Selasa, 16 September 2008

Sore Mencatat Wajah

Hari mulai beranjak sore. Burung camar terbang merendah di tepi pantai. Penumpang bis kota berebut naik. Matahari mulai enggan nampak karena senja datang menghadang. Pegawai kantoran bubaran. Ia masih disitu. Ditemani angin yang berhembus pelan. Sepelan langkahnya yang gontai.

Dalam kesehariannya, tidak pernah ada sesuatu yang biasa terjadi padanya. Semuanya terjadi tiba-tiba. Tanpa tanda, tanpa klakson, tanpa peluit. Ia hanya diam saja. Entah dianggap kejutan atau malah cuma kebiasaan saja. Ia masih berjalan pelan. Berharap semua dalam hidupnya adalah kejutan. Seperti Sebastian Vettel yang mematahkan rekor Fernando Alonso dalam hujan lebat di Monza, Italia sana.

Di kehidupannya yang sekarang terlalu banyak sesuatu yang bisa dibilang kejutan. Apakah kejutan itu. Kejutan. Keju campur ketan? Kemana engkau melaju teman? Kalau memang kejutan itu memang takdirnya mengapa ia selalu bertanya, "Apakah kejutan itu?". Apakah karena tak pernah terduga sebelumnya, maka sesuatu pun layak disebut kejutan?

* * * * *

Telepon meja berbunyi, bicara tentang after office hours. Waktu masih merambat menjelang senja. Apalagi yang masih harus dikerjakannya? Apalagi? Semua pekerjaan telah diselesaikannya. Matanya memerah. Bibirnya kaku. Jantungnya mulai menghela nafas. Ditariknya nafas dalam-dalam. Ditatapnya dalam-dalam wajah itu.

Wajah penuh tanya. Entah, adakah cinta disana? Mengapa harus wajah itu yang dia tatap sampai dalam-dalam? Mengapa? Sedang wajah-wajah lain mulai mengisi hidupnya yang masih kosong bagai jerigen minyak tanah dirumahnya. Wajah-wajah yang hanya bisa menatapnya sekilas untuk kemudian berlalu tanpa kesan khusus.

Walau tanpa kesan, ia masih ingat semuanya. Ia ingat bagaimana senyuman sesosok wajah kuning langsat itu padanya kala bertemu di lobby hotel tadi pagi. Ia ingat bagaimana wajah yang pemalu itu memintanya untuk sekedar memberi "ruang" lebih di dalam lift yang penuh sesak setiap harinya. Ia ingat bagaimana wajah riang seorang sales yang baru saja dipecat karena kehilangan kliennya.

Begitu banyak wajah yang telah ia lihat. Beribu wajah telah menatapnya. Beribu kesan melintas. Hanya jadi deru campur debu*).


Bukit Pakar Timur 100, 16 September 2008, 17.08


*) sebuah judul kumpulan puisi Chairil Anwar, Deru Campur Debu

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...