Senin, 31 Oktober 2016

Episode Dibuang Sayang: Hari Untuk Niki


 
Courtesy: us.fotolia.com

Di pucuk pohon cemara, burung kutilang berbunyi
Bersiul-siul sepanjang hari, dengan tak jemu-jemu

Begitulah Nita mengiringi Niki menyanyi sepanjang jalan menuju ke sekolah. Hari ini, Niki akan memulai hari sekolah pertamanya. Niki sangat senang sekali. Itu bisa terlihat dari semangatnya untuk terus menyanyi bersama Nita. Niki boleh berbangga karena kedua orang tuanya, Aku dan Nita, ikut turut menemani hari pertamanya bersekolah. Aku dan Nita sengaja mengosongkan jadwal dan mengambil cuti untuk seminggu ini. Kami ingin melihat Niki melewati hari-hari pertamanya di sekolah.
Kemarin, Niki menghabiskan waktu seharian untuk membeli peralatan sekolah. Niki kelihatan tidak berselera untuk membeli mainan apapun. Niki memaksa aku dan Nita untuk menuruti keinginannya. Betapapun Nita telah mengingatkan Niki bahwa semua itu belum akan digunakan pada minggu pertama sekolah. Niki tetap pada pendiriannya. Ada pancaran semangat dari matanya. Kami pun mengalah.
Tidak berhenti sampai disitu, malamnya Niki bersemangat sekali untuk mempersiapkan peralatan sekolahnya. Buku tulis, pensil, kotak pensil, kotak makan, semuanya berwarna merah muda dan bercorak kartun kesayangan Niki, Hello Kitty. Niki seakan tidak sabar menunggu besok. Aku masih memperhatikan Niki menata semua alat sekolahnya itu dari ruang tengah. Begitu juga dengan Nita yang duduk menemani Niki dikamarnya.
Aku tahu Niki sebenarnya lebih menginginkan keakraban seperti biasanya. Aku, Niki, dan Nita jalan-jalan bersama. Sudah jadi kebiasaan kami seminggu sekali untuk mengajak Niki rekreasi ke luar rumah. Niki lebih membutuhkan waktu untuk bersama selalu dengan kedua orang tuanya. Aku dan Nita terus berusaha memenuhinya. Walau kenyataannya, aku sudah tidak bersama Niki dan Nita lagi. Aku dan Nita tidak ingin Niki kehilangan figur Papa dan Mama yang mampu jadi sosok teladan baginya.
Di dalam kamar,  Niki meminta Nita untuk menyanyi bersama. Rupanya, hadiah ulang tahun dariku tidak sia-sia. Niki menyenangi semua lagu yang ada di album kumpulan lagu anak itu. Aku juga senang melihatnya. Nita kelak tidak akan kerepotan mengajari Niki untuk menyanyikan lagu untuk anak-anak TK seusianya. Suatu hal yang sulit dilakukan karena saat ini anak-anak dengan mudahnya menyerap lagu-lagu yang tidak pantas dan sepatutnya mereka dengarkan. Aku dan Nita tidak akan pernah memaafkan diri kami sendiri bila hal ini sampai terjadi.
Niki masih menyanyi.
Kupandang langit penuh bintang bertaburan.
Berkelap-kelip seumpama bintang berlian.
Aku pergi keluar sebentar. Di meja teras, aku menemukan kertas-kertas berserakan penuh coretan tangan Niki. Aku perhatikan satu-satu. Lembar demi lembar. Aku tersenyum sendiri melihat coretan tangan Niki. Aku melihat Niki berusaha sangat keras untuk menuliskan kalimat yang dicontohkan Nita.
Niki naik sepeda.
Papa dan Mama naik mobil.
Niki sayang Mama dan Papa.
Ah, aku jadi merinding membayangkan bagaimana Nita mengajari Niki tulis menulis. Tidak hanya itu, aku pun hampir menangis mengingat Nita yang lebih dari sekedar sabar untuk mengajari Niki membaca alfabet dan angka.
Aku masuk lagi ke dalam rumah. Aku hendak menyalakan TV ketika aku mendengar Niki bertanya.
"Ma, Papa kapan nggak akan terbang lagi?"
"Lho kok Niki tanya gitu?"
"Habis Papa nggak pernah ada di rumah, Ma. Niki kan pengen sering jalan-jalan lagi sama Papa."
"Kan bisa sama Mama?"
"Iya, tapi Niki pengen sama Papa juga."
"Niki sayang, nanti kalo Papa lagi nggak terbang Papa pasti pulang."
Aku tahu saat seperti ini pasti amatlah sulit untuk  Nita hindari. Niki sudah sering bertanya seperti itu. Aku salut pada ketabahan Nita untuk menghadapi Niki dengan sejuta pertanyaan yang mungkin masih disimpannya. Aku tidak jadi menonton TV. Terlalu banyak hal yang berkecamuk di pikiranku.
*
Kami bertiga sudah sampai di sekolah. Niki sudah tidak sabar ingin segera turun dan masuk kelas. Nita dengan senang hati menuntun tangan Niki sambil terus mengembangkan senyumnya seperti saat mengajar di depan kelas. Menyapa dan mengobrol sebentar dengan orang tua murid lainnya yang juga datang untuk menyambut hari pertama anak-anak mereka bersekolah. Sementara, aku membawakan tas sekolah Hello Kitty warna merah muda kesayangan Niki. Aku segera menyusul dan berjalan di samping Niki.
Sekolah Niki tidak begitu jauh dari rumah Nita. Nita sengaja memilih sekolah TK yang dekat dengan rumahnya supaya tidak kerepotan mengurus Niki. Apalagi, sekolah tempat Nita mengajar juga tidak jauh dari sana. Pagi-pagi Nita akan mengantar Niki sebelum masuk kerja dan saat makan siang Nita juga yang akan menjemput Niki. Pengalaman Nita sebagai guru di sekolah internasional juga ikut menentukan pemilihan sekolah untuk Niki. Aku tidak bisa memberikan pendapat apa-apa selama itu merupakan keputusan yang terbaik untuk Niki. Aku hanya bisa mengiyakan saja keputusan Nita itu.
Aku sudah berdiri di depan kelas Niki. Aku dapat merasakan nuansa ceria dan keriangan dalam ruang kelas ini. Suasana kelas juga memberikan kesan yang nyaman untuk murid-murid didalamnya. Gambar-gambar dengan warna-warna ceria yang menempel di dinding, deretan rak buku di sudut ruangan, belum lagi karpet warna-warni dan segala macam boneka ikut memeriahkan suasana kelas. Aku yakin Niki pasti betah dan kerasan untuk belajar disini.
Aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada hari-hari selanjutnya. Setiap pagi, Nita akan selalu menyempatkan diri untuk mengantar Niki sampai depan pintu kelasnya. Nita akan menggiring tas koper Hello Kitty warna merah muda kesayangan Niki sambil tetap menggenggam tangan Niki. Nita pun akan selalu memasang raut muka penuh senyum seperti ia selalu tampil di depan kelas. Di muka kelas, Ibu Guru Tati akan segera menyambut mereka. Persis seperti apa yang terjadi saat ini.
“Selamat pagi, Niki.” Sapa Ibu Guru Tati.
“Selamat pagi, Ibu Guru.” Tukas Niki.
“Ayo, pamit dulu sama Papa Mama.” Ajak Ibu Guru Tati.
“Papa, Mama, Niki mau sekolah dulu ya.” Ucap Niki seraya mengulurkan tangan.
Aku melihat Nita tersenyum, mengulurkan tangannya yang kemudian diciumi oleh Niki, lalu Nita mengecup kening Niki. Niki pun menghampiriku dan melakukan hal yang sama. Aku balas memeluk Niki. Sebuah perasaan yang telah lama hilang menyeruak kembali.
“Papa, Mama, nanti jemput Niki, kan?” tanya Niki sebelum masuk kelas.
“Ya, sayang. Mama sama Papa nanti jemput Niki. Sekarang, Niki belajar dulu sama Ibu Guru ya.” Ucap Nita sambil mengusap rambut Niki.
Hari pertama menjemput Niki, aku bisa melihat rona bahagia pada senyum Niki. Niki tak henti-hentinya bercerita pada Ibunya tentang pelajaran yang baru saja didapatnya. Niki juga bercerita tentang teman-teman barunya. Seperti tadi pagi, Niki mengajak Nita untuk menyanyi lagi, kali ini dengan manja. Aku tertawa dalam hati melihat kelakuan Niki. Niki seperti tidak kehabisan energi. Aku mencuri pandang ke jok belakang, Nita terlihat sangat senang sekali. Bisa jadi saat seperti itu adalah satu dari sekian banyak momen terindah bagi Nita.
Niki tidak tahu apa-apa tentang perpisahan orang tuanya. Niki hanya tahu kalau Papanya seorang penerbang dengan jadwal yang tidak tentu dan hanya menemuinya saat sedang libur terbang. Niki tidak pernah protes, hanya saja aku yang memang tidak tega untuk melihatnya seperti itu. Tentunya, Niki ingin seperti  anak-anak lainnya. Punya kehidupan normal dengan orang tua mereka. Bersenda gurau setiap hari dengan orang tua mereka, jalan-jalan ke Mall untuk makan es krim, bahkan hanya untuk sekedar bermain di taman sekitar komplek perumahan.
Aku mencoba untuk tetap menjadi figur Papa yang baik di depan Niki. Bagaimanapun, perpisahan antara Aku dan Nita kemarin itu bukan sesuatu kita inginkan. Terlebih lagi, masih ada si kecil Niki. Tetapi, kita tidak bisa meminta takdir seperti meminta segelas bir. Kenyataan mengharuskan demikian.
Niki selalu bangga terhadap Papanya. Suatu hari, ia pernah buktikan itu dihadapan teman-temannya. Obrolan anak kecil selalu menarik untuk disimak apalagi ketika mereka saling meyebutkan pekerjaan orang tuanya. Mirip seperti dalam iklan televisi. Kebetulan waktu itu, aku menjemput Niki dan secara tak sengaja mengetahui hal itu ketika anak-anak asuhan Ibu Guru Tati itu sedang menunggu dijemput orang tuanya masing-masing. Saat seperti itulah yang membuatku selalu ingin cepat selesai bertugas dan kembali bertemu dengan Niki.
Suatu kali, Niki pernah bertanya sendiri kepadaku kapan aku akan berhenti menerbangkan pesawat. Aku sendiri tidak tahu jawabannya. Aku hanya membalas pertanyaan Niki dengan senyum. Aku ciumi keningnya. Suatu saat, Niki akan tahu alasan kenapa aku melakukan semua itu.
Kadang-kadang, Niki memintaku untuk membawanya ke Bandara. Niki selalu ingin ikut terbang. Salahku sendiri yang memang belum pernah membawanya tamasya bersama naik pesawat terbang. Niki selalu bilang bahwa ia juga ingin jadi seorang pilot. “Niki pengen bisa terbang kaya Papa..” begitu katanya. Nita tidak pernah melarang ataupun meralat pernyataan Niki. Nita seakan paham bahwa Niki hanyalah seorang anak kecil yang baru mampu berfantasi tentang masa depan. Nita tidak merasa harus mengontrol masa depan Niki sejak dini.
Seminggu telah berlalu sejak hari sekolah Niki yang pertama. Aku dan Nita akan kembali pada kesibukan masing-masing. Urusan antar jemput Niki sudah jelas menjadi kewajiban Nita. Aku hanya akan menemui Niki setiap tengah minggu dan akhir pekan. Seminggu pertama ini adalah hari-hari yang membuatku sadar akan pentingnya sebuah kebersamaan dalam keluarga. Dengan perkembangan Niki yang sudah sampai pada tahap ini rasanya aku ingin selalu menemaninya. Bersama mengiringi setiap langkah bersamanya. Melihat Niki tumbuh besar tanpa kekurangan suatu apapun. Aku ingin Niki merasakan arti sebuah keluarga sejak kecil.
Cuaca pagi ini terasa begitu hangat dan cerah. Angin berhembus pelan. Matahari mulai keluar dari persembunyannya di ujung sebelah timur mata angin. Niki masih tidur ketika aku datang. Nita sedang menyiapkan seragam sekolah dan bekal makanan Niki. Aku meletakkan buku kumpulan dongeng itu dalam genggaman Niki. Nanti malam, usai bertugas aku akan membacakan dongeng-dongeng didalamnya hingga Niki lelap tertidur dipelukanku.
*
Tower, this is Selendang Air Flight ALH779, heading northwest, reporting emergency situation, one engine inoperative due to flame out, request clearance for emergency landing.
Aku masih membaca emergency procedures di FCOM usai mengontak ATC. Pesawat yang aku terbangkan mengalami masalah kebakaran mesin. Aku mengambil mikrofon dan mengumumkan situasi darurat pada penumpang. Aku akan segera mendaratkan pesawat ini. Kabut menutupi pandanganku. Aku melihat bayangan Niki yang semakin samar dan pudar. Aku tidak melihat apa-apa lagi. Aku hanya melihat titik-titik berwarna putih. Perlahan semakin banyak dan menutupiku.

Jakarta, 10 Mei 2012.
Dibuat untuk kompilasi cerita pendek untuk menyambut Hari Anak Nasional Tahun 2012.


Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...