Selasa, 30 November 2010

Membaca Kembali Aki Melalui Manifest

Mengacu kepada judul diatas, rasanya kita tidak akan pernah berpaling lagi pada sosok lain selain Achdiat K. Mihardja (alm). Begawan sastra Indonesia yang menghabiskan sebagian banyak umurnya di Negeri Kangguru sana. Penulis yang juga menghasilkan karya-karya besar lainnya seperti Atheis (Novel, 1949) dan Debu Cinta Bertebaran (Novel, 1973) memiliki beberapa keistimewaan yang menjadikannya sebagai saksi zaman.

Aki, begitu beliau biasa dipanggil, berumur panjang, sempat menyaksikan epos pasang-surut perkembangan perjalanan bangsa sepanjang penggalan abad ke-20 dan 21. Beliau adalah legenda yang menjelmakan suka-derita Indonesia. Pada kalbunya mengendap falsafah hidup tentang arti kemanusiaan yang mudah beralih menjadi adi-kegetiran jika ketamakan dan kepongahan melalaikan manusia dari misi kemanusiaan.


Beliau terlahir dari generasi yang dipersatukan oleh pengalaman yang sama dengan genersi Intelektual zaman Soekarno. Sama-sama produk awal pendidikan Politik Etis, sama-sama tumbuh dalam gelombang pasang kemunculan dan pertentangan ragam ideologi-politik, sama-sama menciptakan tanda "indonesia" sebagai komunitas impian baru, sama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan kelak sama-sama dikecewakan oleh rezim Orde Baru.

Proses pencarian beliau tertuang dalam manifest yang beliau beri nama sebagai "Manifesto Khalifatullah". Melihat kepada penamaan tersebut, menandakan pada proses pencarian untuk menemukan tugas penciptaan. Semua makhluk memiliki tugas penciptaan. Suatu tugas dalam bentuk pendelegasian kasih sayang Tuhan dengan menjadi Khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi. Sayangnya, tidak semua manusia menyadari tugas penciptaan tersebut. karena iblis tidak pernah diam dan tidak pernah mati untuk senantiasa menggagalkan terwujudnya pencapaian tugas tersebut. Begitulah, yang ingin Aki sampaikan melalui manifestnya ini.

Walaupun lebih berbentuk novel, Aki enggan menyebutnya demikian. Aki lebih suka menyebutnya "kispan" alias Kisah Panjang. Ini mungkin disebabkan karena Aki ingin membagi rekaman perjalanan intelektual dan spiritual yang dialaminya. Karena memang tidak mudah untuk menghadapi berbagai pertemuan dan pertentangan dengan aliran-aliran pemikiran yang dianut orang-orang macam Karl Marx, Engles, Siddharta, Adam Smith, dan Nietzsche.

Satu lagi yang membuat manifest ini sungguh berarti adalah bahwa Manifesto Khalifatullah ini ditulisa dalam keadaan mata Aki yang hampir buta. Proses penulisannya pun harus diselesaikan oleh seorang typist komputer. Maka rasanya tidak salah bila dalam testimoninya, Taufiq Ismail mendeskripsikan Manifesto Khalifatullah sebagai semacam rangkaian kuliah penutup tentang makna kehidupan dari seorang Dosen Sastra Emeritus.

Judul: Manifesto Khalifatullah
Penulis: Achdiat K. Mihardja (1911-2010)
Penerbit: Arasy Mizan, 2005
Tebal: 215 hal.
Genre: Memoar


Blok M-Paninggilan, 30 November 2010. 21.05



Selasa, 23 November 2010

Mereka Yang Datang dan Pergi

Rasanya tidak berlebihan bila pada akhir bulan Oktober kemarin adalah akhir bulan yang paling sukses untuk Jakarta. Betapa tidak, hanya selang beberapa hari Jakarta sukses menggelar konser dua musisi legendaris (sebenarnya empat plus Natalie Cole dan Peter Cetera, namun mereka masuk dalam rombongan David Foster) yang selalu dinanti penggemar setianya.

Kebetulan, entah karena Indonesia sedang mengalami bencana atau mungkin para teroris itu tidak mengerti musik dan juga paham siapa itu mereka, alhasil kedua pertunjukan itu dapat berlangsung dengan sukses. Sehingga, Indonesia masuk dalam catatan perjalanan David Foster & Friends, Simply Red, Kenny G, dan baru-baru ini Megadeth, yang kalau juga tidak ada halangan akan menggoyang Jakarta.

Barangkali juga, mereka sempat menulis "Hallo Indonesia, I was here" di sprei kasur atau dinding toilet hotel tempat mereka menginap. Berbeda sekali dengan kejadian tur Manchester United ke Indonesia medio tahun lalu yang diwarnai aksi teroris sehingga The Fergie Boys batal merumput di Senayan. Untungnya, bisnis pertunjukan tidak mengalami gangguan berarti. Padahal, kalau dipikir-pikir idelogi tersembunyi yang tersirat dalam musik bisa jadi musuh utama "teroris".

Adalah suatu anugerah bila dalam suasana berduka akibat berbagai macam "kekacauan domestik" masih ada musisi dunia yang menyempatkan mampir di Indonesia. Even, hanya untuk sekedar mengajak penonton bernostalgia. Lupakan sejenak penat dalam hiruk pikuk kemacetan Jakarta untuk mereka yang kebagian tiket front row. Lupakan juga tangis duka saudara-saudara kita di Wasior, Mentawai, dan wedhus gembel Merapi, karena esok pagi kembali. Dan kita akan tertawa bersama-sama lagi.

Rangkaian itu pun kemudian masih ditambah dengan kunjungan Obama. Kunjungan bilateral atas nama Trade and Democracy (versi BBC). Barangkali, Obama perlu menyaksikan sendiri bagaimana cara bangsa ini mengejawantahkan paham demokrasi barat. Dan contoh yang paling sederhana untuk itu adalah cara pemerintah menghandle dan mengeksekusi cara penanggulangan bencana. Obama juga perlu melihat sendiri gambaran bencana di Indonesia.

Mereka datang dan pergi. Berlalu bersama kesan dari abu Merapi. Merapi telah menyambut mereka karena Merapi tak pernah ingkar janji.



Paninggilan-Gambir, 22 November 2010. 00:56

Celoteh Malam

Kadang-kadang perasaan selalu ingin sendiri, menyendiri, menyepi jauh dari keramaian dunia sering menghinggapi. Entah apa sebabnya. Barangkali juga momen-momen seperti itu bisa menjadi sarana refleksi, introspeksi sekaligus retrospeksi menyeluruh. Menuju kedalaman dasar hati dan jiwa dengan penuh kejujuran.

Sudah sering hal seperti itu terlintas. Mungkin ada baiknya juga untuk menghela nafas sejenak. Demi menyiasati kehidupan yang selalu berjalan rutin dan kadang-kadang membosankan. Betapa seringnya hal itu terlintas dalam lubang pikiran yang menganga.

Seringkali juga hadir pertanyaan-pertanyaan yang entah dimana jawabnya. Tentang mengapa kehidupan kadang tidak selalu berpihak. Tentang mengapa hidup selalu tetap seperti itu, tidak seperti mimpi yang selalu berubah tiap malam. Barangkali juga mengapa hidup ini juga kadang terasa sebagai sebuah kenikmatan. Tentang besarnya karunia Tuhan atas tata kosmologis kehidupan tiap insan.

Sudah sering hal-hal semacam itu menghinggapi. Walau kadang dihantui semacam kekhawatiran bila nanti itu semua tidak ada gunanya. Kehilangan esensi hakiki, makna dari entitas kehidupan itu sendiri. Berubah jadi hal-hal yang tak selesai. Lalu, dengan entengnya meminta bantuan Tuhan agar kelak bisa selesai semuanya. Sungguhlah Tuhan telah biasa terbebani.

Rasanya perlu untuk sesekali meracik kembali bumbu-bumbu kebahagiaan dari bahan dasar yang sudah terlanjur disediakan oleh hidup ini sendiri. Atau malah justru merenkonstruksi kembali jalanan yang sudah tertempuh sejauh ini hanya untuk memastikan bahwa jauh di depan nanti tidak ada lagi kerikil-kerikil tajam yang menjadi sebab kekhawatiran yang juga awal dari kesengsaraan.

Betapa saya merindukan kembali saat-saat itu. Kala galau mulai meraja. Merajuk, memaknai serentetan kegagalan atas segenap pencapaian.



Paninggilan, 09 November 2010. 00.45

Rabu, 17 November 2010

Saya Tidak Percaya Bahwa Saya Menulis Hal Yang Demikian Eps. 3

Memang demikian adanya. Saat membaca status seorang teman di facebook, yang menyodorkan pertanyaan lengkap dengan pilihan jawaban layaknya soal ujian favorit: pilihan ganda.

"Selain orangtua, siapakah orang yang Anda anggap paling berjasa dalam hidup anda? A) Pasangan B) Guru C) Atasan, atau anda punya jawaban sendiri?"

Melihat opsi pilihan seperti itu, jelas yang ada di benak saya adalah opsi jawaban diluar semua pilihan diatas: D. Diri saya sendiri. Berbeda dengan komentator lainnya yang menjawab sesuai opsi. Saya tidaklah sendirian karena ada juga yang menganggap Celine Dion, pelantun My Heart Will Go On itu sebagai idola yang paling berjasa dalam hidupnya. Saya rasa itu cukup beralasan entah karena perasaan narsis atau paham “everyman himself” yang sedang saya anut.

Saya rasa semua orang pun sama. Diakui atau tidak, diri kita sendiri berperan utama dalam jalan hidup masing-masing. Sebagai contoh, bila diri kita sendiri tidak sadar bahwa ada orangtua yang mencurahkan segala kasih sayangnya, bila kita tidak mau mengalah dan sanggup untuk menerima sebagian ilmu dari guru-guru kita, apakah kita akan jadi seperti sekarang? Itulah sebabnya, mengapa saya begitu yakin bahwa peran dari dalam diri sendiri pun ikut memiliki pengaruh paling tinggi atas segenap episode kehidupan.

Bagaimanapun, saya tidak bisa menghindari fakta bahwa mereka memang telah memiliki peran dan jasa-jasa yang hingga saat ini belum bisa saya balas. Walau hanya untuk sekedar mengucapkan terima kasih saja. Terutama kepada orang tua dan guru-guru yang telah lebih dari bersedia untuk menanggapi segenap kebodohan saya.

"I will stand for my dreams if I can, symbol of my faith in who I am..."*



Paninggilan-Gambir, 16 November 2010. 08.59


*dari lirik lagu Immortality, dnyanyikan oleh Bee Gees & Celine Dion.

Jumat, 12 November 2010

The Unforgiven (II)

Sama merdunya dengan yang pertama. Nyanyikan dengan syahdu. Seraya mengiringi hari-hari sepi.




Lay beside me, tell me what they've done
Speak the words I wanna hear, to make my demons run
The door is locked now, but it's open if you're true
If you can understand the me, than I can understand the you

Lay beside me, under wicked sky
The black of day, dark of night, we share this paralyze
The door cracks open, but there's no sun shining through
Black heart scarring darker still, but there's no sun shining through
No, there's no sun shining through
No, there's no sun shining...

What I've felt, what I've known
Turn the pages, turn the stone
Behind the door, should I open it for you....
What I've felt, what I've known
Sick and tired, I stand alone
Could you be there, 'cause I'm the one who waits for you
Or are you unforgiven too?

Come lay beside me, this won't hurt I swear.
She loves me not, she loves me still, but she'll never love again
She lay beside me, But she'll be there when I'm gone
Black heart scarring darker still, yes she'll be there when I'm gone
Yes, she'll be there when I'm gone
Dead sure she'll be there...

What I've felt, what I've known
Turn the pages, turn the stone
Behind the door, should I open it for you....
What I've felt, what I've known
Sick and tired, I stand alone
Could you be there, 'cause I'm the one who waits for you
Or are you unforgiven too?

Lay beside me, tell me what I've done
The door is closed, so are your eyes
But now I see the sun, now I see the sun
Yes now I see it

What I've felt, what I've known
Turn the pages, turn the stone
Behind the door, should I open it for you....
What I've felt, what I've known
So sick and tired, I stand alone
Could you be there, 'cause I'm the one who waits,
The one who waits for you....

Oh what I've felt, what I've known
Turn the pages, turn the stone
Behind the door, should I open it for you....
(So I dub thee unforgiven....)
Oh, what I've felt....
Oh, what I've known....
I take this key (never free...)
And I bury it (never me...) in you
Because you're unforgiven too....
Never free....
Never me....
'Cause you're unforgiven too....

Taken from the album, ReLoad (1997)



Paninggilan, 12 Noviembre 2010.

The Unforgiven

Entah kenapa, lagu ini terasa sangat merdu akhir-akhir ini.





New blood joins this earth
And quickly he's subdued
Through constant pained disgrace
The young boy learns their rules

With time the child draws in
This whipping boy done wrong
Deprived of all his thoughts
The young man struggles on and on he's known
A vow unto his own
That never from this day
His will they'll take away

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never be
Never see
Won't see what might have been

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never free
Never me
So I dub thee unforgiven

they dedicate their lives,
to ruining all of his
He tries to please them all
This bitter man he is
Throughout his life the same
He's battled constantly
This fight he cannot win
A tired man they see no longer cares
The old man then prepares
To die regretfully
That old man here is me

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never be
Never see
Won't see what might have been

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never free
Never me
So I dub thee unforgiven

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never be
Never see
Won't see what might have been

What I've felt
What I've known
Never shined through in what I've shown
Never free
Never me
So I dub thee unforgiven

Never free
Never me
So I dub thee unforgiven

You labeled me
I'll label you
So I dub thee unforgiven

Never free
Never me
So I dub thee unforgiven

You labeled me
I'll label you
So I dub thee unforgiven

Never free
Never me
So I dub thee unforgiven...

Taken from Metallica, The Black Album, 1991


Paninggilan, 12 November 2010.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...