Rabu, 21 Oktober 2009

Kita Ini

Sambil bergegas menuju lift Bedul berkata, “Mau diakui atau tidak, kita ini terlalu sibuk untuk menulis dan bercerita. Ternyata kita lebih senang mengomentari status facebook kawan-kawan kita sambil mengcopy-paste tulisan orang lain untuk kemudian diklaim sebagai buah pikiran kita. Tanpa disadari kita sudah jadi seperti Malaysia yang asal caplok sesuka hatinya. Kita ini terlalu sibuk untuk menyuarakan gagasan. Kita selalu punya sesuatu untuk dibahas walau intinya masih itu-itu juga. Gempa Padang dan Jambi, Pelantikan Mewah Anggota DPR, Penggembosan KPK, Skandal Bank Century, Uji coba rudal Iran, Soto Mie Bogor, Blackpepper KFC, Pelantikan SBY, Taufik Kiemas lidahnya keseleo, dan masih banyak lainnya.”

Sambil terus melangkah keluar lift Bedul masih terus mengoceh, “Kita ini hanya menang status saja. Dianggap pekerja kantoran di ruangan yang berAC. Berangkat pagi, pulang sore. Pakai kameja rapi bahkan kadang-kadang berdasi dan menenteng BB (yang pasti bukan Batu Bata). Pakai parfum bermerek HB yang tentunya bukan singkatan dari Hamengkubuwono dan belinya di tempat refill pula. Juga memakai sepatu hitam mengkilat yang ada labelnya “YK” alias Yongki Komarudin. Kita ini cuma menang status sebagai orang kantoran yang kerjanya duduk menghadap layar LCD padahal hanya untuk buka facebook, YM, email sambil sesekali ‘cuci mata’. Kau paham maksudku, kan?”

Sampai di halte bis, Bedul belum juga berhenti. Ia nyalakan sebatang rokok lalu meneruskan cerita yang tiba-tiba tumpah dari kepalanya. “Kita ini cuma disibukkan menjelang akhir bulan oleh jadwal deadline laporan, analisis, dan konklusi dari semua yang telah dikerjakan. Semangat kita berkobar setidaknya sampai pertengahan bulan dimana kadang kita perlu mengambil nafas sejenak sembari menghitung kembali pengeluaran. Saat-saat seperti itu rasanya bagaikan berada dibawah matahari yang membakar ubun-ubun kepala. Terkadang ikat pinggang kita pun bisa lebih kencang daripada ikatan tali sepatu. Harapan itu muncul kembali setiap tanggalan menunjukkan angka diatas 20. Semakin dekat waktu gajian. Bayangan untuk melampiaskan nafsu yang tertahan semakin tinggi. Alokasi anggaran pun jadi semakin rumit karena kita tidak pernah tahu yang mana kebutuhan yang mana keinginan.”

“Kita ini disibukkan cuma untuk mengisi waktu sebelum tanggal gajian. Percayalah, bahwa kita tidak pernah menginginkan semua ini. Kalau bisa kita hanya ingin gajiannya saja tanpa perlu mengerjakan apa-apa sekalipun. Persetan dengan motivasi, performance indicator, appraisal dan jargon-jargon sialan lainnya. Kita mengenal semua omong kosong itu hanya karena kebetulan saja pekerjaan memilih kita, padahal kita belum tentu atau malah tidak menginginkannya sama sekali. Kita tidak pernah tahu alasan mengapa kita terlibat didalamnya tetapi malah semakin menginginkannya supaya atasan tahu kalau kita ini benar-benar kerja.”

Pun ketika akhirnya kami berdua duduk di bangku pojok PPD, Bedul makin menjadi-jadi. “Kita ini terlalu sibuk untuk beribadah hingga larut dalam segala omong kosong pekerjaan. Tidak ada lagi waktu untuk sekedar membaca Al Fatihah, Alif laamiim, atau Ayat Kursi. Bila pun waktunya sempat kita pamerkan di status Facebook. Ramadhan yang telah berlalu pun itu jadi semacam kursus singkat untuk berpikir tentang akhirat. Kita masih terlalu sibuk untuk memikirkan hal itu seakan semua itu telah jadi kebiasaan atau malah pembenaran atas segala macam bentuk ibadah yang sudah ditunaikan.”

*****

Sambil pamit duluan, aku hanya tersenyum saja padanya seakan aku membenarkan semua yang telah dikatakannya. Setelah aku turun dari bis, aku tersenyum simpul sambil berkata dalam hati, “Kita? Loe aja kali….!”


Kelapa Gading, 21 Oktober 2009




Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...