih gelar diploma, sarjana, master, doktor, atau bahkan Ph.D sekalian, selalu diburu pertanyaan-pertanyaan, "..mau kerja dimana..?", "..abis ini mau kemana..?" Belum lagi stigma yang diberikan oleh lingkungan sekitar terhadap keberadaan si penganggur. Entahlah, banyak anggapan yang bermunculan. Belum lagi tuntutan-tuntutan lainnya seakan-akan setelah lulus dan mendapatkan pekerjaan yang layak adalah suatu kewajiban dan keharusan yang memang harus terjadi. Biasanya Tuan dan Puan akan menjumpai yang demikian ini muncul dari keluarga dan kerabat dekat.

Tuan dan Puan bisa membayangkan bila lebaran nanti mereka bertemu dengan saya yang masih menganggur ini. Saya tentu tidak bisa lepas dari pertanyaan-pertanyaan itu. Ya, semua ada waktunya dan saya hanya menjalani hidup saya yang sekarang ini. Bila nanti suatu saat saya mendapatkan pekerjaan, semoga itu semua bukan karena bantuan-bantuan mereka. Yang karenanya mirip dengan kelakuan penguasa-penguasa orde baru dulu.

Tuan dan Puan saya akhiri tulisan ini dengan harap Tuan dan Puan mau membaca tulisan saya berikutnya. Saya tahu, mungkin bagi Tuan dan Puan masih banyak lagi tulisan yang berharga , berarti, dan lebih bermakna dari tulisan saya ini. Harap Tuan dan Puan maklum adanya.


Bukit Pakar Timur 100, 3 September 2008, 17.50


*) Judul roman dari Mochtar Lubis, "Jalan Tidak Ada Ujung"
**) dalam sebuah cerpen di buku Seno Gumira Ajidarma, "Matinya Seorang Penari Telanjang"

1 komentar:

Su mengatakan...

emang dah , gw baru terasa jadi pengangguran...suntuk bener!!

Tuhan..berikan diriku arah agar aku dapatkan yang terbaik untukku!!!

AMIN

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...