Jumat, 28 Oktober 2011

Sunday Morning Call: Story of a Song

Barangkali, bila musik bisa jadi suatu terapi mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi satu terapi bagi saya. Semoga lekas sembuh.

*

Dekade lalu, sekitar tahun 2000, Oasis kembali meluncurkan album terbaru mereka saat itu: Standing in the Shoulder of a Giants dengan merilis single terbaru dari album tersebut yaitu Go Let It Out dan Sunday Morning Call. Waktu itu saya masih SMP dan memang sedang menggandrungi band-band beraliran alternative. Apalagi, teman sekelas banyak juga yang ngefans dengan band-band Britpop seperti Blur dan Oasis.

Ada beberapa momen yang entah secara sengaja atau tidak malah terasosiasikan dengan lagu Sunday Morning Call. Pertama kali nonton video klip Sunday Morning Call, saya sudah jatuh cinta dengan liriknya. Itu terjadi dalam masa peralihan sekitar tengah tahun 2001, ketika saya lulus SMP dan secara resmi dipanggil anak SMA!

Karena belum terbiasa dengan lingkungan pergaulan di SMA yang masih SMP-sentris, maksudnya hanya berteman dengan teman yang satu SMP, maka saya pun masih melakukan hal yang sama dengan sering main ke rumah seorang sahabat. Biar sekolah kami berbeda namun rumahnya dekat dengan sekolah saya sehingga setiap hari Jumat saya selalu mampir. Seperti biasa, sambil bermain komputer dan ngulik gitar saya selalu request lagu Sunday Morning Call, apalagi sahabat saya ini punya versi akustiknya. Hail The Gallagher's!

Selanjutnya, ada dua momen (seingat saya) yang soundtracknya adalah Sunday Morning Call. Pertama, pada hari dimana Masa Orientasi Siswa (MOS) berakhir. Entah kenapa kok saya jadi terngiang-ngiang lagu ini padahal waktu penutupan sempet naik panggung full band dengan memainkan lagu Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki setelah batal bawain lagu I Will Survive. Sembari berjalan pulang saya hanya memainkan lagu itu saja dalam kepala yang jengah ini. Saya merasa akan kehilangan suatu perasaan. Perasaan kagum yang entah apa namanya pada tutor kelompok kami. Do you feel what you're not supposed to feel?

Kedua, sekitar awal tahun 2002 dimana saya mengalami hari yang "sangat buruk" dengan Guru Matematika yang dengan suksesnya menempatkan angka 4 di kolom nilai Matematika. Mirip dengan nomor rumah saya. Setelah kejadian itu (kebetulan malam minggu) saya hanya bisa melamun galau menatap dinding kosong sambil bertanya-tanya: "Mengapa ini terjadi pada saya?". Saya datang ke sekolah untuk belajar dan mendapatkan sesuatu. Then, i was realized that i'm coming for nothing! Lagu itu mengalun pelan. ...Slip your shoes on and then out you crawl.... into the day that couldn't give you more.

*
Oasis - Sunday Morning Call

Here's another sunday morning call
You hear yer head-a-banging on the door
Slip your shoes on and then out you crawl
Into the day that couldn't give you more
But what for?

And in your head do you feel
What you're not supposed to feel
And you take what you want
But you don't get it for free
You need more time
Cos your thoughts and words won't last forever more
But I'm not sure if it will ever work out right
But it's ok, it's all right

When you're lonely and you start to hear
The little voices in your head at night
You will only sniff away the tears
So you can dance until the morning light
But at what price?

And in your head do you feel
What you're not supposed to feel
And you take what you want
But you can't get all for free
You need more time
Cos your thoughts and words won't last forever more
And I'm not sure if it'll ever work out right
If it'll ever, ever, ever works out right
Cos it never, never, never works out right

And in your head do you feel
What you're not supposed to feel
And you take what you want
But you won't get help for free
You need more time
Cos your thoughts and words won't last forever more
But I'm not sure if it will ever, ever, ever work out right
if it will ever, ever, ever work out right
will it ever, ever, ever work out right




Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 28 Oktober 2011.


* Oasis's lyric provided by LetsSingIt

Kamis, 27 Oktober 2011

Orang-orang Bloomington


Catatan Seorang Kolumnis Dadakan 
Kumpulan cerpen ini banyak bercerita tentang mereka yang hidup keterasingan dan perasaan teralienasi dari lingkungan sekitarnya, sementara tokoh si aku menjadi tokoh yang sangat manusiawi. Kadang punya empati walau kebanyakan selalu bertingkah sebagai tokoh yang bermain melawan arus.

Detail adalah bagian penting dari suatu karya. Dalam kumpulan cerpen ini, pembaca tentu akan merasakan suatu pengalaman tentang detail cerita. Orang-orang Bloomington bisa saja dibuat sebagai kumpulan cerpen singkat. Namun, barangkali karena seorang maestro yang menulisnya maka pembaca tidak akan dibiarkan begitu saja. Pembaca harus mengalami dahulu detail baru akan memahami keseluruhan jalan cerita.

Saya tidak akan membahas cerpen-cerpen didalamnya satu persatu. Secara keseluruhan, semua cerpen terangkum dalam suatu dunia. Dunia yang dipenuhi prasangka dan diwarnai keterasingan dan perasaan teralienasi dari tokoh saya. Entah benar atau tidak, Budi Darma berhasil menggambarkan pengalaman-pengalaman itu ke dalam suatu cerita yang utuh dengan detail yang mengagumkan. Sehingga, karya monumental yang satu ini menjadi tonggak penting dalam sejarah percerpenan di Indonesia.


Medan Merdeka Barat, 27 Oktober 2011

Senin, 17 Oktober 2011

Living in Harmony

Awalnya saya cenderung skeptis ketika melihat buku terbaru karya Fariz RM berjudul Rekayasa Fiksi. Kalau tidak salah, buku itu diterbitkan untuk menandai kiprah Fariz RM di jagad permusikan Indonesia. Saya tidak menyangka bahwa seorang musisi sekelas Fariz RM mampu membuat tulisan yang kemudian dikumpulkan dalam satu bentuk buku.


Belakangan, skeptisitas saya itu semakin tidak beralasan. Kelak, saya semakin sadar bahwa buku ini adalah 'prelude' untuk Rekayasa Fiksi. Saya tahu itu ketika perlahan membaca halaman demi halaman dari buku pertama Fariz RM ini: Living in Harmony. Terbagi dalam tiga bab, berisi tentang pengalaman-pengalaman Fariz RM selama menggeluti dunia musik. Mulai dari jadi seorang center of attention hingga memainkan peran sebagai musisi belakang layar.

Fariz RM seorang musisi yang piawai memainkan berbagai instrumen ini pandai juga dalam mengutarakan hal-hal yang menjadi kegelisahan musisi seperti dirinya. Sejatinya demi eksistensi dan kontinuitas karya yang dihasilkan. Maka, jangan heran bila beliau pun sanggup memberi kritik untuk musisi pendatang baru yang kerap berkarya hanya demi setumpuk rupiah belaka. Hanya jadi one-hit-maker lalu jual Ring Back Tone, selesai urusan!

Buku ini menguak lebih dalam sisi kehidupan Fariz RM. Bisa dikatakan, jadi semacam memoar atau catatan pinggir ala Goenawan Muhammad. Hitam dan putih kehidupan  dunia yang digeluti Fariz RM (termasuk kasus kepemilikan narkoba) agaknya membuat beliau harus memberikan sesuatu untuk dunia musik Indonesia. Tidak melulu dengan karya dan konser spektakuler. Melainkan dengan pemikiran out-of-the-box agar kita mampu berkaca dan semakin mengasah pemahaman.

Tak salah kiranya bila musisi yang menciptakan lagu "Barcelona" ini sendirian mendapat predikat sebagai Maestro. Pengalaman demi pengalaman telah membawa Fariz RM menjadi sosok jenius dan kreatif dalam bermusik (baca: berkarya).

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


Akhir-akhir ini, saat dan setelah membaca buku ini saya jadi doyan nonton/streaming konser musisi (dalam dan luar negeri). Sekedar iseng (entah karena  posesivisme) saya convert video hasil streaming menjadi mp3. Dari dalam negeri, saya tentu penasaran dengan aksi panggung Fariz RM sendiri. Kebetulan, di Java Jazz 2011 kemarin beliau membawakan medley lagu Sakura dan Barcelona.

Sungguh suatu penampilan dan totalitas yang sempurna. Tidak hanya dalam kata-kata yang beliau sendiri tulis dalam buku tetapi benar-benar dibuktikan lewat aksi panggung yang menawan lengkap dengan gubahan aransemen yang segar.

Dari luar negeri, saya simak penampilan Linkin Park, Limp Bizkit, Matchbox 20 (termasuk episode Storyteller VH1), Muse, Oasis, Radiohead, dan Alanis Morisette. Aksi panggung mereka memang sudah tidak diragukan lagi. Saya melihat penonton yang hadir dalam konser-konser mereka tidak hanya mampu larut dalam suasana fanatisme yang lazim. Mereka bahkan menjiwai setiap lirik lagu yang dibawakan artis pujaannya tersebut.

Ada beberapa hal yang menarik bahwa totalitas berkarya itu sangat nyata selain aksi panggung/performance. Berbekal pengalaman sebagai arranger, composer, produser, dan player yang terlibat dalam penciptaan 159 album. Begitu makna yang saya tangkap dari cerita-cerita beliau dalam buku. Bahwa kejujuran dan totalitas dalam berkarya tentu semakin menampakkan jatidiri, identitas, dan kualitas karya seorang musisi.

Sungguh semua itu harus jadi pelajaran bagi musisi muda Indonesia bila masih ingin dikenang sebagai musisi papan atas at least lima tahun ke depan. Bukan hanya sekedar jadi penggembira yang punya banyak album dan sering tampil di panggung off air yang berlabel acara TV tertentu saja.

Kondisi ini sangat faktual. Betapa banyak lagu-lagu lawas kemudian direcycle dan dinyanyikan kembali oleh penyanyi pendatang baru sebagai jalan pintas menuju popularitas. Maka benarlah kata Superman Is Dead: nyanyikan lagu orang lain dan kau akan terkenal!* 

Belajar dari Fariz RM, artinya kita dihadapkan pada problematika untuk tetap mempunyai jatidiri yang semakin terasah dengan ketekunan dalam berkarya tetapi lantas tetap selaras dengan norma-norma di sekitar kita. Sehingga, karya-karya yang dihasilkan akan tetap abadi dan masih akan tetap dinyanyikan orang. Bukan hanya sekedar dikenang dan jadi bagian sejarah semata.

Judul: Living in Harmony: Jatidiri, Ketekunan, dan Norma. Catatan Ringan Fariz RM.
Penulis: Fariz RM
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun: 2009
Tebal: 312 hal.
Genre: Musik-Memoar


Medan Merdeka Barat-Paninggilan-Pharmindo, 2-17 Oktober 2011.

* dari penggalan lirik lagu Superman Is Dead, "Punk Hari Ini"

Senin, 10 Oktober 2011

Kematian Donny Osmond


Kehidupan remaja adalah kehidupan dengan wahana yang sangat luas dan dinamis. Selalu menjadi tema yang tidak ada habisnya. Dunia remaja adalah suatu dunia dimana jatidiri ditentukan. Pencarian identitas demi satu citra jatidiri menjadikan para remaja rela melakukan usaha apapun untuk mewujudkannya. Kadang demi alasan eksistensial.

Berbeda dengan karya lainnya, Kematian Donny Osmond agaknya ditujukan untuk pembaca remaja. Cerita yang disajikan pun berkisar tentang cita-cita dan sekelumit pergaulan anak-anak remaja dalam mencari jati diri dan makna eksistensial mereka di tengah lingkungannya.

Diangkat dari berbagai fenomena sosial yang menimpa kalangan remaja, mulai dari kisah percintaan, perjuangan, pergaulan, hingga tawuran yang kerap kali menimbulkan korban jiwa. Semua kisah ini menjadi semakin remaja karena diterbitkan kembali dari beberapa karya Seno di majalah/tabloid remaja. Tidak hanya itu saja, menarik untuk menemukan alasan dibalik adanya sisipan resep otak-otak dan efek dari film Basic Instinct terhadap anak remaja. Belum lagi kenapa bandana Gabriella Sabatini bisa menjadi sesuatu yang benar-benar membawa kehilangan bagi pemiliknya.

Bukan tanpa alasan bila kumpulan cerpen ini disajikan tidak melulu dengan teks. Asnar Zacky yang digandeng Seno untuk menggarap efek visual cari semua judul cerita mampu menangkap kesan imaji visual yang sengaja ingin dihadirkan oleh Seno sebagai penulis cerita. Dengan adanya sisipan efek visual berupa komik tersebut maka membuat suatu pengalaman tersendiri seperti membaca Graphic Novel. Kelak, Zacky pun berkolaborasi kembali dengan Seno untuk penerbitan komik Sukab Intel Melayu.


Judul : Kematian Donny Osmond
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2001
Tebal : 159 hal.
Genre : Komik-Remaja




Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 2-8 Oktober 2011.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Pamali (bukan suami Bu Mali)

 
  
Pamali. Suatu istilah untuk mengartikan pantangan adalah produk atau hasil dari kebudayaan asli yang sengaja ditinggalkan oleh leluhur kita. Pamali lahir dari suatu hasil pemikiran yang berkembang pada suatu zaman sebagai tindakan preventif (bersifat mencegah). Pamali bisa dianggap sebagai 'local wisdom' yang tumbuh dalam suatu lingkungan masyarakat. Pamali pada prinsipnya berusaha menyelaraskan nilai-nilai kehidupan sosial dalam interaksi sesama manusia. Dengan demikian, pamali di satu tempat akan berbeda dengan di tempat lainnya.

Namun, kemajuan zaman yang berimbas pada pola pikir masyarakat di abad modern ini cenderung mengganggap pamali ini sebagai hal yang sudah tidak relevan. Pamali sudah tidak dikaitkan lagi dengan logika umum sehingga masyarakat dengan pemikiran yang maju dan logis hanya menganggap pamali itu sebagai mitos atau Misteri anu atos-atos (misteri yang sudah-sudah)*.


Komik ini mengangkat beberapa pamali yang hidup dan umum dijumpai di Tanah Sunda. Temukan alasan-alasan tentang mengapa anak perawan tidak boleh makan dari cobek, tidak boleh membaca nisan di pemakaman, dan mengapa-mengapa lainnya. Dikemas dengan sketsa komik yang segar dengan tokoh berhidung enam dan tidak melulu menggunakan Manga Style membuat komik ini terasa berbeda dari komik-komik kebanyakan. Tentu saja, ini merupakan berita baik untuk perkembangan Komik Indonesia yang kini mulai menggeliat kembali dibawah penerbit-penerbit lokal dan independen.

Dalam menyikapi beberapa pamali dalam komik ini kita tidak selalu harus serius. Pamali yang dikemas dalam bentuk komik ini tentu menyuguhkan cara pandang lain dalam menyikapi nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Beberapa mungkin sudah tidak relevan dan tidak logis. Tapi, bukankah pamali itu juga merupakan warisan nenek moyang kita yang mengandung pesan dan makna tertentu. Sudah tentu, pembaca dihadapkan pada situasi untuk memilah-milah dan mengambil nilai positif dari pamali tersebut.


Judul : Pamali: Segerombolan Komik tentang Mitos dan Pantangan
Penulis : Norvan Pecandupagi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2009
Tebal : 120 hal.
Genre : Komik-Budaya



Paninggilan, 8 Oktober 2011

* Menirukan istilah seorang sahabat

Selasa, 04 Oktober 2011

Playlist Cinta

Barangkali aku sedang jenuh, maka akan kucoba untuk menulis surat pada Aninda. Sudah lama, aku tidak mengirim kabar padanya. Entah, seperti apa rupanya saat ini aku tidak tahu. Apakah dia akan membaca suratku? Aku juga tidak pernah tahu.

*

Dear Aninda,

Sudah lama rasanya aku tidak menjumpaimu lewat tulisan. Ya, tulisan yang hanya sekedar tulisan pelipur lara saat jauh darimu. Ah, aku jadi malu. Aku tidak pernah setidakpercayadiri seperti ini untuk menulis sepatah-duapatah kata untukmu. Aku malu kalau ingat bahwa inilah tulisan pertama sejak engkau memutuskan untuk tidak hidup bersamaku di kota yang memang telah penuh sesak dengan manusia. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana engkau bisa menjalani ritme kehidupan di kota ini yang memang terlanjur serba cepat. Bahkan hampir meninggalkanku dengan segala dinamika artifisial. Aku tetap hormati keputusanmu karena ibaratnya jarak, waktu, dan ruang hanyalah relativitas ilusi belaka. Engkau tentu masih ingat pelajaran Ibu Guru kan?

Apalagi yang harus aku ceritakan? Tentang hidup? Tentu kau sudah bosan mendengar cerita kehidupan. Kau tentu tahu aku sendiri masih tidak yakin bahwa yang kujalani sekarang ini adalah sesuatu yang dinamakan hidup. Terserah mereka mau re-shuffle kabinet, menggembosi KPK, atau mau bubarkan DPR sekalian, aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin semua itu menambah beban hidup kita yang memang semakin hari semakin bertambah. Sayangnya, malah tidak jadi lebih baik.
 
Anindaku sayang,

Bagaimana keadaanmu disana? Sudah tentu masih kau rasakan wangi tanah sisa hujan semalam. Musim penghujan mulai tiba, nyaris tanpa pesan. Apakah masih dia bawakan kenangan kita yang telah lama hilang? Barangkali, aku perlu tanya sendiri nanti kalau aku pulang ke kotamu. Aku selalu ingat betapa hujan selalu membawa lagu-lagu itu. Seakan jadi penanda atas jalinan hati kita. Mengalun pelan, membelai rambutmu, menapaki seluruh buluh rinduku.

Aninda, engkau tentu masih meneruskan kebiasaanmu mendengarkan radio kan? Engkau tentu masih setia untuk menunggu penyiar pujaan mulai mengudara dengan lembut suaranya. Engkau pun tentu masih setia menunggu barangkali saja aku mengirim salam lewat sebuah lagu padamu. Baru saja kubuat sebuah playlist berisi 10 lagu tentang kita. Sepuluh lagu yang selalu jadi penanda masa yang telah kita lewati bersama. Sepuluh lagu yang kususun dengan detak jantungmu yang menyatu dalam aliran darahku. Sepuluh lagu tentang kisah problematika dua manusia yang terentang jarak, ruang, dan waktu. Niscaya, engkau memintaku untuk bercerita kembali tentang kisah kita dalam lagu-lagu itu, aku tentu selalu sanggup memenuhinya. Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali memori. Memori dalam melodi.

 

Aninda tercinta,

Semuanya terjadi begitu saja. Tiba-tiba setelah daftar lagu itu selesai, aku merasa harus menulis sesuatu padamu. Pernahkah kau merasa rindu datang tiba-tiba? Saat lagu itu mengalun pelan. 

Back to you... I'm coming back to you *

Begitulah kira-kira Aninda. Aku akan selalu kembali padamu. Menempuh jarak rindu yang hanya sehempas sinar matahari senja. Menelusuri lubang waktu menuju keabadian kasihmu. Menambat harap pada ruang hatimu. Senja sudah lama berlalu. Malam masih terlalu pagi, masihkah kutemui bayangmu?

Peluk dan cium hangat,


Faithfully yours



Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 4 Oktober 2011.


* dari lirik lagu "Back to You" dinyanyikan oleh Bobby Caldwell.




LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...