Sabtu, 13 September 2008

Kalau Supir Boleh Mimpi - Catatan Seorang Supir

Perjalanan adalah petualangan. Petualangan ke dalam diri sendiri. Petualangan dengan alam. Perjalanan telah membawaku pada kehidupanku yang sekarang. Aku hanya seorang supir yang jalan atas perintah dari majikan. Kemana pun dia mau pergi, aku harus mau dan ikut saja dengannya. Tidak boleh bilang tidak. Aku dibayar hanya untuk menyetir dan hanya untuk itu saja. Jadi, aku tidak terlalu pusing dengan urusan majikanku yang kadang minta diturunkan di sebuah rumah mewah atau juga di sebuah hotel mewah di pusat kota. Aku juga tidak keberatan bila kadang-kadang majikanku membawa entah rekan kerja, partner bisnis, atau bahkan selingkuhannya sekalipun. Aku tidak peduli. Aku hanya seorang supir dan menyupir adalah pekerjaanku.

Dengan pekerjaanku ini aku hanya tahu melihat ke depan saja sambil sesekali melirik kiri-kanan melihat senja di kaca spion*). Walau begitu, aku juga tahu semua yang terjadi di jok belakang. Aku bisa tahu semuanya itu kala melihat ke kaca spion yang menggantung. Rasanya aku tidak perlu ceritakan kepadamu semua yang terjadi disana. Aku tidak perlu berkomentar bila majikanku melakukan sesuatu yang tidak pantas kusebutkan disini. Aku juga tidak perlu mengingatkan majikanku kalau ia sudah bersuami. Kasihan pikirku. Dia seorang perempuan yang kesepian. Suaminya tidak pernah ada dirumah. Jadi, kalau ada sesuatu yang dia lakukan disitu bersama entah lelaki dari mana, aku hanya bisa membiarkannya saja. Lagipula, itu memang bukan urusanku.

Walau terkesan rendahan dan tidak punya kebebasan aku menikmati sekali pekerjaanku ini. Aku bisa mengendarai sebuah mobil mewah dengan tidak perlu memikirkan sekalipun tentang bagaimana caranya mencari uang untuk beli bensin dan sekedar mampir untuk tune-up di bengkel resmi atau sekali-kali merawat mobil untuk pedicure dan manicure di salon. Jika butuh sesuatu, memang sudah ada anggarannya. Rupanya, majikanku itu sudah cukup mengerti. Dia membekaliku dengan handphone GPS terbaru dari Nokia juga laptop Lenovo yang bisa jadi temanku kala bersantai di kafe sambil menunggu majikanku itu.

Aku memang hanya seorang supir biasa. Sama seperti supir-supir lainnya yang selalu ditinggalkan di basement parkir kala majikannya berbelanja, selalu diam di mobil sambil membaca koran setiap menunggu majikannya selesai fitness, dan selalu membahas bagaimana kelakuan ngebutnya para supir yang mobilnya berplat merah setiap kali masuk tol. Aku masih merokok 234, sama seperti mereka. Aku masih jadi bagian dari mereka walau tanpa ikatan asosiasi profesi. Jadi, apalagi yang harus aku sesali. Tidak ada. Jika tidak begitu, bagaimana mungkin aku bisa menulis cerita ini untukmu.

*****

Pernah suatu kali aku punya keinginan untuk berhenti jadi supir pribadi. Aku ingin jadi supir bus penakluk Pantura. Aku ingin jadi supir bus yang kelakuannya bak Michael Schumacher dan Mika Hakkinen yang kejar-kejaran di Spa-Franchorchamps, Belgia 8 tahun yang lalu. Aku rasa dengan menyupir bus impianku lengkap sudah. Aku masih ingin menjelajahi luasnya dunia ini. Tapi, kalaupun benar kejadian, aku tidak ingin membawa bus penumpang.

Aku inginkan sebuah bus yang hanya punya 2 tempat duduk saja. Supir dan Kondektur saja. Sisanya, interior yang tersisa itu akan kusulap menjadi sebuah perpustakaan. Sebuah perpustakaan yang mobile. Dan, semuanya itu mungkin saja, karena ruangan bus masih cukup untuk diisi lemari dan meja baca. Juga untuk menyimpan barang 2 unit CPU, itu sudah cukup. Begitulah keinginanku sehingga ketika aku singgah di anak benua manapun aku bisa menyebarkan pengetahuan pada setiap orang disana.

Seorang kondektur yang juga pustakawan itu tentu akan selalu menemaniku kemanapun bus ini melaju. Dari Jakarta ke Jamaika. Dari Madura ke Madrid. Dari Bandung ke Bandar Sri Begawan. Dari Pantura ke Pantai Gading. Aku ingin lihat bagaimana seorang anak di daerah yang kekurangan gizi di NTT sana bisa berbahagia dengan sebuah buku komik. Lalu, betapa senangnya perasaan anak-anak di pedalaman Cikelet sana yang bisa menikmati tulisan buah karya Abdurahman Faiz yang sebaya dengan mereka.

Dengan selalu membawa buku-buku itu aku harap akan terjadi perubahan di negeriku ini. Sebuah negeri yang resminya sudah bebas dari buta aksara yang justru masyarakatnya lebih senang dengan budaya menonton. Ironis sekali. Maka aku tidak heran bila ada Menteri dan Anggota DPR yang salah membaca draf RUU Migas dan dengan segera menandatangani perubahaan RUU jadi UU itu. Akibatnya, negeri kami hanya diizinkan untuk mengelola 25% saja dari total seluruh produksi migas dalam negeri.

Mudah-mudahan keinginanku ini tidak mendapat tentangan dari Depdiknas dan Perpusnas. Karena, bagaimana pun seharusnya itu menjadi tanggung jawab mereka. Kalau mereka memperingatkanku, minimal dengan mengeluarkan himbauan atau cuma surat teguran itu akan kuanggap sebagai angin lalu saja. Itu mereka lakukan untuk menutupi kesalahan dan kekurangan yang seharusnya memang jadi tanggung jawab mereka. Aku tidak perlu khawatir tentang itu karena bagaimana pun aku melakukan sesuatu yang berguna. Aku jadi jembatan yang menghubungkan rendahnya minat baca masyarakat dengan ketersediaan bahan bacaan. Aku juga tidak akan mengandalkan dana bantuan dari pemerintah-kalau memang ada. Tabungan pensiun dari pekerjaan supir pribadi kemarin tentu cukup untuk membeli sebuah bis dan menambah koleksi buku di perpustakaan berjalan ini.

*****

Ah, itu majikanku sudah pulang. Masih dengan lipstik merah menyala yang bisa membuat semua lelaki pasti bergetar melihatnya. Kali ini ia terlihat sendirian keluar dari lobby hotel. Dari senyumnya aku bisa tahu kalau dia sedang bahagia sekali.


Bukit Pakar Timur 100, 13 September 2008, 14.50


*) Sebuah judul cerpen Seno Gumira Ajidarma, Senja di Kaca Spion dalam buku kumpulan cerpen "Linguae", Gramedia Pustaka Utama, 2007

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...