Rabu, 16 Desember 2009

Patung dan Eksistensi

Tentu anda semua sudah mendengar dan menyaksikan kabar tentang Patung Barack Obama di Taman Menteng. Konon, patung itu dibuat untuk mengenang masa kecil Barack Hussain Obama yang menghabiskan masa 4 tahun sekolah dasarnya di Menteng sana. Bahkan ada semacam joke yang bilang kalau semua sekolah internasional di Jakarta hampir kehilangan muridnya karena mereka semua ingin pindah ke SD Asisi Menteng tempat Obama bersekolah dulu.

Menurut hemat saya, patung ini menandai semakin eratnya hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat. Patung itu tidak hanya menjadi simbol eksistensi Obama semata. Lebih jauh, patung itu menjadi semacam monumen bagi pengakuan atas keberhasilan Amerika Serikat dalam menanamkan benih-benih demokrasi dan HAM di Indonesia. Bisa juga patung itu merupakan hadiah dari petinggi Kecamatan Menteng dan Gubernur DKI untuk Obama yang sukses membuat nama Menteng dan Jakarta mendunia sehingga memudahkan promosi pariwisata Enjoy Jakarta-nya DKI. Siapa tahu.

Rupanya bangsa ini telah kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang besar, dilihat dari bagaimana bangsa ini memperlakukan sejarah bangsanya sendiri. Memang, para tokoh pengisi sejarah bangsa ini punya monumennya masing-masing. Bung Karno dan Bung Hatta dibuatkan patungnya di Monumen Proklamasi dan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Korban G30S PKI dibuatkan Monumen Lubang Buaya.

Namun, mengapa patung Panglima Besar Jenderal Sudirman ditempatkan di Jalan Sudirman sambil menghormat pada gedung-gedung pencakar langit simbol keberhasilan kapitalisme? Tidakkah mereka peduli pada hal ini? Kenapa bukan pahlawan asli Betawi macam Si Pitung itu atau malah Ali Sadikin, sang gubernur yang benar-benar membangun Jakarta dengan penuh kontroversi dibuatkan patungnya lalu ditempatkan di Taman Menteng sebagai landmark Jakarta.

Tidak ada muatan dan esensi lokal dari patung Obama itu. Sehingga kalau kini terdengar gugatan atasnya mudah-mudahan itu jadi tanda bahwa nurani kita masih hidup untuk menggugah rasa nasionalisme dan patriotisme dalam jiwa kita bukan sebagai penanda eksistensi belaka.

Siapakah Obama itu bagi Indonesia? Obama hanyalah Presiden Amerika Serikat yang belum pernah sekalipun mengunjungi Indonesia. Obama juga adalah seorang penerima Nobel Perdamaian yang penuh kontroversi karena ia juga yang menyetujui penambahan 30.000 pasukan NATO di Afghanistan. Mungkin karena itu juga ia menilai dirinya B+ untuk performancenya sejak mengambil alih jabatan dari Bush Jr tahun lalu. Pada KTT Asean yang berlangsung tahun ini di Singapura pun Obama tidak menyempatkan singgah di Indonesia.

Kalau ia nanti jadi singgah apalagi yang akan Negara ini buat? Masih ingat waktu Bush Jr mampir ke Istana Bogor sambil naik helikopter? Obama sempat bilang bahwa ia akan berkunjung ke Indonesia tahun depan pada saat anak-anaknya liburan sekolah. What a nice Daddy!

Kalau sekali nanti anda mampir ke kota Firenze di Italia sana yang ada patungnya Gabriel Omar Batistuta anda bisa lihat bahwa patung itu dibuat bukan karena alasan keberadaan dan eksistensi Batistuta yang melegenda di klub Fiorentina tetapi lebih sebagai simbol penghargaan dan penghormatan kepada Batigol (julukan Batistuta) yang telah membuat semarak kehidupan kota itu. Semarak kehidupan yang berasal dari euphoria sepakbola yang menembus celah-celah dan lorong-lorong gang kecil di setiap sudut kota Firenze.

Bahkan, Batistuta bisa dianggap sama sucinya dengan orang-orang macam Macchiavelli dan Dante yang juga lulusan Firenze. Maka, ketika Batistuta meninggalkan Fiorentina untuk bergabung dengan AS Roma tahun 2001, seluruh Firenze bersedih karena ditinggal pahlawannya. Sempat muncul wacana untuk menghancurkan patung tersebut namun batal karena mereka menghargai sejarah-terlebih kehidupan sejarah sepakbola mereka.

Saya kira, begitu juga yang terjadi dengan patung-patung lainnya yang ada di belahan dunia yang lain. Patung-patung itu dibuat dengan berbagai latar belakang dan sejarah yang menghiasinya. Patung Lenin di Leningrad, Patung Stalin di Stalingrad untuk memperingati aksi heroik Pasukan Merah Rusia ketika mengusir Tentara Jermannya Hitler, Patung Kim Jung Il di Korea Utara sana, Patung Napoleon, hingga Patung Pemain Sepakbola di Jalan Tamblong Bandung, bukannya patung seorang yang menunggu kekasihnya*) buatan Seno Gumira Ajidarma.


Pharmindo, Cimahi, 15 Desember 2009


*) Cerita tentang patung ini bisa dibaca pada kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma “Iblis Tidak Pernah Mati”, Galang Press, 2005.

Karir dan Kadal

Mbak,
Tadinya saya mau bahas ini semua di kantor saja, namun entah mengapa waktu saya main ke ruangan Mbak, saya tidak lihat Mbak disana. Mungkin saya yang kepagian. Salah saya juga tidak kasih kabar kalau mau mampir.

Beginilah Mbak kegiatan saya akhir-akhir ini. Kalaupun bukan karena telpon dari seorang kawan yang memberi tahu kalau di kampus kita itu sedang ada job fair mungkin saya lebih baik meneruskan tidur saja. Karena saya masih menganggur saya sedikit penasaran untuk sekedar tahu apa yang sedang terjadi disana.

Seperti biasa, Mbak. Disana penuh sama orang-orang yang kelihatannya serius benar untuk mencari kerja. Pakaian mereka rapih benar adanya. Mungkin untukl sekedar menutupi tampang mereka yang benar-benar bertampang pegawai. Seperti kita, saya dan anda.

Tidak ada salahnya memang berlaku seperti itu. Lagipula bukan untuk menghadiri acara resmi seperti undangan resepsi pernikahan. Seperti biasa, mereka nantinya akan menabur asa pada setiap lembar ijazah dan berkas surat lamaran yang akan segera disebar pada stan-stan pemberi kerja sambil berharap ada walk-in interview sehingga mereka pun langsung tanggap bahwa mereka akan mengeluarkan segenap kemampuan terbaiknya.

Kalau dilihat dari perusahaan-perusahaan yang tampil untuk mengaudisi calon pegawainya memang kelihatan bonafid. Mungkin itu tandanya imaging, branding, dan positioning yang mereka lakukan dalam setiap kampanye produk mereka telah berhasil mempengaruhi mindset kita semua. Sehingga kita tidak perlu repot-repot untuk menentukan perusahaan mana yang punya prospek bagus. Bukankah itu yang terjadi pada anda ketika memilih untuk berkarir di sebuah bank swasta berlevel internasional?

Pengalaman saya membuktikan demikian adanya. Bahwa ketika pilihan untuk berkarir telah diputuskan maka langkah selanjutnya adalah tinggal menentukan perusahaan tempat dimana kita akan berkarir dan mewujudkan segala impian professional. Beruntunglah kita hidup di zaman informasi yang mengalir bagai angin ini. Tidaklah terlalu sulit untuk mencari perusahaan yang akan mengakomodir semua kebutuhan kita untuk berkarir. Masalahnya tinggal apakah kita memenuhi kualifikasi yang mereka butuhkan. Kalau memang ya maka ada angin lalu berlayarlah kita mengarungi dunia karir.

Sejauh pengamatan saya, mereka memang membutuhkan orang yang benar-benar mau untuk bekerja. Lebih-lebih lagi kalau ternyata banyak kandidat yang masih muda dan baru lulus. Pengalaman bisa dinomorduakan melalui serangkaian program training dan upgrading. Jadi karena begitu, ada banyak hal yang menurut saya terlalu menguntungkan pihak perusahaan. Mereka selalu menuntut produktivitas yang lebih dari pegawainya dengan atau tanpa kompensasi tambahan yang dijargonkan sebagai “dedikasi dan profesionalisme”. Ibaratnya mereka terlalu mudah dan gampang sekali untuk dikadalin apalagi di masa ekonomi serba susah seperti sekarang. Maaf, ini tidak ada hubungannya dengan adu reptil versi POLRI VS KPK.


Salam dari Pharmindo
Cimahi, 15 Desember 2009

Kamis, 26 November 2009

Kemenangan Guru, Kemenangan Pendidikan?

Selamat malam, Bung? Apa kabar anda hari ini? Apakah kopi yang anda hirup pagi ini masih sama dengan ketika di warung kopi dulu? Saya harap anda dapat menikmati bagian-bagian hidup anda bahkan yang terkecil sekalipun. Sudah lama sekali saya tidak menjumpai anda lewat tulisan saya. Anda tentu menganggap itu ada hubungannya dengan pensiunnya saya dari sekolah sialan itu kan? Ada benarnya namun itu kita bahas nanti saja di warung kopi langganan kita di pojok jalan itu.

Begini, Bung. Menjelang malam tadi sebuah berita masuk ke ruang dengar saya. Satu berita tentang dimenangkannya gugatan terhadao Ujian Nasional (UN) oleh Persatuan Guru Independen Indonesia (PGII) dan Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI). Saya tahu itu karena yang diwawancara adalah gembongnya yang ternyata guru SMA saya. Namanya Pak Iwan. Kami dulu mengenalnya sebagai sosok Guru Sosiologi yang paling sensasional dan revolusioner. Saat perhatian semua guru masih berkutat pada masalah kesejahteraan Pak Iwan sudah melepaskan semua hal itu dengan berpartisipasi di FAGI yang kurang lebih seperti KAMI-nya gerakan mahasiswa.

Dulu, kami selalu melihatnya mengenakan topi hitam bertuliskan FAGI lengkap dengan kacamata hitam mirip Don Johnson di Miami Vice, kumis mirip Antasari Azhar dan motor Honda Supercup 700. Sayang, saya belum pernah diajar olehnya. Saya hanya sering mendengar ceritanya dari kawan-kawan di kelas IPS. Beberapa dari kami sempat bercanda dengan menambahkan dua huruf “N” dan “A” pada topi kebanggaannya itu.

*****

Saya belum paham detail dari berita itu. Saya hanya mendengar berita sepintas saja. Diberitakan bahwa mereka mengadakan syukuran untuk kemenangan yang disahkan melalui putusan Mahkamah Agung. Bisa saya bayangkan bahwa sorak-sorai perasaan gembira para guru yang menggugat sama riuhnya dengan nyanyian kawan-kawan Imparsial pasca Pidato Presiden SBY menanggapi kasus kriminalisasi KPK dan aliran dana Century.

Agaknya, keadaan sistem pendidikan nasional masih (dan selalu) mengalami transformasi tanpa hasil akhir yang maksimal, rasional, dan memuaskan. Tujuan pendidikan nasional pun yang bermuara pada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya belum dapat dicapai. Ibarat kata masih amburadul. Belum ada satu sistem pendidikan nasional yang ajeg dan menyeluruh. Amanat UUD 1945 belum tunai.

Ajeg berarti statis, tegak. Artinya sistem pendidikan nasional harus mampu berdiri tegak sebagai satu sistem yang padu dan tidak mudah untuk dibongkar pasang oleh kekuatan apapun-termasuk kekuatan ekonomi. Menyeluruh artinya sistem itu juga harus mampu memberikan esensi-esensi dari pendidikan secara merata dan mendalam pada setiap jenjang pendidikan.

Sistem pendidikan nasional itu harus tercermin melalui penyelenggaraan ujian yang lebih menekankan pada kemampuan dan kompetensi peserta didik. Saya kurang setuju kalau UN dihapuskan. Bukan karena rasanya tidak pantas kalau Negara menguji calon generasi penerusnya tetapi lebih kepada pertimbangan kuantitatif terhadap kompetensi peserta didik.

Saya melihat dengan dihapuskannya UN maka penilaian terhadap kemampuan dan kompetensi akan mempertimbangkan pada hal-hal yang bersifat kualitatif. Penilaian tersebut tentu akan melibatkan semua hal yang berbau subyektif. Kalau ada murid yang selalu dapat ranking 1 dengan nilai-nilai yang memuaskan setiap ujian sumatif/formatif lalu kemudian ia gagal di UN maka jangan lantas menyalahkan UN sebagai biang keroknya. Perlu dilihat pula faktor-faktor lainnya. Faktor mental, psikis, dan kognitif bisa menjadi sumber masalah lainnya yang belum sempat terdeteksi. Dalam kasus yang demikian banyaknya, terdapat banyak hal yang bersifat emosional dalam pengambilan keputusan. UN hanyalah satu tolak ukur sejauh mana pemahaman peserta didik melalui ujian dengan kualitas soal standar kurikulum yang berlaku.

Perlu diakui juga bahwa masih terdapat kesenjangan yang sangat jauh antara proses pendidikan di kota-kota besar dengan di daerah-daerah terpencil. Itu bukan alasan untuk sebuah penolakan atas satu grand design bernama UN. Kesenjangan itu dapat diatasi dengan semakin banyaknya forum-forum dan media sosialisasi guru. Sehingga aksesibilitas seharusnya tidak lagi jadi alasan untuk sebuah kegagalan.

Jadi jangan heran generasi mendatang akan semakin menganggap enteng gampang proses pendidikan. Asalkan nilai rata-rata harian tidak terlalu jelek dan selalu berperilaku menyenangkan maka sudah cukup kriteria untuk dinyatakan lulus. Malu rasanya mendengar setiap berita dari kondisi pendidikan bangsa ini yang tak kunjung habisnya bagai perkara korupsi yang masih melilit negeri ini. Pendidikan bagaikan permainan politik kaum birokrat yang selalu berubah dalam jangka waktu tertentu. Pendidikan hanya jadi prioritas yang kesekian saja walau dengan alokasi penyerap anggaran Negara terbesar.

Serius sekali ya, Bung. Lagi-lagi saya berpikir bahwa anda sedang membaca tulisan saya ini sambil tersenyum. Entah tersenyum kagum atau sinis karena tulisan ini ditulis oleh seseorang yang pernah menjadi objek pendidikan dalam karir kependidikannya dan kebetulan pernah bekerja di satu institusi pendidikan swasta penganut mazhab Cambridge aliran Singapura. Apapun reaksi dari anda saya hargai itu dan saya anggap sebagai partisipasi anda dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.



Salam dari Pharmindo,


Cimahi, 25 November 2009


NB: Kalau Bung nanti buka sekolah internasional, masih mau ngikutin sistemnya Diknas?

Pembangunan dan Perubahan

“Time goes on, people touch and they’re gone…” *)

Bung, masih sadarkah anda bahwa zaman pembangunan masih berlangsung kendati sudah bukan zaman orde baru? Masih sadarkah anda bahwa proses pembangunan secara fisik masih berlangsung di depan mata kita sehari-hari? Masih sadarkah anda bahwa kita tidak bisa lepas dari makhluk yang namanya pembangunan?

Saya baru sadar kemarin, ketika melihat truk molen pengaduk pasir beton hilir mudik keluar masuk komplek. Oh ya, saya lupa kasih tahu Bung kalau saya tinggal di sebuah komplek perumahan di pinggiran kota. Kebetulan dibelakang komplek ini telah dibangun sebuah megaproyek untuk ukuran kota Cimahi. Lahan yang dulunya adalah persawahan dengan hasil yang lumayan kini telah berganti dengan deretan gedung. Tentu bukan deretan gedung seperti di ruas Jalan Thamrin-Sudirman, Jakarta.

Entah sebuah proyek ambisius atau memang program pemerintah proyek ini dinamakan Rusunami. Kurang lebih singkatan dari Rumah Susun untuk Warga Miskin. Walaupun begitu, saya lebih suka menyebutnya dengan sebutan apartemen bukan rusun atawa rumah susun. Saya masih belum bisa membedakan antara rumah susun dengan apartemen seperti yang sedang anda tempati saat ini. Apa karena status peruntukannya lantas rusunami versi pemerintah tidak boleh disejajarkan minimal disamakan penamaannya dengan apartemen megah buatan Agung Podomoro Group? Lain kali kita bahas.

Begitulah Bung. Setiap harinya 3-4 unit truk molen mengantri menunggu giliran untuk melaksanakann tugasnya: menumpahkan adukan semen dan pasir. Pemandangan serupa tentu bukan yang pertama kali saya lihat. Sudah ratusan mungkin ribuan kali saya berpapasan dengan truk molen dengan label perusahaan yang berbeda. Yang membuatnya terasa berbeda kali ini adalah bahwa truk-truk itu kini beroperasi di dekat rumah saya tinggal lalu saya merasa bahwa telah terjadi banyak perubahan. Terutama dalam waktu setahun terakhir ini.

Saya melihat bahwa pembangunan yang kini semakin mendekat dan nampak jelas di mata saya telah membawa dampak yang besar bagi sebagian penduduk di komplek saya. Saya bisa merasakan gairah perekonomian yang akan segera menggeliat dan menuju klimaksnya. Semua terasa lebih dinamis. Berbeda jauh dengan kondisi beberapa tahun ke belakang dimana suasana komplek cenderung lebih statis dan monoton. Pembangunan rusunami itu akan membuka akses yang lebih luas dengan komplek kami sebagai sentral dari pertumbuhannya.

Sementara pembangunan masih terus berlangsung saya mengamati perubahan-perubahan lainnya. Orang tua kami mulai memasuki masa pensiunnya. Sebagian dari mereka ada yang menghabiskan uang pensiunnya dengan naik haji ke Tanah Haram. Ada yang membeli mobil untuk disewakan kembali. Ada yang membeli rumah untuk dikontrakkan kembali. Ada yang membuka warung di teras rumahnya. Ada yang mencari aktivitas rutin di Masjid. Ada yang senang di rumah saja barangkali sambil menghitung jumlah uang pensiun yang masih tersisa.

Kemudian, kami yang seumuran dengan saya dan dengan Bung juga mulai memasuki usia produktif menurut angkatan kerja. Beragam pekerjaan kami jalani. Ada yang jadi kru event organizer, ada yang merantau ke luar kota, ada yang jadi pekerja part-time, ada yang kerja di bank dan gajian setiap tanggal 25, ada yang jadi guru olahraga, ada yang jadi guru TK, ada yang jadi staf marketing dealer motor, ada yang kerjanya di rumah saja-seperti saya ini.

Perubahan lainnya yang bisa dibilang cukup drastis adalah kaum remajanya. Entah karena pengaruh zaman yang semakin maju dengan pembangunannya kini mereka tidak seperti kami ketika remaja dulu. Dengan arus information superhighway membuat mereka lebih cepat belajar dan terbuka terhadap suatu hal. Jangan heran bila Bung menemukan anak SD yang bertanya siapa Miyabi itu. Semuanya jadi antitesis kami dahulu.

Begitulah, generasi-generasi baru terus dilahirkan dan membuat semarak dunia ini. Sama halnya dengan pembangunan yang akan terus jadi tanda perubahan. Tidak ada yang abadi. Perubahan itulah yang abadi.


Salam dari Pharmindo,

Cimahi, 25 November 2009


*) David Foster & Olivia Newton John, “For Just a Moment”, OST. St. Elmo’s Fire

Kamis, 29 Oktober 2009

Potongan E-mail dan Sumpah Pemuda

"Memang Cikeas, beberapa Menteri dan Panitia Harkitnas pusat tidak kenal wacana apapun kecuali 'merekrut' mereka: kaum muda yg bertekad meneguhkan kebangkitan generasi muda mandiri itu. Bisa dipahami kenapa tak pernah lahir manusia baru Indonesia, setiap yg tumbuh selalu diletakkan sebagai ekor dari generasi sebelumnya.

Sebenarnya eksekusi movement mereka bisa dengan mudah dilaksanakan andaikan mereka mau jadi 'boneka industri', karena ratusan perusahaan siap mensponsori mereka. Tapi jadi batal 'dzat'nya, pilihan watak kemandirian hidupnya.

Tapi saya percaya itu tak akan lantas kalah oleh tantangan dan halangan, mereka tak akan menjebak diri menjadi benih2 murni nasionalisme yang balik ke mainstream untuk hanya menjadi penempuh2 karier pribadi yg egosentris dan primordial.

Thanks dan salam"

*****

Satu email dari seorang sahabat yang juga 'orang dalam' di lingkungan rumah tangga kepresidenan cukup mengejutkan. Ditengah situasi politik saat ini yang membuat siapapun mau merapat lebih dekat dengan kekuasaan tiba-tiba saja ia agak berontak. Mungkin ia sudah waras dan mulai paham serta sadar posisinya. Ia mungkin sudah sadar bahwa yang ada disekelilingnya hanyalah omong kosong belaka adanya. Budaya birokrasi yang terlanjur mengakar kuat tanpa terasa telah menjerat semua urusan yang ada disana.

Pesan itu lebih cocok tendensinya kalau lagi musimnya bahas wacana kebangkitan nasional yang selalu diperingati pada bulan Mei. Tapi, aku pikir ini masih ada hubungannya dengan Sumpah Pemuda yang gegap gempitanya hilang begitu saja hari ini oleh gemuruh yang selalu datang di akhir bulan, apalagi kalau bukan gajian. Sumpah pemuda yang tak lagi muda. 81 tahun sudah setelah para pemuda dari seluruh negeri berikrar untuk Indonesia yang merdeka.

Sejak periode kebangkitan nasional, pemuda telah menjadi motor yang menggerakkan seluruh perangkat mesin kebangsaan untuk sama-sama bercita-cita merdeka. Maka tak heran bila kemudian mereka berkumpul untuk mendeklarasikan cita-cita yang selalu diidamkan. Merdeka dari penjajahan. Sumpah pemuda hanyalah sebuah peretas menuju jalan perjuangan memperebutkan kemerdekaan.

Sumpah Pemuda mengandung makna tekad, upaya, dan ikhtiar pemuda dalam meraih cita-cita kebangsaan melalui satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bangsa ini memulai suatu pergerakan baru menuju Indonesia merdeka setelah diawali dengan berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908.

Kondisi pasca kemerdekaan di zaman modern seperti saat ini, Sumpah Pemuda hanyalah tinggal jadi satu penanda setiap tahunnya tanpa benar-benar ada waktu khusus untuk menghayati kembali maknanya. Kita hanya tahu 28 Oktober itu adalah harinya Sumpah Pemuda. That’s all. Kita mungkin telah lupa juga kalau hari itu pertama kalinya Indonesia Raya diperdengarkan.

Kaum muda selayaknya jadi generasi mandiri yang lahir menjadi manusia baru Indonesia. Sayangnya, setiap mereka yang tumbuh selalu dijadikan ekor dari generasi sebelumnya. Mereka sengaja diposisikan seperti itu oleh bermacam-macam alasan dan kepentingan agar mindsetnya mentok Cuma sebatas ekor atau pengikut saja tanpa ada breakthrough. Mereka hanya akan mengikuti siapa yang lebih menguntungkan. Menguntungkan untuk karir pribadi-pribadi yang sangat egosentris dan primordial.

Karena itu mereka telah menjadi ‘makhluk industri’ yang movementnya bisa dieksekusi setiap saat. Tidak butuh waktu lama karena ratusan perusahaan siap mensponsori mereka. Imbas dari perebutan kepentingan itu akibatnya mengorbankan sikap-sikap dan pola pikir mandiri. Hasilnya, konsumerisme di level kaum muda meningkat dan itu adalah ekspektasi kaum kapitalis.

Kalau sudah begitu itu berarti tanda bahaya untuk nasionalisme. Nasionalisme yang terjalin utuh sejak Indonesia merdeka akan lebih kehilangan esensinya. Nasionalisme bangsa ini naik turun. Kalau dicubit Malaysia baru teriak “Ganyang Malaysia…”. Belum ada satu kejadian yang menyadarkan masyarakat secara massal untuk menggelorakan nasionalisme sejati. Bukan nasionalisme semu, bukan nasionalisme kesukuan. Nasionalisme Indonesia: Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.


Kelapa Gading, 29 Oktober 2009

Jumat, 23 Oktober 2009

Cinta Dalam Sepotong Artikel

From : Cinta (cinta@kantorberita.net.id)
To :bedul@kempos.com
Title : Article

Here's an article as you requested for your essay.
Hope to see your writing soon.
Love U.

Cinta

*****

Email yang datang sore ini sungguh mengejutkanku. Bagaimana tidak, ternyata ia menganggap serius semua yang kami bahas kemarin malam. Dalam pertemuan yang singkat itu tidak terlalu banyak yang kami bahas. Aku hanya bercerita padanya kalau mungkin aku akan mulai menulis essay seputar konflik internasional. Aku menemukan kembali passion untuk menulis terutama setelah menyadari bahwa keadaan demokrasi di Afghanistan tidak jauh berbeda dengan demokrasi di Indonesia pasca reformasi.

Ia hanya mengangguk saja dan tidak banyak bicara. Sorot matanya tajam seakan ia tahu betul apa yang ada di pikiranku. Pun ketika akhirnya waktu pertemuan kami habis ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum sambil mempersilakanku keluar ruangan.

Rasanya pertemuan itu begitu hambar. Aku lanjutkan membaca artikel yang dikirimnya.

A government-appointed commission in Afghanistan has ordered a run-off vote to decide the country's divisive presidential election. But as two experts told DW, it won't be easy to resolve the battle for power. Afghanistan's Independent Election Commission (IEC) ruled on Tuesday that incumbent President Hamid Karzai and his closest rival, former Foreign Minister Abdullah Abdullah, should face off directly against one another in a second vote on Nov. 7.

In the first round of voting this August, which featured dozens of candidates, Karzai initially got 54 percent of the ballots. But that election was marred by fraud - with the UN-run Electoral Complaints Commision saying that up to 90 percent of ballots cast at some polling stations shouldn't have counted.

Karzai and Adbullah have both said they welcome the IEC's ruling, while world leaders, including US President Barack Obama and UN Sercretary General Ban Ki Moon, also hailed the decision to hold second vote.

The German Foreign Ministry said Berlin was pleased that a way forward had been found.

"It is important for all those involved to show responsibility, calm and moderation during the current situation and ensure there is a credible continuation of the electoral process," the ministry said in an official statement.

But Afghans living in Germany are skeptical about how credible any election results can be.*)


*****

Demokrasi di Indonesia baru bisa dikatakan berjalan pasca reformasi. Semua bidang dan sendi-sendi kehidupan mulai mengenal apa itu namanya demokrasi. Asalkan ada demokrasinya pasti laku. Kebebasan media dianggap sebagai penyebar virus buatan kaum intelektual Barat itu.

Kalau dihitung, Indonesia sudah menjalankan demokrasi yang betulan ini 11 tahun lamanya. Tidak jauh berbeda dengan Afghanistan. Afghanistan mulai melek demokrasi semenjak menjadi pesakitan koboi bernama George W. Bush yang menjadikan tanah Mujahidin sebagai ladang pembantaian massal atas nama perang terhadap terorisme pada 2001. Dengan dalih mencari biang kerok teroris pengebom WTC, Osama bin Laden, penghancuran massal pun dilakukan.

Selain upaya untuk menangkap dalang teroris rupanya imperialis modern tidak lagi menggunakan gold, gospel, dan glory dalam melaksanakan misinya. Sudah tentu, demokrasi kini menjadi bawaan wajib. Keadaan itu telah menguras otak penduduk Afghanistan. Mereka yang dulunya konservatif dibawah pimpinan rezim Taliban telah membuka matanya bahwa Taliban pun bisa diruntuhkan.

Invasi yang dilancarkan AS ternyata membuahkan hasil yang sepadan. Rakyat Afghanistan mulai terbuka terhadap virus yang sengaja mereka sebarkan. Buktinya, Hamid Karzai, terpilih sebagai presiden pada tahun 2004. Terpilihnya Hamid pun bukan tanpa kontroversi karena ia lebih dianggap sebagai boneka titipan asing. Sebagaimana yang sedang terjadi di Indonesia. Penunjukkan Endang Rahayu sebagai Menteri Kesehatan pun dinilai sebagai titipan asing alias AS.

8 tahun sudah demokrasi dilangsungkan di Afghanistan. Namun, belum ada perubahan yang signifikan dalam tata kehidupan bernegara masyarakat Afghanistan. Konflik horizontal antar etnis masih berlangsung. Taliban juga masih menjadi momok yang menakutkan bagi pasukan pendudukan yang bertugas di Afghanistan.

Rupanya, Hamid Karzai tidak bisa menyatukan seluruh masyarakat Afghanistan. Karzai kurang bisa menyatu dan menyublim dalam hati masyarakat yang dipimpinnya. Sempat beredar dugaan bahwa kemenangannya di Pemilu kemarin itu hanyalah omong kosong yang dikarangnya sendiri. Untung dia masih sedikit legowo untuk menerima keputusan KPU-nya Afghanistan untuk melaksanakan pemilu ulang.

Hamid Karzai tentu masih dibayangi kekhawatiran mengenai kekalahannya. Karzai tidak bisa menghindari fakta bahwa bila seandainya bila pemilu yang terlanjur dibatalkan hasilnya kemarin itu bisa jadi klimaks dari karir politiknya. Bila pemilu kemarin berlangsung secara jujur dan terbuka, menurut analis-analis Afghanistan di Jerman sana tidak akan mencapai 10%. Itu artinya ia akan kalah maka ia segera lakukan tindakan preventif dengan penggelembungan suara.

Agaknya, Afghanistan mesti belajar banyak dari Indonesia tentang bagaimana mengelola demokrasi terutama dalam mempertahan kekuasaan melalui cara yang demokratis. Cara-cara yang digunakan dalam pemilu di Indonesia pun masih punya banyak celah untuk dilanggar. Ini adalah masalah demokrasi di negara-negara berkembang.


*****

hitam dan putih akan kutempuh bahagia,
kututup mata rapat seperti berdoa,
rasa sepi kembali mengalir,
kesepian ini abadi **)

Otong Koil masih berteriak ketika aku tak tahu apalagi yang harus kutulis. Aku cek email yang masuk sejak aku mulai menulis tadi. Beberapa komentar atas tulisan sebelumnya, undangan pernikahan seorang sahabat, undangan pembukaan pameran, dan informasi lomba karya tulis, semua jadi satu di tumpukan berkas email.

Aku baca kembali email darinya yang entah untuk keberapa kalinya. Aku berhenti pada kalimat terakhir. Aku baru menyadarinya kalau ada sesuatu yang aneh disitu. Aku menahan nafas sejenak. Mengucek mata barangkali ada yang salah dengan mataku. Namun, semuanya semakin jelas. Aku belum sampai membaca kembali tulisanku. Aku masih terhenti pada email darinya Aku menatap pesannya semakin dalam. Mencari arti dalam cinta yang ia titipkan dalam potongan artikel itu.


Kelapa Gading, 23 Oktober 2009


*) berita dikutip dari www.dw-world.de
**) lirik lagu Koil, "Kesepian Ini Abadi"


Rabu, 21 Oktober 2009

Kita Ini

Sambil bergegas menuju lift Bedul berkata, “Mau diakui atau tidak, kita ini terlalu sibuk untuk menulis dan bercerita. Ternyata kita lebih senang mengomentari status facebook kawan-kawan kita sambil mengcopy-paste tulisan orang lain untuk kemudian diklaim sebagai buah pikiran kita. Tanpa disadari kita sudah jadi seperti Malaysia yang asal caplok sesuka hatinya. Kita ini terlalu sibuk untuk menyuarakan gagasan. Kita selalu punya sesuatu untuk dibahas walau intinya masih itu-itu juga. Gempa Padang dan Jambi, Pelantikan Mewah Anggota DPR, Penggembosan KPK, Skandal Bank Century, Uji coba rudal Iran, Soto Mie Bogor, Blackpepper KFC, Pelantikan SBY, Taufik Kiemas lidahnya keseleo, dan masih banyak lainnya.”

Sambil terus melangkah keluar lift Bedul masih terus mengoceh, “Kita ini hanya menang status saja. Dianggap pekerja kantoran di ruangan yang berAC. Berangkat pagi, pulang sore. Pakai kameja rapi bahkan kadang-kadang berdasi dan menenteng BB (yang pasti bukan Batu Bata). Pakai parfum bermerek HB yang tentunya bukan singkatan dari Hamengkubuwono dan belinya di tempat refill pula. Juga memakai sepatu hitam mengkilat yang ada labelnya “YK” alias Yongki Komarudin. Kita ini cuma menang status sebagai orang kantoran yang kerjanya duduk menghadap layar LCD padahal hanya untuk buka facebook, YM, email sambil sesekali ‘cuci mata’. Kau paham maksudku, kan?”

Sampai di halte bis, Bedul belum juga berhenti. Ia nyalakan sebatang rokok lalu meneruskan cerita yang tiba-tiba tumpah dari kepalanya. “Kita ini cuma disibukkan menjelang akhir bulan oleh jadwal deadline laporan, analisis, dan konklusi dari semua yang telah dikerjakan. Semangat kita berkobar setidaknya sampai pertengahan bulan dimana kadang kita perlu mengambil nafas sejenak sembari menghitung kembali pengeluaran. Saat-saat seperti itu rasanya bagaikan berada dibawah matahari yang membakar ubun-ubun kepala. Terkadang ikat pinggang kita pun bisa lebih kencang daripada ikatan tali sepatu. Harapan itu muncul kembali setiap tanggalan menunjukkan angka diatas 20. Semakin dekat waktu gajian. Bayangan untuk melampiaskan nafsu yang tertahan semakin tinggi. Alokasi anggaran pun jadi semakin rumit karena kita tidak pernah tahu yang mana kebutuhan yang mana keinginan.”

“Kita ini disibukkan cuma untuk mengisi waktu sebelum tanggal gajian. Percayalah, bahwa kita tidak pernah menginginkan semua ini. Kalau bisa kita hanya ingin gajiannya saja tanpa perlu mengerjakan apa-apa sekalipun. Persetan dengan motivasi, performance indicator, appraisal dan jargon-jargon sialan lainnya. Kita mengenal semua omong kosong itu hanya karena kebetulan saja pekerjaan memilih kita, padahal kita belum tentu atau malah tidak menginginkannya sama sekali. Kita tidak pernah tahu alasan mengapa kita terlibat didalamnya tetapi malah semakin menginginkannya supaya atasan tahu kalau kita ini benar-benar kerja.”

Pun ketika akhirnya kami berdua duduk di bangku pojok PPD, Bedul makin menjadi-jadi. “Kita ini terlalu sibuk untuk beribadah hingga larut dalam segala omong kosong pekerjaan. Tidak ada lagi waktu untuk sekedar membaca Al Fatihah, Alif laamiim, atau Ayat Kursi. Bila pun waktunya sempat kita pamerkan di status Facebook. Ramadhan yang telah berlalu pun itu jadi semacam kursus singkat untuk berpikir tentang akhirat. Kita masih terlalu sibuk untuk memikirkan hal itu seakan semua itu telah jadi kebiasaan atau malah pembenaran atas segala macam bentuk ibadah yang sudah ditunaikan.”

*****

Sambil pamit duluan, aku hanya tersenyum saja padanya seakan aku membenarkan semua yang telah dikatakannya. Setelah aku turun dari bis, aku tersenyum simpul sambil berkata dalam hati, “Kita? Loe aja kali….!”


Kelapa Gading, 21 Oktober 2009




Senin, 12 Oktober 2009

Golkar dan Kekuasaan

"Bargaining Golkar Sudah Lemah." - Tifatul Sembiring, Harian Republika 9 Oktober 2009

Kemenangan Aburizal Bakrie (AB) dalam memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar adalah satu pertanda bahwa Gokar masih akan berada dalam lingkaran kekuasaan negeri ini. Golkar adalah bagian dari sejarah kekuasaan sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melihat Golkar yang berada diluar kekuasaan.

Golkar selalu berada dalam kekuasaan dan para elitenya pun menghendaki pula hal yang demikian. Terlepas dari perdebatan siapa yang jadi presidennya. Alasannya sederhana, partai ini dibuat dan dikembangbiakkan untuk meraih, mendapatkan, dan mempertahankan kekuasaan.Situasi sekarang tidaklah mudah. Golkar bukan lagi partai pemenang pemilu yang menguasai kursi di DPR. Terpilihnya Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR pun ikut melemahkan power Golkar.

Maka, ketika muncul wacana untuk jadi oposisi beberapa kadernya mulai bereaksi dengan menggulirkan isu munas dengan tujuan untuk mengambil langkah nyata dan sikap Golkar dalam pemerintahan SBY 2.0. Opsi untuk jadi oposisi hanya akan semakin menjauhkan Golkar dari kekuasaan.

Pernyataan sikap Golkar yang menegaskan bahwa Golkar tidak koalisi dan tidak oposisi mengindikasikan keinginan Golkar untuk masih berada dibawah ketiak kekuasaan negeri ini. "Jika kebijakan pemerintah memperbaiki rakyat, kita dukung. Bila tidak, Golkar akan mengkritik.", begitu kata Aburizal Bakrie. Dan bila Presiden meminta kader Golkar masuk kabinet, Golkar tidak keberatan, tambahnya.

Sikap yang demikian adalah wajar untuk negara dengan sistem kabinet presidensial seperti Indonesia. Partai politik tidak perlu untuk menampakkan wajahnya secara terang-terangan. Punya dua muka pun bukan hal yang salah. Tentu akan berbeda bila sistem kabinet yang digunakan adalah kabinet parlementer. Disitu diperlukan adanya dua sisi yang berbeda. Hitam dan putih. Koalisi dan oposisi. Moderat dan konservatif.

Yang perlu diwaspadai oleh Golkar adalah pelaksanaan dari pernyataan sikapnya itu tadi. Jangan sampai apapun keputusan pemerintah baik yang mensejahterakan rakyat atau yang mengebiri hak-hak hidup rakyat diamini begitu saja tanpa ada perlawanan. Seolah Golkar lupa janjinya untuk jadi tukang kritik. Lantas, jangan juga Golkar hanya bisa cuci tangan bila keputusan pemerintah tersebut tidak berimplikasi apa-apa pada kualitas hidup rakyat.

Sebelum Golkar kembali ke puncak kekuasaan negeri ini alagkah baiknya bila Golkar terlebih dahulu mengambil langkah retrospektif dalam menganalisa dirinya sendiri. Golkar perlu menguatkan dirinya dahulu dari dalam sebelum comeback ke arena. Perseteruan antar faksi yang menyeruak dalam Munas kemarin mutlak perlu diselesaikan demi membangun Golkar yang dewasa dan solid.

Bila Golkar benar-benar menginginkan kembali pada puncak kekuasaan hendaknya Golkar melaksanakan sikapnya dengan penuh tanggung jawab. Golkar harus memperjuangkan sikapnya ini untuk menghargai konstituen yang mereka wakili sebagai satu instrumen politik di negeri ini. Golkar juga harus mengoptimalkan fungsi kontrol serta check and balance agar kekuasaan yang sedang dilangsungkan oleh pemerintahan saat ini berjalan dengan baik, lancar, dan semestinya. Golkar harus tetap kritis atau hanya akan jadi penggembira saja.


Kelapa Gading, 12 Oktober 2009


Jumat, 09 Oktober 2009

Cintaku Kandas di Tapal Batas Ambalat


Pada suatu ketika, perang telah berlangsung di blok Ambalat. Perang ini konon disebabkan oleh Tentara Laut Diraja Malaysia yang selalu menerobos perbatasan wilayah laut Indonesia tanpa izin. Awalnya, kedua negara yang bersengketa, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menghindari perang. Indonesia tidak punya dana yang cukup untuk berperang. Belum lagi alat tempur yang semuanya sudah uzur. Meskipun di level prajurit mereka sudah siap untuk mengibarkan Merah Putih di tanah Ambalat.

Malaysia pun demikian. Mereka tidak ingin berperang dengan saudara tuanya. Mereka ingin pemecahan dan solusi lewat jalur diplomasi. Tentu dalam hal ini mereka telah berpengalaman ketika akhirnya mendapatkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang telah lebih dulu mereka jadikan tempat wisata. Mereka tentu akan mendapat dukungan dari negara persekutuan Commonwealth. Namun, mentoknya diplomasi dari Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri kedua belah pihak seakan jadi pembenaran untuk perang ini.

Negara-negara anggota Commonwealth menyatakan netral dan menganggap apa yang terjadi di blok Ambalat adalah urusan resmi dua negara yang bersengketa jadi mereka merasa tidak ada gunanya untuk terjun berperang. Yang diuntungkan dari keputusan itu adalah pihak Indonesia karena mendapat jaminan bahwa RAAF (Royal Australian Air Force-angkatan udaranya Australia) tidak akan mengeluarkan bomber dan mengirimkan pasukannya untuk menginfiltrasi Indonesia melalui Pulau Irian.

Begitupun pulau Sumatra tidak akan menjadi sasaran serangan karena TNI AD dan TNI AL sudah lebih dari berpengalaman untuk menguasai teritori sekitarnya. Sukhoi-Sukhoi yang dibeli dengan beras itu menjadi faktor utama penentu kemenangan Republik Indonesia. Pilot-pilot terbaik lulusan Akabri Udara berhasil menjadi bintang dalam pertempuran itu. Mereka tidak perlu khawatir untuk gugur diatas peti mati tua yang bisa terbang*). Dua pilot yang biasa menerbangkan F-16 yang ikut mengusir 3 unit F-18 milik USAF (United States Air Force-angkatan udaranya AS) yang menyusup melalui Samudera Hindia ikut pula dalam pertempuran udara itu.

Begitulah seterusnya. Perang terjadi juga. Rudal-rudal dari Sukhoi yang menghantam F5Tiger dan F16E Malaysia bagaikan kembang api di langit Ambalat sana. Rasanya bagai sedang berlangsung pesta kembang api besar. Pecahannya bagaikan seribu kunang-kunang di Manhattan**). KRI-KRI yang berkeliaran di sepanjang batas territorial perbatasan bagaikan semut-semut hitam***) bila dilihat dari angkasa sana. Mereka siap dengan meriam dan long-range missiles buatan Lockheed Engineering-perusahaan yang juga membuat F16 Eagle. Sekali rudal jelajah itu melesat ia siap merontokkan apa pun termasuk kapal-kapal perang Malaysia yang akhirnya kandas di perairan sebelah barat daya Tarakan. Operasi kapal selam pun berhasil dipatahkan TNI AL. Torpedo-torpedo berhulu ledak nuklir telah lebih dahulu menghancurkan pangkalan Tentara Laut Diraja Malaysia.

*****

Pemenang perang berhak atas blok Ambalat yang katanya punya banyak cadangan minyak. Sudah puluhan perusahaan minyak beserta kontraktor-kontraktor pengeborannya datang dibawah koordinasi BP MIGAS. Ada rombongan Chevron Pacific Indonesia, disusul kontingennya Schlumberger. Ada juga Pertamina yang menggandeng Halliburton sebagai rekanan. Belum lagi Petrobras, British Petroleum, CNOOC, ExxonMobil, Santander, Petrol Ofisi , Total EP, dan tak ketinggalan beberapa perusahaan lokal seperti Indika Energy, Medco EP serta beberapa dari Timur Tengah. Tentu saja Petronas merasa kecewa dengan hasil perang ini. Investasi yang sudah direncanakan kini tidak lagi berarti.

Minyak yang dihasilkan di blok Ambalat sudah lebih dari cukup untuk menjaga stok BBM nasional 150 tahun kedepan. Industri otomotif nasional kembali bergairah dengan dibelinya beberapa anak perusahaan General Motors yang menyatakan kebangkrutannya pada bulan Juni 2009. PT. Timor Putra Nasional kembali bangkit dengan membeli Chevrolet. Konsorsium bentukan Toyota-Daihatsu membeli GMC, Buick, dan Saturn yang kolaps bersama dengan GM (bukan Gunawan Muhammad tentunya). Gaikindo pun turun dengan membentuk perusahaan yang mengambil alih SAAB. Kejadian ini menyebabkan Indonesia menempati urutan teratas dalam jumlah produksi kendaraan bermotor.

Bahkan bukan itu saja. Kelebihan uang dari penjualan minyak ini telah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur industri militer nasional. PT.DI yang pernah berjaya dibawah nama IPTN kini telah menjadi pusat riset kendaraan tempur termasuk pesawat terbang. PT. Pindad yang menjadi perusahaan supplier untuk TNI kini lebih disegani dalam kancah industri militer dan pertahanan secara global. Departemen riset Pindad telah mengembangkan berbagai macam rudal jelajah dan beberapa torpedo berhulu ledak nuklir. Pemerintah tidak pernah khawatir lagi oleh embargo senjata dari Amerika Serikat walaupun untuk pesawat jet tempurnya masih disuplai oleh Rusia melalui program “Rice for Sukhoi”.

Swasembada beras yang telah berlangsung selama beberapa periode kepemimpinan telah menyebabkan BULOG tidak mempunyai gudang persediaan yang cukup lagi. Beberapa diantaranya sudah diekspor ke luar negeri. Ada yang juga yang dihibahkan untuk korban bencana alam di luar negeri sana. Maka dari itu, kalaulah kelebihan beras ini sudah cukup untuk ditukar dengan satu pesawat tempur Sukhoi 27 Flanker atau Sukhoi 30 Mk II itu artinya pengadaan pesawat tempur tidak lagi membebani APBN. Dengan ide yang dilontarkan oleh Menteri Pertanian itu pemerintah dapat mengalihkan biaya pengadaan alutsista untuk dialokasikan pada sektor pendidikan.

Rencana pemerintah untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat sudah didepan mata. Pada setiap kota yang telah memiliki RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) akan dikembangkan menjadi sekolah internasional untuk masyarakat Indonesia-bukan ekspatriat. Kurikulum dan sistem pendidikan disesuaikan dengan menggunakan GCSE-CIPAT yang Cambridge-based dan iB atau International Baccalaureate untuk mengejar ketertinggalan pendidikan.

Menteri Pendidikan Nasional melalui siaran persnya tidak pernah berhenti meyakinkan khalayak bahwa sekolah semacam itu tidak akan membebani semua siswanya. Pemerintah menjamin ketersediaan dana bagi berlangsungnya pendidikan yang benar-benar murah, terjangkau, dan berkualitas. Peningkatan kualitas guru pun menjadi satu program tersendiri yang ditargetkan untuk menghasilkan guru-guru yang berkompetensi global. Konon, anggaran untuk peningkatan kualitas guru dan sekolah itu tidak terbatas.


*****

Perang telah usai dan semua telah kembali pada keadaan semula. Aku rindukan kekasihku yang jauh di Ambalat sana. Kandas di tapal batas. Sukhoi yang diterbangkannya jatuh ditembak Tentara Darat Diraja Malaysia. Kata teman-temannya, sebenarnya kerusakan pesawatnya tidak terlalu parah dan masih bisa terbang kembali ke pangkalan namun ia lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama seperti yang dilakukan pilot-pilot Jepang pada waktu Perang Dunia II, harakiri. Aku tidak pernah tahu sejak kapan TNI-AU mulai membiasakan diri dengan hal itu.

Kekasihku menabrakkan pesawatnya pada satu gudang yang diketahui sebagai gudang logistik pasukan perang Malaysia. Akurasi data intelejen memang tidak pernah salah. Kejadian itu mengakibatkan pecahnya konsentrasi perang pasukan Malaysia. Antara menyelamatkan logistik atau mempertahankan garis depan.

Perang memang telah usai namun badai masih menggulung hatiku. Aku masih menatap matahari senja yang berkilauan. Aku harap ini bukan senja yang terakhir. Bukan juga senja penghabisan. Aku menantap matahari yang bagaikan bola emas raksasa. Sinarnya belum juga redakan badai hati ini.

Kekasihku, seorang pilot berpangkat kapten yang punya mata setajam elang itu kini mungkin sudah sampai di pintu surga. Tuhan pernah menjanjikan siapapun yang berangkat menunaikan tugas mempertahankan kedaulatan bangsanya akan dimasukkan ke dalam golongan penghuni surga. Aku tahu bahwa kekasihku melakukan sesuatu yang benar. Untuk negaranya, Untuk cintanya-bukan padaku.


Kelapa Gading, 9 Oktober 2009


*) Peti mati tua yang bisa terbang, istilah ini popular setelah terjadi kecelakaan pesawat terbang Hercules C-130 milik TNI AU di Magetan, Jawa Timur bulan Mei 2008.
**) Seribu Kunang-kunang di Manhattan, sebuah judul kumpulan cerpen Umar Kayam.
***) Semut Hitam, judul lagu God Bless

Senin, 05 Oktober 2009

Golkar dan AC Milan


Golkar adalah sebuah sejarah yang sedang berlangsung. Satu partai yang masa kejayaannya dimulai sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 dengan pendapatan jumlah suara sebesar 74,5 persen. Kemerosotan Golkar dimulai sejak Pemilu 1999, Pemilu 2004 hingga anti-klimaksnya di Pemilu 2009 kemarin. Berturut-turut Golkar hanya mendapatkan 22,4 %, 21,6 %, dan 14 %.

Semakin menurunnya perolehan suara Golkar telah menjadi isu yang semakin meruncing dalam perdebatan untuk menentukan siapa yang layak, mampu, dan bisa menegakkan beringin yang telah rapuh setelah lama berkuasa. Membangun kembali Golkar adalah membangun kembali susunan akar rumput penyangga kehidupan partai. Tanpa hal itu, takkan ada Golkar yang kuat. Yang selalu jadi pemenang Pemilu hingga disegani.

Tidak adanya figur pemimpin dinilai sebagai penyebab kekalahan Golkar. Oleh lawannya Golkar pun kini bukan lagi suatu entitas besar yang patut diwaspadai manuvernya atau dicurigai gerak-geriknya. Beringin telah rubuh tanpa meninggalkan suara. Pemilu 2009 meninggalkan luka yang sangat dalam dalam tubuh partai beringin. Partai yang dikenal lewat jargonnya "Luber" alias "Lubangi Beringin" zaman orde baru ini seakan tak kuasa menampik takdir.

Kenyataannya sekarang ini Munas Golkar di Pekanbaru yang bertujuan mencari pemimpin ideal yang bisa membangun dan menegakkan kembali beringin yang telah rubuh hanya jadi ajang pamer belaka. Semua kandidat saling berlomba mengumpulkan dukungan. Ada yang berkelas dengan menyelenggarakan turnamen Golf. Satu budaya peninggalan kaum pebisnis, yang memiliki motto "di atas padang golf segala urusan dibicarakan, dari politik hingga bisnis". Ada lagi yang datang dengan 5 pesawat carteran untuk mengangkut para pendukungnya. Ada lagi yang datang hanya bermodal kekuatan intelektualnya. Sedang, yang terakhir datang membawa keyakinan semu yang dibalut kekuatan modal dengan gaya main seorang Mafia.

Adalah baik bila sebuah organisasi memiliki banyak calon pemimpin potensial yang mampu membawa angin perubahan pada organisasinya kelak. Kapabilitas kepemimpinan, integritas dan loyalitas mutlak dibutuhkan untuk melawan rintangan yang tidak semakin mudah. Namun, semua itu menjadi tidak berarti ketika modal dalam bentuk uang mulai turun tangan. Melalui kekuatan uang setiap calon pemimpin Golkar beradu. Bukankah JK yang akan digantikan itu juga seorang pengusaha penghasil uang dan kebetulan sedang naik daun hingga terpilih jadi wakilnya SBY di Pemilu 2004 kemarin?

Pengaruh uang pada kekuasaan masih jadi perdebatan terutama mengenai efeknya terhadap integritas organisasi. Tesis seorang doktor politik harus membuktikannya bahwa uang adalah cara yang mudah untuk mencapai pucuk kekuasaan. Sederhana saja, uang bisa membeli apapun termasuk kekuasaan.

*****


AC Milan. Siapa yang tidak kenal klub sepakbola dari pusat mode di Italia ini yang juga klub sekota rival Internazionale Milan. Sejarah telah menuliskan Ruud Gullit, Van Basten, Frank Rijkaard, Franco Baresi, hingga Paolo Maldini meraih puncak karirnya sebagai pemain di klub yang bermarkas di San Siro. AC Milan telah menjadi suatu kekuatan yang pernah merajalela di Italia maupun di Eropa. Pada saat itu, semua klub berusaha sebisa mungkin mengalahkannya. Tak apa tak jadi juara. Asalkan bisa mengalahkan AC Milan itu sama rasanya dengan jadi juara.

AC Milan telah mengalami suatu masa kejayaan di medio 90-an ketika masih dilatih Don Fabio Capello. Di negerinya sendiri, waktu itu AC Milan adalah raja kompetisi. Siapapun sangat bernafsu untuk mengalahkannya. Tidak perlu sampai harus menjuarai seluruh kompetisi. Mengalahkan Milan dalam satu matchday pun sudah merupakan kemenangan besar.

AC Milan juga adalah satu dari 10 klub paling kaya di dunia. Klub yang dimiliki oleh politisi partai Forza Italia merangkap Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi tak hentinya membuat sensasi. Siapa yang kenal Ricardo Icezson Santos Leite de Kaka medio 2003? Tidak banyak orang yang tahu siapa dan bagaimana sepak terjangnya. Namun, final Liga Champions 2003 jadi bukti bahwa membeli Kaka bukanlah keputusan yang terlalu salah. Milan juara Champions 2003. Setelah kalah tragis di Final Liga Champions 2005 oleh Liverpool, 2 tahun kemudian mereka membalasnya. Nama Kaka pun masuk daftar buruan Real Madrid. Semuanya terjadi di masa kepelatihan Carlo Ancelotti.

Setelah kepergian Kaka dan Ancelotti sebenarnya Milan punya modal yang kuat untuk membangun dan membentuk skuad yang benar-benar kuat untuk kembali berjaya di Eropa. dengan tidak hanya mengandalkan skuad mesin tua mereka. Skuad saat ini sudah tergolong uzur secara usia menurut beberapa pengamat. Uang hasil penjualan Kaka rasanya cukup untuk mendatangkan playmaker idaman mereka sejak 2002 silam, Rafael van Der Vaart. Nasib van der Vaart yang tidak menentu di Madrid harusnya jadi pertimbangan bagi Berlusconi supaya Milan kembali pada kejayaannya. Namun, rupanya Sang Perdana Menteri lebih percaya bahwa skuad yang ada sudah cukup mengingat rencana comebacknya Beckham ke San Siro dan juga datangnya Milos Krasic, winger CSKA Moskow di musim Dingin nanti.

*****

Nah, apa hubungannya Golkar dengan AC Milan. Keduanya sama-sama punya modal (uang) yang banyak. Namun, keduanya juga masih terlihat sangat hati-hati sekali dan terlalu pelit dalam menghamburkan uangnya. Bukankah uang yang habis untuk kekuasaan akan mudah diperoleh kembali ketika nanti berkuasa? Bila memang kekuasaan sudah mantap kejayaan itu akan datang dengan sendirinya bukan?

Keduanya kini berada dalam persimpangan jalannya masing-masing. Golkar sedang beradu dengan takdirnya. Akankah Munas di Riau nanti membawa hasil yang tidak sekedar menjadikan Golkar sebagai entitas politik biasa yang selalu meramaikan pemilu seperti biasanya. Golkar diharapkan mampu keluar dari krisisnya dengan menguatkan basis pendukung (akar rumput). Soliditas mutlak diperlukan agar Golkar mampu meraih suara maksimal di Pemilu 2014 nanti.

Sedangkan, AC Milan juga harus segera melakukan perubahan besar (kalau perlu dengan cara yang radikal) untuk mengembalikan Milan pada peta persaingan juara di Italia dan Eropa. Leonardo, Ronaldinho dkk, harus berjuang keras untuk meyakinkan publik San Siro bahwa mereka masih layak diperhitungkan. Entah dengan penyempurnaan skuad yang ada, perubahan gaya dan taktik permainan, bahkan kalau perlu hingga mengganti pelatih yang sekarang. Jangan jadikan modal yang sudah ada jadi sia-sia. Kecuali bila memang si Perdana Menteri lagi butuh uang buat kegiatan politiknya. Ingat, politik juga butuh uang dan itu tidak sedikit.

Sepeninggal masa kejayaannya, baik Golkar ataupun AC Milan keduanya tidak punya lagi figur yang bisa memimpin dan mendikte mereka jalan menuju kejayaan. Selepas Orde Baru, Golkar tidak punya pemimpin kharismatik yang benar-benar mencerminkan figur dari rakyat. Golkar selalu terjebak dalam paradigma bahwa yang memimpin Golkar adalah harus dari kalangan birokrat dan politisi.

Akibatnya, ketika birokrasi mengalami reformasi dan politisi digoyang dari kabinet Golkar tidak mampu jadi beringin yang kuat yang mampu menahan segala desakan itu. Maka, Golkar mengalami kemunduran. Ditambah lagi dengan tidak lagi solidnya Golkar dari pucuk pimpinan hingga akar rumputnya. Ini terlihat dari pecahnya dukungan untuk pasangan JK-Win di Pemilu 2009. Basis suara Golkar yang diperkirakan dapat menembus kisaran 20% secara nasional ternyata gagal. Suara Golkar pecah, tidak utuh. Mesin politik Golkar mogok.

AC Milan pun demikian. Sepeninggal Ancelotti, Milan belum punya pengganti yang (minimal) bisa menggantikan sosok Ancelotti. Adapun keberadaan Leonardo di jajaran bangku cadangan Milan hanya dianggap sebagai pelengkap formalitas semata mengingat berbagai hasil buruk yang menimpa mereka. Dihajar habis oleh rekan sekota dan baru-baru ini dipermalukan oleh tamu dari Zurich. AC Milan butuh sosok pemimpin yang bisa membuat ide-ide dan terobosan baru dalam cara bermain. Tidak hanya sebagai pelatih tapi juga sebagai pemain. Pelatih yang membuat kodenya, lalu pemain yang menerjemahkannya.

*****

Yang terjadi pada Golkar dan AC Milan adalah juga cerminan bangsa ini. Bangsa yang sejatinya bangsa yang besar namun masih dianggap bangsa yang kerdil oleh tetangganya sendiri. Indonesia belum punya sosok yang mampu menyatukan kehendak rakyat yang diwakilinya dalam suatu bentuk pemerintahan yang benar-benar menjunjung tinggi UUD 1945. Indonesia masih terjebak dalam permainan politis-birokratif karangan para politisi busuk yang menghuni gedung MPR-DPR di Senayan sana.

Jangan sampai Indonesia terjebak dalam permainan kekuasaan seperti yang dicontohkan Golkar. Jangan pula Indonesia kehilangan kejayaannya karena rakyatnya cuma bisa main bola seperti yang diperagakan AC Milan. Karena bagaimana pun politik dan sepakbola juga persamaan. Dua-duanya butuh pendukung. Tidak ada pendukung, tidak ada persaingan menuju kejayaan. Kalau kata iklan rokok, "Gak ada loe, gak rame..."


Kelapa Gading, 5 Oktober 2009

Jumat, 02 Oktober 2009

Batik, Identitas, dan Bencana

“Merenungkan Indonesia adalah juga merenungkan identitas kebangsaan kita.” *)

Sekilas Sejarah Batik

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Jadi, kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX.

Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga keraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.

Zaman Majapahit, Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majapahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojokerto adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit.

Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan di daerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.



Identitas Bangsa

Batik menjadi tema hari ini, 2 Oktober 2009, dimana UNESCO sepakat untuk menamakan batik sebagai world heritage kepunyaan Indonesia. Siapa yang menyangka bahwa hari ini batik akan mendapatkan rekognisi dari UNESCO? Kita sebagai bangsa Indonesia tentunya berbangga bahwa (akhirnya) batik secara resmi telah mendapatkan klaim dari dunia internasional sebagai warisan budaya nusantara. Hari ini juga seruan untuk mengenakan batik merebak dimana-mana dan menjadi satu tren yang happening. Entah untuk menghargai niat baik UNESCO atau kita memang masih menghargai warisan budaya nenek moyang sendiri.

Pengukuhan ini juga membuat lega perasaan kita dari ancaman dan rongrongan Malaysia yang selalu tanpa malu mengklaim beberapa dari budaya Indonesia sebagai kepunyaannya. Perdebatan pun selalu meruncing dan tiba pada satu guyonan bahwa Malaysia adalah Truly Maling Asia.Kita ini bangsa Indonesia, bangsa yang punya identitas kuat baik secara sosiologis, historis, dan kultural walau memang masih ada keterkaitan hubungan dengan bangsa Melayu.

Budaya kita direpresentasikan dalam berbagai bentuk kesenian di tiap daerah. Batik, hanyalah satu representasi dari sekian banyak elemen yang menyusun dan membentuk identitas kebangsaan. Batik kini telah mengalami pergeseran dalam nilai utilisasi atau penggunaannya. Terutama setelah cekcok dengan Malaysia yang terang-terangan mengklaim batik sebagai milik mereka. Bak anak kecil merebut mainan temannya sendiri.

Batik tidak hanya digunakan dalam acara yang sifatnya resmi saja seperti undangan pernikahan maupun jamuan resmi lainnya. Bahkan sejak lama pun anak-anak sekolah sudah menggunakan batik setiap hari Jum’at. Kini, giliran orang-orang kantoran pun mengikuti tren tersebut yang dimulai dengan PNS yang selalu mengenakan batik KORPRI.

Bagaimana seandainya bila kemarin itu Malaysia tidak mengutak-atik batik? Bagaimana bila kemarin itu Malaysia tidak melakukan self-recognition atas segala sesuatu yang jadi milik kita bangsa Indonesia? Mengapa kita harus menunggu saat dimana identitas kita terancam oleh bangsa yang terjebak di persimpangan jalan dalam proses pencarian identitasnya?

Nasionalisme

Dalam pengamatan yang masih terbatas dan masih dapat terbantahkan oleh tesis doktoral studi kebudayaan, kenyataan yang ada saat ini menunjukkan bahwa kita masih terjebak dalam nasionalisme semu (pseudo-nationalism). Rasa nasionalisme kita bukan lagi dibangun dan dipelihara dari peringatan Sumpah Pemuda dan hari Kemerdekaan 17 Agustus.

Nasionalisme kita kita ini terbentuk dari perasaan khawatir. Khawatir akan meledaknya bom akibat teroris keparat pelarian dari Negeri Jiran. Khawatir akan dicaploknya Reog Ponorogo, Tari Pendet, dan Ambalat oleh negeri yang merasa jadi pusatnya peradaban bangsa Melayu (dengan Kerajaan Melayu sebagai basisnya). Karena perasaan khawatir itu terus menggelora dan dikhawatirkan bila dibiarkan akan merusak sendi-sendi identitas kebangsaan maka kita pun mulai sadar bahwa kita itu cenderung memandang remeh dan lengah pada apa yang telah kita miliki dalam hal yang berhubungan dengan konteks sosiologis-historis-kultural.

Berapa banyak dari kita yang mendukung gerakan Indonesiaunite? Sebuah gerakan yang membawa pesan moral bahwa kita tidak takut dengan segala ancaman yang mengancam bangsa ini. Sebuah gerakan yang menggema setelah aksi The Last Bombing di Mega Kuningan yang menyebabkan batalnya Timnas PSSI All Star untuk belajar sepakbola dari murid-murid Sir Alex Ferguson.

Gerakan ini disebut-sebut sebagai Sumpah Pemuda 2.0 yang mencoba membangkitkan semangat kita sebagai bangsa yang berdaulat dan mau melakukan apa saja yang terbaik untuk negeri ini termasuk pemulihan citra sebagai negara teror. Tersisa satu pertanyaan, bila Indonesiaunite dianggap sumpah pemuda jilid 2 dan menjadi suatu semangat nasionalisme baru mengapa judulnya harus menggunakan bahasa asing? Kenapa tidak menggunakan bahasa Indonesia saja? Indonesia bersatu misalnya, walau sudah keduluan sama SBY untuk menamai kabinetnya.

Identitas dan Nasionalisme

Nasionalisme yang berangkat dari kekhawatiran ini tentu akan sangat berbahaya bagi identitas bangsa sebesar Indonesia. Perlahan hal ini akan menggerogoti makna eksistensial dari identitas bangsa itu sendiri. Padahal, identitas memberikan makna eksistensial bagi suatu komunitas sekaligus menyadarkannya akan keberadaan komunitas lain di sisi mereka.

Bencana

Lupakan sejenak perdebatan tentang batik yang telah mendapatkan pengakuan internasionalnya. Jelas itu bukan hal yang mudah untuk mempertahankan dan mempertanggungjawabkannya. Berapa banyak dari kita yang tahu jumlah motif dan corak batik di setiap daerah? Apa bedanya batik Pekalongan, batik Madura, dan batik Trusmi. Lalu, adakah hubungan pola batik dari batik Majalengka, Indramayu, Cirebon, dan Kuningan? Mari kita lupakan sejenak yang demikian itu.

Negeri kita ini masih dirundung duka akibat bencana. 5 tahun yang lalu saat SBY mengawali kepemimpinannya negeri ini dilanda Tsunami yang menghanyutkan ribuan rakyat Aceh. 5 tahun kemudian bom dan gempa silih berganti mewarnai kedukaan negeri ini. Gempa menjalar dari selatan Jawa Barat hingga ke Pariaman dan Jambi lalu ke Manado.

Apakah Tuhan sedang menuntut kita untuk sama-sama membangkitkan rasa nasionalisme dan menguji identitas bangsa dengan menolong sesama saudara kita yang tertimpa musibah? Adalah hal yang logis bila Tuhan menginginkannya. Mungkin juga Tuhan inginkan kita tunjukkan identitas kita yang senang untuk berbagi dengan sesama dan saling bergotong royong serta bahu membahu dalam membangun negeri ini. Tuhan tidak ingin kita terjebak dalam hal-hal yang palsu dan semua karena semua itu tidaklah nyata adanya.

Penutup

Batik telah menjadi identitas satu bangsa yang kini sedang dilipur lara akibat bencana. Mari kita berdoa kepada Tuhan secara vertikal, tidak tanggung-tanggung, supaya doa kita tidak menggantung di langit dan diterima oleh Tuhan. Mintakan agar bangsa ini tidak kehilangan identitas, rasa nasionalisme, dan semangat dalam membangun negeri yang sedang ditimpa banyak ujian ini.


Kelapa Gading, 2 Oktober 2009


*) Jamal D. Rahman, dalam kolom Catatan Kebudayaaan Majalah Horison, Edisi September 2009
**) Sekilas tentang sejarah batik dikutip dari http://pesonabatik.site40.net/Sejarah_Batik.html


Rabu, 16 September 2009

Mudik



Lebaran sekarang ku hanya titip salam, karena ku tak mampu pulang, ke kampung halaman
*)

Sayup terdengar kembali lagu itu menggelayuti pikiranku yang memang sedang meradang. Meradang ingin pulang katanya. Entah kenapa, menjelang lebaran seperti ini semua perhatian manusia Indonesia sedang tertuju pada suatu kebiasaan yang terlanjur dianggap jadi ritual tahunan. Mudik. Pulang kampung. Aku tidak tahu pastinya darimana kata "mudik" itu berasal. Yang aku tahu, kalau lebaran tahun ini tidak diundur, diralat, atau dibatalkan sama sekali besok akan jadi pengalaman mudik yang pertama.

Aku telah rasakan sendiri bagaimana kini kota yang tidak pernah sepi ini tiba-tiba jadi sepi gara-gara ditinggal penggemarnya. Deru kota yang selalu berseru kini hilang bingarnya. Perlahan seakan pasti kota ini semakin sepi. Jutaan pemudik meretas mimpi untuk kembali. Aku lihat juga wajah-wajah penuh semangat dan kerinduan pada kampung halaman. Lihat pula senyuman mereka yang tidak ada beban sama sekali tersirat sekalipun beban hidup ini barangkali sudah terlalu berat.

Aku telah lihat pula kegembiraan dan suka cita dalam menyambut hari raya. Semuanya adalah hal yang biasa. Namun, kebiasaan itu juga adalah sesuatu yang luar biasa setiap tahunnya sehingga selalu menimbulkan kewajiban untuk melakukannya. Pekerja yang punya THR, bagi-bagi jatah. Yang ini untuk mudik, yang ini untuk belanja, yang ini buat ngasih, selesai. Tidak sampai disitu saja.

Aku masih belum akan berangkat mudik. Aku masih akan menyelesaikan beberapa hal yang belum selesai. Urusan pekerjaan tentunya. Kau tahu sendiri rasanya menahan rasa ingin pulang. Kurang lebih begitulah yang kurasakan. Aku juga masih belum tahu mudik naik apa. Semuanya masih memungkinkan. Entah dengan bis, kereta, pesawat terbang, atau sepeda motor.

*****

Hei, kau! Apa yang sudah kau siapkan untuk mudikmu yang sekarang? Ingin sekali aku berteriak seperti itu supaya setiap orang sadar. Sadar bahwa mereka sedang ada dalam balutan penuh kerinduan dan bisa jadi semu. Kalau mudikmu cuma buat pamer tentang hidupmu di kota tolong buang saja niat mudikmu itu. Entah siapa yang berteriak dalam kepalaku yang masih meradang ini.

Sampai disini aku tidak tahu apa yang harus kutulis lagi. Pahala Kencana jurusan Jakarta-Madura melintasi didepanku. Ia bagaikan kereta kencana yang akan mengantarkan mereka yang telah membenamkan mimpinya. Sementara, Sinar Jaya masih jadi primadona untuk pemudik tujuan Jawa Tengah. Sebutan Antar Kota Antar Kecamatan membuatnya tidak pernah kehilangan penggemar setia.

Sedang apa kau disitu, Aninda? Sedangkah engkau menantikan kedatanganku sambil berharap aku membawa uang yang banyak untuk modal kita nikah nanti? Atau malah sibuk membantu ibumu membuat kue untuk lebaran nanti? Ah, kau memang tahu saja kalau aku akan pulang dan tentu kau akan sajikan kue-kue itu untukku kan? Bilang Ibumu, aku suka kue coklat seperti yang lebaran kemarin.

*****

Sementara, untuk mereka yang masih sibuk dengan ibadahnya hari-hari seperti ini adalah hari-hari kerinduan. Kerinduan untuk kembali berjumpa dengan Ramadhan tahun depannya. Tidak ada yang pernah tahu kapan ajal memisah jiwa sehingga selalu ada bintik-bintik penyesalan setiap menjelang Ramadhan usai. Memudikkan hati untuk kembali pada jiwa yang fitri.


Kelapa Gading, 16 September 2009


*) P Project, "Mudik" , Album "O Lea... O Leo...."

Jumat, 11 September 2009

Tentang Ia yang Ternyata Itu Aku

Dia sudah sampai disitu setiap jam setengah tujuh pagi. Ia lalu berjalan menuju gedung berlantai lima. Kemudian ia mengisi buku tamu yang untuk sebulan mendatang bakal jadi kartu absennya. Setibanya di ruangan, ia akan menyalakan komputernya. Lalu mengklik ikon kecil di sebelah tombol start. menunggu sebentar, dan kemudian muncullah aplikasi yang selalu ia jumpai setiap harinya. Ia ambil majalah satu persatu, ia buka dan kemudian ia mulai mengetik apa yang dibacanya dari majalah tadi.

Entah berapa hari telah ia lalui, ia sendiri tak tahu pasti karena selama itu pula ia tidak pernah mengisi lagi buku hariannya. Yang ia tahu hanya bangun pagi, membukakan pintu garasi, nebeng mobil karyawan di gedung sate, turun di kantor gubernur, kemudian berjalan menuju kantor perusahaan telekomunikasi tempat ia melakukan Praktek Kerja Lapangan.

...how many hours and how many days....(MLTR-How Many Hours)

Alunan lagu itu terngiang di kepalanya. ia ingat betul karena tepat saat ini ia sedang menulis kisah yang dialaminya setiap hari setidaknya sampai akhir bulan ini. Banyak yang ia lewatkan setiap harinya, mulai dari highlights sepakbola, berita pagi hingga breaking news bahkan gosip-gosip yang selalu sama setiap harinya. Tak terkecuali waktu kumpul bersama keluarga, dan jadwal rutin bermain futsal bersama teman sepermainannya. Ia tidak pedulikan itu semua, karena untuknya, hari ini adalah apa yang akan terjadi semua ini sudah terkehendak atas namanya sehingga ia anggap semua ini adalah kemestian.

Yang ia jalani sekarang adalah sebuah kemestian. Hari-hari yang telah dilalui dan disebut sebagai masa PKL tidaklah lebih dari sebuah perjalanan yang harus ditempuh. Maka tidaklah terlalu penting dimana dia sekarang. Orang lain menganggapnya hebat karena ia diterima di sebuah perusahaan telekomunikasi nasional.

Kadangkala ia jadi teringat pada sebuah buku yang didapatnya dari sebuah kuis di radio. Buku itu berjudul "Kerja Santai, Hasil Oke" sebuah buku terjemahan yang aslinya berbahasa Perancis dan menjadi best seller di beberapa negara di Eropa sana. Kalau teringat pada buku itu, tentu ia akan sangat terganggu pikirannya. Baginya, kesimpulan dari seluruh buku itu adalah benar dimana seorang pegawai cuma jadi kacung dari sebuah permainan besar/global. Dan atas hasil kerjanya ia mendapat upah yang 'layak' padahal mengingat luasnya samudera bisnis upahnya itu sangat tidak layak.

At the otherside, ia tidak menampik kemungkinan bahwa ia akan menjadi aktor dalam lakon buku itu. Ia masih ingin menerima uang bonus setiap bulannya, menyetir sendiri mobil dinas yang diberikan kantornya, dan juga menikmati beberapa fasilitas perusahaan lainnya. Itu semua cuma mimpi. Mimpi yang diharapkan akan terlaksana tidak hanya olehnya tetapi oleh setiap 'calon pengangguran' tentunya.

Dalam buku lainnya ia pernah menganggap benar pernyataan seorang penulis yang sangat benci bangun pagi, bukan karena apa-apa tetapi karena kesibukan orang-orang di pagi hari. Mereka bangun pagi kemudian mencari sarapan, bila tak sempat, sarapan di mobil pun jadi, lalu jalanan pagi yang macet menjadi rutinitas yang sudah pasti. Ia tahu bahwa ia memang pernah menjalani rutinitas bangun pagi semasa sekolah di SMP dan SMA dulu, dan kini saat kuliah, kadang-kadang ia menjalaninya walau tak setiap hari.

Banyak sekali pengaruh penulis itu terhadap dirinya. Awal tahun kemarin, sekembalinya dari Surabaya, ia mau menjalani hidup dengan tidak peduli seperti robot. Persis seperti pada buku yang ia biasa baca. Buku berjudul "Atas Nama Malam" yang ia beli di sebuah toko buku besar di Bandung. Selama kurang lebih 3 bulan ia menjalani hidup yang seperti itu akhirnya ia bosan juga, karena pada dasarnya ia tidak mendambakan hidup yang seperti itu.

Maka kembalilah ia pada kehidupan yang biasa, dimana ia biasa mengisi buku hariannya pada jam 10 malam usai membereskan urusan transaksi dagang pulsa. Didalam buku hariannya ia leluasa bercerita tentang apa yang telah ia alami hari ini.

*****

Hari beranjak sore ditempat ia menulis kisah ini. Ruangan yang tadinya sempat sepi sudah mulai ramai lagi dengan suara speaker komputer, maupun tuts-tuts keyboard. Ia masih duduk disitu memikirkan apa lagi yang harus ia ceritakan. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ia tulis. Tentang kisah-kisahnya yang lalu, tentang kelulusan SPMB yang membuatnya menangis sepanjang 6 km, tentang bagaimana mewujudkan keinginan agar bisa terwujud, tentang nasibnya yang pernah seperti pemain sepakbola pinjaman, tentang kekecewaan yang pernah ia alami hingga membuatnya kebal dan tak tahu rasanya kecewa, setidaknya hingga saat ini

Banyak lagi yang ingin ia ceritakan padamu, entah hari ini, nanti, esok, ia tak tahu. Yang ia tahu sekarang, ia harus segera turun ke masjid, solat ashar, lalu bersiap pulang.


Jl. W.R. Supratman, 21 Agustus 2007

Originally writtenin Bandung, 21 Agustus 2007, 3.58 pm diedit kembali di Kelapa Gading, 11 September 2009.

Selasa, 08 September 2009

Puasa di Jakarta (dan sedikit cerita lainnya)

Bulan Ramadhan semakin beranjak melewati setengah rembulan. Masih rembulan yang sama. Rembulan yang kadang berwarna kemerahan kala menggantung di langit Cikampek bagaikan bola lampu raksasa di tengah jamuan makan malam. Puasa di Jakarta adalah kerinduan. Kerinduan pada suasana Ramadhan di kampung halaman. Rindu pada mushaf yang selalu dibaca menjelang maghrib. Rindu pada suara muadzin-muadzin yang selalu diagungkan menjelang waktu berbuka puasa. Rindu pada ceramah seusai Subuh yang menambah kantuk semakin menjadi.

Seperti biasanya, tidak banyak yang terjadi padaku selama Ramadhan kali ini. Aku masih sama seperti muslim lainnya yang sahur menjelang waktu imsak dan berbuka puasa kala maghrib menjelang. Masalah kesehatan terutama berat badan bukan lagi masalah serius yang harus diperhatikan. Sudah tentu Ramadhan kali ini aku tidak makan tiga kali sehari. Paling banyak dua kali sehari. Sahur dan buka. Sudah itu saja. Jadi, kemungkinan berat badan akan turun bukan khayalan semata.

Ramadhan kali ini rasanya berlalu begitu saja. Sama seperti yang telah kulalui pada tahun-tahun sebelumnya. Tiba-tiba sudah tengah bulan. Harus kuakui kualitas ibadahku masih sama-sama saja. Aku masih menjalankan shalat lima waktu, kadang-kadang ditambah shalat sunat rawatib. Tilawah qur’an kadang-kadang sehabis maghrib. Itu pun melanjutkan bacaan yang tidak selesai sejak Ramadhan-Ramadhan kemarin, bukan dimulai dari potongan ayat pertama Al Fatihah. Disaat kawan yang lain berlomba mengkhattamkan Qur’an, aku malah asyik menamatkan Plan of Attack dari Dale Brown yang tebalnya 510 halaman itu.

Rupanya, aku terbawa alur cerita buku itu yang bercerita tentang proliferasi nuklir Rusia yang berimplikasi pada serangan udara pesawat bomber Rusia ke target-target anti serangan di wilayah Amerika Utara, USA dan Canada. Membaca buku itu ibarat menonton film perang buatan Hollywood. Kurang lebih sama dengan ketika kau menonton Tom Cruise di film “Top Gun”. Mungkin itu sebabnya, ada buku yang diangkat kisahnya untuk dijadikan film atau film yang dibuat berdasarkan pelebaran jalan cerita pada suatu buku tertentu. Kisah seorang pilot ternyata bisa lebih menarik dari tenggelamnya Fir’aun ditelan Laut Merah.

Aku lihat status facebook dan ternyata telah banyak terjadi perubahan. Status kawan-kawan kini lebih banyak dihiasi dengan ucapan syukur atau minimal ucapan-ucapan lainnya yang menyertakan nama Tuhan disana. Ada yang bahagia dan mengucap syukur. Ada yang kecewa sambil tetap optimis bahwa Tuhan tidak akan pernah salah dalam member ujian. Ada yang tidak tahu harus berbuat apalagi sehingga “memaksa” Tuhan untuk memberikan petunjuknya. Ada juga yang cukup menulis juz yang sedang dibacanya sehingga semua Jamaah Al Fasbukiyah mengetahui dan menulis komentar bernada semangat untuk mengkhattamkan Qur’an. Aku rasa hal seperti itulah yang tidak perlu. Soal ibadah biar diri sendiri dan Tuhan saja yang tahu. Khawatir menjadi riya’. Bila sudah begitu percuma saja pahala yang sudah terkumpul lenyap begitu saja bagai api memakan kayu bakar. Begitulah yang kupahami dari Guru Agama waktu sekolah di SMA.

Cerita selanjutnya masih sama saja. Konsumerisme dan konsumtivisme masih menjadi isu yang menarik untuk diangkat menjadi tema bulanan. Lihat saja, banyak pusat perbelanjaan yang mengadakan special offer hingga sale gila-gilaan. Bahkan, ada yang sampai mengklaim bahwa ditempatnya itulah konsumen akan benar-benar menikmati shopping experience yang berbeda untuk pertama kalinya di Indonesia. Sebagai implikasi menjelang lebaran hal ini terlihat sangat lumrah. Selumrah kita meninggalkan kekhusyukan sepuluh hari terakhir untuk saling berlomba memadati pasar-pasar dan tempat perbelanjaan.

Untuk yang masih muda, nongkrong dan belanja di distro masih akan jadi budaya setidaknya 10 tahun lagi. Untuk yang beranjak dewasa, belanja barang branded dengan harga sale bisa jadi pilihan utama ketika THR telah dibayarkan. Untuk kaum dewasa menjelang tua dimana belanja bukan lagi kebutuhan utama mereka hanya cukup menerima pemberian saja dari anak-anak atau keluarga terdekat. Toh, dengan begitu lebaran masih akan tetap semarak.

Kalau ada yang sampai membuatku sibuk menjelang lebaran ini adalah persiapan mudik. Aku akan bersama jutaan warga kota ini akan terlibat bersama dalam sebuah ritual tahunan. Tujuanku tidak jauh, hanya sampai ke Bandung saja. Namun, esensinya masih akan tetap sama. Mudik ya pulang ke kampung halaman. Kira-kira begitu tafsirnya walau tentu berbeda dengan ketika pulang pas bukan waktunya mudik. Kalau lebaran tahun ini tidak diundur dan di suspend, Insya Allah ini akan jadi mudik pertama. Jadi aku belum akan terlalu banyak cerita karena aku belum mengalaminya.

***

Mestinya kau tak perlu buka buku harianku
Hanya akan membuat dirimu tersiksa dalam rasa curiga *)

Pelan lagu mengalun dari speaker. Sebuah lagu lama dari Krisdayanti zaman dulu dia belum terkenal dan seheboh sekarang. Dulu lagu itu memang hits. Aku masih ingat cuplikan video klipnya. Ternyata, dari zaman dulu selingkuh itu memang sudah ada dan tercipta. Maka, aku tidak heran apabila sekarang cerita dalam lagu itu menimpa si penyanyinya. Aku memang tidak mengikuti berita perceraian Krisdayanti. Aku hanya baru tahu kejelasan ceritanya dari tulisan di kolom kecil The Jakarta Post hari ini. Anang mengaku kehilangan separuh jiwanya. What a sad story. But that’s reality. Once you get betrayed, you’ll get another betrayal. Kadang cinta dan pengkhianatan menjadi sebuah ikatan yang utuh tanpa harus saling melepaskan. Dan inilah waktu yang tepat untuk berkata "I'm sorry goodbye***)"

Lagu lainnya yang keluar dari speaker yang bermerek sama dengan nama atasanku terdengar sedikit aneh.

Waktu aing datang ka imah sia
Ku indung sia dipareuman lampuna
kagok edan ku aing sagala dipacok
sihorengteh indung sia kabagean **)

Aku jadi teringat kisah seorang anak kecil. Ia selalu tidur bersama ibunya setiap malam. Pada suatu purnama yang sempurna, ia terbangun dari tidurnya dan tidak mendapati sang ibu disampingnya. Mungkin karena sudah menyimpan rasa curiga ia pergi mengambil sebilah pisau di dapur. Kemudian, ia berjalan keluar rumah diterangi purnama yang bagaikan bola lampu neon besar.Entah bagaimana, dalam kegelapan kamar, ia kini mendapati ibunya sedang hanyut dalam pelukan seorang lelaki yang tidak ia kenal. Keduanya tidak bangun dan tidak tahu bahwa ada seorang anak kecil dengan sebilah pisau tengah menanti mereka untuk memberi izin pada Izrail untuk mencabut nyawa keduanya. Singkat cerita, si anak kembali pulang ke rumah dengan pisau berlumuran darah. Ia tidak tahu apa-apa. Tidak ada pula teriakan kesakitan ketika akhirnya Izrail melaksanakan tugasnya.

Mengerikan memang. Tapi, apapun masih bisa terjadi dalam hidup ini. Semuanya kadang bisa jadi kejutan tanpa harus menunggu keajaiban.

***

Senja telah turun di Jakarta. Matahari kini bagaikan bola merah membara. Sinarnya kini menembus jendela ruanganku. Gemuruh terdengar tandanya pekerja pulang ke rumah. Semua saling berlomba. Mengejhar adzan maghrib katanya. Aku tahu maghrib pun akan segera menghampiriku tepat dalam macetnya Jakarta. Debu, cinta, dan rindu berkejaran menghiasi kota yang tidak pernah diam sepi.


Kelapa Gading, 8 September 2009


*) Krisdayanti, “Terserah (buku harian)”. Ngetop pada zamannya.
**) The Panas Dalam, “Maklum Poek”. Penampilan liriknya dalam bahasa sunda tergolong cukup ekstrim tapi menghibur.
***) Krisdayanti, "I'm Sorry Goodbye".

Jumat, 14 Agustus 2009

We Hate It When Our Friends Become Successful*)

Mungkin kalimat judul diatas sanggup merepresentasikan perasaan JK saat ini. Siapa yang tidak merasa iri kalau ternyata hasil membuktikan bahwa teman dan kawan kita lebih berhasil dibandingkan dengan kita sendiri. Terlebih lagi bila kawan kita ini terpilih (lagi) untuk jadi presiden. Sedangkan, kita hanya bisa menjadi rival sesaat saja yang menunda-nunda waktu untuk kemudian dinyatakan kalah.

Mungkin juga, saat tulisan ini ditulis, JK sedang menggumamkan lagu itu sambil berkemas untuk meninggalkan rumah dinasnya dan kembali ke kampung halamannya di Makassar sana. Sambil mendendangkan lagu itu juga, bisa saja JK sedang duduk di kursi malasnya sambil membaca berita dari harian-harian ibukota yang headlinenya dipenuhi polemik setelah usainya pemilu presiden. JK tentu sedang fokus pada gugatan yang diajukannya pada MK dan itu pula yang akan menjadi pusat perhatiannya.

Sebagai manusia, sudah fitrahnya untuk merasakan yang demikian itu. Wajar sekali perasaan itu muncul sebagai reaksi atas kegagalan dan kekalahan dalam persaingan. Apalagi, kalau ternyata kita baru tersadar bahwa yang mengalahkan kita adalah kawan seperjuangan. Kawan yang selalu menemani sejak zamannya kabinet Persatuan Indonesia dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Megawati hingga bersama berdua membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, yang akan segera expired sebentar lagi.

Adalah kawan kita juga yang mengalahkan kita, kawan yang pernah bersama-sama menuntaskan kasus Balibo Five lalu membujuk Hassan Tiro untuk menandatangani perjanjian perdamaian. Kawan kita juga yang menemani di ruangan siding untuk bertukar pendapat mengenai masalah rakyat. Mulai dari bagaimana caranya membagi subsidi minyak pada rakyat hingga menutup semburan lumpur Lapindo.

Banyak pula pencapaian yang diraih semenjak kita memutuskan untuk menjadi partner dan teammate. Sebagai contoh saja, swasembada beras yang kembali dicapai sejak 1985. Kemudian, ternyata kawan kita juga menyetujui penyaluran BLT sebagai satu cara mengurangi beban rakyat miskin padahal banyak kalangan menganggap bahwa BLT hanya menjadikan rakyat sebagai pengemis. Belum lagi, kawan kita ini juga mendukung program pendidikan BOP-BOS yang sekarang ngetop dengan sebutan “Sekolah Gratis”. Di sisi lain, partnership yang terjalin juga menjanjikan bagi stabilitas ekonomi makro maupun mikro. Indikator pertumbuhan ekonomi terlihat membaik. Itu hanya beberapa gambaran saja bahwa kawan kita ini tidak salah pilih kawan untuk menemaninya duduk di singgasana tertinggi negeri ini.

*****

Kalau bukan karena mesin politik yang mogok dan sedang turun mesin di bengkel sebelah tentu akan jadi lain ceritanya. Sebab musabab mogoknya mesin politik JK ini masih menjadi pertanyaan besar yang perlahan mulai terkuak. Padahal, perolehan jumlah suara Partai Golkar di Pemilu Legislatif kemarin cukup besar. Dengan menjadi runner-up dibelakang Partai Demokrat dan sedikit diatas PDI-P, seharusnya jumlah perolehan suara JK di Pilpres tidak anjlok secara drastis.

Kemungkinan terbesar sebagai penyebab mogoknya mesin politik Golkar di Pilpres 2009 adalah hilangnya suara kader-kader Golkar di daerah. Ini adalah dugaan yang paling masuk akal mengingat partai peninggalan Orde Baru ini masih mempunyai basis pendukung yang loyal di beberapa daerah. Terbukti ketika Pemilu Legislatif 2004, partai ini mendominasi perolehan suara baik di pusat maupun di daerah. Namun, politik tidak butuh masa lalu. Kejayaan masa lalu seketika akan menjadi omong kosong belaka karena kenyataan hari ini. Kenyataan saat ini, Golkar kehilangan banyak suara. Suara Golkar pecah. Diduga pecahan suara ini mengalir pada kubu Demokrat yang menusung SBY-Boediono. Akar rumput Golkar ditebas habis oleh Demokrat.

Dengan kata lain, JK dan Golkar dikompori dan digembosi oleh kadernya sendiri. Ketika hasil pemilu legislatif melalui quickcount merebak diberbagai media, muncul isu dan wacana bahwa Golkar harus mengusung calon presiden sendiri bila perolehan suaranya mampu melewati 20% electoral threshold. JK sebagai Pemimpin Partai tentu saat itu sedang bingung. Jalan manakah yang harus ditempuh. JK mungkin masih ingin menjadi pendamping SBY dengan ikut berkoalisi ke Demokrat tetapi suara-suara dari daerah menyatakan bahwa sebagai partai yang eksistensinya telah diakui (secara politis) harus mampu mengusung calon presiden sendiri. Tidak asal sekedar berkoalisi. Dalam hatinya mengisyaratkan bahwa ia masih ingin punya kuasa atas negeri ini.

Banyaknya desakan yang demikian kemudian membuat Partai Golkar harus membuat pertemuan dengan mengumpulkan DPD-DPD se Indonesia di markas besarnya di Slipi. Tentunya, perdebatan alot terjadi. Antara mereka yang mendukung JK untuk naik sebagai capres dari Golkar dan mereka yang mendukung koalisi dengan Demokrat. Hasilnya, sudah kita tahu sendiri. Golkar merestui JK untuk naik sebagai capres ditemani dengan “pesakitan” Golkar yang membentuk Partai Hanura, Wiranto.

Sebagai partai yang punya harga diri, Golkar telah memutuskan untuk menceraikan JK dari SBY dan jadi the real contender for next presidential bid (mengikuti istilah The Jakarta Post). JK pun menerima keputusan tersebut dan maju jadi capres yang diusung koalisi Golkar dan Hanura. Saat itu, saya yakin JK telah bersiap untuk menerima hasil yang terburuk sekalipun, yaitu kekalahan. Kekalahan yang dimaksud adalah tidak lagi menjadi wakil presiden bersama SBY lalu tidak kebagian posisi sentral dalam tata pemerintahan Kabinet mendatang. Agaknya, inilah yang sempat membuat JK kelihatan ragu untuk maju sebagai capres. Sebagian bisnis JK memang berurusan dengan negara. Pemilihan Sofyan Jalil sebagai Meneg BUMN pun tidak lepas dari peran JK untuk mengamankan bisnisnya.

Kini, hasil pemilu presiden dengan berbagai sengketanya sudah tinggal memantapkan kemenangan SBY-Boediono. Tidak banyak pilihan bagi JK. Pulang kampung, sebagaimana yang JK bilang kemarin adalah opsi yang paling realistis saat ini.

*****

Putusan MK telah jatuh. MK menolak gugatan pasca pemilu. Dengan demikian, SBY semakin memantapkan kemenangannya. Adapun JK yang memang sudah siap untuk pulang kampung tidak perlu lagi pusing dengan urusan partai: Golkar oposisi atau merapat ke Demokrat? Dimana mau diadakan Munas? Sulsel atau Riau, siapa calon kuat Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, atau Ferry Mursyidan Baldan. JK tidak perlu repot lagi mengurusi yang demikian. JK cukup datang pada acara Munas nanti, memberikan pertanggungjawabannya dan selesai urusan. Pulang kampung, seperti yang JK bilang waktu debat capres.

Beberapa suara yang menahan kepulangannya dengan alasan figur JK terlanjur melekat pada bangsa ini saya harap tidak jadi alasan menunda atau bahkan menahan kepulangan JK ke kampung halamannya. Suara-suara itu hanyalah bentuk ewuh pakewuh bangsa ini. Dan terlebih lagi dengan berbagai tawaran posisi fungsional dan struktural bagi JK yang sudah menyatakan pensiun sangat tidak layak karena hanya jadi simbolisasi belaka. Biarkan JK pulang membangun Indonesia Timur yang lebih baik karena tidak aneh buat pebisnis seperti JK bila harus sarapan Coto Makassar dan Es Palubutung, lalu makan siang nasi timbel di Kampung Daun, Lembang, dan makan malam di J.W Marriot Medan.



Kelapa Gading, 14 Agustus 2009


*) We hate it when our friends become successful, dinyanyikan oleh Morissey


Kita Adalah Teroris

Bom meledak lagi. Kemudian meledak lagi. Dan tetap meledak lagi. Bom meledak, teroris tertawa. Bom kembali berjoget. Menebar ketakutan, menakar kewaspadaan. Bom terlanjur jadi momok melebihi setan dan narkoba. Sudah cukup bangsa ini melihat bom sebagai wujud teror. Teror yang dilakukan segelintir manusia yang pikirannya ngawur.

Siapa yang tak kenal Amrozi, santri dari Pesantren yang tidak terkenal di Lamongan itu telah tiada. Pun begitu dengan kompatriotnya, Imam Samudra dan Doktor Azahari. Tapi bom masih juga meledak. Konon katanya, Noordin M Top lah dalangnya. Detasemen khusus telah dibentuk untuk menanggulangi setiap peristiwa yang berkaitan dengan teror bom. Interpol juga turun tangan untuk membekuk manusia pengebom itu.

Akhir pekan lalu ketika Temanggung, kota kecil di Jawa Tengah tiba-tiba jadi pusat perhatian dunia. Untuk masyarakat di Indonesia, mereka semua penasaran bagaimana caranya Polisi untuk menangkap buronan paling dicari di seantero jagad perIndonesiaan. Belum lagi, masyarakat internasional yang juga ikut menaruh perhatian karena Noordin sudah terlanjur mereka nilai sebagai pejuang penebar teror.

Sayang, sayang, sayang. Belakangan, ternyata bukan Noordin yang mati di Temanggung, tapi Ibrohim. Sayang sekali. Mudah rasanya bagi kita dan Polisi untuk terkecoh. Noordin atau bukan Noordin masalahnya akan tetap masih sama saja. Teror adalah penyakit yang harus segera disembuhkan supaya kelak jiwa kita tidak ikut rusak karenanya.

Teror ada dimana-mana. Ia hadir didalam hati, pikiran, dan tingkah laku kita. Maka, kita pun bisa dengan mudah menjadi Noordin-Noordin yang baru. Kita bisa dengan mudah menjadi seperti Noordin tanpa harus berilmu pada eks mujahidin Afghanistan yang pernah merakit high explosive bomb dan C4 untuk meledakkan tank-tank Rusia. Tidak perlu kita belajar teknologi bom nuklir di MIT sana karena ternyata seorang Amrozi pun bisa membuat ledakan yang tak kalah dahsyat dengan yang jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Dengan apa yang ada pada diri kita saja sudah mudah bagi kita untuk menjadi teroris.

Fenomena teror muncul akibat pola resistensi kultural dan psikologis dari mereka-kaum yang terbuang dan terpinggirkan dari arus zaman. Karena mereka harus bertahan hidup maka masalah ideologis yang kental menjadi solusi pemecahan masalah. Dalam perasaan terbuang dan terpinggirkan itu mereka menanam dendam dalam hati dan jiwa mereka. Tubuh mereka terlanjur jadi bom waktu yang bisa meledak seenaknya mereka. Kalau sudah begitu, tinggal mencari pembenaran yang bisa melegalkan pikiran macam mereka sehingga mereka tidak ragu lagi bahwa teror adalah semacam jalan perjuangan.

Tetapi, kita pun tidak perlu menunggu atau bahkan harus merasa terbuang dan terpinggirkan lebih dahulu kalau mau jadi seperti mereka. Dalam kondisi normal pun kita sudah bisa jadi pelaku teror. Mau naik jabatan, teror saja saingan. Mau naik gaji, merongrong atasan dengan segenap alasan produktivitas dan kinerja. Mau korupsi, teror saja polisi.

***

Kita adalah teroris. Dimanapun kita berada kita dapat merubah diri secepat mungkin. Berbagai jerat lingkungan yang menghiasi hidup kita bisa menjadi penunjuk jalan kea rah sana. Berhati-hatilah, karena setiap ketidakpuasan yang anda alami akan menggoyahkan jiwa dan pikiran anda. Lebih parah, hati anda tergerak untuk melakukan sesuatu yang radikal seperti teror itu tadi. Teror tidak selalu harus teror bom. Masih ada teror lainnya. Teror psikologis, teror sosial, ataupun teror budaya.

Kita adalah teroris. Teroris pada diri sendiri. Selalu menolak pada kemapanan sistem birokrasi yang terlanjur membudaya dan mengontrol tata kosmos kehidupan ini. Jiwa-jiwa teroris dalam diri terbentuk dari keengganan untuk beradaptasi. Jiwa-jiwa teroris ini tetap hidup dalam jiwa yang selalu memberontak. Jiwa-jiwa teroris adalah jiwa yang melawan segala sistem yang bobrok yang tidak lagi menjadikan manusia sebagai manusia. Bila Tuhan bisa diteror, tentu akan kita teror juga. Sayangnya, Tuhan punya sistem peringatan teror yang canggih dibanding dengan CIA sekalipun. Sebelum kita meneror Tuhan, kita sudah keok duluan.

Kesatuan jiwa-jiwa teroris akan mengundang manfaat ketika digunakan benar-benar pada hal yang sesuai pada tempatnya. Manfaatkan jiwa-jiwa teroris untuk melawan segala sesuatu yang tidak memanusiakan manusia. Lawanlah segala bentuk penindasan di era neoliberal ini hingga tegaknya keadilan bagi si kaya dan si miskin. Jadikan manusia kembali pada fitrahnya. Jadikan, jiwa-jiwa teroris sebagai kekuatan. Bersatu padu untuk melawan pembodohan-pembodohan di sekitar kita.


Kelapa Gading, 14 Agustus 2009


*) Terinspirasi dari tulisan berjudul “Santri Teror” dalam buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki” Penerbit Buku Kompas, 2007. Hal. 91

Kamis, 13 Agustus 2009

3 Malam, 3 Cerita

Bird Song

I remember everything
Every joy and pain
Every hurts and tears
Every rain spots on the window

They're watching us
Walking down to easy winter evening
That's all going wet

We always love the moment
Just sat and watching the sun goes down
Surrounded by cludy and foggy air
Just both of us

Where are you now?
I'm just an empty glass spilled nowhere
I could only hear birds singing
A sad song, that everlasted, unselfish, and endless

March 16, 2009, Jakarta

*****

Another Kind of You

Everyone can go
Everything will leave
Only desire still remain
Keeping silences in reminiscing place
Where do i find you?

Is that you blinking with the stars?
Or just blended away by the wind?
I cound only hear a whisper
Saying, i'll always be with you, by breathing your name

March 16, 2009, Jakarta

*****

Titip Rindu buat Ibu*)

Rembulan merah mengambang
Langit Cikampek malam hari
Angin kemarau mengalun terbang
Hantarkan hasrat mimpi kembali

Debur rindu bawa kelam
Sejuta rindu bawa mimpi
Desiran ingin bakar malam
Jatiluhur terpatri sepi

Ibu... Si Anak meradang
Dalam sedu gemuruh hati
Ibu... anakmu pulang
Remuk redam hati terobati

Jakarta, 12 Agustus 2009

*) Sama dengan judul novel Novia Syahidah, Titip Rindu buat Ibu

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...