Senin, 31 Oktober 2016

Episode Dibuang Sayang: Hari Untuk Niki


 
Courtesy: us.fotolia.com

Di pucuk pohon cemara, burung kutilang berbunyi
Bersiul-siul sepanjang hari, dengan tak jemu-jemu

Begitulah Nita mengiringi Niki menyanyi sepanjang jalan menuju ke sekolah. Hari ini, Niki akan memulai hari sekolah pertamanya. Niki sangat senang sekali. Itu bisa terlihat dari semangatnya untuk terus menyanyi bersama Nita. Niki boleh berbangga karena kedua orang tuanya, Aku dan Nita, ikut turut menemani hari pertamanya bersekolah. Aku dan Nita sengaja mengosongkan jadwal dan mengambil cuti untuk seminggu ini. Kami ingin melihat Niki melewati hari-hari pertamanya di sekolah.
Kemarin, Niki menghabiskan waktu seharian untuk membeli peralatan sekolah. Niki kelihatan tidak berselera untuk membeli mainan apapun. Niki memaksa aku dan Nita untuk menuruti keinginannya. Betapapun Nita telah mengingatkan Niki bahwa semua itu belum akan digunakan pada minggu pertama sekolah. Niki tetap pada pendiriannya. Ada pancaran semangat dari matanya. Kami pun mengalah.
Tidak berhenti sampai disitu, malamnya Niki bersemangat sekali untuk mempersiapkan peralatan sekolahnya. Buku tulis, pensil, kotak pensil, kotak makan, semuanya berwarna merah muda dan bercorak kartun kesayangan Niki, Hello Kitty. Niki seakan tidak sabar menunggu besok. Aku masih memperhatikan Niki menata semua alat sekolahnya itu dari ruang tengah. Begitu juga dengan Nita yang duduk menemani Niki dikamarnya.
Aku tahu Niki sebenarnya lebih menginginkan keakraban seperti biasanya. Aku, Niki, dan Nita jalan-jalan bersama. Sudah jadi kebiasaan kami seminggu sekali untuk mengajak Niki rekreasi ke luar rumah. Niki lebih membutuhkan waktu untuk bersama selalu dengan kedua orang tuanya. Aku dan Nita terus berusaha memenuhinya. Walau kenyataannya, aku sudah tidak bersama Niki dan Nita lagi. Aku dan Nita tidak ingin Niki kehilangan figur Papa dan Mama yang mampu jadi sosok teladan baginya.
Di dalam kamar,  Niki meminta Nita untuk menyanyi bersama. Rupanya, hadiah ulang tahun dariku tidak sia-sia. Niki menyenangi semua lagu yang ada di album kumpulan lagu anak itu. Aku juga senang melihatnya. Nita kelak tidak akan kerepotan mengajari Niki untuk menyanyikan lagu untuk anak-anak TK seusianya. Suatu hal yang sulit dilakukan karena saat ini anak-anak dengan mudahnya menyerap lagu-lagu yang tidak pantas dan sepatutnya mereka dengarkan. Aku dan Nita tidak akan pernah memaafkan diri kami sendiri bila hal ini sampai terjadi.
Niki masih menyanyi.
Kupandang langit penuh bintang bertaburan.
Berkelap-kelip seumpama bintang berlian.
Aku pergi keluar sebentar. Di meja teras, aku menemukan kertas-kertas berserakan penuh coretan tangan Niki. Aku perhatikan satu-satu. Lembar demi lembar. Aku tersenyum sendiri melihat coretan tangan Niki. Aku melihat Niki berusaha sangat keras untuk menuliskan kalimat yang dicontohkan Nita.
Niki naik sepeda.
Papa dan Mama naik mobil.
Niki sayang Mama dan Papa.
Ah, aku jadi merinding membayangkan bagaimana Nita mengajari Niki tulis menulis. Tidak hanya itu, aku pun hampir menangis mengingat Nita yang lebih dari sekedar sabar untuk mengajari Niki membaca alfabet dan angka.
Aku masuk lagi ke dalam rumah. Aku hendak menyalakan TV ketika aku mendengar Niki bertanya.
"Ma, Papa kapan nggak akan terbang lagi?"
"Lho kok Niki tanya gitu?"
"Habis Papa nggak pernah ada di rumah, Ma. Niki kan pengen sering jalan-jalan lagi sama Papa."
"Kan bisa sama Mama?"
"Iya, tapi Niki pengen sama Papa juga."
"Niki sayang, nanti kalo Papa lagi nggak terbang Papa pasti pulang."
Aku tahu saat seperti ini pasti amatlah sulit untuk  Nita hindari. Niki sudah sering bertanya seperti itu. Aku salut pada ketabahan Nita untuk menghadapi Niki dengan sejuta pertanyaan yang mungkin masih disimpannya. Aku tidak jadi menonton TV. Terlalu banyak hal yang berkecamuk di pikiranku.
*
Kami bertiga sudah sampai di sekolah. Niki sudah tidak sabar ingin segera turun dan masuk kelas. Nita dengan senang hati menuntun tangan Niki sambil terus mengembangkan senyumnya seperti saat mengajar di depan kelas. Menyapa dan mengobrol sebentar dengan orang tua murid lainnya yang juga datang untuk menyambut hari pertama anak-anak mereka bersekolah. Sementara, aku membawakan tas sekolah Hello Kitty warna merah muda kesayangan Niki. Aku segera menyusul dan berjalan di samping Niki.
Sekolah Niki tidak begitu jauh dari rumah Nita. Nita sengaja memilih sekolah TK yang dekat dengan rumahnya supaya tidak kerepotan mengurus Niki. Apalagi, sekolah tempat Nita mengajar juga tidak jauh dari sana. Pagi-pagi Nita akan mengantar Niki sebelum masuk kerja dan saat makan siang Nita juga yang akan menjemput Niki. Pengalaman Nita sebagai guru di sekolah internasional juga ikut menentukan pemilihan sekolah untuk Niki. Aku tidak bisa memberikan pendapat apa-apa selama itu merupakan keputusan yang terbaik untuk Niki. Aku hanya bisa mengiyakan saja keputusan Nita itu.
Aku sudah berdiri di depan kelas Niki. Aku dapat merasakan nuansa ceria dan keriangan dalam ruang kelas ini. Suasana kelas juga memberikan kesan yang nyaman untuk murid-murid didalamnya. Gambar-gambar dengan warna-warna ceria yang menempel di dinding, deretan rak buku di sudut ruangan, belum lagi karpet warna-warni dan segala macam boneka ikut memeriahkan suasana kelas. Aku yakin Niki pasti betah dan kerasan untuk belajar disini.
Aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada hari-hari selanjutnya. Setiap pagi, Nita akan selalu menyempatkan diri untuk mengantar Niki sampai depan pintu kelasnya. Nita akan menggiring tas koper Hello Kitty warna merah muda kesayangan Niki sambil tetap menggenggam tangan Niki. Nita pun akan selalu memasang raut muka penuh senyum seperti ia selalu tampil di depan kelas. Di muka kelas, Ibu Guru Tati akan segera menyambut mereka. Persis seperti apa yang terjadi saat ini.
“Selamat pagi, Niki.” Sapa Ibu Guru Tati.
“Selamat pagi, Ibu Guru.” Tukas Niki.
“Ayo, pamit dulu sama Papa Mama.” Ajak Ibu Guru Tati.
“Papa, Mama, Niki mau sekolah dulu ya.” Ucap Niki seraya mengulurkan tangan.
Aku melihat Nita tersenyum, mengulurkan tangannya yang kemudian diciumi oleh Niki, lalu Nita mengecup kening Niki. Niki pun menghampiriku dan melakukan hal yang sama. Aku balas memeluk Niki. Sebuah perasaan yang telah lama hilang menyeruak kembali.
“Papa, Mama, nanti jemput Niki, kan?” tanya Niki sebelum masuk kelas.
“Ya, sayang. Mama sama Papa nanti jemput Niki. Sekarang, Niki belajar dulu sama Ibu Guru ya.” Ucap Nita sambil mengusap rambut Niki.
Hari pertama menjemput Niki, aku bisa melihat rona bahagia pada senyum Niki. Niki tak henti-hentinya bercerita pada Ibunya tentang pelajaran yang baru saja didapatnya. Niki juga bercerita tentang teman-teman barunya. Seperti tadi pagi, Niki mengajak Nita untuk menyanyi lagi, kali ini dengan manja. Aku tertawa dalam hati melihat kelakuan Niki. Niki seperti tidak kehabisan energi. Aku mencuri pandang ke jok belakang, Nita terlihat sangat senang sekali. Bisa jadi saat seperti itu adalah satu dari sekian banyak momen terindah bagi Nita.
Niki tidak tahu apa-apa tentang perpisahan orang tuanya. Niki hanya tahu kalau Papanya seorang penerbang dengan jadwal yang tidak tentu dan hanya menemuinya saat sedang libur terbang. Niki tidak pernah protes, hanya saja aku yang memang tidak tega untuk melihatnya seperti itu. Tentunya, Niki ingin seperti  anak-anak lainnya. Punya kehidupan normal dengan orang tua mereka. Bersenda gurau setiap hari dengan orang tua mereka, jalan-jalan ke Mall untuk makan es krim, bahkan hanya untuk sekedar bermain di taman sekitar komplek perumahan.
Aku mencoba untuk tetap menjadi figur Papa yang baik di depan Niki. Bagaimanapun, perpisahan antara Aku dan Nita kemarin itu bukan sesuatu kita inginkan. Terlebih lagi, masih ada si kecil Niki. Tetapi, kita tidak bisa meminta takdir seperti meminta segelas bir. Kenyataan mengharuskan demikian.
Niki selalu bangga terhadap Papanya. Suatu hari, ia pernah buktikan itu dihadapan teman-temannya. Obrolan anak kecil selalu menarik untuk disimak apalagi ketika mereka saling meyebutkan pekerjaan orang tuanya. Mirip seperti dalam iklan televisi. Kebetulan waktu itu, aku menjemput Niki dan secara tak sengaja mengetahui hal itu ketika anak-anak asuhan Ibu Guru Tati itu sedang menunggu dijemput orang tuanya masing-masing. Saat seperti itulah yang membuatku selalu ingin cepat selesai bertugas dan kembali bertemu dengan Niki.
Suatu kali, Niki pernah bertanya sendiri kepadaku kapan aku akan berhenti menerbangkan pesawat. Aku sendiri tidak tahu jawabannya. Aku hanya membalas pertanyaan Niki dengan senyum. Aku ciumi keningnya. Suatu saat, Niki akan tahu alasan kenapa aku melakukan semua itu.
Kadang-kadang, Niki memintaku untuk membawanya ke Bandara. Niki selalu ingin ikut terbang. Salahku sendiri yang memang belum pernah membawanya tamasya bersama naik pesawat terbang. Niki selalu bilang bahwa ia juga ingin jadi seorang pilot. “Niki pengen bisa terbang kaya Papa..” begitu katanya. Nita tidak pernah melarang ataupun meralat pernyataan Niki. Nita seakan paham bahwa Niki hanyalah seorang anak kecil yang baru mampu berfantasi tentang masa depan. Nita tidak merasa harus mengontrol masa depan Niki sejak dini.
Seminggu telah berlalu sejak hari sekolah Niki yang pertama. Aku dan Nita akan kembali pada kesibukan masing-masing. Urusan antar jemput Niki sudah jelas menjadi kewajiban Nita. Aku hanya akan menemui Niki setiap tengah minggu dan akhir pekan. Seminggu pertama ini adalah hari-hari yang membuatku sadar akan pentingnya sebuah kebersamaan dalam keluarga. Dengan perkembangan Niki yang sudah sampai pada tahap ini rasanya aku ingin selalu menemaninya. Bersama mengiringi setiap langkah bersamanya. Melihat Niki tumbuh besar tanpa kekurangan suatu apapun. Aku ingin Niki merasakan arti sebuah keluarga sejak kecil.
Cuaca pagi ini terasa begitu hangat dan cerah. Angin berhembus pelan. Matahari mulai keluar dari persembunyannya di ujung sebelah timur mata angin. Niki masih tidur ketika aku datang. Nita sedang menyiapkan seragam sekolah dan bekal makanan Niki. Aku meletakkan buku kumpulan dongeng itu dalam genggaman Niki. Nanti malam, usai bertugas aku akan membacakan dongeng-dongeng didalamnya hingga Niki lelap tertidur dipelukanku.
*
Tower, this is Selendang Air Flight ALH779, heading northwest, reporting emergency situation, one engine inoperative due to flame out, request clearance for emergency landing.
Aku masih membaca emergency procedures di FCOM usai mengontak ATC. Pesawat yang aku terbangkan mengalami masalah kebakaran mesin. Aku mengambil mikrofon dan mengumumkan situasi darurat pada penumpang. Aku akan segera mendaratkan pesawat ini. Kabut menutupi pandanganku. Aku melihat bayangan Niki yang semakin samar dan pudar. Aku tidak melihat apa-apa lagi. Aku hanya melihat titik-titik berwarna putih. Perlahan semakin banyak dan menutupiku.

Jakarta, 10 Mei 2012.
Dibuat untuk kompilasi cerita pendek untuk menyambut Hari Anak Nasional Tahun 2012.


Episode Dibuang Sayang: Twitterature

Courtesy: www.twitter.com

Konektivitas Digital

Dalam lima tahun belakangan ini, bermunculan macam-macam media jejaring sosial. Perkembangannya yang pesat turut membuka akses yang lebih mudah untuk menggunakannya. Hal ini memberikan cara baru kepada kita untuk berinteraksi dengan sesama tanpa terbatasi oleh ruang dan waktu. Media jejaring sosial bekerja sesuai prinsip-prinsip dasar Web 2.0 yang berbasis pada user-centric communication dan user-generated content. Sehingga, isi pesan yang dikomunikasikan bukan lagi mass produced messages yang dibuat oleh media massa secara umum melainkan melalui interaksi dan kolaborasi user (pengguna) di dalam media tersebut. 

Pengaruh media jejaring sosial telah mengubah cara kita dalam berinteraksi dengan sesama, bagaimana kita mendapatkan informasi, dan juga turut mempengaruhi dinamika kelompok sosial dan hubungan pertemanan kita. Kini, banyak pengguna internet yang memanfaatkannya sebagai alat sosialisasi.

Media jejaring sosial juga mempengaruhi kita dalam mendapatkan informasi dan berita. Diversi komunikasi dalam media jejaring sosial melalui portal berita berbeda. Dewasa ini, sangat mudah untuk jadi bagian dari suatu media jejaring sosial. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan informasi. Tidak ada batasan tentang apa yang bisa kita peroleh. Kedengarannya seperti hal yang bagus sekarang ini, tapi ini menunjukkan bahwa kebanyakan orang tidak bisa hidup dan menghindar dari media tersebut.

Media jejaring sosial menyediakan perangkat yang bisa digunakan untuk berkomunikasi, saling berbagi dan bertukar informasi, dan menciptakan hubungan-hubungan baru baik dalam kehidupan personal maupun profesional. Dengan popularitas media jejaring sosial yang semakin meningkat dan kemajuan yang pesat dalam perkembangan teknologi komunikasi turut mempengaruhi cara kita dalam berinteraksi sosial.

Kemajuan yang pesat juga dialami oleh industri telekomunikasi. Kemajuan tersebut membawa pengaruh yang sangat besar, yaitu dengan terbukanya akses kepada masyarakat untuk lebih dapat menikmati fasilitas teknologi komunikasi. Kemudahan akses juga menyebabkan perubahan yang signifikan dalam pemanfaatan teknologi komunikasi. Walaupun internet mampu menghubungkan jutaan manusia dan telah mengubah metode percakapan tradisional yang sudah sering kita lakukan, melalui tatap muka langsung misalnya. Perubahan dalam interaksi sosial ini tidak selalu positif atau negatif. Perubahan ini mengembangkan beberapa medium berbeda yang memungkinkan kita untuk berkomunikasi dan selama kita masih bisa bertatap muka langsung dalam kehidupan sosial kita sehari-hari, kita bisa mendapatkan keseimbangan diantara keduanya.

Sebagai bagian dari Web 2.0, media jejaring sosial berpengaruh terhadap cara kita berinteraksi dengan sesama melalui perubahan dalam dinamika kelompok sosial dan pertemanan. Media jejaring sosial turut menyumbang devaluasi dalam nilai pertemanan. Nilai-nilai hubungan tradisional yang berkaitan dengan kepercayaan dan dukungan. Media jejaring sosial menciptakan model baru dalam interaksi sosial dan pertemanan. Seiring dengan pertumbuhan lingkar sosial masyarakat, hubungan pertemanan digital tidak sekuat ikatan pertemanan tradisional di dunia nyata. Walaupun mampu membedakan dinamika pertemanan yang demikian itu, media jejaring sosial membantu kita menciptakan hubungan pertemanan yang baru dan menambah interaksi sosial.

Banyak efek yang ditimbulkan oleh media jejaring sosial baik positif maupun negatif. Tidak ada tuntutan untuk fokus terhadap efek negatif maupun efek positif media jejaring sosial. Hal itu bergantung kepada penggunaan media jejaring sosial itu sendiri, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sekitar, dan keduanya tentu saja berbeda untuk masing-masing orang.

Twitter dan Sastra

Twitter memungkinkan penulis untuk menjelajah ruang yang lebih luas dalam imajinasi pembacanya. Twitter mampu menghadirkan tokoh-tokoh rekaan penulis menjadi entitas yang hidup. Twitter menghidupkan kembali tokoh-tokoh fiktif ciptaan penulis untuk kemudian menjadi anasir yang nyata. Tokoh-tokoh yang semula hanya mampu diimajinasikan pembaca melalui teks bacaan kini menjadi realitas yang memiliki wujud dan entitasnya sendiri. Demikian adanya sehingga tidak terlalu salah untuk mengambil kesimpulan dan menyebutnya sebagai “Twitterature”. Gabungan dari kata “Twitter” dan “literature” yang membentuk makna sebagai sebuah “New Creative Outlet”.

Twitterature adalah istilah yang pertama kali dipopulerkan lewat majalah TIME (http://content.time.com/time/magazine/article/0,9171,1993863,00.html). Dalam artikel di halaman web Majalah TIME, twitterature diartikan bebas sebagai satu usaha untuk menghidupkan kembali penulis, tokoh-tokoh rekaan ciptaan penulis, hingga isi dari karya mereka, ke dalam suatu bentuk realitas. Kenyataan tersebut mendorong munculnya penggunaan istilah ini untuk merujuk pada suatu karya sastra yang dimunculkan kembali melalui Twitter dan merujuk pada karya aslinya. Sejarah sastra adalah juga tentang penggunaan media itu sendiri. Sejak ditemukannya papirus hingga media sosial berbasis teknologi web seperti dewasa ini.

Sangat memungkinkan untuk menghidupkan kembali karya-karya penulis-penulis terkenal seperti Pablo Neruda, Ernest Hemingway, maupun Shakespeare. Proses menghidupkan kembali yang dilakukan oleh sekelompok orang melalui akun Twitter dengan nama para penulis itu. Karya-karya mereka kemudian direproduksi kembali menjadi twit yang hanya 140 karakter itu. Hal yang tentu menimbulkan beragam reaksi dari pembacanya. Sebagai pembaca sastra, Twitterature tentu sangat membantu mereka untuk mengobati kerinduan atas karya-karya penulis hebat itu.

Di Indonesia sendiri, dalam pengamatan yang masih terbatas, sudah terbit beberapa buku yang mencirikan hal tersebut (Twitterature). Awalnya, Kicau kacau penulis galau si Indra Herlambang, kumpulan @sajak_cinta, twittit Djenar Mahesa Ayu, and now Twivortiare. Realitas fiksi semakin diuji ketika tokoh2 fiktif itu dihidupkan. AFAIK, @alexandrarheaw did it well. Menghidupkan tokoh fiksi dari Twivortiare sehingga menarik pengalaman pembaca untuk benar-benar terlibat dalam dunia fiksi yang dibangun oleh frame set and field of experience dari Divortiare-Twivortiare. Ini menandakan babak baru dalam kehidupan sastra Indonesia. 

Konektivitas digital telah mengubah cara kita dalam berkomunikasi. Komunikasi yang sederhana kini menjadi lebih kompleks dengan hadirnya media jejaring sosial. Media yang tumbuh pesat karena pada dasarnya mengakomodir kebutuhan dasar manusia yang berhubungan ego, emosi, dan eksistensi. Pemenuhan kebutuhan akan afeksi, rekognisi, dan apresiasi turut menjadikan media jejaring sosial sebagai suatu fenomena. Terutama bila dihubungkan dengan dampak yang ditimbulkannya. Sudah banyak kita saksikan Revolusi Sosial yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah. Hal itu menunjukkan efektivitas dari media tersebut.

Komunikasi yang sejatinya adalah proses personal. Suatu proses penyampaian pesan dari individu kepada individu lainnya melalui suatu medium kini kembali menjadi lebih personal. Media sosial seperti Facebook dan Twitter adalah contohnya. Lewat medium tersebut, setiap individu bebas berkomunikasi dan berinteraksi dengan siapa saja, dengan yang dikenal ataupun tidak dikenal sekalipun. Seperti apa yang dikonsepkan dalam Web 2.0.

Belum lagi kehadiran media sosial yang lebih spesifik terhadap satu topik tertentu. LinkedIn misalnya, yang menghubungkan individu dengan individu lainnya berdasarkan aktivitas profesional mereka. Lihat juga, Goodreads dan Flixster. Goodreads adalah semacam 'surga' kecil bagi pecinta dan penikmat buku. Mereka bisa berjejaring dengan dunia perbukuan melalui apa yang mereka baca. Sedangkan Flixster bekerja hampir mirip dengan Goodreads. Hanya saja, Flixster menggunakan film sebagai objeknya.

Kehadiran media sosial membawa kita pada konektivitas global. Dimana ruang dan waktu tidak lagi menjadi hambatan untuk saling berinteraksi. Jarak hanyalah tinggal hitungan angka-angka belaka. Ketika mulai tergantikan oleh media-media komunikasi alternatif.

Kehadiran media sosial tidak hanya berdampak pada perubahan cara berkomunikasi. Perubahan juga nampak pada dunia sastra. Interaksi antara penulis, pembaca, dan penerbit menjadi lebih personal. Media sosial menjadi sarana dokumentasi yang efektif bagi para penulis untuk menyalurkan idenya. Dengan kemampuannya yang demikian itu, media sosial dengan segala kompleksitasnya menjelma menjadi mesin rekam berkemampuan super. Proses termu balik yang terjadi melalui sosial media membuat siapapun tidak akan pernah kehilangan jejaknya di dunia maya.

Twitter telah menjelma menjadi alat komunikasi yang efektif. The communication is getting personal (again). Twitter juga telah bertransformasi menjadi sarana dokumentasi yang efektif. Fenomena ini bukan isapan jempol belaka. Bahkan, fenomena ini akan bertahan setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Tidak heran apabila Twitter adalah tren yang happening saat ini. Semua orang ingin tahu. Semua orang ingin menggunakannya. Semua orang ingin eksistensinya diakui.

Twitter juga seakan menghidupkan tokoh-tokoh dalam karya fiksi. Contoh: @alexandrarheaw, @harrisrisjad, @lupustwit @luluadiklupus. Twitter menambah semarak khazanah jagad sastra Indonesia. Twitter menjadikan batas antara fiksi dan fakta sedikit membias. Ketika fiksi dihadirkan dalam bentuk virtual yang menyerupai kenyataan. Personifikasi fiksi dalam realita membentuk wujudnya sendiri. Twitter membuat para tokoh fiktif itu seakan hidup. Mereka hidup tanpa kehilangan sedikitpun karakter dari cerita fiksi itu sendiri.  Mereka benar-benar ada. Mereka akan tetap hidup dan terus tumbuh layaknya makhluk non-fiktif. 

Sastra sendiri, dimana lebih banyak hidup dalam pikiran pembacanya menyediakan ruang untuk itu. Ruang imajinasi seluas-luasnya untuk menjelajahi petualangan alam pikiran. Sastra tidak menutup kemungkinan bagi pembacanya untuk mengalami sendiri pengalaman menikmati fiksi dalam realita. Apakah sama bedanya antara fiksi yang dihidupkan dalam kenyataan? 

Gairah dalam penciptaan karya sastra membutuhkan media dokumentasi yang baik, aksesibel, dan efisien. Utamanya, bukan karena masalah karya itu sendiri melainkan alasan dokumentasi. Dokumentasi yang menjadikan sebuah karya itu ada dan bisa diapresiasi khalayak. Dokumentasi pikiran, itulah alasan utama. Sekali lagi, karena sastra hidup dalam pikiran dan juga dihasilkan dari pikiran penulisnya.

Sebagai contoh, karakterisasi Beno dan Alexandra dalam Twivortiare. Twivortiare sendiri merupakan sekuel dari Divortiare. Penggemar karya-karya Ika Natassa tentu akan mampu untuk meresapi perbedaan diantara keduanya. Istilah “Twitterature” pun pertama kali saya dapat dari bagian pembuka Twivortiare.

Karakterisasi yang dimaksud adalah bagaimana tokoh Alexandra dan Beno yang secara faktual telah hidup melalui teks (Divortiare) bertransformasi dalam personifikasi user di Twitter. Alexandra menjelma menjadi karakter yang ‘hidup’ dan seakan berada dalam lingkungan kenyataan sehari-hari. Personifikasi karakter ini membuat imajinasi pembaca semakin diasah. Pembaca pun dibuat penasaran dengan kisah-kisah selanjutnya karena Alexandra akan tetap hidup dengan twit-twit yang dibuatnya. Hal ini menjadikan tidak lantas menjadikan ending dari cerita dalam teks (buku Twivortiare) menjadi stagnan. Justru, dengan personifikasi seperti ini penulis mempunyai ruang gerak dinamis untuk eksplorasi tokoh-tokohnya.

Contoh lainnya adalah Lupus. Siapa yang tidak kenal dengan tokoh anak muda yang satu ini. Pemilik rambut jambul kakaktua yang jago ngocol itu. Dalam konteks kekinian, serial Lupus yang hadir kembali di Tabloid Gaul, menyapa kembali pembacanya di Twitter. Siapa yang tidak kangen dengan Anto, Gusur, Boim, dan Fifi Alone. Pembaca setia Lupus pasti sangat merindukan kehadiran mereka. Kini, mereka dapat berinteraksi langsung dengan pembacanya. Interaksi yang berlangsung dalam siklus tersebut membuat tokoh-tokoh rekaan itu menjadi hidup dan seakan-akan memang ada. 

Impact lainnya terhadap sastra adalah pengembangan dari dokumentasi karya sastra itu sendiri. Sebagai contoh, Twittit dari Djenar Maesa Ayu. Kumpulan cerpen terbaru yang dikembangkan dari twit-twit sang penulis. Mirip dengan buku kumpulan cerpen 25 Tahun Kahitna. Bedanya, Kahitna menjadikan judul-judul lagu mereka sebagai judul cerpen untuk kemudian dikembangkan oleh penulis-penulis sahabat Kahitna. Sedangkan, Djenar merekonstruksi twit  yang pernah ditulisnya ke dalam suatu bentuk cerpen yang utuh.

Dari beberapa contoh diatas, tidaklah terlalu salah untuk menarik kesimpulan bahwa sastra Indonesia telah mengalami suatu proses dinamika dalam dialektika dengan pembacanya. Kini, suatu karya sastra tidak hanya bersumber pada catatan teks yang tertulis saja (baca: tercetak). Kehadiran media sosial telah mengembangkan sastra itu sendiri. Sehingga, penulis mempunyai ruang jelajah imajinasi serta dokumentasi yang lebih tersusun rapi, dan sangat mudah untuk melakukan penelusuran kembali (retrieval) atas jejak rekam karyanya.

Dengan demikian, kita masih akan berhadapan dengan wacana ini setidaknya dalam lima tahun ke depan. Komunikasi akan berlangsung semakin intens antara pembaca dan penulis. Karya-karya sastra baru akan bermunculan karena kemudahan akses penulis terhadap dokumentasi karyanya di media sosial. Bahkan sangat tidak mungkin suatu saat nanti media sosial itu bertransformasi menjadi karya sastra itu sendiri.

April 2012
Esai ini dibuat untuk sebuah kompilasi, terbit atau tidak penulis sudah lupa

Para Priyayi

Courtesy: www.goodreads.com

Catatan Pembuka

Another monumental works from Umar Kayam. Saya harus akui bahwa buku ini punya daya jangkau yang luas dan lintas generasi.

Sudah lama sekali saya mengidamkan buku ini. Terlebih setelah berhasil mendapatkan "Mangan Ora Mangan Kumpul". "Para Priyayi" selalu menggelitik rasa penasaran saya. Tentang bagaimana status priyayi itu berkembang menjadi sebuah identitas yang memiliki tingkatan tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Setidaknya, saya membutuhkan gambaran tentang hal itu, dimana priyayi telah menjadi semacam gengsi kelas dalam tatanan hidup bermasyarakat.

Saya belum sampai pada halaman setengah buku ini. Namun, sudah cukup memiliki gambaran bagaimana priyayi itu "dilestarikan". Saya juga belum sampai pada jawaban, apakah yang dimaksud dengan priyayi itu sendiri? Apakah sebuah status kelas dalam masyarakat? Apakah hanya sekedar istilah dan sebutan bagi para kaum elite birokrasi? Lantas apa bedanya dengan birokrat? Apakah priyayi ini jalan hidup atau hanya sebuah gaya hidup belaka?

Apapun itu jawabannya, saya masih harus menamatkan buku ini terlebih dahulu. Sebagai kewajiban untuk memahami secara utuh seorang priyayi menurut penuturan Umar Kayam.

Para Priyayi

Membaca beberapa halaman pembukaan buku ini sama rasanya dengan membaca karya-karya Ahmad Tohari. Perasaan khas pedesaan yang timbul turut menjadi satu nuansa yang tidak terlupakan. Tidak hanya itu saja. Para penulis seperti mereka pandai mengolah rasa dalam tulisannya sehingga gairah pedesaan itu begitu hidup dan remarkable. Mereka menjadikan desa menjadi sebesar dunia-dengan segala permasalahannya.

Saya lebih senang menandai "Para Priyayi" ini sebagai sebuah roman, bukan novel. Umar Kayam berhasil meletakkan segala macam permasalahan priyayi, sejak awal mula trah keluarga dibangun hingga perjalanan melintas masa. Dengan berbagai sudut pandang yang dinamis, "Para Priyayi" tidak memandang priyayi sebagai satu hal yang statis. Ia menjelma bukan hanya sebagai kata benda, tetapi juga menjadi sebuah kata kerja.

Kehidupan Ndoro Seten diceritakan begitu gamblang; lengkap dengan segala permasalahan kehidupan sehari-hari. Ketiga anaknya berhasil menjadi priyayi seperti yang didambakannya. Sebuah penghargaan dan status sosial yang punya tempat tersendiri di lingkup sosiologis masyarakat pedesaan.

Konflik mulai meninggi ketika keturunan para priyayi ini berkembang sesuai zamannya. Bahkan hingga ada yang tersangkut kasus G30S/PKI. Cara Umar Kayam mengakhiri kemelut-kemelut ini terkesan tidak tergesa-gesa, melainkan berhasil memunculkan solusi dalam konteks kepriyayian. Pun, dengan demikian kepriyayian yang sedari awal sudah dibangun tidak lantas hilang begitu saja diretas zaman. Just like any romantic roman, the stories ends with happy ending.

Memang dibutuhkan stamina membaca yang tinggi untuk menyelesaikan roman ini. Namun, itu semua akan terbayar dengan permainan alur cerita dan konflik yang apik. Umar Kayam memadukan filosofi Jawa dan kepriyayian sesuai dengan zamannya. Nilai-nilai yang tidak lekang dimakan usia adalah satu nilai tambah untuk karya-karya semacam ini. 

Judul       : Para Priyayi
Penulis    : Umar Kayam
Penerbit   : Pustaka Utama Grafiti
Tahun      : 2008
Tebal       : 337 hal.
Genre      : Roman Klasik-Sastra Indonesia 
 

Medan Merdeka Barat-Cipayung, 30 Oktober 2016.

Jumat, 28 Oktober 2016

Mati Ketawa ala Refotnasi

Tiap hari saya bertemu dengan ribuan rakyat di berbagai daerah dan pulau. Hampir semua bertanya, “Kok, partai politik kita sekarang begitu banyak? Ini demokrasi ataukah perpecahan ataukah ketidakdewasaan? Kami harus memilih yang mana?”

Courtesy: www.goodreads.com




Catatan pembukaan untuk buku ini telah ditulis pada 30 Juli 2016 yang lalu. Disini, masih dalam blog ini. Bahwa kemudian baru tiga bulan kemudian buku ini ditamatkan, penulis mohon maaf. Sesungguhnya, dalam usaha menamatkan buku ini hanya diperlukan waktu. Cukup hanya waktu saja. Mengapa? Karena kita butuh waktu untuk memahami apa yang terjadi pada Indonesia, seperti yang Emha tulis. Pun, ketika kita akhirnya harus menyediakan waktu untuk berpikir, apakah jalan yang ditempuh bangsa ini pasca kejatuhan Pak Harto dan mulainya reformasi sudah berada pada jalan yang lurus, shirottol mustaqiim?


Buku ini cukup ringan walaupun muatannya terkesan "berat". Apalagi menyangkut segala hal tentang periode reformasi yang sungguh cukup "menyiksa" kenangan lahir dan batin kita sebagai bangsa Indonesia. Emha agaknya sengaja ingin berpesan bahwa apapun kondisinya kita tetap harus bisa melihat jernih. Misalnya, tentang apa di balik siapa, atau malah siapa di balik apa. Celakanya, segala pemberitaan media massa justru malah memperkeruh situasi lahir dan batin bangsa Indonesia sehingga tidak lagi bisa berpikir jernih. Lha wong arsitek jaman Orde Baru itu sama dengan arsitek Orde Reformasi. Tetapi adakah yang menggugat? Itu baru penggalan satu contoh kecil saja.

Saya tidak menyangka bahwa buku ini memuat satu frame dari sekian timeline kisah hidup Emha. Satu bagian yang paling humanis, ketika putri Emha meninggal dalam kandungan karena terlilit tali pusar. Saya membaca sebuah kisah penuh ketegaran dan keikhlasan karena bahwasanya si anak putri ini sudah menanti ibu dan bapakna di Surga kelak, InsyaAllah.

Selanjutnya, saya menemukan kembali satu titik konsistensi seorang Muhammad Ainun Nadjib. Pada bagian-bagian akhir, Emha menjawab berbagai pertanyaan yang dituduhkan kepadanya. Emha dengan tegas dan lugas memberikan gugatannya. Kenapa kalau Emha shalawatan kok banyak yang bilang menggalang massa, sedangkan MTV (Music Television) dibiarkan merajalela merusak mental anak bangsa? Bila memang anda rajin membaca buku-buku Cak Nun belakangan ini, saya yakin anda akan menemukan hal yang serupa. Konsistensi yang istiqomah.

After all, bila anda adalah generasi kekinian yang hanya mengerti sepenggal-sepenggal mengenai sejumlah hal, patut rasanya mendekonstruksi kembali alam pikiran anda. Buku ini bisa jadi pengantar yang baik ke arah sana. Minimal, mereformasi diri sendiri dengan pelajaran dari sebuah negeri yang kerepotan cari nasi. Ah, refotnasi.

Judul       : Mati Ketawa ala Refotnasi
Penulis    : Emha Ainun Nadjib
Penerbit   : Bentang Pustaka
Tahun      : 2016
Tebal       : 200 hal.
Genre      : Sosial-Budaya


Medan Merdeka Barat, 28 Oktober 2016.

 

Holding Back The Years (not the tears)

According to Youtube, "Holding Back the Years" is the 7th track on Simply Red's debut studio album Picture Book. The song was a huge success for the group and quickly rose to the top of charts across the world.


The single is one of two Simply Red songs (the other being their cover of "If You Don't Know Me by Now") to reach number one on the Billboard Hot 100, for the week ending July 12, 1986. It also reached #2 in the UK and was a worldwide hit. It had initially been released in the UK the year before, but only reached #51.

This single catched my ears two or three months before they arrive to Jakarta, for the concert. After quite some times, i found this single is really interesting. I don't know, or it's just a feeling. It's a throwback. Yes, to a memory that i can't speak of.


Medan Merdeka Barat, 28 Oktober 2016.

Selasa, 18 Oktober 2016

Wisanggeni Gugat: Sebuah Catatan untuk Wisanggeni Sang Buronan

Courtesy: www.goodreads.com

Wisanggeni Sang Buronan adalah satu dari sekian buku Seno Gumira AJidarma yang sangat saya nantikan untuk dicetak kembali. Saya bersyukur karena semester II 2016 ini Wisanggeni kembali hadir mengisi khazanah ruang sastra Indonesia. Sekaligus menambahi isi rak buku saya.

Entah mengapa, sejak mulai pembacaan pada halaman pembuka, saya tidak merasa cerita Wisanggeni Gugat ini sebagai sebuah cerita. Walaupun buku ini sejatinya memang hadir rentetan cerita bersambung, dikumpulkan, dan diberi ilustrasi oleh Haji Danarto. Iya, betul. Danarto tukang lukis itu yang juga turut membuat sampul buku "Kitab Omong Kosong".

Wisanggeni, Sang Buronan para Dewa ini menjadi tokoh antagonis yang harus ditiadakan demi satu tatanan takdir yang telah ditentukan. Eksistensi Wisanggeni hingga melahirkan lakon Sang Buronan ini telah merongrong kemapanan jalan sejarah. Namun, pertanyaannya kembali bergeser, bila memang hanya untuk memenuhi kemapanan takdir sejarah dunia, bukankah kelahiran Wisanggeni sendiri sudah merupakan takdir? Bila memang Wisanggeni adalah anak haram sejarah, mengapa lantas ia memiliki jalan takdirnya sendiri?

Betul ceritanya seperti cerita silat, bagaikan membaca kembali Kitab Nagabumi I dan II. Tetapi, yang lebih penting adalah muatan filosofis dibalik cerita sang anak Arjuna yang dibesarkan Antaboga ini. SGA berhasil memotret kisah Wisanggeni ini sebagai perumpamaan bagi sebagian kecil peristiwa sejarah yang pernah dijalani negeri ini. Betapa keberadaan suatu entitas bisa jadi merupakan ancaman besar bagi sebuah kemapanan-politik, kekuasaan, sejarah, atau budaya- walaupun entitas itu tadi punya jalan takdirnya sendiri.

Judul            : Wisanggeni Sang Buronan
Penulis         : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit       : Laksana
Tahun           : 2016
Tebal            : 108 hal.
Genre           : Cerita Pendek-Sastra Indonesia


Medan Merdeka Barat, 18 Oktober 2016.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...